Wednesday 8 June 2016

Sebuah Kepantasan #Radiasi

Saya kembali.
Sebelumnya, selamat berpuasa bagi semua yang menjalankan! Semoga berkah, amin.
Di hari ketiga bulan Ramadhan ini, saya ingin menggoreskan episode perdana dari #CemalCemal. Akhirnyah! Camilan yang berasal dari hasil pengamatan dan pemikiran sok tahu kali ini bertajuk ‘Sebuah Kepantasan’ dengan hastag #Radiasi. But, wait wait! What is #Radiasi? Okay, let me tell you then! Radiasi adalah RAmadhan DiAntara spaSi. Ceritanya ini semacam diari edisi Ramadhan, namun tetap dengan tema cemal-cemil. And, I wanna give you all a kind of memo by the way, that... I’ve wrote in the previous post that #CemalCemil is a sketch about snacks of life that i’ve seen, heard, and felt. So don’t get me wrong, because i’m just trying to say what I wanna say, to share what I wanna share, and of course, not to keep away my fingers from the board. So, here I am.


Sebuah kepantasan. Apa yang terlintas di pikiran kalian saat kata pantas diajukan sebagai sesuatu yang harus kalian terjemahkan? Mungkin kata-kata semacam ‘layak’ dan ‘sesuai dengan suatu hal’ akan keluar sebagai penjelasannya, atau beberapa kata lainnya yang sejenis. Kata pantas sendiri dapat disandingkan dengan berbagai hal, seperti pantas menang, pantas mendapatkan hadiah, pantas dihukum, pantas dibuang, dan pantas pantas lainnya. Pantas juga dapat diinterpretasikan sebagai sebuah penilaian yang diakui oleh suatu sudut pandang, misalnya sudut pandang orang lain. Pada hakikatnya, kita dapat memaknai sebuah kata dengan berbagai cara. Nah, yang ingin saya ulik disini ialah cara menerjemahkan sebuah kepantasan yang hadir dari sudut pandang diri sendiri.

Saya bertanya-tanya, kapan kita mengatakan diri kita pantas untuk melakukan sesuatu? Yang saya maksud di sini adalah, kapan kita merasa pantas untuk menegur kesalahan seseorang dan menasehatinya?  Ketika sebuah pertanyaan datang dari kita dan untuk kita, maka kebanyakan kita sendiri lah yang seharusnya bisa menjawabnya. Jadi, apa jawabannya?

Beberapa kali saya menemukan orang yang mengurungkan niat untuk menegur seseorang yang dianggapnya salah disebabkan oleh terjebak dalam sebuah krisis kepantasan. Tidak pantas inilah, tidak pantas itulah. Saya juga pernah mengalaminya. Krisis kepantasan ini terjadi karena beberapa anggapan yang terbangun dengan sendirirnya. Anggapan yang dibangun oleh rasionalisme kepentingan: Gak pantas lah kalau saya tegur, itu kan bukan urusan saya. Atau anggapan yang dibangun oleh problematika kesenjangan yang akut: Dia kan lebih tua, gak pantas lah kalau aku yang kasih tahu. Hal-hal yang seperti sangat akrab. Terkadang saya merasa hal ini benar, namun terkadang juga terasa mengganggu. Sebuah kepantasan cukup pantas membuat saya terganggu, karena setelah itu pertanyaan lain segera menyusul: mengapa kita harus merasa pantas terlebih dulu sebelum melakukan sesuatu?

Mungkin pertanyaan-pertanyaan di atas tidak cocok untuk beberapa kasus kepantasan lainnya, misalnya pantas menikah, karena jelas soal ini sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Walaupun pembahasan ini seperti tidak terlalu penting, namun terkadang saya terpikir begitu saja, dan merasa ‘kepantasan tentang—sebut saja menasehati’ perlu direnungkan sesekali untuk menemukan sebuah pemahaman.

Jadi, apa jawabannya? Kita temukan di pembahasan selanjutnnya. Semoga.


(PSP, 08062016)

No comments:

Post a Comment