Friday 27 December 2013

Curhat Colongan

Ternyata memang sekacau ini waktu saya, kadang seperti tidak bisa bergerak. Mau menulis saja harus mencuri dulu. Apa saya berlebihan? Saya tidak tahu siapa yang keterlaluan sebenarnya. Anggap saja mereka. Baiklah, karena ini sebuah hasil curian, maka maklum saja.

Subuh ini, saya pikir seharusnya saya bisa tidur lagi barang satu jam sebelum nanti berangkat kuliah. Setidaknya, saya berpikir itu lebih baik. Namun, tiba-tiba―beberapa menit yang lalu―saya teringat tentang sebuah kisah konsistensi dan keegoisan, yang akhir-akhir ini selalu terabaikan dan di-nomor-sekian-kan. Kisah yang pernah saya mulai dengan sebuah rapal janji yang menggenapkan hati, dan sekarang hanya menjadi mantra basi. Sudah saya tuliskan di awal, saya tidak tahu siapa yang keterlaluan. Maka kali ini saya hanya ingin menulis, sekadar ingin mencuri apa yang bisa saya curi. Selama masih ada waktu―jika itu bisa disebut kesempatan. Dan, terserah dengan yang lebih baik tadi.

Akhir-akhir ini saya selalu ingin pulang, kangen dengan rumah mimpi itu. Rumah yang selalu sederhana. Yah, memang seperti hukum alam. Selalu ingin melakukan sesuatu di saat tidak punya kesempatan, namun di saat kesempatan itu ada, berniat saja tidak. Terserah. Terserah dengan hukum alam itu, terserah dengan kesempatan, saya tidak peduli. Saya hanya ingin pulang. Dan, mungkin tulisan ini bisa mengantarkan saya. Sekadar melewati setapak jalan, mendapati pagar rumah, menari bersama rangkaian angin serta daun berjatuhan di halaman, menutup mata dan sadar…

Thursday 5 December 2013

Pascapresentasi: Tidak Ada yang Sia-Sia

Pernahkah kalian merasa akan bisa menggenggam dunia? Saya pernah, beberapa jam yang lalu. Tepatnya subuh tadi. Saya tidak ingat kapan pernah merasakan hal itu sebelumnya, atau tidak pernah. Entahlah, ketidaksadaran sering mengacaukan ingatan saya. Intinya, saya mendapati diri saya begitu antusias untuk hari ini (5 Desember 2013), saya merasa semua akan berjalan lebih dari baik-baik saja. Pagi ini saya percaya diri akan bisa menggenggam dunia. Sangat percaya, meletup-letup kemana-mana. Dan, perasaan-akan-bisa-menggenggam-dunia itu disponsori oleh: presentasi Akuntansi Sektor Publik (ASP). Saya bangga.

Tidak ada yang special sama sekali, baik itu mata kuliah ataupun materinya. Hanya saja, saya merasa semua akan di mulai di sini. Sebuah pencapaian, sebuah perjalanan panjang. Pangkal dari ujung yang tidak pernah bisa ditebak. Yaitu pada saat saya mampu berdiri di depan orang-orang, dengan mental yang paling berani yang saya miliki. Tidak takut salah, sekedar ingin mengalir begitu saja. Merasa akan menang. Ini memang bukan presentasi pertama saya seumur hidup, itu rekor yang terlalu parah. Tentu hal-hal seperti presentasi sudah sering dilakukan oleh mahasiswa, apalagi mahasiswa sudah semester 5. Tapi yang berbeda adalah… perasaan yang seperti baru terlahir itu. Perasaan yang tiba-tiba mengambang, tahu-tahu sudah di permukaan. Mungkin ini sudah kehendak dari  Yang Kuasa. Saya percaya. Dan saya dengan senang hati dan penuh syukur menerima.

Jadi, beginilah rencana yang sudah ditetapkan itu saya lewatkan…

Jangan Bawa Pergi

Baiklah, baiklah… Saya sudah terlalu jauh, dan sekarang berharap tidak harus pergi. Saya tahu, mungkin itu terlalu muluk-muluk atau terlalu banyak mau, tapi… saya hanya tidak ingin pergi. Jadi, anggap saja ini sebagai permintaan maaf. Mengertilah.

Memang, belakangan saya seperti melakukan pengabaian besar-besaran, berlagak sibuk padahal entahlah. Seperti kerasukan apa lalu tahu-tahu nyaris melupakan mimpi, mungkin tampak begitu. Namun tidak, sungguh tidak pernah terpikir oleh saya lancang untuk mengganti mimpi apalagi melupakannya. Dalam imajinasi pun tidak. Jangan. Mimpi belum saya apa-apakan, jadi tidak ada yang boleh pergi. Baik itu saya, ataupun juga mimpi. Dunia ini terlalu maya, dan saya tidak mau belahan jiwa yang lain. Mimpi yang lain. Saya masih sederhana, dan tidak ingin berubah―setidaknya sampai sekarang. Siapa yang bisa berjanji?


Beberapa hari ini―mungkin minggu, tugas kuliah numpuk dan deadline di mana-mana. saya tidak mungkin menghindar, maka dari itu harus ada yang diabaikan. Kembali lagi, hidup harus memilih dan berkorban. Bukan saya menganggap ‘yang diabaikan’ tidak penting, tapi… bisakah kalian melihat tidak hanya tampak depan? Ya, tidak hanya kalian, melainkan kita. Saya sedang berusaha, setidaknya. Karena, ‘yang diabaikan’ tidak selalu menjadi yang tidak berharga. Hanya saja, keegoisan terlanjur menakutkan untuk digenggam, apalagi diperjuangkan. Sebab, di sini bukan saja saya, atau mimpi dan saya. Banyak yang jadi pemeran. Orangtua masih menjadi prioritas saya sampai detik ini memanggil untuk datang.

Saturday 23 November 2013

Mendung yang Menular

Pagi ini, Sabtu keempat di bulan November datang menyapa, mendakwa mendung lah yang bertugas menyambut mentari. Mendung resmi memotong pita untuk hari ini. Selamat.

November benar-benar menunjukkan keahliannya. Di hampir penghujung bulan ini, kebanyakan hari-hari dihabiskan dengan hujan. Basah.  Saya agak kerepotan sebenarnya, mengingat jemuran dan jalanan yang lebih sering becek. Apalagi pada saat jalan ke kampus. Tapi lain dari itu, tidak masalah. Saya bersedia berteman dengan November dan hujan. Saling mengisi di antara gemuruh dan sunyi. Membuat memori yang nanti akan saya beri label ‘Rahasia Si Hujan Bulan Sebelas.’

Namun, ada yang berbeda dengan pagi ini. Mendung datang dan saya merasa tidak senang sama sekali. Bukan membenci, melainkan saya dibuat tidak baik-baik saja dengan keberadaan mendung. Seperti ada awan gelap yang juga menggantung di hati saya. Entah mengapa. Padahal, biasanya mendung bisa jadi penghibur yang hebat untuk sebuah pagi hari. Moodbooster. Bukan seperti ini. Ada apa dengan mendung? Atau saya?


Friday 1 November 2013

Hello, November

November lagi, datang untuk yang ke-20 kalinya di hidup saya. Alhamdulillah. Saya masih diberi kesempatan untuk menikmati betapa basahnya nanti bulan ini. Semoga.

Jika di berbagai socmed telah heboh tagline #NovemberWish, maka saya akan menyebar sedikit virusnya ke dalam postingan ini. Sebenarnya, saya tidak pernah terlalu memikirkan apa yang menjadi harapan saya di setiap bulan baru datang. Paling mantap, saya berharap uang bulanan yang dikirim bisa bertambah. Itu saja, benar-benar berharap. Namanya juga anak kost. Tapi belum pernah. Namun belakangan, saya mulai berharap juga, seiring hari yang disapu, saya bisa menyelesaikan sebuah buku. Mengurangi jumlah file di folder draft di Asusilapy saya. Tapi belum juga pernah. Jadi, bagaimana dengan bulan kali ini? November?
                                                   

Thursday 31 October 2013

Titik Balik

Titik balik, sebuah dedikasi yang saya persembahkan atas pengorbanan waktu. Terimalah.

Tidak. Tidak ada yang special ataupun wah, saya hanya iseng. Tak perlu menanggapinya berlebihan apalagi serius. Catatan ini hanya pelepas dahaga. Semacam setetes peluh yang tak lagi punya daya, sebait tinta terakhir dari pena, seperti halaman kosong di tengah buku, layaknya kerikil yang menghalangi jalan. Tidak nyambung? Baiklah, anggap saja, ini adalah sebuah alasan yang membuat saya menoleh ke belakang. Saatnya untuk terdiam.

Konon, suatu pagi saya terbangun dengan menemukan diri saya mengingat hari kemarin. Jutaan detik yang terlewatkan. Kepikiran tentang sebuah kotak yang berlabel masa lalu, begitu saja. Ternyata, saya hanya ingin mengenang beberapa saat sebelum semua itu nantinya menghilang, tergantikan entah dengan bentuk pigura kehidupan yang bagaimana. Itu bisa saja terjadi. Tidak ada yang bisa menutupi kemungkinan sekalipun itu keinginan sendiri. Jadi, biarlah hari ini menjelma seperti seharusnya. Sebagai penghubung antara kemarin dengan esok, lusa, lalu seterusnya.

Saat saya membuka kotak masa lalu, wangi detik usang itu pun semerbak. Melesak memori, lalu memenuhi hati. Teringat awal mimpi yang bersemi, tatkala dunia saya masih sederhana. Sekarang sudah tidak, terlalu banyak tanda tanya dan pilihan yang membingungkan. Belum lagi berbagai pertimbangan yang―entah mengapa, terkadang―lebih terdengar seperti kebodohan daripada jalan keluar. Semisal, mengapa memilih melakukan hal yang bagus dilihat orang, ketimbang hal yang membuat nyaman? Jawaban dari pertanyaan itu sudah ada di pemikiran masing-masing, tidak perlu ada tuduhan penilaian. Yang saya sayangkan, saya pernah menerapkannya. Oke, ini, uh. Hal-hal yang tak lagi sederhana itu lah yang sepertinya juga telah mengubah anatomi mimpi. Mimpi bermetamorfosis, kini menjadi lebih tinggi dan memiliki sayap peri. Benarkah?


Thursday 24 October 2013

Coklat Tua

Tampak mata mengurung durja
Coklat tua lekas mengemas
Diam-diam memeluk cemas
Entah akan pulang
Entah mengukir seberang
Tepikan suara berbekal lara
Bias coklat tua mengepul di udara
Dari punggung yang pucat lusuh
Lenyap bersama senyap
Hilang berteman kunang-kunang
Tak terperi jangan pergi
Ciut menelan kejauhan mimpi

Wednesday 23 October 2013

Kompetisi

Belakangan, saya banyak melihat kompetisi menulis yang diadakan baik itu di dunia maya, maupun di dunia nyata. Beberapa ada yang menarik minat saya. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas menulis. Di sisi lain, mau tak mau, mengingatkan saya pada rating buruk kompetisi menulis yang pernah saya ikuti. Saya kategorikan buruk bukan karena saya belum pernah keluar sebagai pemenang, walaupun kenyataannya memang seperti itu. Biar. Terserah. Buruk di sini menyatakan bahwa jumlah kompetisi yang lebih sering saya batalkan keikutsertaannya, serta bagaimana cara saya melewati suatu kompetisi tersebut. Baiklah, saya akan menguraikannya.

Masalah pertama adalah, saya tidak jadi mengikuti kompetisi yang padahal sudah saya targetkan. Malah batal. Bukan dengan tiba-tiba, tapi kebanyakan telah terprediksi sebelumnya. Memang sudah sifat saya yang selalu menggebu-gebu di awal, dan pada akhirnya hanya bermalas-malasan. Ditambah dengan kebiasaan yang suka menunda, kolaborasi perangai jelek itu pun berhasil mengalahkan saya. Ini yang belum bisa saya ubah, sampai detik ini juga. Kurang berkomitmen dan sudah terlalu nyaman di zona nyaman. Terperangkap, ingin keluar tapi masih bimbang apakah rela meninggalakan. Kadang saya sadar, lalu, hanya sekadar sadar. Setelah itu tidak terjadi apa-apa, kehidupan kembali seperti semula. Saya pulang menjadi pemimpi yang menyedihkan.

Wednesday 2 October 2013

Sepotong Wajah

Bagaimana saya tidak senang hanya dengan melihat sepotong wajah tadi?!
            Hal-hal seperti ini memang lebih sering lepas kontrol, tidak jelas, aneh, dan sudah tentu konyol. Jujur, saya tidak pernah benar-benar berusaha untuk menghindar, karena terlebih dahulu menyerah. Ya, untuk yang satu ini saya tidak bisa berbuat apa-apa, tidak terlalu niat sebenarnya. Meski tak jarang menyusahkan, tapi kalau sudah hati yang dibuat senang, maka itu akan beda sekali penangguhannya. Tidak ada cara lain kecuali menikmatinya.
            Siapa yang peduli? Ini hidup saya, dan sepotong wajah yang hadir tadi―sekalipun tanpa alasan, adalah yang saya pedulikan. Saya tidak lagi menunggu, hanya sesekali mencari, pada ribuan detik yang hadir, yang mungkin akan mengantarkan saya pada takdir itu. Tidak untuk melakukan apa-apa lebih tepatnya. Karena membuat harapan lebih dari yang dibisa adalah sebuah ancaman yang menyesatkan. Saya paham sekali dengan tesis ini.

Tuesday 1 October 2013

Membaca Diri

Saya ragu, entah benar-benar bisa. Haruskah?
            Seperti bercermin, nyaris sama. Tapi saya sangsi, apakah bayangan itu adalah benar refleksi dari bentuk nyatanya. Apa raut yang terpantul itu benar berasal dari tanya sebelum detik ini hadir. Siapa yang berani berjanji? Adakah yang akan bersuara atau apa? Cermin hanyalah sebatas benda mati, sedang di sini dia lah yang bersaksi. Menegakkan sekaligus mematahkan.
            Kalau dipikir-pikir, benar itu tidak mutlak. Sekedar sesuai dengan apa yang dimaksud oleh orang yang menyatakannya. Belum tentu apa yang saya bilang benar, di-iya-kan juga oleh orang lain. Begitu sebaliknya. Tentu saja. Jadi, semisal cermin bisa bicara lalu mendakwa bahwa bayangan tadi benar adalah saya, bisa saja saya menyangkal. Bisa saja saya tidak terima, mencela cermin hanya mengada-ada yang kelewat berlebihan dengan teori kebenaran dia. Bisa saja, bukan?

Saturday 21 September 2013

Lagi Kangen

Lagi kangen. Pada mereka yang selalu mengajarkan saya tentang kebahagiaan  yang sederhana, menyederhanakan kebahagiaan. Diam-diam. Mereka yang bisa saya curahkan apa saja, keluh, resah, tawa, tangis, juga canda. Tanpa celah. Mereka yang membuat saya merasa cukup dengan segala kekurangan yang ada. Mereka yang hadir dengan kisah pengorbanan dan luka. Mereka yang pertama kali memberitahu saya makna keluarga sesungguhnya. Kepada mereka, saya kangen.

Lagi kangen. Pada sajak abstrak yang sering saya keluarkan begitu saja, tercetus seenaknya. Lukisan kata yang datang dari negeri antah-berantah, terisap, tersengat, bergaung bersama harapan dan do’a. Timbul tenggelam. Rentetan bait yang diusung oleh jiwa, lalu terhempas oleh cinta. Menulis desah hati yang tak sempat terucap, takut terkuak, tak sudi terlihat, yang bersembunyi dari matahari yang terbit dan tenggelam. Ribuan kalimat yang mengantarkan saya pada mimpi yang paling nyata. Kepada mereka, saya kangen.

Wednesday 11 September 2013

Membujuk Hati

Pernahkah kau membujuk hati? Iya, hati sendiri. Susah, kan?
Saya sering, berargumen dengan ego sendiri, saling keukeh tidak mau mengalah. Banyak hal yang diperdebatkan, namun sebenarnya hanya satu masalahnya. Mengalahkan hati. Saya tidak ingat kapan saya pernah menang, atau tidak pernah.
Kerap tidak mengerti maunya hati, mungkin seperti itu. Hanya menebak, lalu salah sangka. Karena tidak ada yang bisa membenarkannya, tidak ada yang tahu bagaimana bentuk dari jawaban itu sebenarnya. Bahkan diri sendiri. Malah, kadang saya lebih mudah memahami sifat orang lain, mau orang itu apa, dari apa keinginan saya pribadi. Seakan jalan keluarnya adalah buntu.
 Kali ini saya mencoba, bisa dikatakan lebih keras daripada biasanya, sedikit. Mencoba untuk membujuk hati, agar mau menerima kenyataan, agar tidak seenaknya saja membuat saya menyerah. Karena itu,

Tuesday 13 August 2013

Surat Untuk Esok

Dear, Esok…
Akankah kau masih ada? Untuk menerpa sudut jendela, membangunkan sang empunya. Membawa sejumput kejutan atau apa, yang kutunggu-tunggu. Membawa 86400 detik beserta isinya. Ceritanya.

Dear, Esok…
Jika kau masih ada, maukah kau bercerita? Kepadaku yang tidak tahu apa-apa. Tentang binatang yang tak kutahu bentuknya. Tentang tumbuhan yang tak kutahu fungsinya. Tentang manusia yang bermacam-macam tingkahnya.

Dear, Esok…     

Monday 12 August 2013

Kita Bertemu

Kita bertemu
Pada alarm pukul lima
Terjaga dari lamunan panjang yang tak sadar
Bergejolak dengan suara panggilan
Entah siapa      
Tiada orang di sana

Kita bertemu
Pada senja yang terpecah
Hanya terdiam melumat tanya
Tertegun dengan larik kecewa
Rasa membuncah rupa-rupa
Dari  mana mereka semua?

Kita bertemu
Pada seperjuta detik yang dikekang
Luruh berbisik-bisik tenang
Tentang kunang-kunang merengkuh malam
Tentang lukisan berbingkai alam
Disemat cakrawala dengan rancang

Tuesday 6 August 2013

Tetangga Baru

Ada yang bilang, cara yang tepat mengabadikan kenangan adalah membekukannya ke dalam sebuah foto. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkannya. Yang jelas, aku selalu menyukai saat di mana kita bisa menyimpan potongan kenangan itu menjadi cetak lensa. Kenangan tentang aku dan kamu yang terangkai, lalu berpilin menjadi sebuah rajutan detik yang berharga. Semua.
            Maka di sini aku sekarang, duduk di ujung ranjang yang masih berantakan sambil memandangi satu dari berbagai pigura foto yang berserakan. Mengembalikan ingatan tentang aku dan kamu di kala dulu. Rasanya sudah lama sekali, tapi aku masih bisa mengingatnya. Mengingat setiap waktu yang kita habiskan bersama. Karena bagiku mengingat kisah itu seperti sedang mengulang dua hari yang lalu.
***
            Hup!
            Ketika aku melompat keluar dari bus yang membawaku sampai ke halte itu. Di mana-mana basah, dan halte menjadi salah satu tempat orang-orang mencari perlindungan dari hujan yang sedang turun dengan cukup deras. Aku menyeruak ke dalam halte sambil merapikan seragam putih dongker-ku yang agak berantakan akibat adegan desak-desakan di bus, juga menghindari air hujan yang menerpaku karena terbawa angin. Jarak ke rumah tidak terlalu jauh lagi, untungnya beberapa hari itu aku selalu membawa payung lipat ke sekolah. Antisipasi terhadap musim penghujan.
            Kuperhatikan orang-orang yang sedang berteduh di halte, sebagian besar adalah anak sekolahan. Bangku halte sudah penuh, beberapa dari mereka terpaksa harus berdiri. Dan di sana lah aku menemukanmu, di jejeran orang yang sedang berdiri, masih dengan seragam sekolahmu memandangi hujan dengan tidak senang. Mungkin jadi jengkel disebabkan rasa lapar.
            Aku mengenalmu sebagai tetangga baru. Saat seminggu lalu aku melihat kamu bersama kesibukan yang terjadi di rumah tepat di sebrang rumahku. Dari atas balkon kamar, aku bersorak girang begitu tahu akan mendapat teman baru. Hal-hal seperti itu selalu menyenangkan. Awalnya, kupikir seperti itu. Namun setelah beberapa hari, setelah aku merengek kepada Bunda agar bisa ikut mengunjungi tetangga baru, setelah berkali-kali melongok ke halaman rumahmu, setelah aku bolak-balik bersepeda di depan rumah, nyatanya kita belum juga bisa berteman sampai hari itu. Bahkan belum pernah berkenalan. Kamu yang sepertinya mengacuhkan keberadaanku. Lantas dengan terang-terangan Ibumu menjelaskan bahwa kamu orangnya kurang ramah dan pendiam―jadi maklum saja, saat untuk ketiga kalinya aku ke rumahmu, mengantar nastar buatan Bunda. Jadilah aku menyerah.
            Dan saat itu kamu berdiri beberapa meter di hadapanku, menunggu hujan reda agar bisa segera pulang ke rumah, sedang aku tidak yakin dengan apa yang ingin kulakukan. Setelah menimbang sebentar, pada akhirnya aku mengeluarkan payung lipatku dari tas, lalu melangkah juga menuju pinggir halte, mendekati pijakanmu. Tidak ada yang salah pada sebuah usaha, toh, itu adalah sebentuk bantuan.
            “Kamu… mau pulang?” Sesampai di sampingmu, aku bertanya dengan ragu. Ragu kamu bisa mendengar suaraku, ragu kamu sudi mengindahkanku. Tapi ternyata kamu menoleh juga, lalu memandangku dengan heran. Seperti tidak kenal, lalu tidak mengatakan apa-apa.
            Aku menggigit bibir, mendadak ingin mengurungkan niat mulia itu. Pandangan yang kamu berikan sama sekali tidak bersahabat. “Eemp… aku… tetangga kamu, depan rumah. Aku bawa payung kalau kamu mau pulang bareng…” Sambil memamerkan payung yang kubawa, akhirnya aku berusaha tersenyum ramah, layaknya orang yang sedang memberi tawaran menggiurkan. Namun gagal. Karena nyatanya, aku hanya bisa meringis saat pandanganmu malah jatuh pada sebelah tanganku. Payung lipat dengan warna pink norak yang kubawa.
            Kamu tampak berpikir keras, aku tidak tahu bahwa warna pink adalah petaka. Kembali aku menggigit bibir dengan tanpa sadar menahan napas, takut kamu menolak atau lebih parah. Hanya bisa sejauh ini juga tidak apa-apa, sebenarnya. Aku sekedar menawarkan. Terserah.
            “Boleh…”

Saturday 3 August 2013

Semoga Tidak Perokok

Semoga jodoh saya nanti tidak perokok
Biar saya tidak perlu pusing akibat asapnya
Semoga jodoh saya nanti tidak perokok
Biar kalau suatu saat hidup susah tidak makin susah
Semoga jodoh saya nanti tidak perokok
Biar ia tidak terkena gangguan kehamilan dan rupa-rupa

Namun, jika jodoh yang dikirim Tuhan adalah perokok
Ya sudah, tidak mengapa
Mungkin nanti, pelan-pelan, bisa berubah
Semoga akan mengerti rokok hanya membawa mudarat saja
Tidak masalah
Karena bertemu dengan jodoh saja sudah Alhamdulillah

Friday 2 August 2013

Paket Penyelamat(an)

Paket penyelematan? Maksudnya? Apakah ada? Siapa yang diselamatkan? Apa yang diselematkan? Nyawa? Atau apa?
Baiklah. Baiklah. Saya akan jelaskan. Walaupun, belum tentu ada yang meminta penjelasan. Biarlah.

Jadi begini, paket penyelamat itu ada. Saya sendiri yang memberi nama, karena saya lah yang sudah diselamatkan. Paket yang sangat berjasa. Paket penyelamat itu adalah… *jeng jeng jeng* Bonus Gratisan Setiap Bulan dari Paket Always On 3. Hmph.

Lantas, bagaimana bisa sejumput paket gratisan bisa menyelematkan saya? Ya, tentu saja itu adalah jalan yang ditunjukkan Allah SWT. Tapi, bagaimana ceritanya? Okay, sepertinya saya mulai random karena dari tadi hanya tanya jawab sendiri. Biarlah.

Begini ceritanya, dua hari yang lalu, tepatnya tanggal 31 Juli 2013, saya kehabisan kuota modem. Begitu saja. Memang, belakangan ini saya merasa kebanyakan surfing internet untuk hal-hal yang tidak terlalu penting. Tidak tahu diri kalau sedang tidak di kost yang biasa pakai wi-fi. Jadilah saya keasikan, dan hari itu pun datang. Hari di mana saya tidak bisa melakukan apa-apa melalui internet selain hanya mengunjungi situs facebook dan twitter (karena gratis), hari di mana saya tidak bisa bloging. Posting. Uh-oh!

Ketika Mereka Bercerita

Siang tadi, saya berhasil menguping pembicaraan tiga orang ibu-ibu baya. Menguping? Iya, tapi ini saya menguping di depan mereka langsung, alias mencuri dengar. Begini kira-kira cerita dari mereka.

Hari ini saya ke rumah Uwak (Kakaknya Mamak) untuk bantu bersih-bersih. Menjelang sore, sambil beristirahat saya dan Uwak duduk-duduk sambil menjaga kedai Uwak. Kemudian ada yang datang berbelanja, ternyata Uwak saya yang lain (Kakak Mamak juga, yang paling tua). Sambil mengeluh bingung mau masak apa, Uwak yang baru datang tadi terduduk di salah satu dudukan. Lantas bercerita dengan Uwak saya pemilik kedai. Tidak lama, datang lagi pembeli, langganan Uwak. Datang-datang dengan keluhan yang hampir sama, namun Uwak (saya panggil Uwak karena terlihat lebih tua dari Mamak) yang terakhir datang hanya bingung mau masak sayur apa. Maka beliau pun memutuskan duduk. Mungkin seperti kebiasaan ibu-ibu jika belanja ke kedai dengan dalih ingin belanja.

Karena ada tiga Uwak, saya bagi saja panggilannya. Yaitu menjadi Uwak 1 adalah pemilik kedai, Uwak 2 adalah Uwak saya yang lain, dan Uwak 3 adalah Uwak yang terakhir datang. Seperti ini lebih mudah. Dan ketiga Uwak ini punya tiga latar belakang yang berbeda.

Pada awalnya, mereka membicarakan soal makanan, kue lebaran, lalu merambat ke orang. Tetangga. Katanya begini, katanya begitu. Mungkin mereka tidak bermaksud bergunjing, hanya saling bertukar pengetahuan. Entahlah. Lalu, setelah habis bahan kembali mereka teringat soal masakan. Menimbang sesaat, lalu memutuskan mengambil beberapa bahan makanan. Kemudian duduk lagi. Ngobrol lagi.

Sedang Tidak Ingin Menulis

Iya, saya sedang tidak ingin menulis tapi harus tetap menulis. Jadi, biarkan saja catatan ini menjadi The most random ever, sampai saat ini. Sementara. Karena saya sama sekali tidak mood untuk merangkai kata-kata indah. Ya, setidaknya kata-kata yang diperindah, kalau memang tidak bisa dikatakan indah.

Memang. Catatan ini dibuat hanya bermaksud untuk memenuhi kewajiban, janji, tanggungjawab, saya dalam dunia menulis ini. Dunia yang… entahlah. Saya sedang tidak berminat untuk mengumbar kata ataupun frasa. Sudah saya bilang, kan? Saya sedang tidak ingin menulis.

egini saja yang bisa saya buat untuk penangguhan hari ini. Maaf. Tapi, yang penting saya sudah berusaha memenuhinya, sebisanya. Saya pun kecewa. Tapi, ya sudahlah.

Ps: wrote on Wednesday, July 31st 2013

Tuesday 30 July 2013

Cerita Ngambang

Ini bukan cerpen, apalagi puisi atau apa, ini tentang masa depan saya. Iya.
Seperti ini, nasib draft-draft yang tersampirkan di lapy saya. Ngambang. Tidak jelas, entah masih hidup atau tidak. Kasihan sekali mereka. Karena saya, kekejaman saya, nasib mereka harus terlunta-lunta, lalu menjadi mummy untuk waktu yang… lama. Saya tidak bermaksud sebenarnya, sungguh. Tapi bagaimanalah, banyak sekali rintangannya.

'Alasan' itu berserakan di jalan, dijual gratisan. Glek.―tweeted by @andrianyuni (20) Tuesday, July 30th 2013 2:25 PM

Ada beberapa cerita yang tidak saya lanjutkan pembuatannya, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari-jari tangan. Untunglah. Tidak dilanjutkan karena saya mandek, tidak tahu itu mau bagaimana lagi. Atau saya lupa, itu cerita mau dibawa kemana sebenarnya. Ini serius. Alhasil, berhenti sekali saya sudah malas untuk memulainya kembali. Walau sudah dicoba dari awal lagi. Begitu seterusnya kepada cerita-cerita berikutnya, menjalar seperti virus. Namun tidak semuanya gagal, masih ada yang bisa diselamatkan. Walau cuma satu-dua.

Kutub dan Jodoh

Ada yang bilang, menemukan jodoh itu seperti menemukan dua kutub yang berbeda. Utara dan selatan. Bertolak belakang. Entah siapa yang mengatakannya.

Bagi saya, Mamak dan Bapak adalah dua orang yang memiliki banyak perbedaan. Seperti dari segi sifat, cara berpikir, kesukaan, maupun makanan yang dimakan. Juga yang lainnya.

Misal dari segi sifat, Bapak itu pribadi yang pendiam. Namun pendiam bukan dalam konteks tidak banyak bicara, melainkan introver. Bukan juga Bapak tidak banyak ceritanya, aku sering sekali mendengar cerita Bapak dari zaman masih kecil, tumbuh, sampai dewasa. Tapi tidak cerita-cerita yang lebih mendalam, berperasaan. Seperti harapan yang benar-benar Bapak harapkan, atau tentang cobaan yang selama ini Bapak  rintang, betapa Bapak kesusahan, betapa Bapak pernah lelah dengan ini semua. Tapi Bapak tidak pernah mengisahkannya kepada kami anak-anaknya.  Mungkin ada sekali dua. Mungkin aku yang lupa. Maka akan beda sekali dengan Mamak. Mamak adalah tipikal ibu-ibu cerewet yang narsis, sangat malah. Suka sekali bercerita sana-sini, kalau tidak ingin dibilang bergosip. Jika Bapak introver jadilah Mamak kebalikannya, ekstrover. Dengan terbuka Mamak akan mengatakan apa saja yang ingin dikatakan, mengatakan apa yang saja yang dipikirkan, dan mengatakan apa saja yang dirasakan. Bahkan kadang suka berlebihan. Lantas dengan perbedaan itu, Bapak dan Mamak sampai sekarang masih bersama.

Tawar-menawar

Sebenarnya hari ini mood saya sedang tidak bagus, mendung, tapi saya coba saja menulisnya.

Tadi pagi menjelang siang, adik saya yang laki-laki merengek minta ditemani pergi ke pasar membeli baju. Tidak merengek sih, tapi dia lebih terkesan memaksa, padahal saya sedang tidak dalam mood belanja. Tapi berhubung saya kakak yang bertanggung jawab―terlihat dari cara adik-adik saya merengek (lagi-lagi) kepada saya―akhirnya saya meng-iya-kan juga bujukan tersebut, dengan ogah-ogahan.

Sekitar pukul 10 lebih 20 menitan, saya dan kedua adik saya pergi ke pasar. Ya, saya punya dua adik, sepasang. Dan adik saya yang perempuan juga ikutan minta ditemani. Pergilah kami bertiga di pagi menjelang siang itu ke pasar dengan menggunakan angkot (anakutan umum), untuk tidak pakai desak-desakan. Pasar? Iya. Kalau di kampong kami belanjanya di pasar.

Sesampai di pasar kami lekas menyeruak di antara orang-orang yang tidak dikenal di sana, melewati beberapa toko pakaian sambil melihat-lihat. Kali saja ada yang cocok di hati. Tapi itu bukan tugas saya, melainkan kedua adik saya. Karena peran saya hanya menemani, tidak membeli. Jadilah kami sedikit berdebat pakaian siapa duluan yang mau dicari. Cewek atau cowok? Dan keputusan jatuh pada pakaian cowok. Adik saya yang ini memang lebih tanggap mengambil keputusan walaupun dia paling bungsu, meski tidak semua keputusannya bisa dibenarkan.

Sunday 28 July 2013

Late Post

Sesuai dengan judul postingan ini, maka saya menulis note ini. Iya, seharian ini saya sangat sibuk dan tidak bisa terlalu lama bercengkrama dengan Lapy. Giliran tadi saya sudah buka laptop, jaringan malah ngadat dan alhasil jadi malas ngetik juga. Maka saya membuka folder lain yang ada di lapy, Video!

Awalnya saya buka-buka folder clips yang berisikan koleksi video klip dari beberapa penyanyi luar negeri. Lalu saya memilih memutar video One Direction, semua yang saya punya. Setelah selesai memutar sekitar empat video, lantas saya pindah ke folder lain. Bingung sejenak, akhirnya saya kembali menjatuhkan pilihan yang kali ini pada folder RM (Running Man). Iya, reality show dari korea yang terkenal itu. Terkenal? Entahlah, sebenarnya saya juga kurang tahu. Yang jelas saya bukan Korean Freak! Video RM ini ada di lapy juga atas dorongan teman saya yang menyuruh untuk menontonnya. Ya sudahlah.

Saturday 27 July 2013

Wacana dari Langit

Langit mengerjap, mengabarkan akan ada cerita baru lagi. Kali ini tentang manusia. Dipilih satu dari berjuta-juta kisah yang ada. Simaklah!

Langit berarak, menandakan waktu melakukan tugasnya dengan baik. Awan saling bergelung, mesra, menangkap setiap kata yang mengambang keluar dari desah manusia. Langit mengerti kisah itu. Kisah terbuang yang tidak pernah didengar di bumi yang kejam. Tidak ada yang bersedia di sana, tapi tidak di singgasana angkasa. Langit tahu betul tentang ketakutan yang disingkarkan itu, tentang manusia-manusia yang tidak punya pilihan selain bertahan. Awan telah membongkar rahasia tersebut, tanpa diminta. Selalu.

Langit meremang, hari ini matahari keluar dengan garang. Bersama teriknya siap menakut-nakuti mereka yang berani menantang. Bagaimana manusia tadi? Bukan, bukan dia ingin membujuk damai sang matahari, kalau boleh jujur dia juga tidak sudi. Tapi, adakah dia bisa memilih? Huh, tentu saja itu hanya mimpi. Sebaiknya manusia tadi tidak susah-susah berpikir untuk berlindung di ruangan dengan suhu sejuk yang tinggi, karena hadiah yang terkirim hanyalah trotoar panas dengan asap yang mengeri.

Thursday 25 July 2013

Kemana Aku yang… Dulu?

Miss the old I am…
            Udah buka file-file lama? Udah.
            Udah liat foto-foto labil zaman dulu? Udah.
            Udah mutar lagu-lagu galau? Udah.
            Udah coba buat nulis lagi? Uud… eemph?
            Ini dia masalahnya, aku enggak pernah benar-benar tahu―apa aku udah nyoba atau belum? Apa usaha aku sekarang masih sama kayak usaha waktu aku baru mulai dulu?― Dan masalah terbesarnya adalah… diri aku sendiri.
            Kadang aku heran, padahal udah sadar ini―menyadari kesalahan, tapi tetap aja enggak bisa nemuin jalan keluarnya. Karena menyadari kesalahan sendiri aja belum cukup. Well, kenapa pula aku harus tahu istilah itu. Hhh…
            Sekarang aku terdampar di pemikiran antah-berantah yang nyaris tidak tertolong. Dan parahnya, yang bisa jadi super heronya―selain Allah pemberi keajaiban―cuma aku. Kenapa harus aku? Aku enggak bisa. Karena sampai hari ini bahkan aku belum bisa menaklukkan diri sendiri. Ini menyedihkan.

Tuesday 16 July 2013

Dia Menangis

Seperti hari-hari sebelumnya, subuh ini pun kami bangun pukul empat pagi untuk sahur. Kali ini, lagi-lagi―untuk yang kedua kalinya―adikku yang laki-laki yang pertama terbangun. Aku bisa mendengar saat ia membangunkan Mamak, lalu Mamak menyaut dengan suara serak yang pelan. Alarm-ku belum bunyi jadi aku enggan untuk turut bangun, mungkin beberapa menit lagi.
            Setelah melakukan segala ritual sebelum makan sahur (seperti berbasuh dan menyiapkan makan), sekitar pukul 4.20 kami berempat―aku, Mamak, adik laki-laki dan perempaunku―menyantap hidangan sahur. Sahur kali ini sedikit telat. Seperti biasa juga, sambil mendengar ceramah dari radio HP, acara makan subuh ini diselingi pembicaraan yang tidak terlalu penting oleh adik-adikku, Mamak sibuk dengan nasi dan raket listriknya―sambil makan Mamak sesekali melayangkan raket itu ke udara dengan agak frustasi, rumah kami memang banyak nyamuk―sedangkan aku lebih banyak diam―kadang menyela Mamak yang heboh sendiri. Ceramah subuh ini mengenai Manusia yang hanya mengejar kehidupan dunia, Mamak mengangguk-angguk seperti sangat paham. Sekarang kami semua yang menyela mamak.
            Pukul 4.50 sirene imsyak terdengar, seluruh kegiatan makan dan minum berhenti. Terakhir aku melihat Mamak yang masih meniup air di gelas saat sirene berakhir, lalu mamak memutuskan tidak menghabiskan air yang masih panas itu. Kemudian satu-satu dari kami bergerak dengan kesibukan masing-masing.

Sunday 14 July 2013

Green Park

Alice membanting pintu di belakangnya dengan sengaja, meninggalkan kedua orang dewasa yang sedang bertengkar itu. Entah apa yang sedang mereka perdebatkan, ia hanya berusaha tidak peduli. Alice benci masalah orang dewasa, membuat ia membayangkan betapa mengerikannya jika nanti hari itu harus menimpanya juga. Menjadi seorang dewasa yang menyebalkan. Umur Alice masih bersekolah, tapi kehidupan sudah memperlakukannya seperti seseorang yang harus memikirkan masalah rumah tangga dan tagihan. Akhir-akhir ini Alice merasa terlalu banyak tahu tentang apa yang terjadi di kamar orangtuanya. Dan, tidak ada hari yang lebih buruk daripada itu.

Remaja itu melangkah memasuki taman komplek rumahnya, tidak akan ada orang dewasa yang saling berteriak di depan banyak anak-anak―setidaknya begitu pikir Alice. Terlihat plang kayu berwarna coklat tua bertuliskan Green Park dari kejauhan. Bagi Alice mendapati plang itu, jauh lebih menenangkan daripada melihat pagar rumahnya. Taman yang terletak di tengah-tengah komplek, di mana terdapat lapangan rumpuh hijau yang luas, pohon-pohon rindang yang mengelilingi, bangku-bangku panjang, wahana bermain, serta beberapa lampu taman. Tempat itu selalu terlihat hidup dengan segala benda mati yang ada di sana.

Alice memilih duduk sendirian di bangku sudut taman, di bawah pohon Trambesi yang teduh. Sebenarnya, sore itu ia tidak ingin terlihat terlalu menyedihkan, namun hanya bangku tersebutlah yang kosong. Tidak ada pilihan lain. Dari sana Alice dapat melihat taman itu sekarang dipenuhi gerombolan anak kecil yang berkejaran, bermain ayunan, jungkat-jungkit, seluncuran, dan lainnya, serta beberapa ibu yang sedang menemani anak mereka. Alice yakin tidak akan menemukan teman di sana. Tidak akan ada anak umur 12 tahun yang mau rebutan ayunan dengan anak-anak yang masih ingusan, tebaknya.

Buah dari Kekalahan (Misi Penyelamatan)

Aku kalah.
            Iya, untuk yang kesekian kalinya aku tersingkirkan, dinobatkan sebagai orang yang belum beruntung dalam pertempuran. Sebenarnya, aku sudah memprediksinya, karena sudah terlalu sering sepertinya. Tapi, ada dari dalam diri aku yang masih berharap, secuil saja, sekali-kali nasib itu bisa berubah. Diurutan terakhir pun juga tidak masalah, asal jangan kalah. Dan nasib tidak dapat dikompromi ternyata.
            Kali ini aku terdiam, meratapi apa yang terjadi sebenarnya, siapa yang salah sebenarnya. Maka aku kembali mundur. Membuka file-file lama di facebook, postingan-postingan ceritaku. Di sana duniaku berawal, di sana mimpi itu lahir, aku pulang ke kampung halaman. Likes dan coments pembaca yang pertama membuat aku cekikikan sendiri, dukungan mereka yang membuat aku terharu. Walau itu hanya dari segilintir orang, sekalipun dari orang yang tidak dikenal. Itu terlalu berharga untuk dilupakan, sayangnya… aku melakukannya.
            Aku terhenti, namun tidak benar-benar berakhir. Aku lupa ada pepatah yang mengatakan Tajam pisau karena diasah. Itu yang terjadi, aku seakan kehilangan sense of writing saat ingin memulainya lagi setelah telah lama tidak melakukangnya. Dan saat aku tetap mengusahakannya tulisan itu tetap jadi, namun ada yang berubah. Ada perasaan yang hilang saat aku kembali. Aku tidak tahu apa yang salah, rasanya tidak seperti dulu. Hal ini yang membuat aku terhenti lama, membuat saat aku ingin menulis namun tidak bisa melakukan apa-apa. I hate maself.

Saturday 13 July 2013

Untuk Ramadhan Mamak

Aku memperhatikan kedai mungil ini, beberapa tahun lalu bahkan belum terlindung oleh papan-papan tua seperti sekarang. Alhamdulillah, kedai mamak sekarang sudah ada kemajuan. Bahkan sudah diberi nama walau hanya ditulis pada papan kedai menggunakan cat, Warung Jadi. Sebuah do’a―semoga warung mamak menjadi seperti yang diharapkan―begitu definisi mamak. Dua tahun lalu, saat keluargaku baru pindah di komplek ini, Mamak membuka kedai kecil-kecilan di depan rumah kontrakan kami. Mamak berjualan sembako, kedainya sederhana dan tidak terlalu banyak barang yang dijual. Kedai mamak hanya berupa rak yang disusun di luar sehingga apabila malam tiba dan kedai akan ditutup, seluruh barang harus diangkut lagi ke dalam rumah. Kadang ada barang yang rusak karena sering dipindahkan. Syukur sekarang tidak seperti itu lagi.
            Langit semakin pudar, menyiapkan sore yang akan segera pulang. Aku duduk sendiri di kursi plastik yang sudah terkelupas di mana-mana, tempat dudukan untuk aku, adik-adikku, atau mamak berjaga kedai. Jalanan komplek sepi, hanya ada anak-anak yang sedang bermain atau pulang mengaji halulalang sesekali. Kadang mereka lewat sambil melirik jajanan yang tergantung di kedai, seperti tergiur, namun memutuskan tidak membelinya. Mungkin uang mereka sudah habis untuk jajan di tempat mengaji, atau mereka lebih memilih membeli gorengan di ujung gang komplek.
            Baru dua minggu aku di kampung ini, pasca liburan panjang semester genap. Tahun ini aku tidak mengambil semester pendek, jadi liburan kali ini bisa menjadi sangat puas atau malah kebosanan. Aku menyeruput minuman gelas kemasan rasa jeruk di tanganku, masih menikmati sore yang terasa lebih hening dan berbeda. Tentu saja berbeda dengan suasana sore di kota tempat aku berkuliah. Dari arah jalan komplek sayup-sayup terdengar percakapan dua orang ibu-ibu, kelamaan makin jelas namun aku tidak terlalu mengerti apa yang mereka bicarakan. Ibu-ibu itu berbicara memakai bahasa daerah dan aku tidak begitu menguasainya. Mereka hanya saling bercerita, namun terdengar seperti sedang bertengkar karena suara yang begitu mengelegar. Aku tersenyum simpul, begitu lah orang Batak.

Thursday 11 July 2013

Ramadhan’s Note

Alhamdulillah, ketemu Ramadhan tahun ini.
            Beberapa tahun lalu catatan Ramadhan gue masih ngisi buku Amaliyah, dikasih dari sekolah. Sekarang udah beda, udah enggak mesti terpaksa tarawih lagi demi itu buku. Kadang kangen juga masa-masa itu.
            Nah, tahun ini gue buat catatan Ramadhan juga tapi dengan tema yang beda. Lebih tepatnya sih, enggak nyambung. Akhir-akhir ini gue kepikiran sama kemampuan bahasa Inggris gue yang lemah, udah masuk status siaga malah. Gue mulai mikir kayaknya perlu banget memperbaiki hal tersebut. Secara bahasa Inggris itu penting. Makanya, berhubung liburan gue kali ini panjang banget, gue berniat mengisinya dengan belajar bahasa Inggris. Yay~
            Dan catatan Ramadhan ini dimulai dengan Tenses, karena bagi gue tenses adalah dasar dari segala dasar belajar bahasa inggris. Mundur jauh sih, tapi enggak pa-pa lah. Toh, gimana kita bisa menguasai yang sulit sedangkan yang mudah masih belepotan. Sebenarnya sih gue masih ingat tentang materi ini, cuma ada beberapa bagian yang gue kurang paham waktu gue pelajari di sekolahan. Contohnya, pada kalimat seperti apa saja setiap tenses itu digunain.
            So, semoga target gue buat Ramadhan tahun ini dapat tercapai. Enggak cuma target duniawi aja, tapi juga target buat ngejar akhirat nanti. Banyak-banyak beramal, banyak-banyak melakukan hal yang bermanfaat. Amiin.

Thursday 13 June 2013

Realita

Realita. Sebuah fenomena yang terjadi tanpa ada yang disembunyikan, tanpa ada yang dibohongi. Gambar-gambar yang diperlihatkan oleh orang-orang yang sayangnya jarang terlihat. Siapa mereka? Apa kita mengenalnya?

Merek adalah tokoh-tokoh realita yang kerapa berada di dekat kita. Namun mereka hanya bisa menatap, dan kita hanya mengabaikan dengan tidak sadar. Kadang mereka terluka, tapi akan lekas baik-baik saja. Karena mereka adalah tokoh realita, harus kuat dan terbiasa. Sebab di dalam realita tidak ada luka yang terlalu dalam, yang ada hanya luka yang terus melebar dan berubah kering.

Dunia ini begitu luas terbentang, namun bagi mereka kehidupan hanyalah cerita sempit yang tidak tidak berputar. Ingin rasanya menuntut pertanggungjawaban tentang teori “Kehidupan Seperti Roda”. Tapi kepada siapa? Apa orang-orang yang selalu berada di roda atas bisa memberi penangguhan? Orang-orang itu hanya bungkam, dan tokoh realita harus puas dengan menghirup asap-asap kendaraan yang orang-orang itu buang.

Kapan Menulis Tentang Cinta?

Ini masih randome note, tentu saja. Kali ini sebuah tanda Tanya, bukan lagi tentang sekelumit mimpi yang membuat galau isi kepala. Sebuah tanda Tanya yag muncul untuk memastikan bahwa aku masih normal dan belum gila. Tentang cinta?

Tunggu sebentar! Tentu tidak harus menerbitkan buku untuk dikatakan sebagai penulis. Aku suka menulis, dan catatan ini aku yang menulis. Jadi, tolong katakan bahwa aku seorang penulis. Ya, paling tidak untuk catatan-catatan random ini.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan materi-materi catatan random yang sebelumnya, juga tidak ada yang menyalahkan. Akan tetapi, agak terlihat aneh kalau tidak ada tentang cintanya. Bukan begitu? Aku tidak tahu. Entah siapa yang pernah mengatakan seperti itu. Seingatku tidak pernah (ada).

Bukan berarti juga aku ini tuna asmara, eh! Bukan seperti itu maksudku, ya, walau itu tidak sepenuhnya salah. Yang benar, aku pernah juga menulis tentang cinta tapi bukan catatan random seperti ini. Puisi.

Someday, I Will...

Suatu hari nanti, aku akan… aku akan…

Banyak hal yang ingin diraih, ditempuh, lalu dipecahkan, dan pada akhirnya yang terjadi hanya dilupakan. Aku, sesederhana itu? Kupikir tidak juga. Ada beberapa yang terlintas di otakku, selalu berjalan, kadang lambat, kadang cepat. Mereka yang menggerakkan aku sampai ke titik ini, menopang sekaligus menguatkan.

Lalu, tentu saja aku hanya bisa mengatakan―suatu hari nanti. Apa lagi? Cerita-ceria yang ingin kujamah masih bersemayam di sana, entah kami berjodoh. Mimpi-mimpi yang ingin kugenggam masih tertanam di sana, entah takdir itu ada. Suatu hari yang menggiurkan, suatu hari yang entah akan datang.

Setelah dipertimbangkan, tidak ada hal yang didapat dengan cuma-cuma. Di mana taruhannya?

Tuesday 4 June 2013

Mimpi yang Disimpan (Untuk Suatu Hari yang Tepat)

Seperti pertanyaan yang sering digalaukan para mahasiswa tingkat atas, “Mau wisuda tepat waktu, atau di waktu yang tepat?”, kira-kira begitu juga dengan suatu mimpi. Apa yang sangat kau inginkan tentu berharap cepat-cepat terealisasikan, bukan?

Ada salah satu potongan terjemahan dari ayat Al-Qur’an yang kira-kira begini artinya, “Belum tentu apa yang kamu pikir baik bagimu, itu adalah yang terbaik. Dan belum tentu apa yang kamu pikir buruk, akan buruk untukmu.” Yup, Allah Maha mengetahui segalanya. Tapi, manusia tetaplah manusia―yang tingkat keegoisannya terkadang melebihi level kelabilan anak sekolah. Dan untuk pencapaian sebuah mimpi, mungkin ada beberapa keegoisan yang telah terselip. Apa mimpi tidak harus disegerakan?

Aku kembali menggali kotak masa lalu, mencoba memastikan mimpi yang kutanam dulu masih ada di sana. Baik-baik saja. Dan ternyata, mimpi itu telah rusak. Mengapa? Apa karena sudah terlalu usang? Atau terlalu dalam ditaruh? Sudah terlalu lama kah mimpi itu di sana? Namun sampai sekarang aku juga tidak bisa apa-apa, aku belum bisa mengambilnya dari masa lalu. Mungkin aku yang kurang berusaha.

Thursday 23 May 2013

Pertemuan

Wednesday, May 22th 2013

 Sebuah pertemuan tidak terduga. Sebenarnya, aku ragu menyebutnya pertemuan. Kami tidak benar-benar saling menyapa, melihat saja tidak. Tapi, tidak mengapa. Aku akan tetap menyebutnya seperti itu, karena bagiku pertemuan dengannya begitu saja cukup. Bisa melihatnya dari jauh saja sudah cukup. Teryata ia masih hidup juga.

Aku sudah lupa kapan tepatnya terakhir aku melihatnya, benar-benar menatap wajahnya. Sampai-sampai aku berharap, bisa bertemu dengannya lagi. Terserah kapan pun itu. Setidaknya, aku bisa melihatnya sekali lagi di muka bumi ini. Dan kini, sudah… 5 tahun? Ya, sepertinya begitu.

Friday 17 May 2013

Suatu Hari

Sebuah ilusi
Seonggok masa tanpa daya
Berjalan dengan letih
Menunggu angan mengawang
Lalu pecah kesakitan

Suatu hari
Sebait sajak direnungkan
Bersama tetesan yang jatuh tanpa alasan
Seseorang mencari
Sebutir peluru pemecah kepala
Agar ia berlari
Agar ia berhenti
Dari mimpi yang merintih

Saturday 27 April 2013

Dear...

          Dear, kau yang sedang tersenyum seperti biasa…
          Sebenarnya aku ragu saat akan menulis surat balasan ini. Kau tahu? Aku tidak terbiasa melakukannya. Tapi… setelah dipikir-pikir, mungkin aku bisa mengataknnya melalui surat ini. Sesuatu yang ingin kusampaikan padamu, saat di bandara, namun aku melupakannya karena masalah kecil itu. Kau tahu aku sangat kerepotan hari itu. Kepulangan yang mendadak ditambah dengan passport-ku tertinggal di hotel. Aku benar-benar tidak bisa memikirkan hal yang lain. Dan… semoga surat ini bisa membantu.
          Aku mengingat hari di mana kita pertama kali bertemu. Aku pikir kau sangat terganggu dengan gumaman-tanpa-arahku sehingga kau harus menghampiriku dan menghentikannya. Aku terlalu penasaran dan cerewet tentang lukisan-lukisan menakjubkan yang tergantung di Galleria degli Uffizi sampai tidak menyadari bahwa ada kau yang sedang lancar menjawab pertanyaan dan pernyataanku. Lalu aku mengatakan sesuatu―yang aku lupa itu apa, dan kau tergelak karenanya. Saat aku menoleh, itu lah di mana aku menyadari ada yang lebih menarik minatku. Aku bertanya-tanya, apa aku pernah bertemu orang Rom seramah dirimu? Dan… apakah semua orang Roma akan tertawa seperti caramu melakukannya?
          Saat kita menghabiskan senja dengan perahu gondola melewati Ponte di Rialto, aku tidak menyangka kau akan membicarakan tentang cinta. Aku membenarkan ucapanmu, seberapa hebat kita merangkai kata, kita tetap tidak akan bisa mengungkapkan bagaimana itu cinta.  Mengapa jatuh cinta? Karena alasan-alasan itu akan terdengar konyol dan nyaris tidak masuk akal. Ya, terkadang kau memang benar.
          Tapi tidak tentang Risotto, aku benci makanan dengan rasa aneh itu! Kau tahu? Aku tidak akan mempercayakan soal makanan kepadamu, seperti aku mempercayakan perjalanan ke Roma-ku kepadamu. Walau aku sangat senang saat kau menyodorkan tawaran-tawaran yang menyenangkan itu. Dan tolong ingat! Lidah Indonesia-ku ini tidak akan pernah mau terbiasa dengan makanan kebangganmu itu. Jadi, jangan sekali-kali berani memaksaku memakannya lagi!
           Aku senang saat kau akhirnya mau mengantarku ke Verona, setelah aku berjanji tidak akan terlihat norak saat mengunjungi rumah Juliet yang megah itu. Aku melakukannya dengan baik, bukan? Kemudian saat kita kembali ingin menikmati hangatnya keindahan mengantar senja di sebuah perahu gondola. Venesia adalah tempat terbaiknya. Lalu kau mengajakku makan malam yang mengesankan di restoran Italia di dekat sungai. Tidakkah itu terlalu romantis untuk kita?
          Dan yang paling indah adalah saat kita berdansa. Aku tidak pernah bisa melakukannya dengan baik, kau juga ternyata. Kupikir pesta itu akan berakhir hanya dengan obrolan panjang antara aku, kau dan teman-temanmu saja. Namun saat musik-nya berubah menjadi Vivo Per Lei dari Andrea Bocelli ft. Judy Weiss, kau menoleh padaku terlalu cepat, dan aku menyadari. Kau melempar senyum menawanmu seperti biasa, dan aku hanya terdiam menikmati. Kau selalu mekukan itu dengan sempurna, membuat aku takut―jangan-jangan kau mengetahui bahwa senyummu itu sudah seperti mantra untukku.
          Katamu, lagu itu adalah salah satu lagu favoritmu dan ingin sekali berdansa dengan iringannya. Lalu, kau menarik tanganku dengan percaya diri, membuat aku bertambah takut. Setiba kita di tengah, kau berbisik, “Yang mungkin terjadi hanya lah kau menginjak kakiku, atau aku menginjak kakimu. Atau yang lebih buruk, kita menginjak kaki kita masing-masing. Jadi, tidak akan ada yang terganggu. Percayalah!” Aku bersumpah, itu adalah ucapan paling konyol yang pernah aku dengar. Namun aku tidak bisa menahan diriku untuk juga merasa tenang mendengarnya, sehingga aku bersedia. Saat kau menggenggam tanganku, saat mata kita saling bertemu. Yang kutahu, hanya ada tentang kita di sana.
          Sebuah perjalanan yang selalu ingin kuulang. Adakah aku kembali? Entah lah. Sekarang aku hanya ingin menanyakan ini padamu. Memastikan bahwa Roma bukan menjadi pilihan yang salah. Aku tidak yakin, namun kuharap kau bisa meyakinkannya untukku. Apapun itu, kali ini aku akan benar-benar mempercayaimu.
          Apakah aku jatuh cinta?
          Apakah kita jatuh cinta?
          Sebuah tanya
               Riany
          Ps: ini note aku buat untuk lomba nulis surat balasan untuk Roma (GagasMedia)