Tuesday 2 April 2013

Catatan Terakhir



            Jakarta, 23 September 2006
            Disa akhirnya memasuki kamar itu setelah tadi beberapa saat terdiam di ambang pintu. Keraguannya perlahan mengikis digantikan rasa asing yang diam-diam menyergapnya. Kamar yang dulu kerap memperdengarkan musik-musik klasik tersebut kini kontan menjadi senyap dan dingin, tidak seperti hari-hari sebelum ini. Banyak hal yang telah terjadi di ruang ini dulu, sekarang bagai jadi cerita yang sulit untuk dikisahkan. Disa menelan ludah, telah banyak yang hilang di dalam hidupnya.
Gadis itu memaksakan kakinya melangkah menginjakkan ruangan padahal dulu nyaris tanpa beban. Setelah duduk di suite bed dan mencoba menghirup aroma khas kamar yang masih tersisa, Disa memutuskan untuk menetap beberapa waktu. Namun tidak lama Disa merasa jera sendiri, diganggu rasa ingin kembali ke masa yang lalu.
            Untuk mngusir kesunyian Disa menyalakan alat pemutar musik yang masih beroperasi menggunakan piringan hitam. Dulu Nenek sering melakukan hal itu untuknya. Detik-detik selanjutnya telah terdengar alunan klasik dengan volume sedang menggema hingga ke sudut ruangan. Disa selalu nyaman berada di kamar neneknya ini, sayangnya tidak lagi sekarang dan mungkin untuk seterusnya. Kepergian Nenek untuk selamanya seminggu lalu terjadi seakan berputar bersama nada-nada lembut itu. Saat Neneknya yang tangguh mengeluh sakit oleh termakan usia dan akhirnya tak sanggup lagi menahan di usianya 82 tahun. Disa membuang napas berat, kali ini ia ingin mengenang tanpa tangis.
            Disa bergerak ke depan meja rias di kamar itu dan duduk di kursinya. Tidak ada yang berubah dari kamar ini sejak meninggalnya Nenek. Gadis remaja itu membuka beberapa laci dan melihat-lihat koleksi Nenek. Ada berbagai jenis perhiasan, bross, alat kecantikan, dan benda-benda lainnya. Disa tersenyum kecil, walaupun sudah renta neneknya sebisa mungkin menjaga penampilan. Setelah membuka hampir seluruh laci, Disa tertumbuk pada ruang laci terakhir. Paling bawah dan paling luas. Seingatnya selama menghabiskan waktu bersama Nenek, Disa belum pernah melihat Nenek membuka laci itu. Sempat terlintas di pikirannya mungkin laci itu kosong, namun Disa merasa terdorong untuk membukanya.
            Hanya buku agenda yang telah usang tersimpan disitu. Dengan yakin Disa mengambil buku itu dan duduk di atas tempat tidur kembali agar lebih nyaman, dia telah memutuskan untuk melihat isinya. Halaman pertama berisi foto Nenek saat masih muda, terlihat masih ayu layaknya gadis jawa. Di halaman kedua ada foto Nenek dan Kakek saat menikah yang tergambar begitu canggung. Dan halaman berikutnya terdapat rentetan kalimat yang panjang.

Jakarta, 1 Oktober 1968
Semua masih tersimpan aman, tanpa ada yang mengerti. Hanya tinggal aku yang terluka sendiri. Aku memendam juga membuang bayangan yang tak pernah diam. Dia masih ada, di lubuk yang terdalam. Saat itu, juga sekarang, ternyata aku masih menginginkan. Kala kau dan aku dengan salah dipertemukan…
Blitar, 29 Juni 1940
Untuk kesekian kalinya aku mondar-mandir tidak tenang di kamar karena tidak tahu harus berbuat apa lagi. Mungkin para pejuang sedang membutuhkan pertolonganku sekarang, tapi bahkan untuk keluar dari pagar reot rumahku saja aku tidak mampu. Otakku berpikir keras namun malah perdebatan penuh emosi bersama ayah yang terlintas disana.
 “Di luar sangat berbahaya, kau ingin menolong orang tapi entah siapa yang akan menolongmu jika kau yang terluka.”
“Tapi, Yah, mereka membutuhkanku. Para pejuang sangat banyak dan tim penolong bahkan tak lebih setengah dari mereka. Apa ayah tega membiarkan mereka terluka dan kalah?”
“Itu adalah resiko. Kau bukanlah pejuang, kau hanyalah putri Ayah satu-satunya, Diah. Tidak akan kukorbankan hartaku yang terakhir.”
“Yah…”
“Pertempuran akan dimulai, jangan coba-coba keluar dari rumah ini!”
Selepas Ayah pergi, Ibu hanya menatapku dengan iba dan segera mengikuti jejak ayah yang keluar dari kamarku, lalu terdengar suara pintu yang dikunci. Aku dikurung di kamar. Ayah tidak pernah bercanda dengan ucapannya. Walau tanpa mengancam aku tahu akibatnya sangat fatal apabila perintah itu dilanggar. Aku sadar Ayah sangat menyayangiku, tapi yang sedang berseteru di otakku sekarang adalah perintah Ayah dan tekatku.
Negara ini sedang dijajah dan aku tidak mau hanya menjadi gadis manis di rumah. Banyak yang bisa kulakukan untuk Negara ini, setidaknya sekarang aku bisa menjadi relawan yang mengobati luka-luka para pahlawan di medan perang. Aku sudah mempelajarinya teknik-teknik pertolongan pertama itu sejak lama. Singkatnya, aku sudah mempersiapkan diri untuk hari ini.
Belum juga kutemukan jalan keluar sampai aku mendengar suara berisik dari jendela kamarku. Aku sudah mengerti kalau Ayah juga mengganjalnya dari luar. Keributan itu cukup menyita konsentrasiku, heran, sebelum-sebelumnya Ayah tak perlu seheboh itu jika melakukan hal yang sama.
“Ssst…sst!” aku mendengarnya bagai bisikan, kupertajam pendengaran. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai senjata, takut-takut ternyata itu bukan Ayah melainkan penjajah yang ingin mengepung rumah Kades.
“Diah, ini aku Salman.” Aku terkesiap. Salman! Hampir kupekikkan namanya. Aku bergerak cepat ke jendela lalu membukanya. Kudapati Salman sudah berpakaian siap perang. “Kau datang untuk menjemputku, kan, Man?” aku sungguh antusias.
“Pelankan sedikit suaramu!” Salman menggerakkan tanggannya ke udara ”kalaupun aku mengatakan tidak, apa kau akan membiarkan aku pergi dengan selamat?” Aku suka jawaban dan mimik wajahnya.
Tak perlu menunggu lama, aku bahkan baru saja melompati pagar rumahku yang hampir roboh itu. ‘Maafkan aku, Ayah’
***
Teriakan-teriakan penyemangat para pejuang riuh terdengar menantang setiap tembakan dari penjajah. Walau dengan persenjataan tidak seberapa mereka tetap bangga kalaupun harus terluka. Sebisa mungkin mereka menjaga daerah pemukiman yang kecil itu agar tidak terjamah penjahat-penjahat. Kami puntim penolong, terbakar api semangat dengan bergerak cepat dan bekerja cekatan. Sebagian besar adalah luka tembak. Dalam perasaan berkecamuk, aku berharap Ayah selamat, setidaknya beliau tidak melihatku disini.
“Diah!” aku baru saja ingin menghampiri korban yang baru datang dengan luka tusuk di pahanya, saat suara itu memanggilku. Tidak sekarang. Aku berbalik, korban tadi langsung ditangani yang lain. Salman menghampiriku sambil berlari, untung dia tidak terluka.
“Kau harus pergi sekarang,” dia berujar menyakitkan. Aku ingin menolak tapi kutahu ini bisa menjadi paling baik atau malah jadi hal terburuk. Aku menghela napas, “baiklah.” Aku beranjak membereskan perlengkapanku sembari berucap penuh sesal pada teman-teman yang lain.
“Tidak apa-apa, Diah. Kau sudah banyak membantu.”
“Pulanglah cepat! Kami tidak ingin mendengar berita buruk datang darimu.”
“Tidak usah khawatir! Semua akan baik-baik saja.”
Semua terdengar mengikhlaskan, setidaknya membuatku lega. Salman membantuku berberes seperti mengingatkan ‘jangan buang-buang waktumu’. Aku segera berlari keluar dari gubuk kecil yang ada di sudut desa itu, saat terdengar, “Diah!” Salman memanggilku lagi, aku mendapatinya sedang menatap kepergianku. “Hati-hati!” ucapnya penuh cemas. Aku mengganguk, perjalanan pulangku mungkin tidak akan semudah aku berangkat bersamanya tadi.
Aku menerobos kegelapan, benar-benar tidak ada penerangan. Sayup-sayup masih kudengar keributan perang. Aku memperlebar langkah, daerah yang kulewati masih rawan. Jangan sampai tempat yang sedang kulewati terjamah medan perang juga. Di tengah kesunyian hutan tiba-tiba kakiku terdiam, ranting yang kuinjak berderak.
Aargh…
Benar, aku mendengar sebuah erangan seseorang. Pasti tengah terluka. Saat itu terjadilah hal yang aku benci, dilema yang mengganggu. Aku harus bagaimana? Bisa saja itu pejuang yang terluka dan melarikan diri sampai sini, tapi bagaimana kalau aku salah? Bagaimana kalau dia adalah seorang penjajah? Apalagi, aku harus segera pulang sebelum semuanya gagal.
Aargh…
Terdengar lagi, dan entah bagaimana suara itu bagai memanggilku. Mungkin jiwa penolongku sudah mendarah daging, sehingga kini langkahku sudah berubah haluan mencari suara itu. Aku tidak bisa membiarkan seseorang mati karena terluka, padahal mungkin, masih bisa diselamatkan.
“Dimana?” aku tidak tahu harus mencarinya dimana, yang terlihat hanya batang pohon dan gelap.
“H…help…”
‘Penjajah!’ aku tercekat. Darahku beredar cepat dengan jantung bedegup kencang.
 “Di luar sangat berbahaya, kau ingin menolong orang tapi entah siapa yang akan menolongmu jika kau yang terluka.”
Suara Ayah semakin membuatku takut dan lupa bagaimana cara berlari. Ayah benar, selalu benar. Akhirnya, dengan sekuat tenaga aku mencoba melangkah lagi, langkah sejauh mungkin yang bisa mengantarku sampai menemukan bambu-bambu coklat nan lapuk yang melindung rumahku, melompatinya dan menaiki jendela kamar lalu bersembunyi dibalik selimut seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Melarikan diri. Ya, aku ternyata sepengecut itu. Namun baru dua langkah, aku dihentikan lagi dengan suara yang membuat merinding. Ada langkah kaki yang terseret dan…
Buuk
Aku melotot, sebuah tubuh besar sudah terjatuh di samping kakiku. ‘Aku menyesal, Ayah.’
“Help… me..e..”
Aku menelan ludah lalu berusaha mengatur napashal yang biasa yang kulakukan jika sedang diserang guncangan dahsyat. Sudah kepalang basah. Kuberanikan melihat wajah penjajah itu, untuk pertama kalinya dengan jarak tidak terbentang luas seperti biasanya. Aku paham, prahara lah yang sudah kupilih.
Wajahnya sarat lelah dan kesakitan. Keringat keluar dimana-dimana, mukanya yang putih terlihat pucat dan kotor. Aku berjongkok untuk mengetahui lebih jelas apa yang menjadi masalahnya, kemudian terdengar deru napas lega darinya. Ada yang tertancap di bagian dada kiri atas penjajah itu, sebilah bambu. Dan kini, aku sudah benar-benar menanganinya. Semua bagai tanpa sadar dan sukarela. Hal yang pertama adalah mencabut bambu itu, dia sedikit menjerit. Aku berlaku seperti apa yang biasa kulakukan. Membersihkan lukanya lalu memberi obat dengan alat alakadarnya. Lukanya cukup parah, padahal jika kubiarkan ini bisa menjadi hal yang menguntungkan untuk  desaku, melihat beberapa lencana di bahunya yang sepertinya dia mempunyai jabatan juga.
“Tahan lah sedikit! Lukamu cukup parah,” kataku memberi instruksi dengan bahasa yang dia mengerti. Korban yang ditangani dengan cara seperti ini, sebisa mungkin diajak berinteraksi untuk mengurangi sakitnya. Dan, itu lah yang terjadi setrusnya.
Malam makin larut. Lumbung hitamnya menyapu setiap udara, begitu juga kesalahanku. Aku jadi buta seperti tidak merasa bersalah. Semua berjalan di tengah kegelapan, karena itu aku tidak pernah merasa seperti melihat. Selama aku masih bisa bernapas, mungkin malam akan selalu terlihat baik-baik saja.
Sejak itu dan selanjutnya ada yang berubah antara kau dan aku, walau hanya dengan diam dan kegelapan. Kita sama-sama tidak bisa mengelak, sama-sama tidak mampu memendam. Kau dan aku berbeda, kita sadar itu. Namun, selama bisa disimpan, mungkin  bukan masalah. Meskipun diliputi ketakutan, kau selalu membuatnya menyenangkan. Aku belum pernah memiliki rasa ini sebelumnya, dan tak akan kusesali walau akhirnya datang dari arah yang salah. Ini adalah sebuah anugerah, bukan?
***
“Beberapa pejuang tertangkap dan disandera, Pak.”
Aku mengintip dari balik pintu kamar. Terlihat Salman sedang menunduk di hadapan Ayah. Ayah terlihat menahan gusar. “Berapa orang?” tanyanya penuh penekanan. “Eeumm…” Salman seperti ragu, dilihatnya lagi wajah Ayah,”Sekitar dua puluhan, Pak,” lapornya. “Berapa?” Ayah tidak puas mendengarnya. “Dua puluh delapan orang, Pak,” Salman terdengar menyesal.
Ayah duduk di kursi kayunya, kali ini benar-benar terlihat marah. Para tentaranya tertangkap, sebanyak itu pula. Tentu Ayah tidak terima. Aku menggigit bawah bibirku, merasa hal buruk akan segera terjadi. Tidak hanya pada desa ini, terlebih kepadaku.
“Siapa yang memimpin penangkapan itu?”
“Kolonel daerah barat, Pak. Kolonel Arnold.”
Bibirku akhirnya berdarah akibat kugigit sendiri.
***

“Ini tugasku, Diah. Mengertilah!”
“Aku adalah anak Kades, tolong ingat itu!”
Aku tidak pernah menginginkan pembicaraan ini. Saat kau dan aku harus berbicara sambil mengibarkan bendera kita. Sejatinya, aku tahu ini salah. Tapi, bisakah kesalahan itu tetap dibiarkan sepanjang kita masih sama-sama bernapas? Dan aku terlanjur keliru, ternyata ada yang kita lewatkan. Malam masih hitam, hanya sayang, gelapnya tidak seperti malam biasanya. Ada mendung disana, mungkin akan turun hujan.
“Aku sudah lelah, Arnold,” terlalu banyak yang kusakiti. Ayah, Ibu, Salman, dan juga desa ini.
“Diah…” Aku tidak mengerti apa yang diinginkan laki-laki ini. Kutilik wajah di hadapnku, masih tampan yang di tengah kegelapan. Sungguh, aku masih menginginnya. Walau kita terlihat baru sebatas dangkal, aku tahu…
“Apa semua ini terlihat  main-main bagimu?”
“Negaramu dan Negaraku juga tidak main-main.”
Kita sesunguhnya tengah membangun cinta sekuat tenaga. Sekuat kita memperjuangkan Negara kita. 
“Ini bukan tentang Negara kita, Diah. Aku hanya tidak mengerti bagaimana jika harus kehilanganmu.” Kau terlihat lebih putus asa. Aku tidak tahu, siapa yang menjadi korban saat ini.
“Aku tidak mau membuat ini lebih sulit lagi, Arnold.”
***

Dan petaka itu pun datang. Benar, akhirnya turun hujan.
“Dari mana kau, Diah?” aku terkejut. Baru saja kuinjakkan kaki di kamar dari  jendela, Ayah membuka pintu kamar dan mendapatiku telah kuyup. Suaranya berang. Di belakang Ayah hadir juga Ibu dan… Salman. Habis sudah, aku ketahuan. Sempat kutatap mata Salman, menyiratkan penyesalan dan kepasrahan. Ya, disini Ayah lah  yang berkuasa. Setelah ini aku tidak mau berharap lagi. Salman sudah berada di pihak Ayah, tidak akan ada yang membelaku lagi. Karena Ibu tidak akan pernah melalukannya untukku kalau itu bertentangan dengan Ayah. Sahabatku telah berkhianat. Harusnya tidak perlu sesakit ini karena aku juga melakukannya. Sama seperti permintaan Ayah selanjutnya, berkhianat.
***
“Aku tidak akan meninggalkanmu dan mengikuti semua maumu, tapi ada syarat yang harus kau lakukan.”
“Apa, Diah?”
“Bebaskan semua pejuang yang sedang kau tahan!”
“Tapi, Diah… aku bisa dihukum Negara. Aku adalah seorang Kolonel.“
“Jika kita sudah bersama, apa kau tetap mau menjadi Kolonel?”
“Aku…”
“Aku juga sama sepertimu, Arnold.”
“Kau akan bersamaku, kan, Diah?”
“…”
“Diah?”
“Tentu.”
***
 Semua seketika berubah lagi, layaknya malam yang menjadi siang. Aku belum memiliki apa-apa, tapi rasanya telah kehilangan banyak hal. Aku yang memulai, dan aku yang harus memutuskan. Dari awal rencana ini memang sudah gagal, pelarian malam itu telah gagal.
“Ayah sudah bilang, tidak akan mengorbankan harta terakhir ayah.” Aku hanya diam, semua sudah berakhir.
“Kolonel muda itu… tidak akan ada yang bisa diambilnya,” Ayah memundurkan duduknya, terlihat begitu tenang dan menang. “Ini adalah pelajaran untukmu, Diah. Ambillah hikmahnya!”
‘Maaf, Arnold.’
“Ayah.”
“Ya?” Ayah menatapku penuh minat.
Aku membuang napas terberat seumur hidupku. Jika hari ini sampai di batas esok, aku tidak akan membuat keputusan apa-apa lagi setelahnya. Terserah. Aku akan menangis sepuasnya setelah ini, tapi tidak akan pernah di depan Ayah.
“Aku rasa… aku sudah siap untuk menikah dengan Salman.”                
***
“Disaa...?” seorang wanita menghampiri Disa yang terpekur di kamar Neneknya. Disa segera menghapus air matanya. Misinya pun gagal hari ini.
Mama duduk di samping Disa, lalu tersenyum maklum. Dia  juga tidak tahu apa-apa.
Are you okay, dear?”
“Ya, Mum.” Disa memaksan senyum. 
Disa mengembalikan agenda itu ke tempat semula. Mulai sekarang, dia harus belajar seperti tidak tahu apa-apa. Lalu bergerak mendekati mamanya, “can I have lunch now, Mum? I feel so hungry.” Disa mengeluh manja.
Of course, dear.
Mama menuntun Disa keluar kamar untuk menuju meja makan. Saat pintu kamar itu tertutup, Disa meremang. Masa lalu nenek pun kembali terkunci bersamaan dengan itu.
 Mama cukup lega putrinya tidak sedih berkepanjangan setelah kepergian Neneknya. Padahal awalnya, ia merasa was-was akan Disa yang begitu dekat dengan neneknya, takut gadis itu tidak bisa merelakan, walau ia sendri sebenaarnya sulit juga. Sudah 17 tahun pikirnya, putrinya tentu tengah beranjak dewasa.
Mum, boleh aku menanyakan sesuatu?” Disa larut dalam belaian Mamanya.
“Tentang apa, sayang?”
“Apa… saat Mum memutuskan untuk bersama Dad, Kakek dan Nenek tidak melarang?”
Wanita itu cukup tersentak dengan pertanyaan putrinya, sekilas bertanya-tanya dalam hati mengapa putrinya tiba-tiba menanyakan hal demikian. Latar belakang ia dan suaminya yang berbeda memang agaknya mengkhawatirkan di awal dan sempat membuatnya ragu.
Setelah duduk di meja makan beliau seperti menerawang lalu menjawab, ”saat itu, Nenek hanya diam tidak memberi tanggapan. Awalnya Mum mengira Nenek tidak setuju atau malah tidak mau ambil pusing dengan hal itu. Toh, keputusan tertinggi selalu di tangan Kakekmu. Setahu Mum, kakekmu adalah orang yang sabar namun tegas. Tapi lambat laun Mum sadar itu lah jawaban yang diberikan oleh Nenek. Tidak memberi jawaban atau pun keputusan. Sedang, Kakek, kau pasti sudah bisa menebak apa jawabannya.”
*****

No comments:

Post a Comment