Monday 7 September 2015

Ketika Melakukan Kesalahan Membuatmu Merasa Lebih Baik

Anggap saja ini semacam bertukar pemahaman, tentang satu hal yang sederhana. Bisa jadi ada yang berpikir sama, atau bisa jadi di pemikiran lain ada pemahaman yang lebih bijaksana, lebih dapat diterima, lebih menggugah, dan sejenis lainnya. Berikut ilustrasinya:

Ada suatu masa, dimana saat kamu melakukan satu kesalahan yang orang-orang biasa lakukan, dan itu untuk yang pertama kalinya, tapi malah kamu satu-satunya orang yang mendapat ganjaran. Sama sekali tidak menyenangkankan, bukan? Rasanya... entahlah. Mau marah, tapi tidak tahu kepada siapa. Memang punya hak apa? Bagi yang pernah mengalaminya, mungkin pada saat itu kamu merasa sedang sial, atau sangat sial, semacam sedang dijadikan tumbal. Lalu pertanyaan itu pun mencuat, kenapa harus aku? Kenapa??! Sebab tidak ada yang mampu menjawab, beberapa saat kemudian akan kamu habiskan dengan menggalau, mengeluh, mengadu, menggerutu, atau bahkan mengutuk. Rentetan ungkapan penyesalan akan keluar, memenuhi pikiran. Andai begini... andai begitu... harusnya si ini... harusnya si itu...

Thursday 3 September 2015

Flashlight

Ketika dengan menatap matanya saja dapat membuatmu merasa aman. Ketika duduk dengannya dapat menjadikanmu nyaman meski dalam diam. Ketika dengan melangkah di sampingnya meyakinkanmu kemanapun tujuan. Mungkin saat itu kau akan mulai melupakan—melupakan bahwa waktu terus berjalan, melupakan yang namanya kesepian, dan melupakan tentang perjalanan penuh bebatuan. Karena makna lain dari bersamanya, adalah kecukupan.


(Pekanbaru, 03092015)

Inspiring song: Flashlight - Jessie J

Wednesday 2 September 2015

Paradoks

Ketika kau menyadari, bahwa makna lain dari pertemuan itu ternyata perpisahan, bisa jadi rasanya seperti mati rasa. Tidak tahu harus bagaimana, atau lebih tepatnya, tidak tahu harus merasakan apa. Pertemuan rasa perpisahan, mungkin seperti itu frasanya. Layaknya sedang mengecap gula, tapi malah pahit yang sampai di lidah. Menghadirkan kebahagiaan akan membuatmu seperti sedang mengadakan pesta perpisahan. Mengharapkan pilihan akan berubah menjadi tiket pulang menuju kebuntuan. Sekadar menguraikan sisa-sisa do’a semalam. Dan, pada akhirnya, kepasrahan lah yang memperoleh singgasana kehidupan. Mampu menempatkanmu pada takhta pemahaman yang paling rasional, bahwa sejatinya pertemuan dan perpisahan senantiasa duduk berdampingan. Karena, ketika kau siap untuk bertemu, sama artinya kau juga siap untuk berpisah.

(Pekanbaru, 02092015)