Karena kita berbeda
Berdiri di tepian jurang nestapa
Karena kita terus bertanya
Di mana seharusnya ada asa?
Karena kita saling jatuh cinta
Dan semua seakan tak berdaya
***
Rifky memandangi pinggiran cangkir capucinno-nya yang baru datang sebentar,
lalu mendesah pelan. Aroma pekat minuman itu terkuar dari asap yang
mengepul-ngepul ke udara, sejenak seperti menyita perhatiannya.
Disentuhnya bibir cangkir itu tampak
enggan untuk segera meminumnya. The Cafe
terlihat lengang sore itu, meninggalkan kesan nyaman yang terpendam. Dengan
pandangan kosong Rifky mendapati pikirannya sedang melanglang buana, terdampar
pada pembicaraan dengan seseorang tadi malam.
“Ky?” Rifky terjaga dari lamunannya saat
jari-jari seorang gadis menyentuh jemarinya. Ia baru sadar panggilan tersebut
datang bukan dari visualisasi pikirannya itu. Ditatapnya gadis yang duduk di depannya,
Viola. Wajah Viola tersenyum, namun matanya terlihat agak cemas. Rifky
menyadari kesalahannya. Diliriknya capucinno
yang belum diteguk setetes pun, mencari tahu apakah asap masih
mengepul-ngepul dari sana. Uap itu terlihat mulai samar. Jadi, sudah berapa
lama ia melamun sebenarnya?
“Kok menung? Mau cerita?” Viola akhirnya
bertanya, mimik wajahnya sekilas terbaca. Rifky terdiam sesaat, jari lentik itu
sudah tidak terasa lagi. Rifky mencari kata-kata yang pas untuk memulai kata, tapi tidak
menemukannya juga. Ia memilih menyeruput capucinno-nya
sebelum benar-benar dingin seperti jalan otaknya.
“Gimana
siaran kamu tadi?” Rifky mengalihkan pembicaraan, ia lebih suka mendengar Viola yang bercerita daripada
mengeluarkan ceritanya sendiri.
Viola mengerjap beberapa kali, menyadari semuanya. Ia memilih lebih dulu
memainkan sedotan sebelum
meminum strawberry float-nya
barang sekejap. Rifky mengawasi itu semua, gerakan-gerakan kecil Viola yang ia
rekam dalam ingatannya. Bibir Viola baru
terbuka, namun matanya seakan sudah
bercerita.
“Unexpectable! Kamu
tahu Mita, kan? Itu... yang biasa nyiar
bareng aku. Tadi dia enggak masuk,
enggak tahu tuh kenapa. Yang bikin kesel…
Mita enggak kasih kabar ke aku atau
pun yang lain kalau dia bakal enggak masuk.
Kan, jadi ribet…
Orang-orang di kantor sampai kelimpungan nyari ganti
dadakan, mana waktunya udah mepet.
Darma yang biasa nge-cover-in acara masih
sakit...
“Kebetulan aja sih ada Selly. Selly itu
anak baru yang tugasnya bawain siaran acara siap aku, terpaksa narik dia,
deh... Yah, not bad
sih, cuma
rada canggung gitu tadi. Biasa lah anak baru…” Viola terdiam sebentar
menyadari ia sudah terlalu panjang berbicara dan ia butuh untuk menarik napas
sebentar. “Semoga pendengar enggak
kecewa aja, deh....” Lanjutnya,
hal yang ia khawatirkan adalah para pendengar
sejatinya tidak merasa terhibur olehnya.
“Kan baru sekali ini, Vi. Pendengar kamu enggak bakal kecewa, lah... bahkan
mungkin mereka enggak sadar kalau ada
yang beda. Kamu santai aja...”
Viola selalu bersedia kalau diminta
bercerita, mungkin karena itu ia bekerja di salah satu kantor Radio swasta.
Viola sangat mencintai pekerjaannya, ia pernah mengatakan ingin terus menjadi
penyiar sampai semua orang sudah bosan untuk mendengarnya lagi. Kata-kata yang
keluar dari bibir Viola nyaris seperti mengalir, saat berbicara semua gerakan
tubuh Viola seakan ikut berkisah. Rifky menyukai hal itu, menyukai semua
tentang Viola.
Rifky hanya bergumam beberapa kali,
masih menikmati jernihnya suara Viola yang terus terdengar. Rifky tahu, ia tidak
akan pernah bosan
untuk menjadi pendengar setia gadis itu, pemerhati gadis yang ia kenal empat
tahun lalu tersebut. Sampai kapan pun. Dan dalam diam Rifky berharap satu hal, dapat mendengar suara gadis itu
di sepanjang hidupnya nanti.
“Oh, iya... aku udah kasih tahu kamu belum, kalau tahun baru ini aku bakal
ngerayain di Malang bareng keluarga
di sana?”
“Tuh,
barusan kamu kasih tahu...”
Viola kontan nyengir
konyol karena keseringan lupa. “Kamu enggak
pa-pa kan, aku tinggal sendiri? Hehe...”
“Hmm...
Gimana, yaaa? Mungkin kalau ada cewek
yang nemenim sih, enggak masalah...”
“Mama kamu? Boleh aja,
kok...” Viola memeletkan lidah, Rifky terkekeh
mengulum tawa. Suasana seperti ini yang biasanya membuat mereka tenang. Yang mampu membunuh waktu yang tersisa. Meyakinkan
keduanya bahwa masih ada alasan untuk bersama.
Rifky sudah hampir melupakan beban
pikiran yang tadi ia bawa ke Cafe,
sampai suara Viola selanjutnya mengubah duduknya.
“Ky... kamu yakin enggak mau cerita apa-apa sebelum aku pergi ke Malang?
Nanti masalahnya makin larut, lho…
Kita kan, udah
pernah janji bakal menyelesaikan masalah sama-sama...” Viola tidak tahu sejak kapan ia merasa segala beban pemuda
itu juga menjadi bebannya.
Rifky terduduk resah di kursinya, mengerti
pada akhirnya ini akan tiba. Mengungkapkan satu masalah yang sebenarnya sudah
ada bersama kebersamaan mereka. Seperti sebuah lubang yang dapat membuat mereka
jatuh kapan saja. Rifky menumpukkan kedua siku tangannya di meja, memuntahkan
keputusannya.
“Tadi malam... Mama nanyain tentang calon
pendamping hidup aku lagi, Vi...”
Untuk sepatah kalimat itu ternyata Rifky kembali kehilangan kata, ia yakin
tidak benar-benar bisa menyampaikannya
kepada gadis di hadapannya sekarang. Melukai gadis itu… lagi.
Kalimat Rifky layaknya sepotong
mantra, menyihir keduanya menjadi saling tidak bersuara. Rifky dan Viola
membiarkan udara hampa yang mengisi sebentar, membiarkan hanya senyap yang terkuar. Keduanya menyiapkan.
Viola
masih menunggu Rifky mengeluarkan penjelasan, hatinya sebenarnya juga tidak
tenang. Ada sedikit sesal mengapa tadi ia harus mendesak
Rifky. Ia tahu penjelasan itu mungkin akan
terdengar menyesakkan. Pahit. Dan itu
selalu membuatnya takut. Viola terhenyak,
sepertinya pemuda itu memilih kembali menelan cerita.
Masih sunyi, sampai sebuah dentingan suara
lonceng dari pintu Cafe berbunyi menandakan
ada yang baru lewat sekaligus
menyadarkan mereka. Mau tidak mau memaksa Rifky dan Viola mengingat bahwa mereka
masih berada di tempat yang sama.
“Terus…
kamu jawab apa?” Viola bertanya terlalu hati-hati,
karena sejujurnya ia tidak ingin tahu jawabannya.
Rifky menarik napas dalam-dalam lalu menjawab dengan pelan.
“Aku bilang belum ada yang cocok aja, belum ada yang sesuai dengan tipe aku, lah... toh aku
juga belum terlalu tua. Aku rasa Mama juga udah hafal sama jawabannya. Tapi... enggak tahu kenapa, semalam kayaknya Mama lebih cerewet dari sebelumnya, malah nyaris was-was...” Dan sekarang Rifky juga ikut was-was.
Kembali diam, dan kembali lonceng
pintu berbunyi lagi. Membebaskan waktu untuk membawa mereka pergi kepada takdir
yang seharusnya.
***
Viola menekan bel rumah itu beberapa
kali dengan agak kencang―karena melakukannya dengan gugup. Rumah itu tampak
asri dengan arsitektur minimalis. Viola pernah beberapa kali melewatinya, namun baru kali ini ia akan
benar-benar masuk―itu pun jika dibukakan pintu dan dipersilakan masuk. Kenyataanya
Viola ingin sekali memasuki rumah itu, mengetahui isi di dalamnya. Namun,
selalu ada alasan yang membuatnya berpikir dua kali untuk melakukannya. Karena
itu tadi ia sempat ragu untuk mendatangi rumah ini, sayangnya ia harus
menyerahkan berkas-berkas milik Rifky sebelum berangkat ke Malang. Lagi-lagi
karena kelupaan.
Ting Tong!
“Pemisiii!”
Selang beberapa menit pintu lebar itu terbuka,
menampakkan seorang wanita setengah baya berkerudung warna nila dengan wajah
berkerut bingung. Mamanya Rifky, tebak Viola.
“Se-selamat siang, Bu...” sapa Viola
canggung. Sepanjang ia bersama Rifky
baru kali ini Viola berhadapan langsung dengan mama Rifky.
“Selamat siang. Maaf... cari siapa,
ya?” Mama Rifky belum lepas dari mimik wajah sebelumnya.
“Saya Viola, Bu... temannya Rifky.
Saya mau menyerahkan ini...” Viola menyerahkan suatu map berwarna merah. “ Kemarin
tertinggal sama saya,” lanjutnya to
the point.
“Ooh… tapi Iky belum pulang, katanya ada
sur-vei atau apa gitu… ibu kurang
ngerti.”
“Iya,
Bu… makanya berkasnya saya antar ke rumah.”
Mama Rifky mulai paham dan sempat
tersenyum maklum kepada Viola. Tadi ia hanya ragu―jarang seorang gadis datang
ke rumah, takutnya gadis yang
tersesat. Mama Rifky kembali memperhatikan tamunya itu lebih intens. ‘Iky punya teman cantik kok, enggak pernah mau
ngenalin?’ pikirnya. Saat baru ingat untuk mempersilakan
Viola masuk, beliau tiba-tiba menunda
niatnya. Bukan apa-apa, mama Rifky hanya sedang memastikan penglihatannya
ketika menatap bandul dari kalung
gadis tersebut, beliau sedikit terpana.
Viola mengikuti arah mata mama Rifky
dengan bingung, lalu reflek menyembunyikannya bandul kalungnya ke balik baju. Bandul kalung yang
berbentuk simbol kepercayaannya itu mencuat. Ada sesal yang menggerogoti hati
Viola setelahnya. Entah mengapa
hubungan ini seakan selalu mengiringnya kepada penyesalan.
“Kamu... teman sekantor Iky, ya?”
“Eum...
Bukan, Bu. Saya... teman lama
Rifky, teman sewaktu kuliah.”
Sedikit gelagapan, Viola tersenyum sopan kepada mama Rifky. Ia melihat sorot
mata itu, sorot mata yang tenang dan
dalam. Kini Viola tahu dari mana sinar mata Rifky berasal.
Mama
Rifky baru ingin membuka mulutnya untuk meneruskan niat mempersilakan tamunya
masuk saat…
“Ya
sudah, Bu... saya cuma mau ngasih ini. Tolong sampaikan ya...”
“Ee, iya...nanti Ibu sampaikan,” jawab beliau reflek.
“Kalau gitu saya pamit pulang saja, Bu...”
“Lho...
kok buru-buru? Enggak masuk dulu?”
Mama Rifky jadi merasa bersalah karena tadi sempat
menunda niatnya. Bagaimanapun, gadis itu datang untuk
keperluan membantu.
“Enggak
deh Bu... kebetulan saya
memang lagi buru-buru.” Walau tadi ingin, Viola memilih menolaknya. Tiba-tiba
ia jadi takut kecewa. Viola
melangkah mundur bersiap
untuk beranjak dari sana.
“Saya
pulang dulu, Bu. Permisi...”
Viola akhirnya melangkah panjang, memutuskan untuk kembali seperti
berpura-pura. Meski ia tidak tahu harus sampai
kapan membiarkan harapan-harapannya terus mengawang
di pelukan angan.
***
Rifky terdiam menatap layar iPhone-nya, masih menimbang apa yang
akan ia tulis di sana. Dibacanya sekali lagi pesan singkat dari Viola yang
sudah masuk dari tadi.
Sayaaang
jemput aku ya?? Aku kangen nyiar jadi pulang duluan :D
Di bandara jam
3 sore ini, see yaaa
*ps: kangen kamu juga kok :p
Sender: Viola +628137345XXXX
Received: 01:16:48pm
Today
Hentakan
sepatu yang beradu dengan lantai tangga mengagetkan Rifky, mamanya hampir
sampai di dekatnya
yang berdiri di ujung tangga.
“Lho
Ky, kok masih
bengong di sini? Mobilnya sudah dipanaskan?”
“Udah,
Ma...” Rifky menjawab
ogah-ogahan.
“Ya sudah kalau gitu kita
berangkat sekarang, yuk!
Kasihan nanti Rere nunggu lama.”
Ditariknya lengan Rifky agar segera beranjak. Mama tampak begitu antusias walau Rifky terlihat sebaliknya.
Rifky merasa langkahnya berat, seakan seluruh badannya menjadi beban
yang sangat mengganggu ketika ia
bergerak. Ditambah ia harus mengetik balasan
pesan singkat itu.
Aku meeting bareng bos vi, maaf ya?
Besok aku jemput kamu di kantor, miss u too...
To:
Viola +628137345XXXX
Sent: 02:03:59pm
Today
***
Saat kita kehilangan pegangan
Saat kita menyerah pada harapan
Kita mengerti, berpura-pura itu
melelahkan
Dan pengkhianatan bukanlah jalan
Maka kini kita memilih melepaskan
Karena tak ada lagi alasan untuk
mempertahankan
***
Jazz itu sudah berhenti sejak beberapa
menit yang lalu di depan sebuah pagar bercat coklat tua. Namun belum ada yang
terjadi setelah mesin mobil dimatikan sejak beberapa menit yang lalu. Kedua
penumpangnya sibuk menata hatinya
masing-masing.
“Semua…
bakal baik-baik aja, kan?”
Viola
benar-benar ingin mengatakan sesuatu untuk menenangkan pemuda yang bertanya itu,
namun ia bahkan kesusahan menemukan suaranya sendiri. Entah kemana perginya
celotehan panjang seperti biasa itu. Viola pun ragu… apa ia bisa menjawab
pertanyaan itu sedang ia juga menanyakannya juga?
“Mungkin…
ini enggak seburuk yang kita
bayangkan.” Viola merasa suaranya jauh sekali, “Mungkin semua akan baik-baik aja…”
Rifky
meremas steer mobilnya kuat-kuat,
merasakan buku-buku jarinya memucat dan dingin. Baru kali ini ia tidak bisa
berbuat apa-apa untuk memperjuangkan yang diinginkannya, walau itu adalah hal
yang paling diinginkannya di dunia ini. Dan itu membuat Rifky membenci dirinya
sendiri.
Rifky
terkesiap saat tiba-tiba tangan Viola mengusap tangan kirinya, perlahan pegangannya
pada steer mengendur. Sentuhan itu
selalu terasa lembut dan hangat. Rifky bergeming,
tidak bisa membayangkan jika ini yang terakhir. Hari ini yang terakhir?
“Makasih buat semuanya… makasih karena kamu udah mau bertahan sejauh ini sama aku.” Viola sadar, kali ini ia
tidak mampu menggantikan tangis yang ditahan dengan seulas senyum seperti
sebelum-sebelumnya. Itu hanya akan menjadi usaha terakhirnya yang sia-sia.
Rifky
menatap Viola lekat-lekat, mendapati di mata gadis itu sudah menggenang air
yang siap terjun kapan saja. Dan ia tidak tahu kapan air mata itu akan berhenti
nantinya. Apa ia masih bisa menghapusnya untuk gadis itu? Apa ia masih bisa
melihat gadis itu di hidupnya? Rifky sungguh tidak ingin ini menjadi yang
terakhir.
***
Gimana kabar kamu, vi?
To: Viola +628137345XXXX
Sent: 03:03:29pm
19-02-2013
Viola… kamu sibuk? Kita bisa ketemu
ga?
Makan siang?
Sent: 11:41:23am
22-02-2013
Kamu dimana, vi? Kok gak ada kabar??
To: Viola +628137345XXXX
Sent: 11:12:59am
26-02-2013
Vi, kamu baik2 aja kan??
Aku harap kamu baik2 aja, kita akan
baik2 aja…
Please kasih kabar ke aku vi…
To: Viola +628137345XXXX
Sent: 08:09:32pm
01-03-2013
Viola???
To: Viola +628137345XXXX
Sent: 08:09:32pm
04-03-2013
***
“Halo? Vi?”
“Iya…”
“Kamu kemana aja? Kenapa…”
“Aku baik-baik aja, Ky…”
“Syukur deh, kalau gitu. Dari kemarin-kemarin
kamu enggak bisa dihubungi, Vi…”
“Maaf
baru ngabarin kamu sekarang. Aku… pindah ke Malang, Ky…”
“Apa? Malang?”
“Iya, minggu lalu…”
“Kenapa?”
“Enggak pa-pa…”
“Viola?”
“Aku enggak pa-pa, Ky…”
“Maaf…”
“Gak perlu minta maaf, Ky… Aku pikir
mungkin kayak gini jauh lebih baik…”
“Tapi kenapa harus pindah, Vi? Aku rasa
ini bukan jalan keluar…”
“Karena aku enggak punya alasan lagi untuk bertahan di
sana…”
“Seburuk itu, Vi?”
“Dulu… kita udah nyoba berjalan di
jalan yang sama, walaupun kita tahu tujuan kita beda. Kita berbeda, Ky… dan sekarang
kita ngerti kalau cara itu enggak bakal berhasil. Jadi, aku cuma pengen
ngelupain semuanya, memulainya dari awal lagi…”
“Ini lebih buruk dari yang aku
bayangkan, Vi…”
END