Langkah-langkah yang gelisah itu, terpantul pada
genangan bekas hujan, dalam mimpku tadi malam. Rasa-rasa sudah lama sekali
tidak mendengar percikan itu. Sejenak aku ingin berdiam, mencuri kehangatan
kenangan yang belakangan ini menggigil—entah karena apa. Mungkin karena rindu yang
tak jua bermuara, atau mungkin karena hati yang masih sama-sama jengah. Lalu,
seketika percikan tadi tak lagi dapat kudengar. Hanya resah yang tertinggal
dalam bias genangan. Menyusul pagi yang menghapus sisa-sisa semalam.
Ada di suatu siang, aku teringat ketika titk-titik
masa lalu mempertanyakan ujung jalan itu. Seakan sekumpulan prosa tengah
melempari bait demi baitnya, merontokkan setiap rima: tentang kita.
Mendeklarasikan bahwa mereka tak lagi punya makna. Kepada kata tercampakkan dan
terlupakan, mereka mulai belajar untuk tidak merasakan apa-apa. Sedang kita
hanya menatap datar. Bahkan lebih datar dari kehidupan kita sebelum ini. Tidak
mengingat apa-apa, dan tidak perlu mengenang apa-apa. Kini ujung jalan itu
tampak lebih jauh. Sejauh dua punggung yang saling berhadapan. Sejauh ‘kita’:
penghubung yang memisahkan.