Tuesday 2 April 2013

Di Balik Hujan


Jika takdir telah bernama, maka akan ada fakta yang bertahta. Mengungkap rasa yang pernah bernyawa.
 ***
“Kenapa...” Rio bersuara. Sambil menimbang apa yang akan dikatakan selanjutnya kepada gadis itu, dia menilik ke depan. Ke arah anak-anak hujan yang sedang berlomba-lomba untuk menghujami bumi. Berusaha mencari kembali cerita yang dulu pernah tersimpan. Di balik hujan.
“Kenapa baru sekarang lo nyangkal ke gue?”
Gadis di sampingnya terdiam. Resah. Pertanyaan itu mengusik hatinya, membuat napasnya lelah. Jawaban yang bagaimana yang harus ia berikan?
Gemericik tetesan langit yang menimpa atap menimbulkan suatu alunan nada yang menghanyutkan mereka. Menenggelamkan ingatan ke dalam masa lalu. Bagai air hujan yang berdesakan menyusup ke tanah, kenangan itu mulai menjalar di pikiran dua anak manusia.
>>> 
Dara menggoreskan pensil ke atas buku sketsanya dengan hikmat. Sesekali―dengan hati-hati, ia melongok ke arah jauh dari balik tembok di belakangnya untuk mengamati sosok yang menjadi objek seninya. Objek yang sama dengan hari-hari sebelum ini. Dengan jarak ambil yang cukup jauh, gadis yang masih berseragam putih abu-abu itu menikmati kebiasaannya sendiri. Secara rahasia melukis seorang anak laki-laki di sekolahnya. Tanpa tahu alasannya apa. Yang jelas, ia hanya ingin.
Siluet itu, dengan dingin memainkan bola sepak sendiri di lapangan sekolah, di tengah gerimis yang―entah bagaimana―menambah pesonanya. Hanya gerakan kecil, melambungkan si kulit bundar ke atas dengan kaki.
Lho, kok hilang?” Dara tercenung. Saat gerakan lihainya barusan―melongok ke lapangan untuk kesekian kali demi mencari sasaran, namun tidak menemukan kembali pemuda itu di sana.
'Apa sudah pergi, ya? Kok, cepat banget?' Dara masih bertanya kepada batin. Dia bergerak lagi, untuk sekedar memastikan dan...
Ngapain lo di sini?”
Glek!
Dara menelan ludah. Bayangan tinggi itu tahu-tahu sudah menghalangi pandangannya. Tepat berdiri di depan matanya. Suaranya berat dan kaku, membekukan.
'Mampus!'
Alisnya anak laki-laki itu bertaut. Aneh, bukannya menjawab pertanyaan yang ia ajukan, gadis di hadapannya malah―dengan takut-takut―langsung menunduk dan menggeleng hebat. Sembari terburu menyembunyikan pensil dan buku yang dipegang dengan dua tangan ke belakang tubuhnya. Membuat ia curiga dan tanpa segan merebut benda yang disembunyikan itu.
“Apaan, nih?”
Seketika Dara mengangkat kepala. Terenyak. Matanya terbuka lebar. Tangannya mulai berubah dingin. Sambil menggigit bawah bibirnya, ia menahan napas. Aah, ketahuan.
Bayangkan! Bintang sekolah yang angkuh itu, pemuda yang jarang mengamalkan senyum―walau begitu ia tetap tampan―tersebut, yang
memiliki sikap kasar dan tidak sopan, menangkap basah ia yang sedang...menguntit.
Aih!
Tetap santai, pemuda manis itu membalik dan mengamati setiap isi lembar buku yang baru saja direbutnya. Sekilas, ia sempat menangkap ekspresi aneh gadis tersebut yang terkejut lucu―sekarang sudah kembali memandang ke bawah. Pemuda itu tersenyum-senyum simpul, menyadari di setiap halaman buku tersebut terpampang gambarnya dengan berbagai aktivitas. Kala ia melewati gerbang sekolah, di lapangan bola, duduk di kelas, bersandar di Ninja-nya, ia dengan senyum miringnya, bahkan ada gambar saat dia sedang tidur di bangku taman. Malahan anak itu tidak ingat kapan saja aktivitas itu pernah ia lakukan. Hanya ada beberapa gambar lain sebagai selingan.
Ada rasa liar yang tengah mengganggu kebingungannya, merambat hati-hati. Senang berbaur geli. Benarkah ia senang? Dan entah mengapa, seperti ada sesuatu yang membesarkan hatinya, membuat ia merasa...istimewa.
Anak laki-laki itu beralih, “Ngapain lo gambar gue? Tanpa minta izin, lagi!” dakwanya. Tidak benar-benar serius, hanya ingin menakut-nakuti gadis itu saja.
“Huh, bagus banget lo! Enggak tahu siapa gue?” lanjutnya dengan nada penekanan.
“Ma...maaf,” terembus pelan, kikuk. Mungkin suara itu tidak akan terdengar tanpa bantuan angin.
Cicit halus tersebut lebih menggelitik. Menyenangkan sekali mendengarnya di tengah gerimis. Pemuda itu tidak pernah tahu menindas seseorang bisa menenangkan juga. Yang ia tidak habis pikir, gadis sepemalu ini telah berani melukisnya diam-diam. Membayangkan itu saja sudah aneh. Membuatnya tergoda untuk mengangkat sebelah tangannya untuk…
Pluk!
Mengenai kepala gadis tersebut dengan pensil, ”Bodoh!” gumamnya.
Dara mengangkat wajah, sedikit meringis campur heran. Untuk beberapa detik, Dara baru tersadar kalau ia sedang terpana. Pemuda di hadapannya tengah tersenyum miring, tipis tapi manis. Si Mario Aditya yang dielu-elukan itu tersenyum, kepadanya. Untuk yang pertama kali sepertinya.
Nih, ambil punya lo!
Bersama perasaan tidak keruan yang menyergap, dengan kaku Dara mengambil buku dan pensil miliknya yang disodorkan Rio.
Deru rintihan awan yang sudah beranjak deras itu mengiringi Rio yang berlalu melewati koridor sekolah. Mulai menjauh dari gadis yang sedang termangu-mangu menatap punggungnya.
Dara mengerjapkan matanya beberapa kali memandangi buku sketsa dengan latar pemuda yang tersenyum tadi. Jauh lebih menawan dari yang pernah ia gambar. Lengkungan sederhana bibir itu masih menari-nari di otaknya, merangkai imajinasi di luar batas. Entah atas dasar apa Rio tersenyum kepadanya, Dara tidak terlalu peduli.
Dara?
Ternyata Rio berbalik. Merasa ada yang harus ia sampaikan kepada gadis di sana. Dara mendongak, menyadari Rio telah mengetahui namanya.
Di buku tadi, muka gue keliatan samar-samar. Kayaknya, jarak lo kejauhan,” Rio terdiam sesaat untuk menarik napas dan menimbang, “lain kali… enggak usah jauh-jauh!” kemudian benar-benar berlalu.
Setelahnya Dara melambung, lalu mewanti-wanti dirinya agar jangan sampai lupa bernapas. Mungkin waktu telah menyadarkannya akan sesuatu, dari awal hingga seterusnya, mungkin ia tidak akan pernah tahu alasan mengapa ia sudah jatuh.
>>> 
Hujan lagi. Terpaan air dari langit itu tak bosan mengguyur bumi. Menemani gadis yang sedang berjalan terseok-seok sendiri di trotoar sunyi bersama payungnya. Dara berhenti melangkah, kemudian mendesah. Ia menjulurkan sebelah tangannya yang bebas ke luar dari lindungan paying, merasakan dingin tangisan awan itu menimpa telapak tangannya. Kepalanya sedikit menengadah ke atas. Tangisan itu, seperti mengundangnya juga. Padahal jelas-jelas sekarang bukan hari untuk berduka.
Nebeng, dong! Tubuh tinggi itu menyelinap. Memaksa Dara reflek menaikkan payung agar tidak mengenai kepala anak laki-laki yang sudah seenaknya itu. Aroma raga yang sudah berbaur dengan hujan tiba-tiba menyeruak ke penciuman, Dara sudah hapal aroma ini. Aroma yang sering memberikan desiran hangat di dadanya. Dengan dandanan berantakan dan air menetes dari ujung rambut yang sudah lepek dicuci hujan, Rio tetap terlihat mengagumkan. Semaunya, pemuda itu nyengir tanpa dosa.
Lalu terdengar suara, “Kalau enggak mau ikut coret-coretan harusnya lo bilang ke gue. Jangan langsung pulang gini! Dari tadi gue cariin, tiba-tiba Rio ngomel tidak jelas. Dara jadi gelapan mendengarnya.
Iya… maaf! balas Dara. Maaf yang bukan untuk satu alasan saja. Maaf untuk hari ini dan seterusnya.
Rio tersenyum miring, lantas mengacak lembut puncak kepala Dara. Ia tidak pernah benar-benar marah pada Dara, terlebih tidak bisa. Pemuda itu terdiam sebentar, beberapa detik selanjutnya ia bergerak mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Sebuah spidol. Sini! Rio menarik lengan baju Dara. Kemudian menuliskan tanda tangan dan namanya di sana. Setelah selesai, ia kembali berujar, “Sebagai bukti autentik lain lo itu udah lulus. Enggak afdol kalau belum gue coret. Hehe… sesuka hatinya. Baju dan celana Rio sendiri sudah dipenuhi coretan spidol dan pilox di mana-mana, ala kelulusan SMA.
Dasar kamu! Dara mendorong kecil lengan Rio, lalu memaksakan agar bibirnya dapat membentuk seulas senyum. Kurang berhasil. Saat ini, hatinya sedang tak kalah mendung dengan cuaca.
Rio memperhatikan sekitar yang basah, payung yang melindungi mereka pun tidak cukup membantu. Sampe kapan mau berdiri di sini?
Yo… aku...bakal lanjutin kuliah di Melbourne,” luruh Dara tanpa peringatan sebelumnya. Tidak tahu bagaimana cara menyampaikan berita ini. Berita buruk yang dibawa hujan kali ini. Dia membuang napas kuat, sedikit merutuki keputusan sepihak orang tuanya yang tidak bisa ia bantah― itu bukan sifatnya. Gadis itu langsung mengganti pandangan ke ujung rok, saat siksaan lebih nyata itu ternyata datang dari perubah ekspresi syok Rio.
Jangan seperti itu!’
Hening.
"Eem… lo enggak harus pulang cepat, kan? tanya Rio setengah memaksa.
Dara mengangkat wajahnya, heran dengan pertanyaan Rio. Menggeleng lemah, kenapa?
Payung lo mahal, enggak?
Hah?
Rio mengabaikan kebingungan Dara. Secara cepat ia menarik pergelangan gadis itu yang sedang memegang payung, lalu mengambil alih dan dengan santai membiarkan payung itu terbang terbawa angin.
Lho, kok payungnya di buang, Yo? cemas Dara, mulai merasakan air hujan menusuk-nusuk tubuhnya.
Hujan-hujanan sama gue…bentar aja! pinta Rio datar. Sedekat itu kah perpisahan?
Hujan berteriak keras. Memberikan rasa sejuk yang keterlaluan untuk sepasang manusia yang sedang berjalan bergandengan menantang airnya. Tangan kokoh Rio menggigil, namun tetap berharap masih ada sisa kehangatan untuk Dara. Setidaknya cukup membuat gadis itu merasa nyaman dan bertahan dengan dingin yang meyelimuti tulang hingga ngilu tersebut.
Dara menatap punggung tegap itu dari belakang. Punggung yang dulu menjauh itu kini sangat dekat. Sekelebat kenangannya bersama Rio yang berlari-lari di otaknya mulai hilang timbul, masa yang akan segera sering ia rindukan. Hujan-hujan yang pernah berderai indah itu. Mario yang akhirnya dapat membuat ia kerasan meski dengan segala sikap tak acuhnya, pengisi halaman buku sketsanya, penghadir desir-desir hangat itu. Rionya. Rongga kosong yang akan memelukknya ke mana-mana itu mulai menakuti Dara. Sepinya, yang siap menjelang.
Ngaphaiin... kitah.. ke sinhii, Yo?” Dara kedinginan.
Mereka berhenti di bawah pohon di taman kecil dekat sekolah, tempat di mana mereka sering berteduh kalau hujan hanya meninggalkan gerimis sepulang sekolah¾karena halte sudah lebih dulu penuh dan sesak. Sekarang bukan untuk berteduh, karena toh, berada di bawah pohon itu tidak menghalangi mereka terkena cucuran air dari langit. Hanya saja, mungkin tinggal ini saat di mana mereka bisa mengulur waktu bersama.
Rio tidak menjawab. Sebelah tangannya merogoh saku celana untuk mengeluarkan satu benda lagi. Bertingkah bagai sakunya itu tidak jauh beda dengan kantong doraemon. Sebilah pisau keluar dari dalam sana.
Dara agak terbelalak saat ujung pisau kecil menyeringai. Dia membayangkan pisau itu bisa digunakan untuk apa saja.
Tenang... ajhaa! Houuh... bukhaan darah-darahhaaan, kok.” Rio meyakinkan.
Rio mulai menyayat kulit luar pohon itu dengan kasar. Agak kesusahan, karena dayanya sedang aktif melawan rasa dingin. Satu tangannya tak lepas menggenggam tangan Dara. Sesekali meremasnya, untuk memastikan kalau semua akan baik-baik saja. Gadis itu sudah menggigil.
Dara bersedekap memandangi kesibukan Rio. Butuh waktu yang lumayan panjang.

Mario
Dara
Torehan di pohon itu membentuk nama mereka.
Rio menarik udara dalam-dalam, melepasnya perlahan. Lalu menohok manik mata Dara. Ia akan mengatakannya sejelas-jelasnya, “Hoouuh… Dulu... gue berharap cerita kita bisa kayak pohon yang terus tumbuh, bertahun-tahun sampai nanti harus mati karena udah tua. Dan sekarang… saat perpisahan di depan mata, gue enggak mau menyerah. Gue enggak mau kita menyerah.”
Bagaimana jika pohon itu dibunuh? Dipaksa untuk mati.
Semua telah teruraikan, lunas bersama perasaan mereka yang mengerti.
Ra.. never let this feeling is gone. Would you?
Tanpa ada yang diragukan, Dara mengangguk. Mantap.
***
Dara memejamkan matanya. Namun, ternyata gelap tetap mengerikan.
Karena kamu semu, Yo...
Karna sesuatu yang tidak pasti itu, mungkin, lebih baik dibiarkan pergi. Walau tanpa ingin.
>>> 
Di sudut sebuah gedung, gadis berambut panjang itu termenung sendiri menekuri kejadian alam di luar dari dinding kaca transparan¾hujan. Matanya sendu. Cuap-cuap keriuhan di gedung itu tidak lagi bisa menghibur kalau hujan sudah turun. Sudah rarusan kali hujan yang ia saksikan, namun tidak pernah menyiksa seperti belakangan ini.
Dara mendesah berat, ada yang hilang. Di balik hujan.
Udah balik enggak bilang-bilang. Kebiasaan ya, Ra?” Suara berat itu, tiba-tiba terdengar lagi. Suara yang dua tahun belakangan menjadi kunci bimbangnya. Padahal,  suara itu sudah hampir bisa ia lupakan. Dara sontak menoleh.
Bukan. Bukan hari ini harusnya. Dara tidak menyangka Rio akan menemukannya secepat ini. Ah iya, pameran lukisan. Berita yang juga beredar di surat kabar. Bagaimana bisa ia melewatkannya.
Rio melambaikan tangannya di depan wajah Dara, karena gadis itu kontan bergeming saat menoleh kepadanya. Gue makin cakep, ya? Segitu banget ngeliatnya.
Eh... Dara berkedip.
Rio! Apa kabar? pekik Dara ceria, dengan suara yang sebenarnya agak gugup. Takjub dengan alasan yang belum jelas apa. Dara ingin sekali memeluknya karena rindu, namun tidak benar-benar berani.
Rio kurang menyadari ada yang salah. Eem… enggak terlalu bagus. Apalagi sejak lo enggak kasih kabar dari beberapa bulan yang lalu... terdiam sesaat, Rio menatap profil gadis yang sedang menunggu jawaban darinya, wajah yang sangat ia rindukan itu. Lo tahu, enggak? Gue hampir frustasi nyari kabar tentang lo. Dan sekarang, tahu-tahu lo udah di Jakarta aja.
Dara diam. Tidak tahu mau menjawab bagaimana.
Rio menangkap kebingungan Dara. Gadis itu masih sama, pikirnya. Kadang, salah mengartikan ucapannya. Setelah ikut diam sebentar, Rio memilih berkata lagi, udahenggak pa-pa, kok. Gue ngerti lo sibuk. Lebih tidak ingin membuat Dara merasa bersalah karena tidak memberinya kabar. Rio hanya ingin Dara tahu, dua tahun tidak membuatnya menyerah.
Aku...akhirnya, “Aku mau kasih kamu surprise." Dara berucap lain. Sebuah kebohongan, mungkin. Biarlah! Biarlah hari ini akan banyak kepalsuan. Setidaknya, untuk hari ini saja, ia bisa mengecap bahagia dari melepas rindu. Begitu juga pemuda itu. Semoga.
Rio belum sempat memberi tanggapan.
Kangen sama kamu, Dara sudah berhambur ke pelukannya. Dekapan yang hampir terlambat.
Rio terenyak. Ada yang aneh dengan gadisnya. Sesuatu yang terasa tidak lazim. Ya, walaupun sedari tadi ia sudah ingin menarik gadis itu dalam dekapnya juga. Tapi Dara tidak biasa seperti ini. Dulu, Dara lebih terkesan agak 'cupu' dan malu-malu. Entahlah, mungkin pergaulan di luar negeri sana sedikit banyak telah mengubahnya, pikir Rio. Rio membalas pelukan gadis itu, “Selalu.”
Tidak lama, Dara menarik tubuhnya. Karena seiring detik yang bertalu, dekapan Rio menjadi terasa sesak.
Lo baik-baik aja, kan? tanya Rio, memastikan. Sebelah tangannya mengelus-elus kepala Dara.
Yeah, i'm pretty fine. Wajahnya, lagi-lagi seolah ceria.
Rio tersenyum menawan seperti biasa. Dara baru sadar tidak banyak yang berubah dari pemuda itu. Untuk beberapa waktu yang berlalu mereka biarkan mengalir dalam diam. Sama-sama memandangi keberadaan hujan.
Masih dengan hujan ya, Ra, simpul Rio.
Gadis itu hanya tersenyum sebagai jawaban. Tanpa mengalihkan pandangan dari depan, ia tahu Rio mengetahuinya.Yo… what you find... something different there? 'bout our rain?
Rio terpekur sejenak. Ya, mungkin saja jawabannya akan terdengar mellow. There’s nothing. For me… the rain was still ours. The rain that always keep our memories. Isn't it? katanya beralih ke Dara.
Dara lagi-lagi hanya bisa tersenyum tipis membalas pemuda itu. Sebagian hatinya mengatakan, ia baru saja melukai Rio. Jawaban miliknya berbeda, padahal itu adalah hujan mereka. Sejujurnya, Dara juga tidak ingin menyerah. Bisa kah semua tetap baik-baik saja?
Rio mengedarkan pandangannya, “Pameran lo bagus. Enggak  sia-sia waktu sekolah dulu gue jadi juru model lo, lalu terkekeh sendiri.
Dara turut terelak, Thanks, Mario.
Kapan punya waktu luang? Kita harusnya bicara banyak hal.
Dara baru saja membuka mulutnya untuk menjawab, saat
That I'm officially going on the record
To say I'm in love with you
Reff Officially Yours-nya Craig David berdering dari I phone Dara, pertanda ada panggilan.
I'm officially everything you hope that I would be
This time I'll tell the truth
Dara menghela napas berat saat melihat nama yang yang tertera di layar itu. Ia melirik Rio, tidak enak.
I'm officially wrong I know
For letting you go the way I did
Angkat aja.
Mendesah lagi, Dara tidak benar-benar ingin mengangkatnya.
Unconditi...
Klik.
Iya, Di?
***
I'm falling apart. I'm falling apart
Don't say this won't last forever
You're breaking my heart. You're breaking my heart
Don't tell me that we will never be together
We could be, over and over
We could be, forever
Semu?
Rio tidak pernah menganggap apa yang diperjuangkannya sampai detik ini hanya lah semu. Dan ia berharap, dua tahun ini Dara juga begitu. Belum menyerah.
Ra...
Dan pelangi sehabis hujan pun… enggak ada yang abadi, Yo.
Rio diam tidak percaya.

No comments:

Post a Comment