Jakarta, 23 September 2006
Disa akhirnya memasuki kamar itu
setelah tadi beberapa saat terdiam di ambang pintu. Keraguannya perlahan
mengikis digantikan rasa asing yang diam-diam menyergapnya. Kamar yang dulu
kerap memperdengarkan musik-musik klasik tersebut kini kontan menjadi senyap
dan dingin, tidak seperti hari-hari sebelum ini. Banyak hal yang telah terjadi
di ruang ini dulu, sekarang bagai jadi cerita yang sulit untuk dikisahkan. Disa
menelan ludah, telah banyak yang hilang di dalam hidupnya.
Gadis itu memaksakan kakinya melangkah menginjakkan
ruangan padahal dulu nyaris tanpa beban. Setelah duduk di suite bed dan mencoba menghirup aroma khas kamar yang masih
tersisa, Disa memutuskan untuk menetap beberapa waktu. Namun tidak lama Disa
merasa jera sendiri, diganggu rasa ingin kembali ke masa yang lalu.
Untuk mngusir kesunyian Disa
menyalakan alat pemutar musik yang masih beroperasi menggunakan piringan hitam.
Dulu Nenek sering melakukan hal itu untuknya. Detik-detik selanjutnya telah
terdengar alunan klasik dengan volume sedang menggema hingga ke sudut ruangan.
Disa selalu nyaman berada di kamar neneknya ini, sayangnya tidak lagi sekarang
dan mungkin untuk seterusnya. Kepergian Nenek untuk selamanya seminggu lalu
terjadi seakan berputar bersama nada-nada lembut itu. Saat Neneknya yang
tangguh mengeluh sakit oleh termakan usia dan akhirnya tak sanggup lagi menahan
di usianya 82 tahun. Disa membuang napas berat, kali ini ia ingin mengenang
tanpa tangis.
Disa bergerak ke depan meja rias di
kamar itu dan duduk di kursinya. Tidak ada yang berubah dari kamar ini sejak meninggalnya
Nenek. Gadis remaja itu membuka beberapa laci dan melihat-lihat koleksi Nenek.
Ada berbagai jenis perhiasan, bross, alat kecantikan, dan benda-benda lainnya.
Disa tersenyum kecil, walaupun sudah renta neneknya sebisa mungkin menjaga
penampilan. Setelah membuka hampir seluruh laci, Disa tertumbuk pada ruang laci
terakhir. Paling bawah dan paling luas. Seingatnya selama menghabiskan waktu
bersama Nenek, Disa belum pernah melihat Nenek membuka laci itu. Sempat
terlintas di pikirannya mungkin laci itu kosong, namun Disa merasa terdorong
untuk membukanya.
Hanya buku agenda yang telah usang
tersimpan disitu. Dengan yakin Disa mengambil buku itu dan duduk di atas tempat
tidur kembali agar lebih nyaman, dia telah memutuskan untuk melihat isinya.
Halaman pertama berisi foto Nenek saat masih muda, terlihat masih ayu layaknya
gadis jawa. Di halaman kedua ada foto Nenek dan Kakek saat menikah yang
tergambar begitu canggung. Dan halaman berikutnya terdapat rentetan kalimat
yang panjang.
Jakarta, 1
Oktober 1968
Semua masih
tersimpan aman, tanpa ada yang mengerti. Hanya tinggal aku yang terluka
sendiri. Aku memendam juga membuang bayangan yang tak pernah diam. Dia masih
ada, di lubuk yang terdalam. Saat itu, juga sekarang, ternyata aku masih
menginginkan. Kala kau dan aku dengan salah dipertemukan…
Blitar, 29 Juni
1940
Untuk kesekian
kalinya aku mondar-mandir tidak tenang di kamar karena tidak tahu harus berbuat
apa lagi. Mungkin para pejuang sedang membutuhkan pertolonganku sekarang, tapi
bahkan untuk keluar dari pagar reot rumahku saja aku tidak mampu. Otakku
berpikir keras namun malah perdebatan penuh emosi bersama ayah yang terlintas
disana.
“Di
luar sangat berbahaya, kau ingin menolong orang tapi entah siapa yang akan menolongmu
jika kau yang terluka.”
“Tapi, Yah, mereka membutuhkanku. Para pejuang
sangat banyak dan tim penolong bahkan tak lebih setengah dari mereka. Apa ayah
tega membiarkan mereka terluka dan kalah?”
“Itu adalah resiko. Kau bukanlah pejuang, kau
hanyalah putri Ayah satu-satunya, Diah. Tidak akan kukorbankan hartaku yang
terakhir.”
“Yah…”
“Pertempuran
akan dimulai, jangan coba-coba keluar dari rumah ini!”
Selepas Ayah
pergi, Ibu hanya menatapku dengan iba dan segera mengikuti jejak ayah yang
keluar dari kamarku, lalu terdengar suara pintu yang dikunci. Aku dikurung di
kamar. Ayah tidak pernah bercanda dengan ucapannya. Walau tanpa mengancam aku
tahu akibatnya sangat fatal apabila perintah itu dilanggar. Aku sadar Ayah
sangat menyayangiku, tapi yang sedang berseteru di otakku sekarang adalah
perintah Ayah dan tekatku.
Negara ini
sedang dijajah dan aku tidak mau hanya menjadi gadis manis di rumah. Banyak
yang bisa kulakukan untuk Negara ini, setidaknya sekarang aku bisa menjadi
relawan yang mengobati luka-luka para pahlawan di medan perang. Aku sudah
mempelajarinya teknik-teknik pertolongan pertama itu sejak lama. Singkatnya,
aku sudah mempersiapkan diri untuk hari ini.
Belum juga
kutemukan jalan keluar sampai aku mendengar suara berisik dari jendela kamarku.
Aku sudah mengerti kalau Ayah juga mengganjalnya dari luar. Keributan itu cukup
menyita konsentrasiku, heran, sebelum-sebelumnya Ayah tak perlu seheboh itu
jika melakukan hal yang sama.
“Ssst…sst!” aku
mendengarnya bagai bisikan, kupertajam pendengaran. Aku mengedarkan pandangan
ke seluruh penjuru kamar mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai senjata,
takut-takut ternyata itu bukan Ayah melainkan penjajah yang ingin mengepung
rumah Kades.
“Diah, ini aku
Salman.” Aku terkesiap. Salman! Hampir kupekikkan namanya. Aku bergerak cepat
ke jendela lalu membukanya. Kudapati Salman sudah berpakaian siap perang. “Kau
datang untuk menjemputku, kan, Man?” aku sungguh antusias.
“Pelankan
sedikit suaramu!” Salman menggerakkan tanggannya ke udara ”kalaupun aku
mengatakan tidak, apa kau akan membiarkan aku pergi dengan selamat?” Aku suka
jawaban dan mimik wajahnya.
Tak perlu
menunggu lama, aku bahkan baru saja melompati pagar rumahku yang hampir roboh
itu. ‘Maafkan aku, Ayah’
***
Teriakan-teriakan
penyemangat para pejuang riuh terdengar menantang setiap tembakan dari
penjajah. Walau dengan persenjataan tidak seberapa mereka tetap bangga kalaupun
harus terluka. Sebisa mungkin mereka menjaga daerah pemukiman yang kecil itu
agar tidak terjamah penjahat-penjahat. Kami pun—tim
penolong, terbakar api semangat
dengan bergerak cepat dan bekerja cekatan. Sebagian besar adalah luka tembak.
Dalam perasaan berkecamuk, aku berharap Ayah selamat, setidaknya beliau tidak
melihatku disini.
“Diah!” aku baru
saja ingin menghampiri korban yang baru datang dengan luka tusuk di pahanya,
saat suara itu memanggilku. Tidak sekarang. Aku berbalik, korban tadi langsung
ditangani yang lain. Salman menghampiriku sambil berlari, untung dia tidak
terluka.
“Kau harus pergi
sekarang,” dia berujar menyakitkan. Aku ingin menolak tapi kutahu ini bisa
menjadi paling baik atau malah jadi hal terburuk. Aku menghela napas, “baiklah.”
Aku beranjak membereskan perlengkapanku sembari berucap penuh sesal pada
teman-teman yang lain.
“Tidak apa-apa,
Diah. Kau sudah banyak membantu.”
“Pulanglah
cepat! Kami tidak ingin mendengar berita buruk datang darimu.”
“Tidak usah
khawatir! Semua akan baik-baik saja.”
Semua terdengar
mengikhlaskan, setidaknya membuatku lega. Salman membantuku berberes seperti
mengingatkan ‘jangan buang-buang waktumu’. Aku segera berlari keluar dari gubuk
kecil yang ada di sudut desa itu, saat terdengar, “Diah!” Salman memanggilku
lagi, aku mendapatinya sedang menatap kepergianku. “Hati-hati!” ucapnya penuh
cemas. Aku mengganguk, perjalanan pulangku mungkin tidak akan semudah aku
berangkat bersamanya tadi.
Aku menerobos
kegelapan, benar-benar tidak ada penerangan. Sayup-sayup masih kudengar
keributan perang. Aku memperlebar langkah, daerah yang kulewati masih rawan. Jangan
sampai tempat yang sedang kulewati terjamah medan perang juga. Di tengah
kesunyian hutan tiba-tiba kakiku terdiam, ranting yang kuinjak berderak.
Aargh…
Benar, aku
mendengar sebuah erangan seseorang. Pasti tengah terluka. Saat itu terjadilah
hal yang aku benci, dilema yang mengganggu. Aku harus bagaimana? Bisa saja itu
pejuang yang terluka dan melarikan diri sampai sini, tapi bagaimana kalau aku
salah? Bagaimana kalau dia adalah seorang penjajah? Apalagi, aku harus segera
pulang sebelum semuanya gagal.
Aargh…
Terdengar lagi,
dan entah bagaimana suara itu bagai memanggilku. Mungkin jiwa penolongku sudah
mendarah daging, sehingga kini langkahku sudah berubah haluan mencari suara
itu. Aku tidak bisa membiarkan seseorang mati karena terluka, padahal mungkin,
masih bisa diselamatkan.
“Dimana?” aku
tidak tahu harus mencarinya dimana, yang terlihat hanya batang pohon dan gelap.
“H…help…”
‘Penjajah!’ aku
tercekat. Darahku beredar cepat dengan jantung bedegup kencang.
“Di
luar sangat berbahaya, kau ingin menolong orang tapi entah siapa yang akan menolongmu
jika kau yang terluka.”
Suara Ayah
semakin membuatku takut dan lupa bagaimana cara berlari. Ayah benar, selalu
benar. Akhirnya, dengan sekuat tenaga aku mencoba melangkah lagi, langkah
sejauh mungkin yang bisa mengantarku sampai menemukan bambu-bambu coklat nan
lapuk yang melindung rumahku, melompatinya dan menaiki jendela kamar lalu
bersembunyi dibalik selimut seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Melarikan
diri. Ya, aku ternyata sepengecut itu. Namun baru dua langkah, aku dihentikan
lagi dengan suara yang membuat merinding. Ada langkah kaki yang terseret dan…
Buuk
Aku melotot,
sebuah tubuh besar sudah terjatuh di samping kakiku. ‘Aku menyesal, Ayah.’
“Help… me..e..”
Aku menelan
ludah lalu berusaha mengatur napas—hal yang biasa yang
kulakukan jika sedang diserang guncangan dahsyat. Sudah kepalang basah. Kuberanikan
melihat wajah penjajah itu, untuk pertama kalinya dengan jarak tidak terbentang
luas seperti biasanya. Aku paham, prahara lah yang sudah kupilih.
Wajahnya sarat
lelah dan kesakitan. Keringat keluar dimana-dimana, mukanya yang putih terlihat
pucat dan kotor. Aku berjongkok untuk mengetahui lebih jelas apa yang menjadi
masalahnya, kemudian terdengar deru napas lega darinya. Ada yang tertancap di bagian
dada kiri atas penjajah itu, sebilah bambu. Dan kini, aku sudah benar-benar
menanganinya. Semua bagai tanpa sadar dan sukarela. Hal yang pertama adalah
mencabut bambu itu, dia sedikit menjerit. Aku berlaku seperti apa yang biasa
kulakukan. Membersihkan lukanya lalu memberi obat dengan alat alakadarnya.
Lukanya cukup parah, padahal jika kubiarkan ini bisa menjadi hal yang
menguntungkan untuk desaku, melihat
beberapa lencana di bahunya yang sepertinya dia mempunyai jabatan juga.
“Tahan lah
sedikit! Lukamu cukup parah,” kataku memberi instruksi dengan bahasa yang dia
mengerti. Korban yang ditangani dengan cara seperti ini, sebisa mungkin diajak
berinteraksi untuk mengurangi sakitnya. Dan, itu lah yang terjadi setrusnya.
Malam makin
larut. Lumbung hitamnya menyapu setiap udara, begitu juga kesalahanku. Aku jadi
buta seperti tidak merasa bersalah. Semua berjalan di tengah kegelapan, karena
itu aku tidak pernah merasa seperti melihat. Selama aku masih bisa bernapas,
mungkin malam akan selalu terlihat baik-baik saja.
Sejak itu dan
selanjutnya ada yang berubah antara kau dan aku, walau hanya dengan diam dan
kegelapan. Kita sama-sama tidak bisa mengelak, sama-sama tidak mampu memendam.
Kau dan aku berbeda, kita sadar itu. Namun, selama bisa disimpan, mungkin bukan masalah. Meskipun diliputi ketakutan,
kau selalu membuatnya menyenangkan. Aku belum pernah memiliki rasa ini
sebelumnya, dan tak akan kusesali walau akhirnya datang dari arah yang salah.
Ini adalah sebuah anugerah, bukan?
***
“Beberapa
pejuang tertangkap dan disandera, Pak.”
Aku mengintip
dari balik pintu kamar. Terlihat Salman sedang menunduk di hadapan Ayah. Ayah
terlihat menahan gusar. “Berapa orang?” tanyanya penuh penekanan. “Eeumm…”
Salman seperti ragu, dilihatnya lagi wajah Ayah,”Sekitar dua puluhan, Pak,”
lapornya. “Berapa?” Ayah tidak puas mendengarnya. “Dua puluh delapan orang,
Pak,” Salman terdengar menyesal.
Ayah duduk di
kursi kayunya, kali ini benar-benar terlihat marah. Para tentaranya tertangkap,
sebanyak itu pula. Tentu Ayah tidak terima. Aku menggigit bawah bibirku, merasa
hal buruk akan segera terjadi. Tidak hanya pada desa ini, terlebih kepadaku.
“Siapa yang
memimpin penangkapan itu?”
“Kolonel daerah
barat, Pak. Kolonel Arnold.”
Bibirku akhirnya
berdarah akibat kugigit sendiri.
***
“Ini tugasku,
Diah. Mengertilah!”
“Aku adalah anak
Kades, tolong ingat itu!”
Aku tidak pernah
menginginkan pembicaraan ini. Saat kau dan aku harus berbicara sambil
mengibarkan bendera kita. Sejatinya, aku tahu ini salah. Tapi, bisakah
kesalahan itu tetap dibiarkan sepanjang kita masih sama-sama bernapas? Dan aku
terlanjur keliru, ternyata ada yang kita lewatkan. Malam masih hitam, hanya sayang,
gelapnya tidak seperti malam biasanya. Ada mendung disana, mungkin akan turun
hujan.
“Aku sudah
lelah, Arnold,” terlalu banyak yang kusakiti. Ayah, Ibu, Salman, dan juga desa
ini.
“Diah…” Aku
tidak mengerti apa yang diinginkan laki-laki ini. Kutilik wajah di hadapnku,
masih tampan yang di tengah kegelapan. Sungguh, aku masih menginginnya. Walau
kita terlihat baru sebatas dangkal, aku tahu…
“Apa semua ini
terlihat main-main bagimu?”
“Negaramu dan Negaraku
juga tidak main-main.”
Kita sesunguhnya
tengah membangun cinta sekuat tenaga. Sekuat kita memperjuangkan Negara
kita.
“Ini bukan
tentang Negara kita, Diah. Aku hanya tidak mengerti bagaimana jika harus
kehilanganmu.” Kau terlihat lebih putus asa. Aku tidak tahu, siapa yang menjadi
korban saat ini.
“Aku tidak mau
membuat ini lebih sulit lagi, Arnold.”
***
Dan petaka itu
pun datang. Benar, akhirnya turun hujan.
“Dari mana kau,
Diah?” aku terkejut. Baru saja kuinjakkan kaki di kamar dari jendela, Ayah membuka pintu kamar dan
mendapatiku telah kuyup. Suaranya berang. Di belakang Ayah hadir juga Ibu dan… Salman.
Habis sudah, aku ketahuan. Sempat kutatap mata Salman, menyiratkan penyesalan
dan kepasrahan. Ya, disini Ayah lah yang
berkuasa. Setelah ini aku tidak mau berharap lagi. Salman sudah berada di pihak
Ayah, tidak akan ada yang membelaku lagi. Karena Ibu tidak akan pernah
melalukannya untukku kalau itu bertentangan dengan Ayah. Sahabatku telah
berkhianat. Harusnya tidak perlu sesakit ini karena aku juga melakukannya. Sama
seperti permintaan Ayah selanjutnya, berkhianat.
***
“Aku tidak akan
meninggalkanmu dan mengikuti semua maumu, tapi ada syarat yang harus kau
lakukan.”
“Apa, Diah?”
“Bebaskan semua
pejuang yang sedang kau tahan!”
“Tapi, Diah… aku
bisa dihukum Negara. Aku adalah seorang Kolonel.“
“Jika kita sudah
bersama, apa kau tetap mau menjadi Kolonel?”
“Aku…”
“Aku juga sama
sepertimu, Arnold.”
“Kau akan
bersamaku, kan, Diah?”
“…”
“Diah?”
“Tentu.”
***
Semua seketika berubah lagi, layaknya malam
yang menjadi siang. Aku belum memiliki apa-apa, tapi rasanya telah kehilangan
banyak hal. Aku yang memulai, dan aku yang harus memutuskan. Dari awal rencana
ini memang sudah gagal, pelarian malam itu telah gagal.
“Ayah sudah
bilang, tidak akan mengorbankan harta terakhir ayah.” Aku hanya diam, semua
sudah berakhir.
“Kolonel muda
itu… tidak akan ada yang bisa diambilnya,” Ayah memundurkan duduknya, terlihat
begitu tenang dan menang. “Ini adalah pelajaran untukmu, Diah. Ambillah
hikmahnya!”
‘Maaf, Arnold.’
“Ayah.”
“Ya?” Ayah
menatapku penuh minat.
Aku membuang
napas terberat seumur hidupku. Jika hari ini sampai di batas esok, aku tidak
akan membuat keputusan apa-apa lagi setelahnya. Terserah. Aku akan menangis
sepuasnya setelah ini, tapi tidak akan pernah di depan Ayah.
“Aku
rasa… aku sudah siap untuk menikah dengan Salman.”
***
“Disaa...?” seorang wanita menghampiri Disa yang
terpekur di kamar Neneknya. Disa segera menghapus air matanya. Misinya pun
gagal hari ini.
Mama duduk di samping Disa, lalu tersenyum maklum.
Dia juga tidak tahu apa-apa.
“Are you okay,
dear?”
“Ya, Mum.”
Disa memaksan senyum.
Disa mengembalikan agenda itu ke tempat semula.
Mulai sekarang, dia harus belajar seperti tidak tahu apa-apa. Lalu bergerak
mendekati mamanya, “can I have lunch now,
Mum? I feel so hungry.” Disa mengeluh manja.
“Of course,
dear.”
Mama menuntun Disa keluar kamar untuk menuju meja
makan. Saat pintu kamar itu tertutup, Disa meremang. Masa lalu nenek pun
kembali terkunci bersamaan dengan itu.
Mama cukup
lega putrinya tidak sedih berkepanjangan setelah kepergian Neneknya. Padahal
awalnya, ia merasa was-was akan Disa yang begitu dekat dengan neneknya, takut
gadis itu tidak bisa merelakan, walau ia sendri sebenaarnya sulit juga. Sudah
17 tahun pikirnya, putrinya tentu tengah beranjak dewasa.
“Mum,
boleh aku menanyakan sesuatu?” Disa larut dalam belaian Mamanya.
“Tentang apa, sayang?”
“Apa… saat Mum
memutuskan untuk bersama Dad, Kakek
dan Nenek tidak melarang?”
Wanita itu cukup tersentak dengan pertanyaan
putrinya, sekilas bertanya-tanya dalam hati mengapa putrinya tiba-tiba
menanyakan hal demikian. Latar belakang ia dan suaminya yang berbeda memang
agaknya mengkhawatirkan di awal dan sempat membuatnya ragu.
Setelah duduk di meja makan beliau seperti
menerawang lalu menjawab, ”saat itu, Nenek hanya diam tidak memberi tanggapan.
Awalnya Mum mengira Nenek tidak
setuju atau malah tidak mau ambil pusing dengan hal itu. Toh, keputusan
tertinggi selalu di tangan Kakekmu. Setahu Mum,
kakekmu adalah orang yang sabar namun tegas. Tapi lambat laun Mum sadar itu lah jawaban yang diberikan
oleh Nenek. Tidak memberi jawaban atau pun keputusan. Sedang, Kakek, kau pasti
sudah bisa menebak apa jawabannya.”
*****
No comments:
Post a Comment