Wednesday 22 June 2016

Dialog Kecewa #Radiasi

Kau tahu siapa sebenarnya Kecewa? Di mana rumahnya? Anaknya siapa? Tingkahnya bagaimana? Kau tahu? Karena jika kau mengetahuinya, beri tahu aku. Ceritakan padaku bagaimana Kecewa itu, bagaimana dia... tidak tidak. Kau tidak perlu melakukannya. Lupakan semua pertanyaanku tadi! Kau hanya perlu mengatakan di mana Kecewa sekarang. Beri tahu aku! Biar aku sendiri yang menemuinya, bertanya setiap detail yang ingin kutahu. Aku ingin mendengar dia sendiri yang mengatakan, menjawab semua rasa penasaran yang sudah terlanjur pengap. Jadi, apa kau tahu? Rasa-rasanya aku sudah tidak sabar untuk mendengar setiap penggal penjelasan darinya, untuk mendengar bagaimana dia masih bisa hidup seperti tanpa harus membenci atau dibenci. Bagaimana bisa? Setelah itu, mungkin aku tidak bisa menahan untuk tidak langsung menghajarnya.


Bisa jadi kau bertanya-tanya, mengapa aku sampai seperti ini: memburu Kecewa. Sebut saja ini bagian dari antisipasiku. Sebelum dia yang menyerang, harus aku yang menyerangnya duluan. Ya, tentu saja dia adalah si Kecewa itu. Ada yang datang padaku, seperti kabar burung yang mengatakan bahwa akan ada penyerangan dalam waktu dekat ini. Penyerangan yang tidak diduga-duga, yang pelakunya pun sulit diterka. Sudah mirip dengan penyerangan bom yang terjadi belakangan ini. Namun ada satu nama tercuat setelahnya, sudah didakwa sebagai pelaku utama: Kecewa. Oknum disebut-sebut memiliki keahlian membunuh, membunuh apa saja yang sanggup dia bunuh. Sebut saja Kepercayaan, yang paling kerap dijadikan korban. Mungkin, sekarang pertanyaanmu sudah berubah menjadi: apakah aku takut? Tidak. Tentu saja tidak. Eem, baiklah, sedikit.



Seperti kabar burung juga, aku mendengar ada satu hal yang dapat mengalahkan Kecewa, yaitu dengan menyerangnya duluan. Terdengar mudah, bukan? Atau tidak. Aku tidak yakin sebenarnya, aku merasa belum pernah mengenalnya, namun ada sesuatu yang membuat aku merasa dapat mengalahkannya. Aku penasaran. Tak kupungkiri, rasa takut itu ada. Takut terbunuh ataupun terluka, walau sedikit saja. Karena kita tidak pernah benar-benar tahu mana yang lebih sakit. Tapi apa boleh buat, aku harus maju. Aku sudah penasaran, hingga penasaran yang terlanjur pengap. Jika aku tidak menyanggupinya, bisa jadi aku tidak akan bahagia.


Jadi, tolong, pertemukan aku dengan Kecewa. Banyak hal yang harus kuselesaikan dengannya, entah bagaimana bisa. Aku tidak tahu bagaimana menjadi sebanyak ini, namun aku meyakini. Aku itu intuitif. Aku merasa begitu banyak cacian yang perlu dia dengar, begitu banyak sumpah serapah yang perlu aku lebur untuk Kecewa. Namun, tentu saja, itu hanya bisa terjadi apabila salah satu dari kami belum terbunuh. Kuncinya sabar, sabar untuk memahami satu sama lain. Benarkah? Entahlah. Selanjutnya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Sesungguhnya aku tidak tahu apa-apa. Perihal kunci, kunci itu memang sudah ada, tanpa perlu aku mencari tahu. Karena hakikatnya setiap kunci selalu hadir untuk membuka sesuatu. Sebab itu, sudikah kau memberitahu?


Yang kali ini kudengar bukan sekadar kabar burung, namun aku tidak terlalu bijak untuk menyebutnya fakta: bahwa kau adalah yang paling mengenal Kecewa dan sekaligus yang paling sering menjadi korbannya. Apakah kedua gelar yang kau sandang itu selalu berdampingan? Tenang saja, kali ini kau tak perlu takut, ada aku. Aku akan mematahkan kedua gelar itu. Aku yang akan menepis semua serangan yang menyerangmu, aku yang akan menyelamatkanmu. Aku berjanji.


Sebelum kau menjawab pertanyaanku, lebih tepatnya sebelum kita mengakhiri dialog ini, aku akan memperkenalkan siapa aku. Setelah kau mengetahuinya, aku benar-benar merasa kau akan menjawabku karena kau juga akan merasa aku benar-benar sudah berjanji. Tolong cepat, karena aku akan sangat sibuk setelah itu. Baiklah...
Aku Hati.
Jadi, apa kau percaya padaku?

***
Orang yang paling akan membuat kita sakit adalah kita sendiri, dan begitu juga yang bisa mengobatinya. Kita adalah apa yang kita percayai.


(PSP, 22062016)

No comments:

Post a Comment