Saturday 3 August 2019

Seperti Angin


Bukan lagi, kita tidak bisa menyelamatkan orang yang tidak mau diselamatkan, melainkan, kita harus menyelamatkan orang yang mau kita selamatkan.”

Saya teringat salah satu judul buku Tere Liye yaitu ‘Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin.” Jujur saya belum baca buku tersebut, jadi secara pribadi memang tidak tahu makna analogi dari judul itu, tidak tahu bagaimana sebuah daun tidak membenci angin meski telah menggugurkannya. Saya hanya sampai pada batas menerka-nerka setelah membaca sinopsisnya di cover belakang. Buku itu bergabung dengan beberapa tumpukan buku lain yang belum sempat dibaca, setelah sekian lama dibeli. Bukan tidak minat, hanya saja… ah sudah lah bukan itu yang mau saya bahas di sini. Saya ingin menguraikan analogi saya sendiri, tentang angin itu.

Di bangku sekolah dulu kita mempelajari satu pemahaman yang mendasar, bahwa angin bertiup dari satu tempat ke tempat lain bukan karena dia pilih-pilih, mana tempat yang bagus untuk disinggahi, atau mana tempat yang nyaman diterpa, atau daerah mana yang perlu ‘dikerjai’, melainkan karena begitulah sifatnya, begitulah tugas Angin itu. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Tidak ada  pertimbangan apakah orang-orang di tempat itu sedang membutuhkannya, apakah orang-orang di sana pernah mengindahkan keberadaanya, atau apakah kedatangannya dinanti-nanti, dia tidak mempedulikan hal-hal tersebut. Angin bertiup, begitulah tugasnya.

Saya pernah memahami satu hal seperti ini, bahwa kita tidak bisa menyelamatkan orang yang tidak mau diselamatkan. Bagaimana bisa kamu mempedulian orang lain yang bahkan tidak peduli dengan dirinya sendiri? Seperti pekerjaan yang hanya menghabiskan waktu dan menguras perasaan, hal yang sangat melelahkan. Karena pada dasarnya seseorang tidak bisa berubah karena orang lain. Untuk berubah menjadi lebih baik seseorang harus memiliki keinginan itu terlebih dahulu. Tidak bisa hanya kamu paksa, atau kamu cekoki ini itu, orang itu bisa berubah menjadi apa yang kamu ingini, sekalipun hal itu baik untuk dirinya. Begitulah yang saya pahami.
Namun suatu hari, pemahaman itu patah dengan sendirinya, disadarkan sebuah kesalahpahaman.

Kepedulian itu… ada baiknya kita memahaminya terlebih dahulu sebelum meng-klaim memilikinya. Karena bisa jadi kita sebelumnya salah paham, seperti saya. Harusnya kita seperti angin, bukan? Tidak peduli akan hal apapun, hanya bertiup kemana harusnya bertiup. Satu hal yang dia pedulikan, tugasnya. Satu hal yang harusnya kita pedulikan, kepedulian itu sendiri. Berlaku lah seperti namanya, mempedulikan. Bukan pilih-pilih orang yang dipeduli mau dipedulikan atau tidak, namun pedulilah, terus-menerus. Karena seperti itu lah yang namanya kepedulian. Bukan lagi, kita tidak bisa menyelamatkan orang yang tidak mau diselamatkan, melainkan kita menyelamatkan orang yang mau kita selamatkan. Perkara orang itu selamat atau tidak, berubah menjadi lebih baik atau tidak, kita tidak bisa menjamin. Sebab bukan tugas kita memberi jaminan, melainkan Yang Maha Pemberi Jaminan. Yang bisa kita lakukan adalah melakukan kepedulian itu, terus berusaha menyelamatkan orang yang kita pedulikan, sampai memperoleh hasil terbaik—wujud dari sebuah kepedulian itu.

Jangan berhenti berusaha, karena seperti itulah usaha.
Jangan salah paham kepada Angin, karena begitulah Angin. Jangan mengabaikan kepedulian, agar kamu tidak salah paham.

Andrianyuni
(Pekanbaru, 27072019)

Pagi Ini


Pagi ini, lagi-lagi saya tertanya mengapa rasa kecewa itu masih bergelayut di hati dan tak kunjung pergi. Sudah hampir dua tahun, bukan? Tidakkah cukup untuk mengeringkan luka selama itu? Harusnya cukup. Jauh sebelum-sebelum hari ini, harusnya cukup. Di beberapa waktu yang lalu, sempat terpikir bahwa luka ini sudah kering, bahwa saya telah mendapati penerimaan yang benar itu, bahwa waktu akhirnya menyembuhkan, atas semua yang telah terjadi. Namun kenyataan mementahkan anggapan itu. Entah bagaimana luka ini, menjadi jenis luka yang tak pernah bisa benar-benar kering. Tidak akan bisa. Jadi, apa saya akan menjadi pesakitan selamanya? Apa saya harus menghabiskan jatah waktu saya di dunia ini dengan membawa beban itu kemana-mana? Saya tidak yakin, saya sanggup.

Pagi ini, lagi-lagi saya melemparkan pertanyaan pada diri sendiri, apa yang harus kamu lakukan, Yuni? Mengapa kamu selalu begini? Apa yang menyebabkan luka ini selau kembali melukaimu? Tak bisakah kamu merelakannya pergi? Tak bisakah kamu menenangkan hati yang marah entah sudah berapa lama itu? Ini melelahkan, kamu tahu, kan? Yuni, apa kamu baik-baik saja?

Lalu di suatu pagi, teringat satu ceramah seorang Ustad yang menceritakan kisah turunnya surat ad-dhuha.
“(1) Demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepenggalah), (2) dan demi malam apabila telah sunyi, (3) Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu, (4) dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan. (5) Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas. (6) Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu), (7) dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk, (8) dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. (9) Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. (10) Dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah engkau menghardik(nya). (11) Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).”
Saya akhirnya paham, bahwa sebelum-sebelum hari ini, saya salah paham.

Memang benar, bahwa luka ini adalah jenis luka yang tidak akan pernah sembuh, bahwa beban yang menyertainya akan saya bawa sepanjang sisa hidup nanti. Sebab rasa sakit, sedih, kecewa, penyesalan, dan putus asa terhadap diri sendiri itu pada akhirnya memiliki sebuah tempat tersendiri dan menjadi bagian dari sebuah keutuhan. ‘Mereka’ bergumal bersama waktu menjadi sesuatu yang mau tidak mau harus saya akui keberadaannya. Kamu tidak bisa membuang bagian dari dirimu sendiri, bukan? Sebab ‘mereka’ adalah sebuah pembuktian eksistensi. Apa yang biasa kita sebut sejarah. Oleh sebab itu, luka ini, alih-alih dibuang, harusnya kamu merawatnya.

Tak perlu lagi pertanyaan-pertanyaan—yang saat sepi menjelang dan ia pun datang—itu dilontarkan. Sudahilah menyalahkan diri sendiri atas kesalahan di masa lalu. Jangan lagi menangisi diri sendiri. Hadapilah rasa sakit, berilah pemahaman pada kesedihan, hibur hati yang kecewa, tenangkan segala penyesalan yang ada, dan setiap putus asa datang kalahkan dengan semangat yang membara. Luka-luka itu, rawatlah mereka. Dengan kesabaran, kelembutan, keikhlasan, dan kegigihan,  rawatlah mereka dengan benar. Kamu tidak bisa menjadi kamu yang lebih baik tanpa mereka.

Luka-luka ini, bisa jadi masa perawatannya sepanjang hidup. Meski sudah dirawat, tidak ada jaminan mereka tidak akan menyerangmu lagi. Karena ini bukan perihal menjinakkan, melainkan suatu proses pembelajaran dari sebuah penerimaan yang benar. Dan waktu terus berjalan. Maka berhati-hatilah, sebab terkadang, waktu lebih kenal baik dengan luka ketimbang kita.

(Pekanbaru, 21072019)
—Andrianyuni

Thursday 13 June 2019

Memulai Kembali


Tidak mudah, tentu saja. Melakukan ‘memulai’ tidak semudah mengatakannya. Seperti saat ini. Tidak pernah saya hitung berapa kali tulisan semacam ini sudah saya tulis. Terlalu sering. Memulai, lalu berhenti. Memulai lagi, lalu berhenti lagi. Berkali-kali. Dan topiknya selalu sama: tidak tahu harus memulai dengan apa.

Saya bukan penulis handal, bukan juga penulis menawan. Saya: biasa-biasa saja. Mungkin karena itu sampai sekarang saya masih biasa-biasa saja. Tapi, dengan standar yang biasa-biasa itu, (entah dengan bagaimana) menulis seperti selalu membujuk saya kembali. Meski ‘kembali’ tersebut hanya terwujud dengan menulis beberapa paragraph, lalu menghilang lagi. ‘Dia’ selalu datang kembali, membujuk sekali lagi, sekali lagi. Membuat saya merasa sedikit berharga di dalam siklus itu, walau tanpa gelar handal dan menawan.

Entah (lagi-lagi) harus berapa kali lagi mengulang, ini akan tetap seperti ini. Setidaknya saya tahu kenapa. Karena sejak awal, di dalam hati saya, menulis sama dengan pulang. Tidak peduli seberapa jauh saya melangkah, seberapa banyak lelah ditempah, saya akan selalu butuh pulang. Untuk beristirahat, untuk menenangkan, hingga nanti bisa memulai kembali sebuah perjalanan.


(Pekanbaru, 11062019)

Thursday 28 March 2019

HAI!

WELCOME BACK, YOU!

2


Saya berencana tidak memberi judul tulisan-tulisan yang nantinya akan disimpan di folder penyimpanan berkas ini. menjuduli sebuah tulisan sudah terlalu sulit untuk saya, sedang saya masih tidak yakin tulisan ini akan sampai dimana, akan jadi sperti apa. Jika tulisan-tulisan ini, nantinya hanyalah menjadi alasan saya harus kembali lagi, biarlah seperti itu. Jujur saja, ini hanya rencana tanpa tujuan yang pasti, tanpa arah yang mengarahkan, tanpa pegangan. Benar, tulisan-tulisan ini, serapuhnya rapuh.


Saya suka angka-angka, menyimbolkan kepastian. Hal yang belakangan jauh sekali dari jangkauan. Dulu, saya pernah meyakini, bahwa menghitung makna lebih mudah daripada menafsirkan satu, dua, tiga. Saya sedih lagi. Dulu, saya seterlena itu. Namun perasaan itu ternyata dapat menguap. Sekarang, saya tidak seyakin itu. Bahkan terasa ragu. Saya tidak tahu apa yang harus saya yakini sekarang. Bagaimana meyakini sesuatu yang tidak meyakinkan apa-apa? Disinilah kesalahan saya. Persepsi ini menjerumuskan. Bukan sesuatu itu yang harus meyakinkan. Hati ini, yang terlalu mencari-cari alasan.


Dua: dia akan tetap menjadi dua. Tanpa perlu mengusahakan atau menjabarkan apa-apa, dua bisa meyakinkan siapapun makna dari dirinya. Tanpa ada samar-samar.


Sampai disini, adakah kata kembali?



(Pekanbaru, 15022019) 

1


Jadi, begini hal ini dimulai.

Sudah sejak lama saya selalu buruk dalam memulai sesuatu. Lebih tepatnya, entah sejak kapan. Memulai menjadi sesuatu yang tidak begitu ramah. Meski begitu, saya masih ingin memulai yang kali ini. Mengapa? Mungkin, karena tulisan ini seputus asa itu. Begitu juga dengan saya. Saya, seputus asa itu dalam memulai sesuatu, hingga saya tidak terlalu berpikir panjang mengenai baik dan buruk, mengesampingkan pemilihan diksi, tidak mencoba mengindahkan sama sekali. Biarkan saja ini dimulai.


Saya, yang disini sekarang, begitu jauh dari saya yang dulu. Saya yang dulu subuh-subuh bela-belain tidak tidur lagi sebelum ke kampus hanya untuk menuliskan beberapa paragraf ide yang tiba-tiba mampir di kepala. Saya bisa merasakan jarak itu, karena jarak tersebut terlalu kasat mata. Bukan tentang waktu, melainkan saya. Saya. Bukti autentik yang tak terbantah.


Thursday 12 April 2018

Terikat

Kebodohan ini
seperti akan abadi pada ku
Aku tak ingin keluar
tak akan keluar
ini begitu pas
begitu pas dengan egoku
begitu pas dengan amarahku
terikat pada kebusukanku
Maka akan kujaga
baik-baik
agar dia tak lepas
agar dia tidak pergi meninggalkan ku
seperti yang lain


(Pekanbaru, 12042018)

Thursday 15 March 2018

Where have You Been? (Extended)

Langkah-langkah yang gelisah itu, terpantul pada genangan bekas hujan, dalam mimpku tadi malam. Rasa-rasa sudah lama sekali tidak mendengar percikan itu. Sejenak aku ingin berdiam, mencuri kehangatan kenangan yang belakangan ini menggigil—entah karena apa. Mungkin karena rindu yang tak jua bermuara, atau mungkin karena hati yang masih sama-sama jengah. Lalu, seketika percikan tadi tak lagi dapat kudengar. Hanya resah yang tertinggal dalam bias genangan. Menyusul pagi yang menghapus sisa-sisa semalam.

Ada di suatu siang, aku teringat ketika titk-titik masa lalu mempertanyakan ujung jalan itu. Seakan sekumpulan prosa tengah melempari bait demi baitnya, merontokkan setiap rima: tentang kita. Mendeklarasikan bahwa mereka tak lagi punya makna. Kepada kata tercampakkan dan terlupakan, mereka mulai belajar untuk tidak merasakan apa-apa. Sedang kita hanya menatap datar. Bahkan lebih datar dari kehidupan kita sebelum ini. Tidak mengingat apa-apa, dan tidak perlu mengenang apa-apa. Kini ujung jalan itu tampak lebih jauh. Sejauh dua punggung yang saling berhadapan. Sejauh ‘kita’: penghubung yang memisahkan.

Kisah Pembeli dan Penjual

Di suatu sudut belahan dunia, sebuah peradaban antah-berantah, terik kebingungan pekat sekali menyingsing hari itu. Menyusup ke dalam pori-pori sosok siapa saja yang tidak kuat tabirnya. Dua sosok tertantang, tegak tergugu saling berlomba mengurung tanya di kepala. Tidak tahan dengan lompatan-lompatan pertanyaan yang memasuki otaknya, satu suara memilih kalah, memecah suasana. Suara tipikal antah-berantah, bergaung membelah terik menjadi dua.

“Apa yang kau jual?”

Dia dipanggil si Pembeli. Kini tengah berdiri di depan sebuah toko segi empat nan sempit. Sempit sekali, pikirnya. Sampai-sampai dia merasa ruang itu tidak cukup pantas untuk dijadikan toko, membuatnya begitu sungkan untuk masuk ke dalam—takut akan kalah cepat merebut oksigen dengan sosok lain. Sejenak dia hanya bungkam, lalu mulai membunuh waktu dengan bergumam, mengerjap, lalu bergumam lagi. Terasa sedikit lama, namun dia tahu bagaimana cara membunuh waktu. Yang dia tidak tahu adalah cara membunuh rasa ingin tahunya pada toko itu. Napasnya ditarik dan dihempas, mencari spekulasi paling logis mengapa dia harus berdiri di sana.

Satu-satunya sosok di dalam toko segi empat nan sempit itu maju beberapa langkah, sekarang tepat berdiri di mulut toko, di depan si Pembeli. Dia dipanggil si Penjual. Berdekap tangan dia menjawab, tanpa merasa perlu mengeluarkan suara—meski ada pertanyaan yang huru-hara di dalam otaknya—sambil mengedikkan kepala hanya melirik kepada plang yang berada di dinding atas toko. Dengan tersenyum sinis yang tipis, selagi diam dia mengolok sosok di depannya semacam bodoh karena tidak bisa baca.

TOKO RASA SAKIT

Thursday 31 August 2017

Jarak

Jarak adalah satu langkah dan beberapa langkah.
Jarak adalah pemisah antara awal dan tujuan.
Jarak adalah pemisah antara kemauan dan kemampuan.
Jarak adalah penghubung yang memisahkan.
Jarak adalah seberapa lama kau berbicara dengan seseorang di telfon.
Jarak adalah jumlah argometer yang siap mengorek kantongmu.
Jarak adalah pemahaman yang tidak kau pahami.
Jarak adalah kerenggangan setelah perkelahian dengan teman.
Jarak adalah punggung yang saling berhadapan.
Jarak adalah seberapa sering kau menyebut nama seseorang.
Jarak adalah jumlah kalimat yang kau ucapkan kepada seseorang.
Jarak adalah cara menamai sebuah hubungan.
Jarak adalah seni melihat sesuatu.
Jarak adalah keinginan yang belum tersampaikan.
Jarak adalah doa yang kau panjatkan.
Jarak adalah batas kerinduan.

(Jakarta, 31082017)