Belakangan, langit tidak memberikan efek apa-apa. Seperti
telah kehilangan maknanya. Tak ada lagi yang menjadi benar-benar berarti, atau
yang terlalu dirindukan, semacam yang mampu menghibur, atau malah yang kadang
dibenci. Entah apa yang terjadi pada makna-makna itu. Pergi meninggalkan, atau
hilang ditinggalkan. Keraguan tidak berani menjawab, sedang hati tak ingin lagi
bermain isyarat—seakan semuanya sudah cukup sarat. Langit, haruskah kita mulai
berkirim surat?
Belakangan, langkah-langkah itu terlalu cepat lelah.
Terlalu suka bertumpu pada setapak yang goyah. Mulai enggan untuk ditempah. Kerikil-kerikil
di jalan membuatnya terlalu berhati-hati, membuatnya selalu ingin berhenti. Dan
setiap mimpi itu ingin dibawanya melarikan diri—kemanapun asalkan bukan di
tempat saat ini ia menepi, untungnya satu alasan selalu berhasil menghalangi. Alasan
yang masih harus ia temukan. Yang sering ia sebut-sebut sebagai jawaban.
Belakangan, euforia tak pernah muncul lagi. Entah kemana
ia bersembunyi. Biasanya di setiap sudut rasa ia bergema, meracau apa saja. Hingga
muncul dua makna, yang mampu melahirkan berbagai tanya. Apa euforia kehilangan
kemampuannya untuk mengacaukan? Atau ia sendiri juga sedang terjebak dalam
kebingungan? Euforia, apa sekarang kau tengah mengalami yang namanya’senjata
makan tuan’? Semoga bukan.
Belakangan, kopi menjadi salah satu teman yang bisa
diandalkan. Dapat menghadirkan sensasi nyaman. Mungkin saja ini sugesti, atau
semacam usaha renovasi diri. Entahlah. Satu hal yang terjadi—saat kau telah dapat
menerima sesuatu, terkadang mengetahui alasannya tak lagi perlu.
Belakangan, ada bagian yang ingin sekali dibuang,
dan ada bagian yang ingin sekali digenggam. Bagian dari waktu yang tak
terbantahkan.
Belakangan, banyak hal yang tak sempat tertuliskan.
(Pekanbaru, 23082015)
No comments:
Post a Comment