Thursday 15 March 2018

Kisah Pembeli dan Penjual

Di suatu sudut belahan dunia, sebuah peradaban antah-berantah, terik kebingungan pekat sekali menyingsing hari itu. Menyusup ke dalam pori-pori sosok siapa saja yang tidak kuat tabirnya. Dua sosok tertantang, tegak tergugu saling berlomba mengurung tanya di kepala. Tidak tahan dengan lompatan-lompatan pertanyaan yang memasuki otaknya, satu suara memilih kalah, memecah suasana. Suara tipikal antah-berantah, bergaung membelah terik menjadi dua.

“Apa yang kau jual?”

Dia dipanggil si Pembeli. Kini tengah berdiri di depan sebuah toko segi empat nan sempit. Sempit sekali, pikirnya. Sampai-sampai dia merasa ruang itu tidak cukup pantas untuk dijadikan toko, membuatnya begitu sungkan untuk masuk ke dalam—takut akan kalah cepat merebut oksigen dengan sosok lain. Sejenak dia hanya bungkam, lalu mulai membunuh waktu dengan bergumam, mengerjap, lalu bergumam lagi. Terasa sedikit lama, namun dia tahu bagaimana cara membunuh waktu. Yang dia tidak tahu adalah cara membunuh rasa ingin tahunya pada toko itu. Napasnya ditarik dan dihempas, mencari spekulasi paling logis mengapa dia harus berdiri di sana.

Satu-satunya sosok di dalam toko segi empat nan sempit itu maju beberapa langkah, sekarang tepat berdiri di mulut toko, di depan si Pembeli. Dia dipanggil si Penjual. Berdekap tangan dia menjawab, tanpa merasa perlu mengeluarkan suara—meski ada pertanyaan yang huru-hara di dalam otaknya—sambil mengedikkan kepala hanya melirik kepada plang yang berada di dinding atas toko. Dengan tersenyum sinis yang tipis, selagi diam dia mengolok sosok di depannya semacam bodoh karena tidak bisa baca.

TOKO RASA SAKIT


Pembeli mengutuk sosok itu karena tingkahnya. Dia seakan bisa menangkap bulat-bulat makna dari senyum sinis yang tipis itu, kedik kepala itu, dan juga dekap tangan itu. Sombong sekali, pikirnya. Dia belum pernah bertemu dengan sosok sesombong ini sebelumnya. Toko sempit begini, apa yang kau sombongkan, hah?

“Kau pikir aku tidak bisa baca?”

“Lalu mengapa kau masih bertanya?”

“Maksudku...” ah, sial! Pemilihan kata yang salah, “Kau... sungguh menjual rasa sakit, atau apa?”

“Ya, aku menjual rasa sakit. Ada yang salah?”

“Tentu saja.” Pembeli tidak sempat memikirkan alasan dari jawabannya. ‘Tentu saja’ itu keluar sekenanya dari tenggorokannya. Detik kemudian dia merasa perlu memberikan argumen. Argumen apa saja yang bisa menolak mentah-mentah ide ‘menjual rasa sakit’ itu, argumen apa saja yang dapat menegaskan bahwa ‘menjual rasa sakit’ merupakan ide paling gila yang pernah ada. Namun tiba-tiba dia terbentur pada keraguan yang tahu-tahu sudah di depan muka.

“Jangan salah, jualanku ini laku keras. Selama ini belum pernah aku merugi.” Penjual berkata lantang, tidak berkurang satu tangga nada pun kesombongannya. Itu pantas, pikirnya. Dia merasa sedikit dihina tadi. Jengkel ditiliknya sosok itu.

Di dalam benaknya Pembeli mulai menerka-nerka, teknik pemasaran apa yang dipakai Penjual gila ini sampai dagangan seperti ini bisa laku keras. Yah, itupun kalau dia tidak berbohong. Benar, bisa saja dia berbohong, bukan? Pembeli mulai merasa perlu berhati-hati. Belakangan ini, dia mendengar banyak sekali penipuan yang terjadi. Berbagai kedok digunakan untuk mengecoh si korban. Korban dibuat rugi serugi-ruginya rugi. Lalu, pertanyaan yang menghinggapi si Pembeli sekarang adalah, kedok yang seperti apa kira-kira untuk sebuah tipuan penjualan rasa sakit? Kini pembeli tampak terlalu sibuk dengan kemungkinan-kemungkinan yang dibuatnya sendiri.

“Hei, apa kau sebegitu penasarannya sampai tak bisa berkata-kata?” Si penjual, entah bagaimana, terdengar lebih tenang. Dia menangkap sesuatu dari gerak-gerik sosok di hadapannya itu.

“Hah, mimpi. Kalau aku penasaran aku sangat banyak bertanya. Aku diam saja, kau lihat.”

“Karena itu, kukatakan sebegitu penasarannya kau. Sesuatu yang sangat dalam biasanya sulit diungkapkan.” Apakah aku sudah menang? Penjual bertanya-tanya dalam hati, ini lebih mudah dari yang dia khawatirkan. Selanjutnya, dia sudah siap untuk melakukan aksi ‘tanyanya’.

Bicara apa dia sekarang? Pembeli jengah. Terlebih pada dirinya sendiri. Dia merasa bodoh telah membiarkan otaknya terkuras untuk hal konyol ini, ide konyol oleh Penjual konyol. Namun, dia cukup waras untuk menyadari bahwa dia akan merasa lebih konyol apabila angkat kaki dari depan toko ini, tanpa menemukan apa-apa. Paling tidak, dia harus memenangkan hipotesa bahwa seperangkat toko ini tidak sama sekali mengusiknya, tidak sama sekali menyita pemikirannya. Ini bukan penasaran. Ini hanya sesuatu... pembeli tergugu mencari kata dalam benaknya sendiri,  sesuatu yang harus aku buktikan.

“Hei, ayolah, katakan sesuatu! Biar ini jadi perdebatan yang seru. Apa yang kau pikirkan di depan tokoku sedari tadi?” Itu dia. Satu-satunya pertanyaan yang hinggap di kepala si Penjual. Sejak tadi, atau sejak hari-hari itu terus berlalu. Apa yang dipikirkan setiap sosok yang rela berdiri barang beberapa waktu di depan tokonya. Dan selalu, selalu setelah dia menanyakannya pertannyaan itu, jawaban yang akan dia dengar adalah...

“Baiklah, aku akan membelinya.”

“Apa?”

“Kau mendengarku.”

Jawaban yang tidak menjawab. Apapun. Jawaban yang dipahami, namun tak diingini. Lama sudah penjual memikirkannya, entah sejak kapan, belakangan yang dia inginkan hanyalah jawaban tersebut. Bukan lagi dagangan yang terlalu laku keras. Namun jawaban dari satu-satunya pertanyaan yang belum pernah dijawab dengan jawaban. Jawaban yang bisa menjawab. Pertanyaannya. Jawabannya. Dia mulai sedikit tertekan.

“Tunggu sebentar, akan aku bungkuskan.” Aku menjawab semua pertanyaan bodoh mereka, namun aku tidak mendapatkan apa-apa. Aku selalu menang, namun aku tidak mendapatkan apa-apa.
Ini adalah satu-satunya cara pembuktian. Pembeli mulai mencoba meyakininya. Untuk tahu itu adalah sebuah tipuan, terlebih dahulu kau harus tahu bahwa itu adalah sebuah tipuan. Pembeli mulai merasa gila.

Transaksi jual-beli itu hampir terjadi, tepat pada saat Penjual akan menyerahkan bungkusan di tangannya kepada Pembeli namun tiba-tiba dengan cepat ditarik kembali. Secepat kilat. Secepat kilat? Oh, baiklah, paling tidak secepat yang dia bisa.

“Hei, apa yang kau lakukan?” Pembeli bingung mendengar pertanyaannya sendiri. Reflek. Bodoh, kau kemanakan martabatmu?

Penjual tampak lelah—entah bagaimana, luruh sudah pongahnya. Dia menarik napas, dalam, lalu menghembuskannya, berat. Baiklah, tidak ada yang akan menang hari ini jika pertanyaan itu belum terjawab. Tidak akan ada.

“Jawab dulu pertanyaanku.”

“Pertanyaan? Pertanyaan yang mana? Apa kau bahkan pernah melakukannya?” Yang dengan jelas ditangkap oleh Pembeli hanyalah pernyataan Penjual yang seolah-olah bertanya. Dan jika itu yang dianggap sebagai pertanyaan, maka dengan jelas baginya itu adalah pertanyaan yang tak perlu dijawab. Tidak ada jawaban untuk pertanyaan semacam itu. Pembeli merutuk dalam diam.

“Aku sudah bertanya... selalu... berulang kali...” Penjual meracau setengah putus asa. “Jadi, tolong kali ini kau yang harus menjawabnya. Tidak boleh tidak. Pertanyaan ini sudah mengusikku.”

Pembeli bergumam, mengerjap, lalu bergumam lagi. Ini diulangnya beberapa kali sambil menatap aneh sosok dihadapannya. Sosok aneh dengan pertanyaan aneh. Ah, omong-omong, pertanyaannya yang mana?

“Baiklah. Pertanyaan yang mana yang harus kujawab?”

“Apa yang kau pikirkan? Eh...” Penjual terbata-bata mengulangnya, tidak sadar tidak sabar, ”... maksudku, apa yang kau pikirkan saat berdiri di depan tokoku? Apa yang membuatmu begitu betah berlama-lama? Mengapa...”

“Hei, aku tidak betah. Sama sekali. Ralat.”

“Lalu, mengapa?”

“Apakah ini penting? Maksudku, jawabanku. Kau tahu, pertanyaanmu sangat aneh. Bahkan lebih aneh dari toko sempit ini.”

“Kau cukup menjawabnya, maka transaksi kita selesai.” Pungkas Penjual. Dia menelan ludah, mulai mempersiapkan dirinya untuk mendengar jawaban itu. Jawaban yang sudah dinanti-nanti entah sejak kapan. Jawaban miliknya. Seperti ada yang bergetar dalam benak Penjual.

“Baiklah...” ini cukup gampang, tangkap si Pembeli. Dia bahkan yakin tidak perlu menguras otak untuk merangkai kalimat dari jawaban tersebut. Jawaban yang telah dengan aneh mengusik Penjual malang. Ya, Pembeli sudah mempertimbangkan bahwa sosok itu cukup  untuk dikatakan malang. Bahkan lebih malang daripada toko sempitnya. Dia nyaris berharap jawabannya bisa menenangkan si Penjual. “Karena aku adalah Pembeli, dan kau adalah Penjual, dan toko ini... adalah tokomu. Toko dimana, kemarin-kemarin, atau hari ini, atau besok lusa, para Pembeli akan datang. Lalu... apa yang kau tanyakan tadi? Apa yang aku pikirkan? Oke, sebut saja itu alasan. Anggap saja begitu juga dengan Pembeli yang lain. Kami hanya perlu mencari alasan, alasan yang cukup pantas untuk kami membawa pulang dagangan yang dijual, alasan mengapa kami membeli. Dan di negeri ini, begitu banyak toko yang ada, namun hari ini, hanya tokomu yang sedang buka. Aku, dimana sebagai Pembeli yang harus membeli. Dan kau, si Penjual malang, kalau boleh kuberi saran, kau tak perlu memikirkan hal yang tak perlu dipikirkan. Lakukan saja tugasmu, menjual. Buat daganganmu lebih dari laku keras. Dan... jadi, apakah kita bisa selesaikan transaksi ini sekarang? Aku sudah harus pulang. Kau tahu, pembelian kali ini terlalu banyak memakan energiku.”

Penjual berguman, mengerjap, lalu bergumam lagi.

***


(Jakarta, 04092017)

No comments:

Post a Comment