Everything Has Changed
Bagas memandang arloji di tangan kirinya dengan gelisah demi mengakumulasi 22 menit yang sudah melewati waktu yang sudah dijanjikan. Espresso di cangkirnya hanya tersisa ampas hitam saja, ia merasa membutuhkan kafein yang lebih untuk menenangkan dirinya, atau paling tidak untuk membuat Bagas lebih sabar menunggu. Setelah meninggalkan kantor lebih cepat dari yang seharusnya, Bagas terburu-buru menuju De Café, sama sekali tidak berniat datang terlambat. Alhasil ia sampai 10 menit sebelum waktunya, dan sampai sekarang seseorang yang ia tunggu belum juga muncul. Bagas mendorong tubuhnya ke belakang dengan kasar, semakin tidak sabar.
Saat Bagas baru ingin mengangkat tangan untuk memesan one shot espresso lagi, terdengar bunyi denting dari arah depan café, pintu berbahan kayu jati itu terbuka. Untuk kesekian kalinya Bagas menoleh, kembali ia merasakan pegal yang sudah membebani lehernya dari tadi. Bagas tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap mendengar denting pintu itu, ia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menoleh ke kiri. Ke arah pintu yang sudah membuat Bagas memerlukan kafein lebih banyak hari ini. Namun untuk yang satu ini, akhirnya ia bisa bernapas lega. Benar-benar lega. Dari sudut ruangan yang luas itu, Bagas mendapati seraut wajah yang sudah dinantinya sejak tadi, atau bahkan sejak beberapa tahun belakangan. Bagas sudah tidak bisa menghitung. Layaknya ini adalah sebuah penantian panjang dalam hidupnya.