“Bukan lagi,
kita tidak bisa menyelamatkan orang yang tidak mau diselamatkan, melainkan,
kita harus menyelamatkan orang yang mau kita selamatkan.”
Saya teringat salah satu judul buku Tere Liye yaitu
‘Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin.” Jujur saya belum baca buku
tersebut, jadi secara pribadi memang tidak tahu makna analogi dari judul itu,
tidak tahu bagaimana sebuah daun tidak membenci angin meski telah
menggugurkannya. Saya hanya sampai pada batas menerka-nerka setelah membaca sinopsisnya
di cover belakang. Buku itu bergabung dengan beberapa tumpukan buku lain yang
belum sempat dibaca, setelah sekian lama dibeli. Bukan tidak minat, hanya saja…
ah sudah lah bukan itu yang mau saya bahas di sini. Saya ingin menguraikan
analogi saya sendiri, tentang angin itu.
Di bangku sekolah dulu kita mempelajari satu
pemahaman yang mendasar, bahwa angin bertiup dari satu tempat ke tempat lain
bukan karena dia pilih-pilih, mana tempat yang bagus untuk disinggahi, atau
mana tempat yang nyaman diterpa, atau daerah mana yang perlu ‘dikerjai’,
melainkan karena begitulah sifatnya, begitulah tugas Angin itu. Berpindah dari
satu tempat ke tempat yang lain. Tidak ada
pertimbangan apakah orang-orang di tempat itu sedang membutuhkannya,
apakah orang-orang di sana pernah mengindahkan keberadaanya, atau apakah
kedatangannya dinanti-nanti, dia tidak mempedulikan hal-hal tersebut. Angin
bertiup, begitulah tugasnya.
Saya pernah memahami satu hal seperti ini, bahwa
kita tidak bisa menyelamatkan orang yang tidak mau diselamatkan. Bagaimana bisa
kamu mempedulian orang lain yang bahkan tidak peduli dengan dirinya sendiri? Seperti
pekerjaan yang hanya menghabiskan waktu dan menguras perasaan, hal yang sangat
melelahkan. Karena pada dasarnya seseorang tidak bisa berubah karena orang lain.
Untuk berubah menjadi lebih baik seseorang harus memiliki keinginan itu
terlebih dahulu. Tidak bisa hanya kamu paksa, atau kamu cekoki ini itu, orang
itu bisa berubah menjadi apa yang kamu ingini, sekalipun hal itu baik untuk
dirinya. Begitulah yang saya pahami.
Namun suatu hari, pemahaman itu patah dengan
sendirinya, disadarkan sebuah kesalahpahaman.
Kepedulian itu… ada baiknya kita memahaminya
terlebih dahulu sebelum meng-klaim memilikinya. Karena bisa jadi kita
sebelumnya salah paham, seperti saya. Harusnya kita seperti angin, bukan? Tidak
peduli akan hal apapun, hanya bertiup kemana harusnya bertiup. Satu hal yang
dia pedulikan, tugasnya. Satu hal yang harusnya kita pedulikan, kepedulian itu
sendiri. Berlaku lah seperti namanya, mempedulikan. Bukan pilih-pilih orang
yang dipeduli mau dipedulikan atau tidak, namun pedulilah, terus-menerus.
Karena seperti itu lah yang namanya kepedulian. Bukan lagi, kita tidak bisa
menyelamatkan orang yang tidak mau diselamatkan, melainkan kita menyelamatkan
orang yang mau kita selamatkan. Perkara orang itu selamat atau tidak, berubah
menjadi lebih baik atau tidak, kita tidak bisa menjamin. Sebab bukan tugas kita
memberi jaminan, melainkan Yang Maha Pemberi Jaminan. Yang bisa kita lakukan
adalah melakukan kepedulian itu, terus berusaha menyelamatkan orang yang kita
pedulikan, sampai memperoleh hasil terbaik—wujud dari sebuah kepedulian itu.
Jangan berhenti berusaha, karena seperti itulah
usaha.
Jangan salah paham kepada Angin, karena begitulah
Angin. Jangan mengabaikan kepedulian, agar kamu tidak salah paham.
Andrianyuni
(Pekanbaru, 27072019)