Di suatu sudut belahan dunia, sebuah peradaban
antah-berantah, terik kebingungan pekat sekali menyingsing hari itu. Menyusup ke
dalam pori-pori sosok siapa saja yang tidak kuat tabirnya. Dua sosok tertantang,
tegak tergugu saling berlomba mengurung tanya di kepala. Tidak tahan dengan
lompatan-lompatan pertanyaan yang memasuki otaknya, satu suara memilih kalah, memecah
suasana. Suara tipikal antah-berantah, bergaung membelah terik menjadi dua.
“Apa yang kau jual?”
Dia dipanggil si Pembeli. Kini tengah berdiri di
depan sebuah toko segi empat nan sempit. Sempit sekali, pikirnya. Sampai-sampai
dia merasa ruang itu tidak cukup pantas untuk dijadikan toko, membuatnya begitu
sungkan untuk masuk ke dalam—takut akan kalah cepat merebut oksigen dengan
sosok lain. Sejenak dia hanya bungkam, lalu mulai membunuh waktu dengan
bergumam, mengerjap, lalu bergumam lagi. Terasa sedikit lama, namun dia tahu
bagaimana cara membunuh waktu. Yang dia tidak tahu adalah cara membunuh rasa ingin
tahunya pada toko itu. Napasnya ditarik dan dihempas, mencari spekulasi paling
logis mengapa dia harus berdiri di sana.
Satu-satunya sosok di dalam toko segi empat nan
sempit itu maju beberapa langkah, sekarang tepat berdiri di mulut toko, di
depan si Pembeli. Dia dipanggil si Penjual. Berdekap tangan dia menjawab, tanpa
merasa perlu mengeluarkan suara—meski ada pertanyaan yang huru-hara di dalam
otaknya—sambil mengedikkan kepala hanya melirik kepada plang yang berada di
dinding atas toko. Dengan tersenyum sinis yang tipis, selagi diam dia mengolok
sosok di depannya semacam bodoh karena tidak bisa baca.
TOKO RASA SAKIT
Pembeli mengutuk sosok itu karena tingkahnya. Dia
seakan bisa menangkap bulat-bulat makna dari senyum sinis yang tipis itu, kedik
kepala itu, dan juga dekap tangan itu. Sombong sekali, pikirnya. Dia belum
pernah bertemu dengan sosok sesombong ini sebelumnya. Toko sempit begini, apa yang kau sombongkan, hah?
“Kau pikir aku tidak bisa baca?”
“Lalu mengapa kau masih bertanya?”
“Maksudku...” ah, sial! Pemilihan kata yang salah, “Kau... sungguh menjual rasa sakit, atau apa?”
“Ya, aku menjual rasa sakit. Ada yang salah?”
“Tentu saja.” Pembeli tidak sempat memikirkan alasan
dari jawabannya. ‘Tentu saja’ itu keluar sekenanya dari tenggorokannya. Detik
kemudian dia merasa perlu memberikan argumen. Argumen apa saja yang bisa
menolak mentah-mentah ide ‘menjual rasa sakit’ itu, argumen apa saja yang dapat
menegaskan bahwa ‘menjual rasa sakit’ merupakan ide paling gila yang pernah
ada. Namun tiba-tiba dia terbentur pada keraguan yang tahu-tahu sudah di depan
muka.
“Jangan salah, jualanku ini laku keras. Selama ini belum
pernah aku merugi.” Penjual berkata lantang, tidak berkurang satu tangga nada
pun kesombongannya. Itu pantas, pikirnya. Dia merasa sedikit
dihina tadi. Jengkel ditiliknya sosok itu.
Di
dalam benaknya Pembeli mulai menerka-nerka, teknik
pemasaran apa yang dipakai Penjual gila ini sampai dagangan seperti ini bisa
laku keras. Yah, itupun kalau dia tidak berbohong. Benar, bisa saja dia berbohong, bukan? Pembeli mulai merasa perlu
berhati-hati. Belakangan ini, dia mendengar banyak sekali penipuan yang
terjadi. Berbagai kedok digunakan untuk mengecoh si korban. Korban dibuat rugi
serugi-ruginya rugi. Lalu, pertanyaan yang menghinggapi si Pembeli sekarang
adalah, kedok yang seperti apa kira-kira untuk sebuah tipuan penjualan rasa
sakit? Kini pembeli tampak terlalu sibuk dengan kemungkinan-kemungkinan yang dibuatnya
sendiri.
“Hei,
apa kau sebegitu penasarannya sampai tak bisa berkata-kata?” Si penjual, entah
bagaimana, terdengar lebih tenang. Dia menangkap sesuatu dari gerak-gerik sosok
di hadapannya itu.
“Hah,
mimpi. Kalau aku penasaran aku sangat banyak bertanya. Aku diam saja, kau
lihat.”
“Karena
itu, kukatakan sebegitu penasarannya kau. Sesuatu yang sangat dalam biasanya
sulit diungkapkan.” Apakah aku sudah
menang? Penjual bertanya-tanya dalam hati, ini lebih mudah dari yang dia
khawatirkan. Selanjutnya, dia sudah siap untuk melakukan aksi ‘tanyanya’.
Bicara apa dia sekarang? Pembeli
jengah. Terlebih pada dirinya sendiri. Dia merasa bodoh telah membiarkan
otaknya terkuras untuk hal konyol ini, ide konyol oleh Penjual konyol. Namun,
dia cukup waras untuk menyadari bahwa dia akan merasa lebih konyol apabila
angkat kaki dari depan toko ini, tanpa menemukan apa-apa. Paling tidak, dia
harus memenangkan hipotesa bahwa seperangkat toko ini tidak sama sekali mengusiknya,
tidak sama sekali menyita pemikirannya. Ini
bukan penasaran. Ini hanya sesuatu... pembeli tergugu mencari kata dalam
benaknya sendiri, sesuatu yang harus aku buktikan.
“Hei,
ayolah, katakan sesuatu! Biar ini jadi perdebatan yang seru. Apa yang kau
pikirkan di depan tokoku sedari tadi?” Itu dia. Satu-satunya pertanyaan yang hinggap
di kepala si Penjual. Sejak tadi, atau sejak hari-hari itu terus berlalu. Apa
yang dipikirkan setiap sosok yang rela berdiri barang beberapa waktu di depan
tokonya. Dan selalu, selalu setelah dia menanyakannya pertannyaan itu, jawaban
yang akan dia dengar adalah...
“Baiklah,
aku akan membelinya.”
“Apa?”
“Kau mendengarku.”
Jawaban
yang tidak menjawab. Apapun. Jawaban yang dipahami, namun tak diingini. Lama
sudah penjual memikirkannya, entah sejak kapan, belakangan yang dia inginkan
hanyalah jawaban tersebut. Bukan lagi dagangan yang terlalu laku keras. Namun jawaban
dari satu-satunya pertanyaan yang belum pernah dijawab dengan jawaban. Jawaban yang
bisa menjawab. Pertanyaannya. Jawabannya. Dia mulai sedikit tertekan.
“Tunggu
sebentar, akan aku bungkuskan.” Aku
menjawab semua pertanyaan bodoh mereka, namun aku tidak mendapatkan apa-apa.
Aku selalu menang, namun aku tidak mendapatkan apa-apa.
Ini
adalah satu-satunya cara pembuktian. Pembeli mulai mencoba meyakininya. Untuk tahu itu adalah sebuah tipuan, terlebih
dahulu kau harus tahu bahwa itu adalah sebuah tipuan. Pembeli mulai merasa
gila.
Transaksi
jual-beli itu hampir terjadi, tepat pada saat Penjual akan menyerahkan
bungkusan di tangannya kepada Pembeli namun tiba-tiba dengan cepat ditarik
kembali. Secepat kilat. Secepat kilat? Oh, baiklah, paling tidak secepat yang
dia bisa.
“Hei,
apa yang kau lakukan?” Pembeli bingung mendengar pertanyaannya sendiri. Reflek.
Bodoh, kau kemanakan martabatmu?
Penjual
tampak lelah—entah bagaimana, luruh sudah pongahnya. Dia menarik napas, dalam,
lalu menghembuskannya, berat. Baiklah,
tidak ada yang akan menang hari ini jika pertanyaan itu belum terjawab. Tidak akan
ada.
“Jawab
dulu pertanyaanku.”
“Pertanyaan?
Pertanyaan yang mana? Apa kau bahkan pernah melakukannya?” Yang dengan jelas
ditangkap oleh Pembeli hanyalah pernyataan Penjual yang seolah-olah bertanya.
Dan jika itu yang dianggap sebagai pertanyaan, maka dengan jelas baginya itu
adalah pertanyaan yang tak perlu dijawab.
Tidak ada jawaban untuk pertanyaan semacam itu. Pembeli merutuk dalam diam.
“Aku
sudah bertanya... selalu... berulang kali...” Penjual meracau setengah putus
asa. “Jadi, tolong kali ini kau yang harus menjawabnya. Tidak boleh tidak.
Pertanyaan ini sudah mengusikku.”
Pembeli
bergumam, mengerjap, lalu bergumam lagi. Ini diulangnya beberapa kali sambil
menatap aneh sosok dihadapannya. Sosok aneh dengan pertanyaan aneh. Ah, omong-omong, pertanyaannya yang mana?
“Baiklah.
Pertanyaan yang mana yang harus kujawab?”
“Apa
yang kau pikirkan? Eh...” Penjual terbata-bata mengulangnya, tidak sadar tidak
sabar, ”... maksudku, apa yang kau pikirkan saat berdiri di depan tokoku? Apa
yang membuatmu begitu betah berlama-lama? Mengapa...”
“Hei,
aku tidak betah. Sama sekali. Ralat.”
“Lalu, mengapa?”
“Apakah ini penting? Maksudku, jawabanku. Kau tahu, pertanyaanmu sangat aneh. Bahkan lebih aneh dari toko sempit ini.”
“Kau
cukup menjawabnya, maka transaksi kita selesai.” Pungkas Penjual. Dia menelan
ludah, mulai mempersiapkan dirinya untuk mendengar jawaban itu. Jawaban yang
sudah dinanti-nanti entah sejak kapan. Jawaban miliknya. Seperti ada yang
bergetar dalam benak Penjual.
“Baiklah...”
ini cukup gampang, tangkap si Pembeli. Dia bahkan yakin tidak perlu menguras
otak untuk merangkai kalimat dari jawaban tersebut. Jawaban yang telah dengan
aneh mengusik Penjual malang. Ya, Pembeli sudah mempertimbangkan bahwa sosok
itu cukup untuk dikatakan malang. Bahkan
lebih malang daripada toko sempitnya. Dia nyaris berharap jawabannya bisa
menenangkan si Penjual. “Karena aku adalah Pembeli, dan kau adalah Penjual, dan
toko ini... adalah tokomu. Toko dimana, kemarin-kemarin, atau hari ini, atau
besok lusa, para Pembeli akan datang. Lalu... apa yang kau tanyakan tadi? Apa
yang aku pikirkan? Oke, sebut saja itu alasan. Anggap saja begitu juga dengan
Pembeli yang lain. Kami hanya perlu mencari alasan, alasan yang cukup pantas
untuk kami membawa pulang dagangan yang dijual, alasan mengapa kami membeli.
Dan di negeri ini, begitu banyak toko yang ada, namun hari ini, hanya tokomu
yang sedang buka. Aku, dimana sebagai Pembeli yang harus membeli. Dan kau, si
Penjual malang, kalau boleh kuberi saran, kau tak perlu memikirkan hal yang tak
perlu dipikirkan. Lakukan saja tugasmu, menjual. Buat daganganmu lebih dari
laku keras. Dan... jadi, apakah kita bisa selesaikan transaksi ini sekarang?
Aku sudah harus pulang. Kau tahu, pembelian kali ini terlalu banyak memakan
energiku.”
Penjual
berguman, mengerjap, lalu bergumam lagi.
***
(Jakarta,
04092017)
No comments:
Post a Comment