Monday 1 April 2013

Semi di Musim Gugur

Semi di Musim Gugur

    December 3th, 2011
    Musim gugur menyemat sendu. Tersisipkan di antara daun-daun yang luruh dari dahannya dalam satuan waktu. Semilir angin menggelitik agar bungkam, getir menyesap musim yang akan berganti awan.
    East River, Manhattan, New York City
    Aku menyusuri tepian East River sambil menikmati suasana sore musim gugur. Angin bertiup menerpa tubuhku yang walau sudah dibalut dengan overcoat masih saja terasa dingin. Merasa sedikit terganggu, kueratkan tangan yang berada di saku jaket untuk lebih membungkusku. Aku berjalan tanpa tujuan, tidak tahu untuk apa mendatangi tempat ini. Tempat di mana satu cerita berawal, dulu. Di dermaga East River bawah Brooklyn Bridge.
Kuhentikan langkah, terpaku pada pemandangan di sebelah barat tepi anjungan sungai. Sekumpulan anak muda sedang asik mengabadikan aksi mereka di sana. Dengan latar belakang megahnya kota Manhattan yang terlihat seperti tepat di kolong jembatan Brooklyn. Ditambah dengan sorot lampu warna-warni dari gedung pencakar langitnya?fenomena dengan langit abu-abu khas musim gugur itu terlihat semakin eksotik.
Aku mendesah, entah bagaimana caranya hal yang terjadi di sana bisa menginterupsi pikiranku untuk menggambarkan satu wajah, dia. Ah, kamera.
Tepat di sana tadi?di waktu terdahulu, adalah tempat yang menjadi akar dari ceritaku dengannya tercipta, layaknya sebuah takdir. Kala langit cerah mengawali musim panas, aku melewati tempat itu selepas mengantar temanku ke dermaga. High heel-ku terganjal sesuatu, akibatnya tubuhku limbung dan tidak sengaja menabrak dari belakang seorang pria yang tengah mengarahkan lensa kameranya pada potret kolong Brooklyn Bridge. Berkali-kali aku meminta maaf, karena telah merusak acaranya dan juga kamera miliknya yang sampai terjatuh. Pemuda tersebut terlihat geram, namun dia tetap mengatakan 'tidak ada masalah'. Padahal kutahu dia sangat terganggu dengan apa yang kuperbuat, terlihat dari raut yang timbul di wajah tampannya. Kupikir dia sungguh baik hati.
Setelah itu kami berkenalan, dan terlalu cepat untuk menjadi sangat akrab. Dia, seorang mahasiswa berkewarganegaraan Perancis yang kuliah pada jurusan Arts di NYU tengah menghabiskan liburan musim panasnya dengan menikmati ingar-bingar 'Big Apple'.
Tidak kusangka, liburan musim panas yang biasanya kurang nyaman itu berjalan dengan menyenangkan bersamanya. Saling bertukar pikiran tentang berbagai hal dengan banyak perbedaan, tentu bisa menjadi sesuatu yang menarik. Sambil berjejalan mengunjungi setiap pusat kota yang tidak pernah sepi. Tidak sedikit moment yang kami bekukan dalam kamera miliknya.
Wuuush.
Aku tersadar. Angin bertiup lagi, seakan membawa berita bahwa musim dingin akan segera menjelang. Huuft, bahkan Autumn pun hampir berakhir. Kupandangi lagi tempat tersebut, mereka sudah tidak ada. Aku melanjutkan langkah.
***
Central Park
Jalan setapak ini cukup ramai. Banyak pengunjung yang menghabiskan sore yang panjang di taman dengan berbagai aktivitas mereka. Jogging, bersepeda, bersepatu roda, atau pergi mengunjungi bagian-bagian Central Park yang beraneka rupa isinya.
Aku mengambil posisi duduk di bawah pohon maple yang bidangnya menurun seperti bukit kecil. Pohon dengan daun berwarna menyala berjatuhan dari batangnya, sudah hampir gundul. Kebiasaan yang membosankan sejak beberapa bulan lalu.
"Finally, you come again."
Aku menoleh ke sumber suara. Terlihat pria paruh baya dengan stelan musim gugurnya tengah berdiri memasang seulas senyum. Aku mengenalnya. "Kakek Barry," sapaku sembari membalas senyumnya. Dia duduk di sisi kananku. Perawakannya masih terlihat sehat, tidak termakan usia. Itu membuat kakek Barry tampak lebih muda dari usianya.
"So long i'm not here?" sambungku.
Dia memandangku, mengernyit beberapa saat. "Entahlah, tapi kurasa tidak seperti di waktu-waktu sebelumnya."
Aku hanya tersenyum maklum. Aku memang sedikit mengurangi kadar kunjunganku ke sini. Setelah mendengar berita terbaru tentang seseorang. Sesaat kami hanya diam sambil menatap lurus ke depan. Menikmati suasana taman luas di musim gugur yang akan riuh di saat matahari sudah condong. Seiring dengan kebiasaan membosankanku, diam-diam ternyata aku sudah mengagumi tempat ini. Menikmati setiap suasana taman yang indah tersebut. Kutelaah pergelangan kiriku, pukul 07.32 p.m.
"Apa sekarang kau sudah menyerah?" tiba-tiba kakek Barry bersuara dengan pertanyaan anehnya. Membuat aku memandangnya heran.
"Apa maksud kakek?"
"Ah, jelas kau tahu maksudku..."
Aku menyipitkan mata, tersudut bingung. Namun sepertinya jawaban tersebut belum habis terucap olehnya.
"Menunggu janji untuk musim semi yang sudah berlalu itu."
Seketika mataku melebar.  "You know 'bout it? How come?" Aku bertanya cepat. Agak tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Janji itu, tentang serangkai kata manis penghibur jiwa yang pernah diucapkan untukku, oleh seorang pria. Mengapa kakek Barry mengetahuinya? Tidak mungkin.
"Haha... tentu aku tahu," singkatnya yang diiringi gelak tawa, membuat kerutan wajahnya tertarik. Aku bahkan tidak dapat menemukan unsur yang menggelitik di sana. Jangan katakan bahwa kakek yang sering kutemui di taman ini adalah seorang peramal! Yang benar saja?
"So..." ujarnya lagi, membuang wajah dariku. "You really have to give up?"
Aku diam, sesaat mengabaikan kebingungan tadi. Lalu turut mengalihkan pandangan ke depan. Haruskah aku mengaku? Pertanyaan ini seakan mendakwaku. Kebodohanku. Setelah mendesah, "Sebenarnya, aku bahkan tak pernah berhenti berharap, walau kutahu tempo janji itu telah habis. Tapi..." terdiam sejenak untuk menarik napas, dalam. "Kenyataanlah yang memaksaku untuk berhenti menunggunya." Mengatakannya saja bisa membuat nyeri di hatiku.
Namun, hari ini, aku datang lagi. Ke tempat yang dia janjikan. Entah untuk alasan apa.
"Reality?" kening kakek Barry bertaut.
"He'll never come again," tuturku penuh kecewa.
"Don't be too quick to guess it," sarannya.
Tidak kutanggapi. Terlalu cepat? Ya, aku memang orang yang kurang sabar. Tapi, untuk tiga musim yang sudah hampir berakhir, bagiku itu sudah cukup lama. Lagipula penantian ini memang harus menemui ujung.
"Apa kiranya yang membuatmu berpikir demikian?" kakek Barry bertanya lagi.
"I heard from his friend... he has returned several weeks ago. Maybe he didn't intend to keep the promise. Sure he is busy with... his fiance." jawabku perlahan, rasanya berdenyut.
"Pemuda itu sungguh berarti rupanya," Aku menoleh cepat kepada Kakek Barry, lagi-lagi heran.
"You're so disappointed," tambahnya lagi, tetap tidak memandangku.
Aku tersengat. Menunggu pemuda yang hanya ingin mempermainkanku, kecewa?  Pasti. Aku menunduk memandangi ujung sepatuku yang menapak pada daun maple berwarna merah kecoklatan di rerumputan. Sadar. Ternyata dari awal semuanya memang… semu.
Membuang napas. "I just don't like being lied to..." ujarku akhirnya. Berusaha memakai tameng yang telah retak.
Hening. Kakek Barry tidak lagi bersuara. Aku pun enggan memperpanjang sematan sembilu untukku sendiri.
"Oh ya..." ingatku akan sesuatu, masih tetap penasaran. Kutolehkan wajah ke arahnya. "Siapa yang memberitahu Kakek tentang ini semua?"
"Aku."
Aku mendongak. Lalu, tidak bisa menahan diriku untuk terperangah. Oksigen disekitar seperti terampas dari penguasaanku. Di hadapanku sekarang, berdiri seorang pemuda tampan dengan postur tinggi tegap menggunakan duffelcoat abu-abu. Dengan senyum merekah?yang sudah kuhafal?merengkuh sebuah kamera DSLR di sebelah tangannya. Tidak banyak yang berubah, hanya potongan rambut yang sedikit memanjang namun tetap rapi, menjadikannya lebih menawan. Pemuda yang telah menyelipkan sejumput harapan untukku itu, dia. Datang.
"Briand?" suaraku hampir tidak terdengar.
"Lama sekali kau tiba," Kakek Barry berseru sembari bangkit. Aku bergeming, tidak tahu apa-apa.
"Uum... sebaiknya aku menyingkir saja. Mungkin pergi ke kedai mungil di Lookout untuk menyantap secangkir coklat panas akan menyenangkan," katanya lagi. Belum ada yang menanggapi. Lalu kakek mendekati Briand. "Baik-baiklah kau sekarang!" Setelah menepuk pelan pundak pemuda itu dan mendesiskan tawa renyahnya, dia segera menembus hiruk-pikuk taman.
Aku mengerjap, 'Apa-apaan itu tadi?'
Tinggal kami.
"Hi, Feli!"
Aku hampir tercekat. "Hi..."
Dia mendekat, mengambil tempat yang baru saja ditinggal sosok yang baru saja berlalu. Kurasa suhu tubuhku naik.
"Long time no see, how's your life?" dia bertanya santai. Tangannya bergerak menyentuh beberapa peranti kamera. Seharusnya aku juga begitu. Bersikap serba biasa. 'Ayolah, Feli! Ingat apa yang sudah terjadi sekarang!'
"I'm fine, New York who still treated me busy as usual. Not much different from the last." Kulihat dia menggangguk beberapa kali. Matanya beku pada benda mati di tangannya.
"Ya, you're still pretty well," balasnya masih dengan posisi yang sama sambil tersenyum sekilas.
Aku terbisu. Takut jika berucap akan ada kata yang tersangkut-sangkut.
Briand berdiri lantas mengambil satu potret bagian taman. "Cukup lama aku tidak ke sini," katanya seakan memberi informasi.
"Feli.." kuangkat wajah untuk menanggapi panggilannya.
"You know? I do miss you."
Darahku berdesir cepat. Aku meremang, semua terasa memanas. Tapi lain dari itu, ada sesuatu yang terganjal, hatiku. Terhimpit sesak. Jangan seperti in, Feli!
"Really? Unfortunately, I just know spring has long passed," jawabku sarkastis. Mencoba menahan segala gejolaknya.
Profil wajahnya berubah. Menunjukkan ekspresi menyesal?mungkin. "Maaf baru bisa menemuimu hari ini." Tidak kuucapkan sepatah kata pun. "Pengerjaan skripsi akhirku lumayan rumit. Aku harus mendatangi beberapa kota lagi selain London. Dosen pembimbingku bahkan tidak memberiku waktu untuk berlibur. Uumm... bisakah aku mendapat maaf untuk itu, Feli?"
Aku terdiam beberapa detik, "Ooh, that's well. Okay... you're forgiven," tuturku, entah benar-benar yakin. Lagi pula sudah tidak ada gunanya mempermasalahkan hal itu. Dia tersenyum lega.
"Selamat atas kelulusanmu. Cum laude?"
"I got the best."
Tidak terlalu surprise untukku. Kutahu dia mampu mendapatkannya. "Kapan kau datang, Briand?" tanyaku. Aku harus mendengarnya langsung.
"Dua minggu yang lalu. Tapi ada urusan penting yang sulit kutinggal, aku baru bebas hari ini." Kemudian Briand mengambil beberapa foto lagi.
Aku merasa, secara tidak langsung dia seakan mengatakan bahwa janji denganku tidak jauh beda dengan mengurusi tukang parkir yang tertidur saat jam kerja. Tidak penting, begitu kah? Huh, tidak kah dia terlalu kejam?
"Oh, urusan dengan tunanganmu itu, bukan?"
"Kau sudah tahu rupanya." Briand memandang ke arahku, entah dia terkejut Karen aku mengetahui hal itu. Tapi kurasa tidak karena setelah itu ia kembali pada aktivitasnya tanpa berkata apa-apa lagi tanpa merasa perlu menjelaskan sesuatu. Hanya menyisakan rongga udara yang menyempit untukku. Apa aku yang terlalu berharap?
"Apa kau marah dengan hal itu?" katanya tiba-tiba.
Kulirik dia sekilas, "Tentu tidak, itu hakmu," jawabku dingin.
Klik. Ada cahaya blitz yang menyorotku.
"Hei, what are you doing?"
"Taking of your picture," jawabnya ringan, sambil melihat hasil jepretannya. Aku tersinggung. "Haha... lihatlah wajahmu, Feli! Sangat lucu, bukan?" lantas dia duduk dan menyodorkan kamera ke hadapanku. Aku tidak sudi melihatnya.
"Pasti akan sulit membedakan wajahmu antara sedang marah dengan tersipu malu, keduanya sama-sama memerah." Dia  cerewet sekali.
"Aku tidak marah. Itu yang kukatakan padamu," tegasku.
"Benarkah? Tapi kameraku tidak menyadarinya."
Kudorong pundaknya pelan, "Kau begitu menyebalkan."
"Ah, ya, aku juga merindukan ucapanmu itu," dia menarik kameranya lagi. Oke, aku menyesal tidak mendorongnya hingga jatuh. Aku sedikit menggeser dudukku.
"You remember 'bout my promise, Feli?" Briand meletakkan kameranya ke samping.
"Of course." Ini lah yang mengusikku sejak musim semi itu. Tentang janjinya. Tentang apa yang pernah kuharapkan dari seorang pemuda yang hanya kukenal dalam kurun waktu sekitar tiga bulan.
'Aku akan menemuimu lagi, di sini. Pada suatu sore di musim semi yang akan datang. Ada yang harus aku katakan saat hari itu tiba.' Dipenghujung musim panas itu, saat dia akan pergi untuk mengurusi skripsi. Aku masih sangat mengingatnya.
Kemudian Briand bereaksi, kuteliti apa yang dilakukannya. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku dalam duffelcoat-nya. "Untukmu," lalu menaruh suatu benda dipangkuanku.
Aku menatap benda itu, agak tercengang. Sebuah kertas tebal segi empat yang diukir indah. Undangan pertunangannya? Ini kah yang ingin diberitahunya padaku? Ternyata sebuah bumerang. Aku hanya bisa tertawa miris di dalam hati. Aku bodoh sekali!
Kuraih kertas berwarna merah hati yang diletakkan dengan menampakkan bagian belakangnya tadi. Tercium lembut aroma mawar. Ada rasa ingin tahu yang menggeliat liar di dadaku, berbaur dengan sakit. Siapakah gadisnya?
Setelah kesusahan mengambil udara, kubalik kertas tebal itu. Aku, gamang.
Ya, aku mengenal nama gadis itu. Terlalu mengenalnya. Aku langsung menoleh ke arahnya. "What do you mean?"
-Briand Arnault and Felicita Laverne-
Pemuda itu memandangku lekat-lekat, tersenyum penuh arti. Lantas meraih jemari kananku. Semua terjadi begitu cepat.  Beberapa detik semua terasa berhenti.
"Je t'aime," tutur Briand pasti, dengan logat perancis yang kental. Mata birunya memancarkan bias wajahku utuh.
Perasaanku tergugah. Kurasakan seperti ada yang mengembang bagai bunga di musim semi, rasanya sungguh penuh. Pipiku bersemu. Dan semua terasa menjadi indah. Tiba-tiba selembar daun maple gugur tepat menyentuh punggung tanganku yang tengah digenggam seorang pemuda. Musim gugur.
Aku melepas rengkuhannya. Pemuda itu kaget. "Leluconmu tidak lucu," aku bimbang. Dia suka sekali menggodaku dan membuat lelucon bukan pada waktu yang tepat. Aku pikir dia sedang melakukannya sekarang. Namun tidak kupungkiri, aku senang mendengar pernyataannya tadi. Seperti ada di musim semi yang sangat kusukai. Tapi ini musim gugur, bukan?
"It's not kidding, Feli. I'm serious, trust me!" dia berusaha meyakinkanku. Bukan dengan kata-katanya, melainkan dengan sorot matanya. Refleksi itu berbicara. Aku mengedarkan mata kesekitar, terlebih pada pohon-pohon yang sudah rontok.
"Sekarang musim gugur, Briand."
Pemuda itu mendesah berat. "Aku tahu. Maaf, karena tidak bisa mengatakannya di musim semi. Untuk membahagiakanmu," raut wajahnya penuh sesal. Dia mengerti aku menginginkan semi yang sempurna. Mungkin pemuda ini berniat membuat pengakuan di musim yang paling berarti untukku. Ah, kurasa itu sudah cukup untuk membuatku selalu bersemu.
"Baiklah, semi di musim gugur kupikir tidak terlalu buruk."
Torehan wajahnya berubah. Kembali membuat senyum tampannya. Ini adalah musim gugur terbaik bagiku. Hanya untuk tahun ini, tentunya.
"Hei..." Briand menyikutku, "Kau tersipu, wajahmu merah." Lalu dia tertawa pelan. Ah, dia memang cerewet sekali hari ini.
"Dasar tukang gosip!" balasku, berniat menyindirnya.
"Apa yang kau katakan?"
"Mudah sekali kau memberitahu janji itu pada orang lain. Kau tahu? Kakek Barry bahkan mengejekku," rajukku padanya.
Briand memandang santai ke depan, "Dia kakekku, bagiku itu tidak masalah."
Apa?
Lalu kembali menambahkan, "Aku tidak tega pada seorang gadis yang selalu duduk di sini setiap sore sejak musim semi tiba untuk menungguku. Karena aku tidak bisa segera datang, kurasa dengan mengirim Kakek untuk menemaninya akan cukup membantu."
Tidak bisa kuterima. Dia bahkan sudah berniat mengerjaiku sejak lama. Aku beranjak, melangkah meninggalkannya.
Dia berseru cepat, "Hei, kau mau kemana?"
"Mengejar kakekmu, apa lagi?" Jawabku asal. Tak acuh dan tetap melangkah.
"Hahaha..." Aku bosan mendengar gelaknya hari ini.
Dia munyusulku, derap langkahnya tidak terlalu jauh. "Cepatlah selesaikan kuliahmu, Feli! Undangan tadi akan segera diperbanyak."
"Hentikan ucapanmu! kau gila. Ck, kurasa kau lupa meminum obat migranmu."
"Tidak akan kuminum lagi obat itu."
Aku tertawa kecil. Jalan setapak ini tampak semakin lapang, tidak sadar dia telah di sampingku. Sambil menaut jemariku, Briand berbisik, "Bolehkah aku mendengar jawabanmu?"
Oh, ya, aku belum membalas pernyataan ala Perancis yang diucapkannya sempurna tadi. Aku tersenyum, lantas mengangkat bahu.
"Tunggu lah sampai musim semi kembali!"
***

No comments:

Post a Comment