Saya kembali.
Sebelumnya, selamat berpuasa bagi semua yang
menjalankan! Semoga berkah, amin.
Di hari ketiga bulan Ramadhan ini, saya ingin
menggoreskan episode perdana dari #CemalCemal. Akhirnyah! Camilan yang berasal
dari hasil pengamatan dan pemikiran sok tahu kali ini bertajuk ‘Sebuah
Kepantasan’ dengan hastag #Radiasi.
But, wait wait! What is #Radiasi? Okay, let me tell you then! Radiasi adalah RAmadhan
DiAntara spaSi. Ceritanya ini semacam diari edisi Ramadhan, namun tetap dengan
tema cemal-cemil. And, I wanna give you all a kind of memo by the way, that...
I’ve wrote in the previous post that #CemalCemil is a sketch about snacks of
life that i’ve seen, heard, and felt. So don’t get me wrong, because i’m just
trying to say what I wanna say, to share what I wanna share, and of course, not
to keep away my fingers from the board. So, here I am.
Sebuah kepantasan. Apa yang terlintas di pikiran
kalian saat kata pantas diajukan sebagai sesuatu yang harus kalian terjemahkan?
Mungkin kata-kata semacam ‘layak’ dan ‘sesuai dengan suatu hal’ akan keluar
sebagai penjelasannya, atau beberapa kata lainnya yang sejenis. Kata pantas
sendiri dapat disandingkan dengan berbagai hal, seperti pantas menang, pantas
mendapatkan hadiah, pantas dihukum, pantas dibuang, dan pantas pantas lainnya.
Pantas juga dapat diinterpretasikan sebagai sebuah penilaian yang diakui oleh
suatu sudut pandang, misalnya sudut pandang orang lain. Pada hakikatnya, kita
dapat memaknai sebuah kata dengan berbagai cara. Nah, yang ingin saya ulik
disini ialah cara menerjemahkan sebuah kepantasan yang hadir dari sudut pandang
diri sendiri.
Saya bertanya-tanya, kapan kita mengatakan diri kita
pantas untuk melakukan sesuatu? Yang saya maksud di sini adalah, kapan kita merasa
pantas untuk menegur kesalahan seseorang dan menasehatinya? Ketika sebuah pertanyaan datang dari kita dan
untuk kita, maka kebanyakan kita sendiri lah yang seharusnya bisa menjawabnya. Jadi,
apa jawabannya?
Beberapa kali saya menemukan orang yang mengurungkan
niat untuk menegur seseorang yang dianggapnya salah disebabkan oleh terjebak
dalam sebuah krisis kepantasan. Tidak pantas inilah, tidak pantas itulah. Saya
juga pernah mengalaminya. Krisis kepantasan ini terjadi karena beberapa
anggapan yang terbangun dengan sendirirnya. Anggapan yang dibangun oleh
rasionalisme kepentingan: Gak pantas lah kalau
saya tegur, itu kan bukan urusan saya. Atau anggapan yang dibangun oleh
problematika kesenjangan yang akut: Dia
kan lebih tua, gak pantas lah kalau aku yang kasih tahu. Hal-hal yang
seperti sangat akrab. Terkadang saya merasa hal ini benar, namun terkadang juga
terasa mengganggu. Sebuah kepantasan cukup pantas membuat saya terganggu,
karena setelah itu pertanyaan lain segera menyusul: mengapa kita harus merasa
pantas terlebih dulu sebelum melakukan sesuatu?
Mungkin pertanyaan-pertanyaan di atas tidak cocok
untuk beberapa kasus kepantasan lainnya, misalnya pantas menikah, karena jelas
soal ini sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Walaupun pembahasan ini seperti
tidak terlalu penting, namun terkadang saya terpikir begitu saja, dan merasa
‘kepantasan tentang—sebut saja menasehati’ perlu direnungkan sesekali untuk menemukan
sebuah pemahaman.
Jadi, apa jawabannya? Kita temukan di pembahasan
selanjutnnya. Semoga.
(PSP, 08062016)
No comments:
Post a Comment