Jika takdir telah bernama, maka akan ada
fakta yang bertahta. Mengungkap rasa yang pernah bernyawa.
***
“Kenapa...” Rio bersuara. Sambil menimbang apa yang
akan dikatakan selanjutnya kepada gadis itu, dia menilik ke depan. Ke arah anak-anak
hujan yang sedang berlomba-lomba untuk menghujami bumi. Berusaha mencari
kembali cerita yang dulu pernah tersimpan. Di balik hujan.
“Kenapa baru sekarang lo nyangkal ke gue?”
Gadis di sampingnya terdiam. Resah. Pertanyaan itu
mengusik hatinya, membuat napasnya lelah. Jawaban yang bagaimana yang harus ia
berikan?
Gemericik tetesan langit yang menimpa atap
menimbulkan suatu alunan nada yang menghanyutkan mereka. Menenggelamkan ingatan
ke dalam masa lalu. Bagai
air hujan yang berdesakan menyusup ke tanah, kenangan itu mulai menjalar di
pikiran dua anak manusia.
>>>
Dara menggoreskan pensil ke atas buku sketsanya
dengan hikmat. Sesekali―dengan hati-hati, ia melongok ke arah jauh dari balik
tembok di belakangnya untuk mengamati sosok yang menjadi objek seninya. Objek
yang sama dengan hari-hari sebelum ini. Dengan jarak ambil yang cukup jauh,
gadis yang masih berseragam putih abu-abu itu menikmati kebiasaannya sendiri.
Secara rahasia melukis seorang anak laki-laki di sekolahnya. Tanpa tahu
alasannya apa. Yang jelas, ia hanya ingin.
Siluet itu, dengan dingin memainkan bola sepak
sendiri di lapangan sekolah, di tengah gerimis yang―entah bagaimana―menambah
pesonanya. Hanya
gerakan kecil, melambungkan si kulit bundar ke atas dengan kaki.
“Lho, kok hilang?” Dara tercenung. Saat
gerakan lihainya barusan―melongok ke lapangan untuk kesekian kali demi mencari
sasaran, namun tidak
menemukan kembali pemuda itu di sana.
'Apa sudah pergi, ya? Kok, cepat banget?' Dara masih
bertanya kepada batin. Dia bergerak lagi, untuk sekedar memastikan dan...
“Ngapain lo
di sini?”
Glek!
Dara menelan ludah. Bayangan tinggi itu tahu-tahu
sudah menghalangi pandangannya. Tepat berdiri di depan matanya. Suaranya berat dan kaku,
membekukan.
'Mampus!'
Alisnya anak
laki-laki itu bertaut. Aneh, bukannya menjawab
pertanyaan yang ia ajukan, gadis di hadapannya malah―dengan takut-takut―langsung
menunduk dan menggeleng hebat. Sembari terburu menyembunyikan pensil dan buku yang dipegang dengan dua tangan ke belakang tubuhnya.
Membuat ia
curiga dan tanpa segan merebut benda yang disembunyikan itu.
“Apaan, nih?”
Seketika Dara mengangkat kepala. Terenyak. Matanya
terbuka lebar. Tangannya mulai berubah dingin. Sambil menggigit bawah bibirnya,
ia menahan napas. Aah, ketahuan.
Bayangkan! Bintang sekolah yang angkuh itu, pemuda yang jarang mengamalkan senyum―walau begitu ia tetap tampan―tersebut, yang memiliki sikap kasar dan tidak sopan, menangkap basah ia yang sedang...menguntit.
Bayangkan! Bintang sekolah yang angkuh itu, pemuda yang jarang mengamalkan senyum―walau begitu ia tetap tampan―tersebut, yang memiliki sikap kasar dan tidak sopan, menangkap basah ia yang sedang...menguntit.
Aih!
Tetap santai, pemuda manis itu membalik dan
mengamati setiap isi lembar buku yang baru saja direbutnya. Sekilas, ia sempat
menangkap ekspresi aneh gadis tersebut yang terkejut lucu―sekarang sudah
kembali memandang ke bawah. Pemuda itu tersenyum-senyum simpul, menyadari di
setiap halaman buku tersebut terpampang gambarnya dengan berbagai aktivitas.
Kala ia melewati gerbang sekolah, di lapangan bola, duduk di kelas, bersandar
di Ninja-nya, ia dengan senyum
miringnya, bahkan ada gambar saat dia sedang tidur di bangku taman. Malahan
anak itu tidak ingat kapan saja aktivitas itu pernah ia lakukan. Hanya ada beberapa
gambar lain sebagai selingan.
Ada rasa liar yang tengah mengganggu kebingungannya,
merambat hati-hati. Senang berbaur geli. Benarkah ia senang? Dan entah mengapa,
seperti ada sesuatu yang membesarkan hatinya, membuat ia merasa...istimewa.
Anak laki-laki itu beralih, “Ngapain lo gambar gue? Tanpa minta izin, lagi!” dakwanya. Tidak
benar-benar serius,
hanya ingin menakut-nakuti gadis itu saja.
“Huh, bagus banget lo! Enggak tahu siapa gue?”
lanjutnya dengan nada penekanan.
“Ma...maaf,” terembus pelan, kikuk. Mungkin suara itu tidak akan terdengar
tanpa bantuan angin.
Cicit halus tersebut lebih
menggelitik. Menyenangkan sekali mendengarnya di tengah gerimis. Pemuda itu
tidak pernah tahu menindas seseorang bisa menenangkan juga. Yang ia tidak habis
pikir, gadis sepemalu ini telah berani melukisnya diam-diam. Membayangkan itu
saja sudah aneh. Membuatnya tergoda untuk mengangkat sebelah tangannya untuk…
Pluk!
Mengenai kepala gadis tersebut dengan pensil, ”Bodoh!”
gumamnya.
Dara mengangkat wajah, sedikit meringis campur heran.
Untuk beberapa detik, Dara baru tersadar kalau ia sedang terpana. Pemuda di
hadapannya tengah tersenyum miring,
tipis tapi manis. Si Mario Aditya yang dielu-elukan
itu tersenyum, kepadanya.
Untuk yang pertama kali sepertinya.
“Nih, ambil punya lo!”
Bersama perasaan tidak keruan
yang menyergap, dengan
kaku Dara mengambil buku dan
pensil miliknya
yang disodorkan Rio.
Deru rintihan awan yang sudah beranjak deras itu
mengiringi Rio yang berlalu melewati koridor sekolah. Mulai menjauh dari gadis
yang sedang termangu-mangu
menatap punggungnya.
Dara mengerjapkan matanya beberapa kali memandangi
buku sketsa dengan latar pemuda yang tersenyum tadi. Jauh lebih menawan dari
yang pernah ia gambar. Lengkungan sederhana bibir itu masih menari-nari di
otaknya, merangkai imajinasi di luar batas. Entah atas dasar apa Rio tersenyum
kepadanya, Dara tidak terlalu peduli.
“Dara?”
Ternyata Rio berbalik. Merasa ada yang harus ia
sampaikan kepada gadis di sana.
Dara mendongak, menyadari Rio
telah mengetahui namanya.
“Di buku tadi, muka gue keliatan samar-samar. Kayaknya,
jarak lo kejauhan,” Rio terdiam sesaat
untuk menarik napas dan menimbang, “lain kali… enggak usah jauh-jauh!” kemudian benar-benar berlalu.
Setelahnya Dara melambung, lalu mewanti-wanti dirinya
agar jangan sampai lupa bernapas. Mungkin waktu telah menyadarkannya akan
sesuatu, dari awal hingga seterusnya, mungkin ia tidak akan pernah tahu alasan
mengapa ia sudah jatuh.
>>>
Hujan lagi. Terpaan air dari langit itu tak bosan
mengguyur bumi. Menemani gadis yang sedang berjalan terseok-seok sendiri di trotoar
sunyi bersama payungnya. Dara berhenti melangkah, kemudian mendesah. Ia menjulurkan
sebelah tangannya yang bebas ke luar dari lindungan paying, merasakan dingin
tangisan awan itu menimpa telapak tangannya. Kepalanya sedikit menengadah ke
atas. Tangisan itu, seperti mengundangnya juga. Padahal jelas-jelas sekarang bukan hari untuk berduka.
“Nebeng,
dong!”
Tubuh tinggi itu menyelinap. Memaksa Dara reflek menaikkan payung agar tidak
mengenai kepala anak laki-laki yang sudah seenaknya itu. Aroma raga yang sudah
berbaur dengan hujan tiba-tiba menyeruak ke penciuman, Dara sudah hapal aroma
ini. Aroma yang sering memberikan desiran hangat di dadanya. Dengan dandanan
berantakan dan air menetes dari ujung rambut yang sudah lepek dicuci hujan, Rio
tetap terlihat mengagumkan. Semaunya, pemuda itu nyengir tanpa dosa.
Lalu terdengar suara, “Kalau enggak mau ikut coret-coretan harusnya lo bilang ke gue.
Jangan langsung pulang gini! Dari tadi gue cariin,” tiba-tiba Rio ngomel
tidak jelas. Dara jadi gelapan mendengarnya.
“Iya… maaf!” balas Dara. Maaf yang
bukan untuk satu alasan saja. Maaf untuk hari ini dan seterusnya.
Rio tersenyum miring, lantas mengacak lembut puncak
kepala Dara. Ia tidak pernah benar-benar marah pada Dara, terlebih tidak bisa. Pemuda
itu terdiam sebentar, beberapa detik selanjutnya ia bergerak mengeluarkan
sesuatu dari saku celana. Sebuah spidol. “Sini!” Rio
menarik lengan baju Dara. Kemudian menuliskan tanda tangan dan namanya di sana. Setelah selesai, ia
kembali berujar, “Sebagai
bukti autentik
lain lo itu udah lulus. Enggak afdol
kalau belum gue coret. Hehe…” sesuka
hatinya. Baju dan celana
Rio sendiri sudah dipenuhi coretan spidol dan pilox di mana-mana, ala
kelulusan SMA.
“Dasar kamu!” Dara mendorong kecil
lengan Rio, lalu memaksakan agar bibirnya dapat membentuk seulas senyum. Kurang
berhasil. Saat ini, hatinya sedang tak kalah mendung dengan cuaca.
Rio memperhatikan sekitar yang basah, payung yang
melindungi mereka pun tidak cukup membantu. “Sampe kapan mau berdiri
di sini?”
“Yo… aku...bakal
lanjutin kuliah di Melbourne,”
luruh Dara tanpa peringatan sebelumnya. Tidak tahu bagaimana cara menyampaikan
berita ini. Berita buruk yang dibawa hujan kali ini. Dia membuang napas kuat, sedikit
merutuki keputusan sepihak orang tuanya yang tidak bisa ia bantah― itu bukan
sifatnya. Gadis itu langsung mengganti pandangan ke ujung rok, saat siksaan
lebih nyata itu ternyata datang dari perubah ekspresi syok Rio.
‘Jangan seperti itu!’
Hening.
"Eem… lo enggak
harus pulang cepat, kan?”
tanya Rio setengah memaksa.
Dara mengangkat wajahnya, heran dengan pertanyaan
Rio. Menggeleng lemah, “kenapa?”
“Payung lo mahal, enggak?”
“Hah?”
Rio mengabaikan kebingungan Dara. Secara cepat ia menarik
pergelangan gadis itu yang sedang memegang payung, lalu mengambil alih dan
dengan santai membiarkan payung itu terbang terbawa angin.
“Lho,
kok payungnya di buang, Yo?”
cemas Dara, mulai merasakan air hujan menusuk-nusuk tubuhnya.
“Hujan-hujanan sama gue…bentar
aja!” pinta Rio datar. Sedekat itu kah
perpisahan?
Hujan berteriak keras. Memberikan rasa sejuk yang
keterlaluan untuk sepasang manusia yang sedang berjalan bergandengan menantang
airnya. Tangan kokoh Rio menggigil,
namun tetap berharap masih ada sisa kehangatan
untuk Dara. Setidaknya
cukup membuat gadis itu merasa nyaman dan bertahan dengan dingin yang
meyelimuti tulang hingga ngilu
tersebut.
Dara menatap punggung tegap itu dari belakang. Punggung yang dulu menjauh itu kini sangat dekat. Sekelebat
kenangannya bersama Rio yang berlari-lari
di otaknya mulai hilang timbul, masa yang akan segera sering ia rindukan. Hujan-hujan
yang pernah berderai indah itu. Mario yang akhirnya dapat membuat ia kerasan
meski dengan segala sikap tak acuhnya, pengisi halaman buku sketsanya,
penghadir desir-desir hangat itu. Rionya. Rongga kosong yang akan memelukknya
ke mana-mana
itu mulai menakuti Dara. Sepinya, yang siap menjelang.
“Ngaphaiin...
kitah..
ke sinhii, Yo?” Dara kedinginan.
Mereka berhenti di bawah pohon di taman kecil dekat
sekolah, tempat di mana
mereka sering berteduh kalau hujan hanya meninggalkan gerimis sepulang sekolah¾karena
halte sudah lebih dulu penuh dan sesak. Sekarang bukan untuk berteduh, karena toh, berada di bawah pohon itu tidak menghalangi mereka terkena
cucuran air dari langit. Hanya saja, mungkin tinggal ini saat di mana mereka bisa
mengulur waktu bersama.
Rio tidak menjawab. Sebelah tangannya merogoh saku
celana untuk mengeluarkan satu benda lagi. Bertingkah bagai sakunya itu tidak
jauh beda dengan kantong doraemon. Sebilah pisau keluar dari dalam sana.
Dara agak terbelalak saat ujung pisau kecil
menyeringai. Dia membayangkan pisau itu bisa digunakan untuk apa saja.
“Tenang... ajhaa!
Houuh... bukhaan darah-darahhaaan, kok.” Rio meyakinkan.
Rio mulai menyayat kulit luar pohon itu dengan
kasar. Agak kesusahan, karena dayanya sedang aktif melawan rasa dingin. Satu
tangannya tak lepas menggenggam tangan Dara. Sesekali meremasnya, untuk memastikan kalau semua akan
baik-baik saja. Gadis itu sudah menggigil.
Dara bersedekap memandangi kesibukan Rio. Butuh
waktu yang lumayan panjang.
Mario
Dara
Torehan di pohon itu membentuk nama mereka.
Rio menarik udara dalam-dalam, melepasnya perlahan.
Lalu menohok manik mata Dara. Ia
akan mengatakannya sejelas-jelasnya, “Hoouuh… Dulu... gue berharap cerita kita bisa kayak
pohon yang terus tumbuh, bertahun-tahun sampai nanti harus mati karena udah tua.
Dan sekarang… saat perpisahan di depan mata, gue enggak mau menyerah. Gue
enggak mau kita menyerah.”
Bagaimana jika pohon itu dibunuh? Dipaksa untuk mati.
Semua telah teruraikan, lunas bersama perasaan mereka
yang mengerti.
“Ra.. never let this feeling
is gone. Would
you?”
Tanpa ada yang diragukan, Dara mengangguk. Mantap.
***
Dara memejamkan matanya. Namun, ternyata gelap tetap
mengerikan.
“Karena kamu semu, Yo...”
Karna sesuatu yang tidak pasti itu, mungkin, lebih
baik dibiarkan pergi. Walau tanpa ingin.
>>>
Di sudut sebuah gedung, gadis berambut panjang itu termenung sendiri
menekuri kejadian alam di luar dari dinding kaca transparan¾hujan.
Matanya sendu. Cuap-cuap keriuhan di gedung itu tidak lagi bisa menghibur kalau
hujan sudah turun. Sudah rarusan kali hujan yang ia saksikan, namun tidak
pernah menyiksa seperti belakangan ini.
Dara mendesah berat, ada yang hilang. Di balik
hujan.
“Udah
balik enggak bilang-bilang. Kebiasaan
ya, Ra?” Suara berat itu,
tiba-tiba terdengar lagi. Suara yang dua tahun belakangan menjadi kunci bimbangnya. Padahal, suara itu sudah hampir bisa ia lupakan. Dara
sontak menoleh.
Bukan. Bukan hari ini harusnya. Dara tidak menyangka
Rio akan menemukannya secepat ini. Ah iya, pameran lukisan. Berita yang juga
beredar di surat kabar. Bagaimana bisa ia melewatkannya.
Rio melambaikan tangannya di depan wajah Dara, karena
gadis itu kontan
bergeming saat menoleh kepadanya.
“Gue
makin cakep,
ya? Segitu
banget ngeliatnya.”
“Eh...” Dara berkedip.
“Rio! Apa kabar?” pekik Dara ceria, dengan
suara yang sebenarnya agak gugup. Takjub dengan alasan yang belum jelas apa. Dara ingin sekali memeluknya karena rindu, namun tidak
benar-benar berani.
Rio kurang
menyadari ada yang salah. “Eem…
enggak terlalu bagus. Apalagi sejak lo enggak
kasih kabar dari
beberapa bulan yang lalu...”
terdiam sesaat, Rio menatap profil gadis yang sedang menunggu jawaban darinya,
wajah yang sangat ia rindukan itu. “Lo
tahu,
enggak? Gue hampir frustasi nyari kabar
tentang lo. Dan sekarang, tahu-tahu lo udah di
Jakarta aja.”
Dara diam. Tidak tahu mau menjawab bagaimana.
Rio menangkap kebingungan Dara. Gadis itu masih
sama, pikirnya. Kadang, salah mengartikan ucapannya. Setelah ikut diam sebentar, Rio memilih
berkata lagi, “udah…enggak pa-pa, kok. Gue ngerti lo sibuk.” Lebih tidak ingin
membuat Dara merasa bersalah karena
tidak memberinya kabar. Rio hanya ingin Dara tahu, dua tahun tidak membuatnya
menyerah.
“Aku...” akhirnya, “Aku mau kasih kamu surprise." Dara berucap
lain. Sebuah kebohongan, mungkin. Biarlah! Biarlah hari ini akan banyak
kepalsuan. Setidaknya, untuk hari ini saja, ia bisa mengecap bahagia dari
melepas rindu. Begitu juga pemuda itu. Semoga.
Rio belum sempat memberi tanggapan.
“Kangen sama kamu,” Dara sudah berhambur
ke pelukannya. Dekapan yang
hampir terlambat.
Rio terenyak. Ada yang aneh dengan gadisnya. Sesuatu
yang terasa tidak lazim. Ya, walaupun
sedari tadi ia sudah ingin menarik gadis itu dalam dekapnya juga. Tapi Dara
tidak biasa seperti ini. Dulu, Dara lebih terkesan agak 'cupu' dan malu-malu.
Entahlah, mungkin pergaulan di luar negeri sana sedikit banyak telah
mengubahnya, pikir Rio. Rio
membalas pelukan gadis itu, “Selalu.”
Tidak lama, Dara menarik tubuhnya. Karena seiring
detik yang bertalu, dekapan Rio menjadi terasa sesak.
“Lo
baik-baik aja, kan?” tanya Rio, memastikan.
Sebelah tangannya mengelus-elus kepala Dara.
“Yeah,
i'm pretty fine.”
Wajahnya, lagi-lagi seolah ceria.
Rio tersenyum menawan seperti biasa. Dara baru sadar
tidak banyak yang berubah dari pemuda itu. Untuk beberapa waktu yang berlalu
mereka biarkan mengalir dalam diam. Sama-sama memandangi keberadaan hujan.
“Masih dengan hujan ya,
Ra,”
simpul Rio.
Gadis itu hanya tersenyum sebagai jawaban. Tanpa
mengalihkan pandangan dari depan, ia tahu Rio mengetahuinya. “Yo… what you find... something different there?
'bout our rain?”
Rio terpekur sejenak. Ya, mungkin saja jawabannya
akan terdengar mellow. “There’s nothing. For me… the rain was still ours. The rain
that always keep our memories. Isn't it?” katanya beralih ke
Dara.
Dara lagi-lagi hanya bisa tersenyum tipis membalas
pemuda itu. Sebagian hatinya mengatakan, ia baru saja melukai Rio. Jawaban
miliknya berbeda, padahal itu adalah hujan mereka. Sejujurnya, Dara juga tidak ingin menyerah. Bisa kah semua tetap
baik-baik saja?
Rio mengedarkan pandangannya, “Pameran lo bagus. Enggak sia-sia waktu sekolah
dulu gue jadi juru model lo,” lalu terkekeh sendiri.
Dara turut terelak, “Thanks,
Mario.”
“Kapan punya waktu
luang? Kita
harusnya bicara banyak hal.”
Dara baru saja membuka mulutnya untuk menjawab, saat
That I'm
officially going on the record
To say I'm in
love with you
Reff
Officially Yours-nya Craig David
berdering dari I phone
Dara, pertanda ada panggilan.
I'm officially everything
you hope that I would be
This time I'll
tell the truth
Dara menghela napas berat saat melihat nama yang
yang tertera di layar itu. Ia melirik Rio, tidak enak.
I'm officially
wrong I know
For letting you
go the way I did
“Angkat aja.”
Mendesah lagi, Dara tidak benar-benar ingin
mengangkatnya.
Unconditi...
Klik.
“Iya, Di?”
***
I'm falling apart. I'm falling apart
Don't say this won't last forever
You're breaking my heart. You're breaking my heart
Don't tell me that we will never be together
We could be, over and over
We could be, forever
I'm falling apart. I'm falling apart
Don't say this won't last forever
You're breaking my heart. You're breaking my heart
Don't tell me that we will never be together
We could be, over and over
We could be, forever
Semu?
Rio tidak pernah menganggap apa yang
diperjuangkannya sampai detik ini hanya lah semu. Dan ia berharap, dua tahun
ini Dara juga begitu. Belum menyerah.
“Ra...”
“Dan pelangi sehabis
hujan pun… enggak ada yang abadi, Yo.”
Rio diam tidak percaya.
No comments:
Post a Comment