Sunday 23 August 2015

Belakangan...

Belakangan, langit tidak memberikan efek apa-apa. Seperti telah kehilangan maknanya. Tak ada lagi yang menjadi benar-benar berarti, atau yang terlalu dirindukan, semacam yang mampu menghibur, atau malah yang kadang dibenci. Entah apa yang terjadi pada makna-makna itu. Pergi meninggalkan, atau hilang ditinggalkan. Keraguan tidak berani menjawab, sedang hati tak ingin lagi bermain isyarat—seakan semuanya sudah cukup sarat. Langit, haruskah kita mulai berkirim surat?

Belakangan, langkah-langkah itu terlalu cepat lelah. Terlalu suka bertumpu pada setapak yang goyah. Mulai enggan untuk ditempah. Kerikil-kerikil di jalan membuatnya terlalu berhati-hati, membuatnya selalu ingin berhenti. Dan setiap mimpi itu ingin dibawanya melarikan diri—kemanapun asalkan bukan di tempat saat ini ia menepi, untungnya satu alasan selalu berhasil menghalangi. Alasan yang masih harus ia temukan. Yang sering ia sebut-sebut sebagai jawaban.

Belakangan, euforia tak pernah muncul lagi. Entah kemana ia bersembunyi. Biasanya di setiap sudut rasa ia bergema, meracau apa saja. Hingga muncul dua makna, yang mampu melahirkan berbagai tanya. Apa euforia kehilangan kemampuannya untuk mengacaukan? Atau ia sendiri juga sedang terjebak dalam kebingungan? Euforia, apa sekarang kau tengah mengalami yang namanya’senjata makan tuan’? Semoga bukan.

Belakangan, kopi menjadi salah satu teman yang bisa diandalkan. Dapat menghadirkan sensasi nyaman. Mungkin saja ini sugesti, atau semacam usaha renovasi diri. Entahlah. Satu hal yang terjadi—saat kau telah dapat menerima sesuatu, terkadang mengetahui alasannya tak lagi perlu.

Belakangan, ada bagian yang ingin sekali dibuang, dan ada bagian yang ingin sekali digenggam. Bagian dari waktu yang tak terbantahkan.

Belakangan, banyak hal yang tak sempat tertuliskan.

(Pekanbaru, 23082015)

No comments:

Post a Comment