Friday 27 December 2013

Curhat Colongan

Ternyata memang sekacau ini waktu saya, kadang seperti tidak bisa bergerak. Mau menulis saja harus mencuri dulu. Apa saya berlebihan? Saya tidak tahu siapa yang keterlaluan sebenarnya. Anggap saja mereka. Baiklah, karena ini sebuah hasil curian, maka maklum saja.

Subuh ini, saya pikir seharusnya saya bisa tidur lagi barang satu jam sebelum nanti berangkat kuliah. Setidaknya, saya berpikir itu lebih baik. Namun, tiba-tiba―beberapa menit yang lalu―saya teringat tentang sebuah kisah konsistensi dan keegoisan, yang akhir-akhir ini selalu terabaikan dan di-nomor-sekian-kan. Kisah yang pernah saya mulai dengan sebuah rapal janji yang menggenapkan hati, dan sekarang hanya menjadi mantra basi. Sudah saya tuliskan di awal, saya tidak tahu siapa yang keterlaluan. Maka kali ini saya hanya ingin menulis, sekadar ingin mencuri apa yang bisa saya curi. Selama masih ada waktu―jika itu bisa disebut kesempatan. Dan, terserah dengan yang lebih baik tadi.

Akhir-akhir ini saya selalu ingin pulang, kangen dengan rumah mimpi itu. Rumah yang selalu sederhana. Yah, memang seperti hukum alam. Selalu ingin melakukan sesuatu di saat tidak punya kesempatan, namun di saat kesempatan itu ada, berniat saja tidak. Terserah. Terserah dengan hukum alam itu, terserah dengan kesempatan, saya tidak peduli. Saya hanya ingin pulang. Dan, mungkin tulisan ini bisa mengantarkan saya. Sekadar melewati setapak jalan, mendapati pagar rumah, menari bersama rangkaian angin serta daun berjatuhan di halaman, menutup mata dan sadar…

Thursday 5 December 2013

Pascapresentasi: Tidak Ada yang Sia-Sia

Pernahkah kalian merasa akan bisa menggenggam dunia? Saya pernah, beberapa jam yang lalu. Tepatnya subuh tadi. Saya tidak ingat kapan pernah merasakan hal itu sebelumnya, atau tidak pernah. Entahlah, ketidaksadaran sering mengacaukan ingatan saya. Intinya, saya mendapati diri saya begitu antusias untuk hari ini (5 Desember 2013), saya merasa semua akan berjalan lebih dari baik-baik saja. Pagi ini saya percaya diri akan bisa menggenggam dunia. Sangat percaya, meletup-letup kemana-mana. Dan, perasaan-akan-bisa-menggenggam-dunia itu disponsori oleh: presentasi Akuntansi Sektor Publik (ASP). Saya bangga.

Tidak ada yang special sama sekali, baik itu mata kuliah ataupun materinya. Hanya saja, saya merasa semua akan di mulai di sini. Sebuah pencapaian, sebuah perjalanan panjang. Pangkal dari ujung yang tidak pernah bisa ditebak. Yaitu pada saat saya mampu berdiri di depan orang-orang, dengan mental yang paling berani yang saya miliki. Tidak takut salah, sekedar ingin mengalir begitu saja. Merasa akan menang. Ini memang bukan presentasi pertama saya seumur hidup, itu rekor yang terlalu parah. Tentu hal-hal seperti presentasi sudah sering dilakukan oleh mahasiswa, apalagi mahasiswa sudah semester 5. Tapi yang berbeda adalah… perasaan yang seperti baru terlahir itu. Perasaan yang tiba-tiba mengambang, tahu-tahu sudah di permukaan. Mungkin ini sudah kehendak dari  Yang Kuasa. Saya percaya. Dan saya dengan senang hati dan penuh syukur menerima.

Jadi, beginilah rencana yang sudah ditetapkan itu saya lewatkan…

Jangan Bawa Pergi

Baiklah, baiklah… Saya sudah terlalu jauh, dan sekarang berharap tidak harus pergi. Saya tahu, mungkin itu terlalu muluk-muluk atau terlalu banyak mau, tapi… saya hanya tidak ingin pergi. Jadi, anggap saja ini sebagai permintaan maaf. Mengertilah.

Memang, belakangan saya seperti melakukan pengabaian besar-besaran, berlagak sibuk padahal entahlah. Seperti kerasukan apa lalu tahu-tahu nyaris melupakan mimpi, mungkin tampak begitu. Namun tidak, sungguh tidak pernah terpikir oleh saya lancang untuk mengganti mimpi apalagi melupakannya. Dalam imajinasi pun tidak. Jangan. Mimpi belum saya apa-apakan, jadi tidak ada yang boleh pergi. Baik itu saya, ataupun juga mimpi. Dunia ini terlalu maya, dan saya tidak mau belahan jiwa yang lain. Mimpi yang lain. Saya masih sederhana, dan tidak ingin berubah―setidaknya sampai sekarang. Siapa yang bisa berjanji?


Beberapa hari ini―mungkin minggu, tugas kuliah numpuk dan deadline di mana-mana. saya tidak mungkin menghindar, maka dari itu harus ada yang diabaikan. Kembali lagi, hidup harus memilih dan berkorban. Bukan saya menganggap ‘yang diabaikan’ tidak penting, tapi… bisakah kalian melihat tidak hanya tampak depan? Ya, tidak hanya kalian, melainkan kita. Saya sedang berusaha, setidaknya. Karena, ‘yang diabaikan’ tidak selalu menjadi yang tidak berharga. Hanya saja, keegoisan terlanjur menakutkan untuk digenggam, apalagi diperjuangkan. Sebab, di sini bukan saja saya, atau mimpi dan saya. Banyak yang jadi pemeran. Orangtua masih menjadi prioritas saya sampai detik ini memanggil untuk datang.