Monday 27 October 2014

Euforia #3

Bagus. Sekarang kau benar-benar terjebak. Haha, siapa yang ingin tertawa, silakan! Tidak dilarang. Memang bisa apa lagi? Ada pilihan? Percayalah! Bahkan menertawakan kehidupan tidak akan mampu membuatmu merasa bisa diselamatkan. Kubangan ini benar-benar kejam, berapa kali harus kuperingatkan. Ini buruk. Kini semua terasa bagai delusi, sering terabaikan namun malah membuat pesakitan. Padahal, banyak hal yang dapat kau perbuat lebih dari merasa terperangkap, merasa butuh ditopang, jika kau tahu. Namun, setiap kali kau ingin mendongak saja, kau merasa seperti akan jatuh. Beranggapan tiupan angin di depan itu jauh lebih kuat daripada kakimu yang bertumpu pada bumi yang sudah lama kau kenali. Ini tidak akan berhasil. Sebuah pertolongan cuma-cuma tidak ditawarkan di sini. Mahal sekali harganya. Kau sungguh kacau, kawan. Inilah sari dari bagian hidup yang kecil itu. Tidak ada yang pernah tahu, selain Yang Maha Tahu. Bagian yang kau tunggu-tunggu, aku rasa. Kau pernah membayangkannya, bukan? Saat itu kau tidak percaya, tapi di sini kau sekarang. Memenangkan hipotesa, sekaligus terjerumus pada persepsi sendiri. Hebat. Kau memang pintar menebak, tapi, kenapa harus yang ini? Kenapa euforia lagi? Aku tidak habis pikir, kau juga begitu.

(Pekanbaru, 27102014)

Friday 24 October 2014

Janji

Ini masih tentang hari kemarin, lalu kemarinnya lagi. Bukankah terasa seperti bayangan? Maka hari ini adalah biasnya, pancaran dari setiap do'a yang kau bisikkan. Dongeng tentang masa depan. Sejujurnya, kau tidak pernah benar-benar bisa merangkai. Kau tahu, beberapa keping puzzle tidak ada dalam genggamanmu. Sebabnya, kau coba mengintip dari tetangga. Hari sebelumnya.
Sejujurnya, ini hanya pengantar, bukan?

Ada yang ingin kau bahagiakan, di ratapan do'a tadi, pada dongeng masa depan itu. Kau tidak tahu, tapi kau tahu. Aku juga begitu. Waktu benar-benar berhasil menakut-nakuti kita. Yah, memang dia tidak pernah bermain-main. Dia selalu menepati janji. Ah, ya, mengapa tak kau rapalkan saja sebagai janji? Janji akan membahagiakan mereka.

Ingat! Ini masih tentang kemarin, lalu kemarinnya lagi. Kau hanya butuh percaya. Karena ia akan menuntunmu ke jalan yang seharusnya, jika kau percaya.

"Tolong lihatkan, apakah waktu masih bersedia menemaniku, besama-sama menepati janji."

Percaya

Kembali tertanya pada kata yang enggan bicara, enggan ditata, hanya mau semaunya: Mengapa?

Pertanyaan bukan berarti aku meragu, kecewa, atau yang dianggap tidak searah. Hanya saja, pengertian tidak bisa langsung kau dapat cuma dengan menatap lorong waktu. Sok tahu. Ada yang perlu dikuatkan dengan jawaban itu, agar ia tidak berontak, hingga tenang. Tidak ada yang bisa mundur, sebab itu ia kehilangan.

Sulitkah untuk meyakinkan? Diyakinkan? Untuk yang satu ini, bukan kata yang berhak menuangkan ke dalam penyerahan, melainkan ia yang pantas menyimpan penangguhan. Sisa-sisa hari kemarin menitip pesan-pesan yang tak terjamah siapa saja. Belum, mungkin. Ia masih takut berserah, ia masih takut percaya.

"Tolong simpankan untuk hari esok." Pintanya.
Ya sudahlah. Semoga.

Karena hati percaya kepada apa yang ia percayai.

Wednesday 8 October 2014

Saturday Night #FF2in1

Di sini aku sekarang, di hadapan pintu lebar berwarna coklat tua, belum bisa melakukan apa-apa. Angin sabtu mala mini tidak terlalu dingin, tapi aku menggigil. Kali ini aku memahami satu hal, tidak ada perjuangan yang mudah untuk sesuatu yang berharga. Ya, tidak mudah memang mendapatkan hati Tiara, terlebih hati kedua orangtuanya.

“Aku capek backstreet terus…” kala itu Tiara mengungkapkannya, di malam dua hari lalu saat aku meneleponnya seperti biasa. Aku menghela napas panjang.

Di sini aku sekarang, mencoba untuk memperjuangkan cinta yang aku anggap benar. Aku tidak bisa menghilangkan bayangan perempuan yang aku cintai dengan segenap hati tersebut. Tiara pernah bilang, Papanya melarangnya menjalin hubungan yang lelaki yang tidak jelas.