Saturday 27 April 2013

Dear...

          Dear, kau yang sedang tersenyum seperti biasa…
          Sebenarnya aku ragu saat akan menulis surat balasan ini. Kau tahu? Aku tidak terbiasa melakukannya. Tapi… setelah dipikir-pikir, mungkin aku bisa mengataknnya melalui surat ini. Sesuatu yang ingin kusampaikan padamu, saat di bandara, namun aku melupakannya karena masalah kecil itu. Kau tahu aku sangat kerepotan hari itu. Kepulangan yang mendadak ditambah dengan passport-ku tertinggal di hotel. Aku benar-benar tidak bisa memikirkan hal yang lain. Dan… semoga surat ini bisa membantu.
          Aku mengingat hari di mana kita pertama kali bertemu. Aku pikir kau sangat terganggu dengan gumaman-tanpa-arahku sehingga kau harus menghampiriku dan menghentikannya. Aku terlalu penasaran dan cerewet tentang lukisan-lukisan menakjubkan yang tergantung di Galleria degli Uffizi sampai tidak menyadari bahwa ada kau yang sedang lancar menjawab pertanyaan dan pernyataanku. Lalu aku mengatakan sesuatu―yang aku lupa itu apa, dan kau tergelak karenanya. Saat aku menoleh, itu lah di mana aku menyadari ada yang lebih menarik minatku. Aku bertanya-tanya, apa aku pernah bertemu orang Rom seramah dirimu? Dan… apakah semua orang Roma akan tertawa seperti caramu melakukannya?
          Saat kita menghabiskan senja dengan perahu gondola melewati Ponte di Rialto, aku tidak menyangka kau akan membicarakan tentang cinta. Aku membenarkan ucapanmu, seberapa hebat kita merangkai kata, kita tetap tidak akan bisa mengungkapkan bagaimana itu cinta.  Mengapa jatuh cinta? Karena alasan-alasan itu akan terdengar konyol dan nyaris tidak masuk akal. Ya, terkadang kau memang benar.
          Tapi tidak tentang Risotto, aku benci makanan dengan rasa aneh itu! Kau tahu? Aku tidak akan mempercayakan soal makanan kepadamu, seperti aku mempercayakan perjalanan ke Roma-ku kepadamu. Walau aku sangat senang saat kau menyodorkan tawaran-tawaran yang menyenangkan itu. Dan tolong ingat! Lidah Indonesia-ku ini tidak akan pernah mau terbiasa dengan makanan kebangganmu itu. Jadi, jangan sekali-kali berani memaksaku memakannya lagi!
           Aku senang saat kau akhirnya mau mengantarku ke Verona, setelah aku berjanji tidak akan terlihat norak saat mengunjungi rumah Juliet yang megah itu. Aku melakukannya dengan baik, bukan? Kemudian saat kita kembali ingin menikmati hangatnya keindahan mengantar senja di sebuah perahu gondola. Venesia adalah tempat terbaiknya. Lalu kau mengajakku makan malam yang mengesankan di restoran Italia di dekat sungai. Tidakkah itu terlalu romantis untuk kita?
          Dan yang paling indah adalah saat kita berdansa. Aku tidak pernah bisa melakukannya dengan baik, kau juga ternyata. Kupikir pesta itu akan berakhir hanya dengan obrolan panjang antara aku, kau dan teman-temanmu saja. Namun saat musik-nya berubah menjadi Vivo Per Lei dari Andrea Bocelli ft. Judy Weiss, kau menoleh padaku terlalu cepat, dan aku menyadari. Kau melempar senyum menawanmu seperti biasa, dan aku hanya terdiam menikmati. Kau selalu mekukan itu dengan sempurna, membuat aku takut―jangan-jangan kau mengetahui bahwa senyummu itu sudah seperti mantra untukku.
          Katamu, lagu itu adalah salah satu lagu favoritmu dan ingin sekali berdansa dengan iringannya. Lalu, kau menarik tanganku dengan percaya diri, membuat aku bertambah takut. Setiba kita di tengah, kau berbisik, “Yang mungkin terjadi hanya lah kau menginjak kakiku, atau aku menginjak kakimu. Atau yang lebih buruk, kita menginjak kaki kita masing-masing. Jadi, tidak akan ada yang terganggu. Percayalah!” Aku bersumpah, itu adalah ucapan paling konyol yang pernah aku dengar. Namun aku tidak bisa menahan diriku untuk juga merasa tenang mendengarnya, sehingga aku bersedia. Saat kau menggenggam tanganku, saat mata kita saling bertemu. Yang kutahu, hanya ada tentang kita di sana.
          Sebuah perjalanan yang selalu ingin kuulang. Adakah aku kembali? Entah lah. Sekarang aku hanya ingin menanyakan ini padamu. Memastikan bahwa Roma bukan menjadi pilihan yang salah. Aku tidak yakin, namun kuharap kau bisa meyakinkannya untukku. Apapun itu, kali ini aku akan benar-benar mempercayaimu.
          Apakah aku jatuh cinta?
          Apakah kita jatuh cinta?
          Sebuah tanya
               Riany
          Ps: ini note aku buat untuk lomba nulis surat balasan untuk Roma (GagasMedia)

Thursday 18 April 2013

Kemudian Menghilang

Hari ini kita kembali
 Menyapa seonggok dosa hina
Menilik butiran kosong di kepala
Nyaris peduli
Namun layaknya tidak mengerti

Seperti hari-hari kemarin
Saat kita merangkai dengan sempurna
Lalu menghancurkan tanpa sisa pula
Nyaris peduli
Namun layakya tidak mengerti

Tuesday 16 April 2013

Horror is… today!

Bukan. Bukan… aku bukan anak kelas 3 SMA yang kesel lihat barcode-barcode di soal UN. Yang pengen banget nge-bom yang buat soal karena udah bikin 20 paket. Itu sih derita mereka, eh!

Hari ini horror banget! How come?
Tadi, tepat tanggal 15 April 2013 (boam itu ulang tahun siapa) aku harus menghadapi UTS (Ujian Tengah Semester) dengan jam yang berturut-turut. Dari jam 1 siang sampai jam 6 sore. Imagine! Sebenarnya enggak bakal serem-serem amat kalau yang diujiankan bukan Akuntansi Keuangan Lanjutan yang dilanjutkan dengan Manajemen Investasi dan Portofolio. Hfft. Itu dua matakuliah hantu pake digabungan dalam sehari segala. Susah sumpaaaahh~
Today is… mon(ster)day!
Mulai dari bangun tidur, subuh, sekitar jam 4 lebih 25 menit. Yeah, it’s Monday, and time to… Sampai adzan subuh dan melakukan segala macam aku enggak tidur lagi. Memang udah rencana mau lanjut belajar. Jam 7an lebih aku sempaitn buka lepy, update twitter. Setelah disconnect aku buat playlist di lepy biar enggak sepi. Ujung-ujungnya aku mulai belajar jam 8 gitu.

Buku yang dibuka AKL berhubung itu ujian pertama dan masih ada materi yang belum aku kuasai. Dan waktu terus berjalan bersamaan dengan aku yang sedang sibuk dengan likuidasi bertahap dan konsolidasi. Sumpah ya, materi ini ribet baanget. Kayaknya karena aku kurang perhatiin waktu di kelas. Akhirnya batas kesanggupan aku limit di jam 10an. Ngantuk geeeenng ToT Aku udah enggak mau belajar lagi, boam ah. Padahal aku belum buka Mipo sama sekali hari ini.

 Kira-kira jam 1 lebih 20 menit UTS AKL dimulai, biasa aja sih… feeling aku sih bakal baik-baik aja sama AKL. Dan ternyata, emang baik-baik aja. Yang bermasalah malah AC di ruangan itu ga hidup. Mampus! Gegara itu, 1 menit pertama aku masih sibuk ngipas-ngipas pake kertas. Hari ini Pekanbaru panas banget, gillllaaaaa…

 Kalau lagi ujian waktu emang enggak kerasa. Tiba-tiba aja Pak dosennya bilang waktu tinggal 30 menit lagi. Mampus lagi! Selanjutnya aku enggak yakin itu bisa selesai dalam waktu 15 menit. At least… waktu Pak dosen nyuruh ngumpul karena waktu udah berakhir, aku ambil langkah akhir. Insting~

Insting aja kalau semua saldo terakhir itu bakal balance. Enggak pakai dihitung lagi. AKL selesai jam 3. Fiuhhh~

 Lanjut Mipo, tenyata ujiannya openbook. Thanksssss god J

 Tapi sintingnya soal Mipo malah lebih horror dari pada AKL. Aku enggak ngerti kenapa itu soal saham ribet amat. Aku yang pada dasarnya belajar Mipo niat-enggak-niat, walau udah openbook juga tetap kesusahan. Enggak menguasai materi ditambah waktu mepet. Alhasil UTS Mipo selesai dengan tidak selesai. -_-
Jam 6 sore aku keluar kelas dengan langkah gontai plus tangan lemes yang nyaris keriting.
Dear today, goodbye~ :/
         

Friday 12 April 2013

Rain Fall


Thursday 11th April 2013
Missing them! When there's Rain Fall was fall~

Beberapa tahun yang lalu, saat kita menyadari begitu banyak hujan yang turun. Hujan-hujan itu, ketika cerita kita lah yang sedang diiringi. Ternyata.

Jalanan yang keras dan panas. Matahari yang terik. Angin dingin. Sunyi. Lalu tertawa. Kadang menangis. Dalam nyanyian. Malam yang hitam. Bintang. Harapan.
Entah kapan semua itu menjadi satu. Satu cerita dalam suatu masa yang telah terlewatkan dan hampir terlupakan. Harapan? Di mana sebenarnya harapan? Apa?

Morning~



Wednesday 10thApril 2013
Ketika matahari bersedia hinggap lagi. Selamat pagi!
          Bangun dengan bermalas-malasan. Pernahkah kau hitung seberapa tingkat kemalasan untuk bangun pagi?
          Aku ragu kau peduli.
Dan aku kehilangan pesona itu
Entah ke mana
Di mana?
Dengan langkah-langkah kecil
Sebuah senyum sederhana
Saat aku menyapa
Saat aku benar-benar merasa
Butuh pengertian, kesabaran, dan… kehilangan
Untuk sungguh-sungguh menerpa pagi

Friday 5 April 2013

Sampai Jumpa di Batas Esok


Apa yang kau pikirkan tentang hari esok?
 Pagi yang cerah? Sarapan yang menyenangkan? Mendung pagi? Bangun kesiangan? Menghabiskan waktu bersama teman? Games? Bermalas-malasan? Masa lalu? Kejutan? Stuck? Atau, tidak pernah benar-benar memikirkannya?

 Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di hari esok. Kadang, walau tidak pernah tahu, aku kerap merasa esok akan baik-baik saja. Berharap esok masih ada dan hadir dengan baik-baik saja. Tidak terpikir, untuk esok, bisa saja aku tidak bisa berharap lagi. Sama sekali.

 Terlalu banyak waktu yang terpakai, terbuang, lalu tersia-siakan. Sesaat aku teringat ke belakang, mendapati diri tidak rela atas waktu yang mengambil ‘waktu’. Lalu tidak melakukan apa-apa. Banyak hal yang aku pikirkan, namun dengan sadar hanya membiarkannya menguap begitu saja. Meninggalkan jejak yang dipertanyakan.

My (Random) Twitter Postsss



          Tuesday 26th March 2013
Sudah kukatakan, berharap itu melelahkan, bukan?
          Setiap hari hanya menunggu, apa itu tidak telalu konyol?
Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Atau, kau sudah tidak menggunakan otakmu untuk berpikir?
          Harusnya kau mengejar masa depanmu! Bukan lagi menunggu yang sudah lalu!
Sudahlah! Jangan coba membuat dirimu lebih menyedihkan lagi!
          Jadi, mulai dari sekarang, coba berpikir untuk mengganti kebiasaan bodohmu itu!
Sekarang, apa yang terjadi padamu?
          Mengapa kau tidak mempedulikan apa yang ada di hadapanmu? Hei, sadarlah!
Kau malah… Oh, astaga! Kau bahkan tidak membiarkan dirimu mendapat kebahagiaan. Apa yang salah sebenarnya?
          Ini yang namanya menjemput derita. Kau tahu?
Apa yang harus kukatakan? Turut berduka? Yang benar saja!
          Cobalah kau berpikir lagi! Semua belum terlambat. Percayalah!
Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Aku yakin itu.
          Aku harap kau akan baik-baik saja. Kau bisa baik-baik saja.
Lihatlah hari esok! Kau akan terkejut jika kau benar-benar melihatnya.
          Wednesday 27th March 2013
Sekarang apa?
          Oh, tentu saja sekarang masih tentangmu.
Ah, kau sedang jatuh cinta rupanya. Baiklah.
          Oh, berhentilah tersenyum seperti itu! Kau membuatku geli.
Jadi, coba ceritakan apa yang kau rasakan sekarang?
          Jatuh cinta itu berbahaya. Kau tahu, bukan?
Kau bahkan tidak bisa menghindar. Bukankah itu mengerikan?
          Aku tidak bisa apa-apa, itu urusanmu. Kau cukup berhati-hati saja.
Dan aku bertanya-tanya, apa kau merasa bahagia?
          Apa kau tidak merasa ada yang salah? Hatimu, mungkin?
Aku tahu kau kesusahan. Jatuh cinta memang menyusahkan.

The Reason



Karena kita berbeda
Berdiri di tepian jurang nestapa
Karena kita terus bertanya
Di mana seharusnya ada asa?
Karena kita saling jatuh cinta
Dan semua seakan tak berdaya
***
          Rifky memandangi pinggiran cangkir capucinno-nya yang baru datang sebentar, lalu mendesah pelan. Aroma pekat minuman itu terkuar dari asap yang mengepul-ngepul ke udara, sejenak seperti menyita perhatiannya. Disentuhnya  bibir cangkir itu tampak enggan untuk segera meminumnya. The Cafe terlihat lengang sore itu, meninggalkan kesan nyaman yang terpendam. Dengan pandangan kosong Rifky mendapati pikirannya sedang melanglang buana, terdampar pada pembicaraan dengan seseorang tadi malam.
          “Ky?” Rifky terjaga dari lamunannya saat jari-jari seorang gadis menyentuh jemarinya. Ia baru sadar panggilan tersebut datang bukan dari visualisasi pikirannya itu. Ditatapnya gadis yang duduk di depannya, Viola. Wajah Viola tersenyum, namun matanya terlihat agak cemas. Rifky menyadari kesalahannya. Diliriknya capucinno yang belum diteguk setetes pun, mencari tahu apakah asap masih mengepul-ngepul dari sana. Uap itu terlihat mulai samar. Jadi, sudah berapa lama ia melamun sebenarnya?
          “Kok menung? Mau cerita?” Viola akhirnya bertanya, mimik wajahnya sekilas terbaca. Rifky terdiam sesaat, jari lentik itu sudah tidak terasa lagi. Rifky mencari kata-kata yang pas untuk memulai kata, tapi tidak menemukannya juga. Ia memilih menyeruput capucinno­-nya sebelum benar-benar dingin seperti jalan otaknya.
          Gimana siaran kamu tadi?” Rifky mengalihkan pembicaraan, ia lebih suka mendengar Viola yang bercerita daripada mengeluarkan ceritanya sendiri.
          Viola mengerjap beberapa kali, menyadari semuanya. Ia memilih lebih dulu memainkan sedotan sebelum meminum strawberry float-nya barang sekejap. Rifky mengawasi itu semua, gerakan-gerakan kecil Viola yang ia rekam dalam ingatannya. Bibir  Viola baru terbuka, namun matanya seakan sudah bercerita.
          Unexpectable! Kamu tahu Mita, kan? Itu... yang biasa nyiar bareng aku. Tadi dia enggak masuk, enggak tahu tuh kenapa. Yang bikin kesel Mita enggak kasih kabar ke aku atau pun yang lain kalau dia bakal enggak masuk. Kan, jadi ribet… Orang-orang di kantor sampai kelimpungan nyari ganti dadakan, mana waktunya udah mepet. Darma yang biasa nge-cover-in acara masih sakit...
          “Kebetulan aja sih ada Selly. Selly itu anak baru yang tugasnya bawain siaran acara siap aku, terpaksa narik dia, deh... Yah, not bad sih, cuma rada canggung gitu tadi. Biasa lah anak baru…” Viola terdiam sebentar menyadari ia sudah terlalu panjang berbicara dan ia butuh untuk menarik napas sebentar. “Semoga pendengar enggak kecewa aja, deh....” Lanjutnya, hal yang ia khawatirkan adalah para pendengar sejatinya tidak merasa terhibur olehnya.
          “Kan baru sekali ini, Vi. Pendengar kamu enggak bakal kecewa, lah... bahkan mungkin mereka enggak sadar kalau ada yang beda. Kamu santai aja...”
          Viola selalu bersedia kalau diminta bercerita, mungkin karena itu ia bekerja di salah satu kantor Radio swasta. Viola sangat mencintai pekerjaannya, ia pernah mengatakan ingin terus menjadi penyiar sampai semua orang sudah bosan untuk mendengarnya lagi. Kata-kata yang keluar dari bibir Viola nyaris seperti mengalir, saat berbicara semua gerakan tubuh Viola seakan ikut berkisah. Rifky menyukai hal itu, menyukai semua tentang Viola.
          Rifky hanya bergumam beberapa kali, masih menikmati jernihnya suara Viola yang terus terdengar. Rifky tahu, ia tidak akan pernah bosan untuk menjadi pendengar setia gadis itu, pemerhati gadis yang ia kenal empat tahun lalu tersebut. Sampai kapan pun. Dan dalam diam Rifky berharap satu hal, dapat mendengar suara gadis itu di sepanjang hidupnya nanti.
          “Oh, iya... aku udah kasih tahu kamu belum, kalau tahun baru ini aku bakal ngerayain di Malang bareng keluarga di sana?”
          Tuh, barusan kamu kasih tahu...”
          Viola kontan nyengir konyol karena keseringan lupa. “Kamu enggak pa-pa kan, aku tinggal sendiri? Hehe...”
          Hmm... Gimana, yaaa? Mungkin kalau ada cewek yang nemenim sih, enggak masalah...”
          “Mama kamu? Boleh aja, kok...” Viola memeletkan lidah, Rifky terkekeh mengulum tawa. Suasana seperti ini yang biasanya membuat mereka tenang. Yang mampu membunuh waktu yang tersisa. Meyakinkan keduanya bahwa masih ada alasan untuk bersama.
          Rifky sudah hampir melupakan beban pikiran yang tadi ia bawa ke Cafe, sampai suara Viola selanjutnya mengubah duduknya.
“Ky... kamu yakin enggak mau cerita apa-apa sebelum aku pergi ke Malang? Nanti masalahnya makin larut, lho… Kita kan, udah pernah janji bakal menyelesaikan masalah sama-sama...” Viola tidak tahu sejak kapan ia merasa segala beban pemuda itu juga menjadi bebannya.
          Rifky terduduk resah di kursinya, mengerti pada akhirnya ini akan tiba. Mengungkapkan satu masalah yang sebenarnya sudah ada bersama kebersamaan mereka. Seperti sebuah lubang yang dapat membuat mereka jatuh kapan saja. Rifky menumpukkan kedua siku tangannya di meja, memuntahkan keputusannya.
“Tadi malam... Mama nanyain tentang calon pendamping hidup aku lagi, Vi...” Untuk sepatah kalimat itu ternyata Rifky kembali kehilangan kata, ia yakin tidak benar-benar bisa menyampaikannya kepada gadis di hadapannya sekarang. Melukai gadis itu… lagi.
          Kalimat Rifky layaknya sepotong mantra, menyihir keduanya menjadi saling tidak bersuara. Rifky dan Viola membiarkan udara hampa yang mengisi sebentar, membiarkan hanya senyap yang terkuar. Keduanya menyiapkan.
          Viola masih menunggu Rifky mengeluarkan penjelasan, hatinya sebenarnya juga tidak tenang. Ada sedikit sesal mengapa tadi ia harus mendesak Rifky. Ia tahu penjelasan itu mungkin akan terdengar menyesakkan. Pahit. Dan itu selalu membuatnya takut. Viola terhenyak, sepertinya pemuda itu memilih kembali menelan cerita.
Masih sunyi, sampai sebuah dentingan suara lonceng dari pintu Cafe berbunyi menandakan ada yang baru lewat sekaligus menyadarkan mereka. Mau tidak mau memaksa Rifky dan Viola mengingat bahwa mereka masih berada di tempat yang sama.
          Terus… kamu jawab apa?” Viola bertanya terlalu hati-hati, karena sejujurnya ia tidak ingin tahu jawabannya.
          Rifky menarik napas dalam-dalam lalu menjawab dengan pelan. “Aku bilang belum ada yang cocok aja, belum ada yang sesuai dengan tipe aku, lah... toh aku juga belum terlalu tua. Aku rasa Mama juga udah hafal sama jawabannya. Tapi... enggak tahu kenapa, semalam kayaknya Mama lebih cerewet dari sebelumnya, malah nyaris was-was...” Dan sekarang Rifky juga ikut was-was.
          Kembali diam, dan kembali lonceng pintu berbunyi lagi. Membebaskan waktu untuk membawa mereka pergi kepada takdir yang seharusnya.
***
          Viola menekan bel rumah itu beberapa kali dengan agak kencang―karena melakukannya dengan gugup. Rumah itu tampak asri dengan arsitektur minimalis. Viola pernah beberapa kali melewatinya, namun baru kali ini ia akan benar-benar masuk―itu pun jika dibukakan pintu dan dipersilakan masuk.  Kenyataanya Viola ingin sekali memasuki rumah itu, mengetahui isi di dalamnya. Namun, selalu ada alasan yang membuatnya berpikir dua kali untuk melakukannya. Karena itu tadi ia sempat ragu untuk mendatangi rumah ini, sayangnya ia harus menyerahkan berkas-berkas milik Rifky sebelum berangkat ke Malang. Lagi-lagi karena kelupaan.
          Ting Tong!
          “Pemisiii!”
          Selang beberapa menit pintu lebar itu terbuka, menampakkan seorang wanita setengah baya berkerudung warna nila dengan wajah berkerut bingung. Mamanya Rifky, tebak Viola.
          “Se-selamat siang, Bu...” sapa Viola canggung. Sepanjang ia bersama Rifky baru kali ini Viola berhadapan langsung dengan mama Rifky.
          “Selamat siang. Maaf... cari siapa, ya?” Mama Rifky belum lepas dari mimik wajah sebelumnya.
          “Saya Viola, Bu... temannya Rifky. Saya mau menyerahkan ini...” Viola menyerahkan suatu map berwarna merah. “ Kemarin tertinggal sama saya, lanjutnya to the point.
          Ooh… tapi Iky belum pulang, katanya ada sur-vei atau apa gitu… ibu kurang ngerti.”
          “Iya, Bu… makanya berkasnya saya antar ke rumah.”
          Mama Rifky mulai paham dan sempat tersenyum maklum kepada Viola. Tadi ia hanya ragu―jarang seorang gadis datang ke rumah, takutnya gadis yang tersesat. Mama Rifky kembali memperhatikan tamunya itu lebih intens. ‘Iky punya teman cantik kok, enggak pernah mau ngenalin?’ pikirnya. Saat baru ingat untuk mempersilakan Viola masuk, beliau tiba-tiba menunda niatnya. Bukan apa-apa, mama Rifky hanya sedang memastikan penglihatannya ketika menatap bandul dari kalung gadis tersebut, beliau sedikit terpana.
          Viola mengikuti arah mata mama Rifky dengan bingung, lalu reflek menyembunyikannya bandul kalungnya ke balik baju. Bandul kalung yang berbentuk simbol kepercayaannya itu mencuat. Ada sesal yang menggerogoti hati Viola setelahnya. Entah mengapa hubungan ini seakan selalu mengiringnya kepada penyesalan.
          “Kamu... teman sekantor Iky, ya?”
          Eum... Bukan, Bu. Saya... teman lama Rifky, teman sewaktu kuliah.” Sedikit gelagapan, Viola tersenyum sopan kepada mama Rifky. Ia melihat sorot mata itu, sorot mata yang tenang dan dalam. Kini Viola tahu dari mana sinar mata Rifky berasal.
          Mama Rifky baru ingin membuka mulutnya untuk meneruskan niat mempersilakan tamunya masuk saat…
          “Ya sudah, Bu... saya cuma mau ngasih ini. Tolong sampaikan ya...”
          “Ee, iya...nanti Ibu sampaikan, jawab beliau reflek.
          “Kalau gitu saya pamit pulang saja, Bu...”
          Lho... kok buru-buru? Enggak masuk dulu?” Mama Rifky jadi merasa bersalah karena tadi sempat menunda niatnya. Bagaimanapun, gadis itu datang untuk keperluan membantu.
          Enggak deh Bu... kebetulan saya memang lagi buru-buru.” Walau tadi ingin, Viola memilih menolaknya. Tiba-tiba ia jadi takut kecewa. Viola melangkah mundur bersiap untuk beranjak dari sana. “Saya pulang dulu, Bu. Permisi...”
          Viola akhirnya melangkah panjang, memutuskan untuk kembali seperti berpura-pura. Meski ia tidak tahu harus sampai kapan membiarkan harapan-harapannya terus mengawang di pelukan angan.
***
          Rifky terdiam menatap layar iPhone-nya, masih menimbang apa yang akan ia tulis di sana. Dibacanya sekali lagi pesan singkat dari Viola yang sudah masuk dari tadi.
          Sayaaang jemput aku ya?? Aku kangen nyiar jadi pulang duluan :D
          Di bandara jam 3 sore ini, see yaaa
          *ps: kangen kamu juga kok :p
          Sender: Viola +628137345XXXX
          Received: 01:16:48pm
          Today
           Hentakan sepatu yang beradu dengan lantai tangga mengagetkan Rifky, mamanya hampir sampai di dekatnya yang berdiri di ujung tangga.
          Lho Ky, kok masih bengong di sini? Mobilnya sudah dipanaskan?”
          Udah, Ma...” Rifky menjawab ogah-ogahan.
          “Ya sudah kalau gitu kita berangkat sekarang, yuk! Kasihan nanti Rere nunggu lama.” Ditariknya lengan Rifky agar segera beranjak. Mama tampak begitu antusias walau Rifky terlihat sebaliknya.
          Rifky merasa langkahnya berat, seakan seluruh badannya menjadi beban yang sangat mengganggu ketika ia bergerak. Ditambah ia harus mengetik balasan pesan singkat itu.
          Aku  meeting bareng bos vi, maaf ya?
          Besok aku jemput kamu di kantor, miss u too...
          To: Viola +628137345XXXX
          Sent: 02:03:59pm
          Today
***
Saat kita kehilangan pegangan
Saat kita menyerah pada harapan
Kita mengerti, berpura-pura itu melelahkan
Dan pengkhianatan bukanlah jalan
Maka kini kita memilih melepaskan
Karena tak ada lagi alasan untuk mempertahankan
***
          Jazz itu sudah berhenti sejak beberapa menit yang lalu di depan sebuah pagar bercat coklat tua. Namun belum ada yang terjadi setelah mesin mobil dimatikan sejak beberapa menit yang lalu. Kedua penumpangnya  sibuk menata hatinya masing-masing.
          “Semua… bakal baik-baik aja, kan?”
          Viola benar-benar ingin mengatakan sesuatu untuk menenangkan pemuda yang bertanya itu, namun ia bahkan kesusahan menemukan suaranya sendiri. Entah kemana perginya celotehan panjang seperti biasa itu. Viola pun ragu… apa ia bisa menjawab pertanyaan itu sedang ia juga menanyakannya juga?
          “Mungkin… ini enggak seburuk yang kita bayangkan.” Viola merasa suaranya jauh sekali, “Mungkin semua akan baik-baik aja…”
          Rifky meremas steer mobilnya kuat-kuat, merasakan buku-buku jarinya memucat dan dingin. Baru kali ini ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperjuangkan yang diinginkannya, walau itu adalah hal yang paling diinginkannya di dunia ini. Dan itu membuat Rifky membenci dirinya sendiri.
          Rifky terkesiap saat tiba-tiba tangan Viola mengusap tangan kirinya, perlahan pegangannya pada steer mengendur. Sentuhan itu selalu terasa lembut dan hangat.  Rifky bergeming, tidak bisa membayangkan jika ini yang terakhir. Hari ini yang terakhir?
          Makasih buat semuanya… makasih karena kamu udah mau bertahan sejauh ini sama aku.” Viola sadar, kali ini ia tidak mampu menggantikan tangis yang ditahan dengan seulas senyum seperti sebelum-sebelumnya. Itu hanya akan menjadi usaha terakhirnya yang sia-sia.
          Rifky menatap Viola lekat-lekat, mendapati di mata gadis itu sudah menggenang air yang siap terjun kapan saja. Dan ia tidak tahu kapan air mata itu akan berhenti nantinya. Apa ia masih bisa menghapusnya untuk gadis itu? Apa ia masih bisa melihat gadis itu di hidupnya? Rifky sungguh tidak ingin ini menjadi yang terakhir.
***
          Gimana kabar kamu, vi?
          To: Viola +628137345XXXX
          Sent: 03:03:29pm
          19-02-2013
          Viola… kamu sibuk? Kita bisa ketemu ga?
          Makan siang?
          Sent: 11:41:23am
          22-02-2013
          Kamu dimana, vi? Kok gak ada kabar??
          To: Viola +628137345XXXX
          Sent: 11:12:59am
          26-02-2013
          Vi, kamu baik2 aja kan??
          Aku harap kamu baik2 aja, kita akan baik2 aja…
          Please kasih kabar ke aku vi…
          To: Viola +628137345XXXX
          Sent: 08:09:32pm
          01-03-2013
          Viola???
          To: Viola +628137345XXXX
          Sent: 08:09:32pm
          04-03-2013
***
          “Halo? Vi?”
          “Iya…”
          “Kamu kemana aja? Kenapa…”
          “Aku baik-baik aja, Ky…”
          “Syukur deh, kalau gitu. Dari kemarin-kemarin kamu enggak bisa dihubungi, Vi…”
          “Maaf  baru ngabarin kamu sekarang. Aku… pindah ke Malang, Ky…”
          “Apa? Malang?”
          “Iya, minggu lalu…”
          “Kenapa?”
          “Enggak pa-pa…”
          “Viola?”
          “Aku enggak pa-pa, Ky…”
          “Maaf…”
          “Gak perlu minta maaf, Ky… Aku pikir mungkin kayak gini jauh lebih baik…”
          “Tapi kenapa harus pindah, Vi? Aku rasa ini bukan jalan keluar…”
          “Karena aku  enggak punya alasan lagi untuk bertahan di sana…”
          “Seburuk itu, Vi?”
          “Dulu… kita udah nyoba berjalan di jalan yang sama, walaupun kita tahu tujuan kita beda. Kita berbeda, Ky… dan sekarang kita ngerti kalau cara itu enggak bakal berhasil. Jadi, aku cuma pengen ngelupain semuanya, memulainya dari awal lagi…”
          “Ini lebih buruk dari yang aku bayangkan, Vi…”
END