Friday 26 September 2014

Risalah Rasa - Chapter 2

Everything Has Changed 

Bagas memandang arloji di tangan kirinya dengan gelisah demi mengakumulasi 22 menit yang sudah melewati waktu yang sudah dijanjikan. Espresso di cangkirnya hanya tersisa ampas hitam saja, ia merasa membutuhkan kafein yang lebih untuk menenangkan dirinya, atau paling tidak untuk membuat Bagas lebih sabar menunggu. Setelah meninggalkan kantor lebih cepat dari yang seharusnya, Bagas terburu-buru menuju De Café, sama sekali tidak berniat datang terlambat. Alhasil ia sampai 10 menit sebelum waktunya, dan sampai sekarang seseorang yang ia tunggu belum juga muncul. Bagas mendorong tubuhnya ke belakang dengan kasar, semakin tidak sabar. 

Saat Bagas baru ingin mengangkat tangan untuk memesan one shot espresso lagi, terdengar bunyi denting dari arah depan café, pintu berbahan kayu jati itu terbuka. Untuk kesekian kalinya Bagas menoleh, kembali ia merasakan pegal yang sudah membebani lehernya dari tadi. Bagas tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap mendengar denting pintu itu, ia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menoleh ke kiri. Ke arah pintu yang sudah membuat Bagas memerlukan kafein lebih banyak hari ini. Namun untuk yang satu ini, akhirnya ia bisa bernapas lega. Benar-benar lega. Dari sudut ruangan yang luas itu, Bagas  mendapati seraut wajah yang sudah dinantinya sejak tadi, atau bahkan sejak beberapa tahun belakangan. Bagas sudah tidak bisa menghitung. Layaknya ini adalah sebuah penantian panjang dalam hidupnya.


Tak perlu lama kebingungan menjejak di wajah itu, seperti sudah tahu ke titik mana harusnya mencari, perempuan itu mulai melangkah ke arah meja Bagas yang ada di sudut café. Pengunjung sore itu tidak terlalu ramai, hanya ada Bagas di deretan yang ia tempati. 

Sorry, aku telat banget, ya?” Sapaan pertama yang diberikan Dara, wajahnya tampak menyesal. Dara mencondongkan tubuhnya, memeluk Bagas dengan singkat dan, canggung.

Bagas mengulurkan tangannya, membalas pelukan Dara yang terasa aneh. Mereka sudah tidak bertemu bertahun-tahun, bukan? Bagas memperhatikan Dara yang mengambil duduk tepat di hadapannya. Sudah lama sekali ia tidak melihat langsung perempuan itu, bersentuhan langsung, ada yang menggeliat di hati Bagas. Wajah putih Dara tampak sedikit pucat walau sudah dipoles make-up tipis. Dengan jarak ini, Bagas dapat melihat garis di bawah mata Dara tampak lebih gelap. Potongan rambut Dara yang jauh melebihi bahu, membuat bingkai wajah perempuan itu agak berubah. Perempuan itu sudah berbeda dari terakhir Bagas melihatnya.

“22 menit, espresso-ku bahkan hampir masuk cangkir ketiga.”

“Maaf, maaf. Tadi macetnya ampun-ampunan, estimasi waktuku meleset. Kamu ini, pulang-pulang makin kritis saja ngomongya.” Balas Dara.

“Aku baru pulang, kamu malah datang telat.”

“Iyaaa, aku minta maaf, okay?” Perempuan itu memilih merendahkan suaranya, “By the way, hi, Bagas Pradipta. Long time no see, how’ve you been?”  Lanjutnya sambil menyelipkan senyum canda, mencoba mencairkan suasana.

Bagas yakin, saat memasuki café tadi ia dapat menangkap sekilas wajah Dara yang agak tegang, langkah anggunnya seperti ragu. Namun, sekarang bahkan terlihat sangat normal.

So far, so good. Kamu sendiri apa kabar, Ra?” Bagas tidak bisa menahan untuk bertanya, “Sibuk, ya? Sampai telat gini…” Terlepas dari penyangkalan tentang estimasi waktu yang meleset, keterlambatan Dara sedikit banyak meresahkan Bagas. Bukan karena lamanya ia menunggu, melainkan bertahun-tahun kenal, Bagas tahu perempuan yang sedang duduk di hadapannya ini tidak biasa datang terlambat. Dari dulu Dara memiliki kontrol waktu yang baik.

“Gas, kamu nggak sedang nyindir aku lagi, kan?” Dara terkekeh pelan. Perempuan itu menopang dagu tirusnya dengan tangan di atas meja, “Aku baik-baik saja, kalau kamu beneran mau tau…” sambungnya lalu tersenyum lembut. Kemudian Dara mengangkat sebelah tangannya untuk memanggil pelayan, setelah mencatat pesanan mereka pelayan beranjak menuju pantry di sisi dalam café.

“Oh, ya Gas, gimana persiapan kantor kontraktor kamu yang baru itu? Aku belum dengar ceritanya sama sekali dari kamu.” 

“Sejauh ini baik, Ra. Persiapan kantornya udah hampir selesai, tinggal perekrutan beberapa karyawan lagi.”

“Lumayan cepat ya, Gas...” Dara menyimpulkan, “Kamu, sih, main pulang aja, nggak pakai bilang-bilang aku. Kalau tau kan, aku bisa ikutan bantu.”

Tiga hari yang lalu Bagas baru menginjakkan kembali kakinya di Jakarta. Setelah lulus kuliah dengan nilai memuaskan di Australia, Bagas memilih untuk mulai menapaki karirnya sebagai arsitek pemula dengan magang di salah satu perusahaan jasa arsitek di negeri kangguru itu selama dua tahun sambil meneruskan kuliah untuk gelar master-nya. Kini, setelah modal dan pengalaman yang cukup Bagas memutuskan untuk membuka kantor sendiri di tanah airnya.

 “Just thought, I'd rather give you a surprise, don’t you?”

Oh, ya? Thank you for the surprise,” ucap Dara dengan nada bosan. Sesungguhnya, Dara tidak pernah mengharap kejutan seperti ini. Kalau bisa memilih, ia mungkin akan menolaknya.

“Terus, terus… Kok, bisa cepat gitu?” Dara lebih tertarik mendengar cerita kantor baru ketimbang kejutan gagal Bagas.

Bagas hanya tersenyum, mendapati sifat cerewet Dara yang sudah keluar. Dara yang sangat ia rindukan. “Beberapa bulan yang lalu, aku udah negosiasi dengan beberapa teman di sini via telfon, dan mereka sepakat. Sebenarnya ide ini udah lama kami bicarakan, cuma realisasinya saja baru sekarang. Jadi, Selagi aku ngurus berkas di tempat kerja yang lama dan beberapa kontrak yang belum selesai, yang lain udah mulai duluan persiapan buat buka kantor baru di sini.” Mendengarnya, Dara mengangguk-angguk paham.

“Jadi, dengan kegiatan yang harusnya super sibuk itu kamu sempat-sempatnya meluangkan waktu buat ketemu aku.” Dara seperti takjub, “Seriously? Jangan-jangan kamu orang lain, bukan Bagas.” tuduhnya.

Bagas terkekeh saat mata bulat Dara menyipit lucu sambil memandangnya curiga yang dibuat-buat. Mau tidak mau melumerkan sedikit kegundahannya mengingat bias sekilas wajah Dara saat awal tadi. Entah perempuan itu terlalu pandai menutupi keadaan sebenarnya, Bagas masih agak khawatir. Namun jujur, mengobrol dengan Dara dan menghabiskan waktu mendengar canda serta gelaknya secara langsung adalah hal yang dtunggu-tunggu Bagas. Beberapa tahun belakangan ini mereka hanya melakukannya melalui telfon atau kadang video chat, itu pun sangat jarang. Bagas lebih sering sibuk dengan pekerjaanya.

“Aku Bagas yang kamu kenal. Mana ada Bagas lain yang merelakan waktunya yang berharga demi seorang Dara.”

Are you killing me?” Lalu terdengar gelak manis dari Dara.

Baru saja Bagas membuka mulut ingin membalas Dara lagi, sesuatu dari tas tangan yang berada di pangkuan perempuan itu berbunyi. Bagas membiarkan Dara mengecek ponselnya, lalu sesaat menyibukkan diri untuk mengetik pesan singkat di sana. Tidak lama kemudian pelayan datang mengantarkan minuman pesanan mereka. Dua cangkir kecil yang menguarkan asap beraroma khas.

“Sejak kapan kamu suka minum kafein, Ra?”

Fakta yang cukup mengejutkan untuk Bagas. Ia memang tidak terlalu memperhatikan saat Dara menyebutkan pesanan ke pelayan tadi. Bagas terlalu sibuk memperhatikan Dara. Ia jadi ingat, bagaimana dulu saat-saat semester terakhir mereka SMA, waktu sedang disibukkan dengan kegiatan les dan ujian, Dara kerap mengomelinya yang terlalu sering mengonsumsi kopi instan. Bagi perempuan itu, kopi hanya akan membuat ketergantungan dan sama sekali tidak baik untuk kesehatan jika diminum terlalu sering. Sampai sakit telinga kadang Bagas mendengar hal itu diulang-ulang. Walau Bagas tahu apa yang dikatakan Dara benar, kopi yang ia minum perharinya kadang sudah melebihi batas wajar. Sedang kafein yang dikonsumsi oleh Dara hanya berhenti pada lemon tea. Straight. Dan itu bisa dikatakan jarang sekali.

“Eh,” Dara tampak baru menyadarinya, “Eee bukan suka, sih, Gas. Cuma belakangan deadline di kantor bikin aku agak stres. Ada temen yang bilang minum kopi bisa bantu bikin tenang.”

“Bukannya malah bikin ketergantungan sama merusak kesehatan, ya?” Bagas tersenyum mengejek sambil mengulang kata-kata yang dulu sering Dara lontarkan untuknya. Ia kangen Dara yang suka mengomelinya dulu.

Whatever.” Dara memutar bola matanya, “Lagian ini cuma cappuccino. Bukan kopi hitam kayak punya kamu itu.” Dara menuding secangkir espresso panas yang masih mengepul di bawah wajah Bagas. Yang tentu saja lebih banyak mengandung senyawa alkaloid dari biji kopi jika dibandingkan dengan miliknya. 

Bagas mengedikkan bahu, memilih mengangkat cangkirnya dan beberapa saat menyesap aroma kental kopi itu, lalu meminumnya perlahan. Ekor mata Bagas memperhatikan perempuan yang duduk di hadapannya, yang sedang menikmati minumannya juga. Tadi Dara mengatakan ia membutuhkan kopi untuk jadi penenang, apa saat ini perempuan itu sedang gelisah atau bagaimana. Gerak kaku yang kadang keluar tidak sengaja dari tubuh Dara membuat Bagas risi. Sesungguhnya Bagas tidak pernah suka menerka-nerka.

“Dara.”

“Iya?”

“Kamu… jangan terlalu sibuk kerja, ingat jaga kesehatan juga. Liat tuh, badan kamu udah makin kurus, muka kamu juga agak pucat.”

Mengetahui kata-kata itu keluar dari mulut Bagas, mau tidak mau membuat Dara tersenyum-senyum. Tersipu.

“Kenapa senyum-senyum?”

“Enggak apa-apa. Kangen juga, sama nasehat kamu.”

Lekat-lekat Bagas memandang wajah Dara yang masih terlihat agak pucat. Senyum itu, ada yang tidak biasa di sana. Wajah itu pun kini seperti sedang menyembunyikan rahasia. Wajah yang biasa ia rindukan. Video chat dan segala bentuk komunikasi jarak jauh yang kerap mereka lakukan tidak pernah cukup untuk memenuhi kerinduan Bagas. Terakhir mereka bertatap langsung empat tahun yang lalu, saat Bagas menyempatkan diri beberapa hari pulang ke Indonesia karena ada berkas yang harus diurus untuk pengajuan beasiswa. Anggota keluarga Bagas yang lain sudah duluan pindah ke Australia beberapa bulan sebelumnya karena papanya dipindahkerjakan ke sana, tinggal Bagas yang akan menyusul selepas kelulusan SMA. Ada sedikit penyesalan yang membuntuti Bagas belakangan ini. Penyesalan mengapa baru hari ini ia kembali lagi. Mengapa tidak dari dulu ia mengatakan sesuatu yang sudah ada sejak lama itu.

“Ada yang mau aku tanyakan sama kamu, Ra. Tapi…” Bagas menggantungkan kalimatnya sendiri. Membiarkan Dara menatapnya dengan penuh Tanya. Menghela napas berat, sejujurnya ia tidak yakin dengan jawaban yang ingin ia dengar. Mimpi buruk tadi malam berhasil menakutinya. “Apa sebelumnya nggak ada yang mau kamu bilang ke aku?”

***

“Apa sebelumnya nggak ada yang mau kamu bilang ke aku?”

Jujur, Dara tidak siap ditodong dengan pertanyaan itu, padahal pembicaraan sebelumnya bisa mengalir seperti biasa. Perbincangan aman. Tadi, sebelum ia akhirnya memutuskan untuk datang ke De Café memenuhi ajakan Bagas, Dara harus melewati kebimbangan yang panjang. Walau rindu setengah mati dengan lelaki yang sudah bertahun tidak ia jumpai itu, Dara tidak yakin sanggup untuk bertatap langsung dengan Bagas, ada rasa bersalah yang menggelayutinya. Rasa yang tidak pernah membiarkan Dara bebas saat ia sedang berkomunikasi dengan Bagas, di beberapa waktu yang lalu. Sebab pertimbangan yang lama itulah Dara datang terlambat, perkara estimasi waktu yang meleset tadi hanyalah segelintir fakta yang ia jadikan alasan. Bukan apa-apa, Dara hanya merasa belum siap dan mungkin tidak akan pernah siap, jika bertemu dengan sahabat lamanya itu berarti memberitahu Bagas apa yang sebenarnya sudah terjadi. Tidak semua kebenaran harus diungkapkan, bukan? 

Dalam pergolakan hati yang alot tersebut, satu pemikiran yang berhasil mengantarkan Dara duduk di hadapan Bagas saat ini, yaitu: cepat atau lambat semuanya harus diselesaikan, berakhir. Dan menyembunyikan sesuatu dari Bagas tidak pernah membuat Dara nyaman. Untuk yang satu ini, Dara meyakini hal tersebut sudah mendarah daging. Maka, setelah meminta izin keluar lebih awal dari kantor tempatnya bekerja, Dara mulai mempersiapkan diri.

Dara melirik bibir cangkir cappuccino-nya, berharap menemukan inspirasi dari sana mengenai apa yang harus ia katakan mengenai pertanyaan Bagas. Dari mana cerita itu harus dimulai? Namun tidak berefek apa-apa, kafein itu pun tidak membantu Dara sama sekali. Hanya pada saat perempuan itu sedang diburu naskah-naskah yang harus segera ia edit saja, kandungan dari kopi itu bisa mempan. Sekarang, perempuan itu tetap saja resah. Lebih-lebih pertanyaan Bagas barusan menjerumuskan Dara pada sebuah kesimpulan, bahwa sepertinya Bagas sudah tahu satu hal. Entah itu dari siapa, entah berita seperti apa yang Bagas dengar, Dara sadar itu adalah kesimpulan yang tidak diinginkan.

Dara menggigit bawah bibirnya, “Kamu… tahu sesuatu?” lidahnya berat menanyakan hal itu. Namun, Dara tahu ia harus mulai.

Dihadapannya Bagas diam sejenak, mimik wajah lelaki itu bias. “Aku nggak tahu apa-apa, sampai kamu kasih tahu. ”

Perempuan itu menarik napas dalam-dalam, lalu melepaskannya perlahan. Teknik yang bisa menenangkan, kata orang. Dara tidak terlalu yakin sebenarnya, dadanya masih tetap sesak. 

“Maaf, aku nggak pernah cerita sebelumnya ke kamu. Aku, bingung harus cerita dari mana.” Dara mendapati Bagas hanya membisu menunggunya melanjutkan cerita. Tidak ada yang bisa dielakkan lagi, maka, mengalirlah kalimat-kalimat panjang itu dari bibir Dara. Dimulai dari tentang kedua orangtuanya yang mulai khawatir mengenai pendamping hidup perempuan itu, terlebih mamanya. Dara anak pertama, adik perempuan yang dua tahun dibawahnya bahkan sudah memiliki calon. Entah itu hanya sekadar memanas-manasi saja. Untuk menghindari adiknya yang melangkauinya, mama memutuskan untuk memperkenalkan Dara dengan anak temannya. Perjodohan. Dengan ajaib, Dara mengiyakan saja permintaan itu. Walau pada awalnya heran tiba-tiba putrinya langsung menurut, Mama tetap senang. Beliau tidak tahu, hati anak perempuannya hanya sudah lelah. Lelah menunggu orang yang tidak pernah memintanya menunggu.

“Kira-kira, tiga bulan lalu aku dikenalin saman anak teman Mama. Namanya Tio, anaknya… baik.” Dara kehabisan ide untuk menceritakan lelaki yang beberapa bulan lalu memasuki hidupnya.

So, then?” Bagas menanggapi dingin.

Dara menyadari perubahan air muka Bagas yang mengeras, membuat ia tidak yakin untuk memenuhi permintaan Bagas untuk melanjutkan kisahnya. Dara berani bersumpah demi apapun, hal itu adalah hal di dunia ini yang tak ingin Dara katakan pada lelaki itu. Bukan hanya hatinya yang berontak, tapi lidahnya pun memilih kelu, suaranya kosong.

“Kamu nggak berniat buat aku mati penasaran sama kisah perjodohan kamu itu, kan?” desak Bagas apatis. Lelaki itu menatap Dara intens.

Dara tertunduk, “Aku…” Dara tidak tahu harus bagaimana mengatakannya, serba salah dan, menyiksa. “Minggu depan… aku dan Tio… akan bertunangan.” Akhirnya, berita itu terlepas dari bibir Dara. Perempuan itu mengangkat wajah, menemukan Bagas menatapnya lurus, namun sorot mata itu seperti menembus Dara, mengawang entah ke mana.

Seketika Bagas menghempaskan tubuhnya ke belakang, mengalihkan pandangannya dari mata Dara. “Kenapa kamu nggak pernah kasih tahu aku?” 

 “Maaf.”

“Bukan maaf dari kamu, Ra.” Sambar Bagas tidak sabar, “Aku butuh alasan kamu. Alasan kenapa kamu nggak pernah bilang? Kenapa kamu… Ah!” Suara Bagas meninggi, tidak dapat menyembunyikan gusarnya. Kata-kata itu tidak sanggup lagi ia lanjutkan. Bagas harus menghentikan sebelah tangannya yang nyaris menggebrak meja, demi tidak mendapatinya tatapan dari pengunjung lain lebih banyak lagi.

“Kamu nggak ngerti, Gas.” Ujar Dara tertahan, dadanya naik-turun. Tiba-tiba Dara ingin menangis. Ingin memaki Bagas, memukuli sekuat tenaga lelaki yang kini malah menyudutkannya. Menyalahkannya. 

Tiga bulan yang lalu, Dara masih ingat bagaimana sulitnya ia untuk meyakinkan hatinya sendiri agar berhenti menunggu Bagas. Berharap lelaki itu pulang, dan meminta ia untuk menjadi pendaming hidup selamanya. Hal itu tidak akan terjadi, sanggah Dara pada akhirnya. Sebab, di setiap perbicaraan komunikasi jarak jauh yang mereka lakukan, Bagas tidak pernah menyinggung tentang kepulangannya. Meski ingin, Dara tidak bisa meminta Bagas kembali untuknya sesuka hati. Bagas memiliki target-target dalam hidupnya, dan untuk mendapatkan hal itu, lelaki itu sudah kerja keras dari dulu. Dara tidak mungkin mengacaukan semuanya. Bagas mempunyai mimpinya sendiri, begitu juga dengannya. Mungkin, Bagas memang hanya menganggapnya sebatas sahabat. Dan mungkin, Dara tidak pernah menjadi kandidat di dalam daftar mimpi yang ingin Bagas raih.

Sekarang, lelaki itu tiba-tiba hadir di hadapannya lagi. Lewat sambungan telepon memberitahu bahwa ia sudah kembali. Kejutan? Sejak tiga bulan lalu, sejak hatinya telah benar-benar merelakan Bagas, memutuskan untuk melepas lelaki yang ia cintai entah sejak kapan itu, Dara sudah tidak pernah mengharapkan kejutan itu lagi. Bahkan, untuk benar-benar meyakinkan hatinya, Dara tidak lagi menginginkan Bagas kembali.  

Dara kembali tertunduk, tangannya yang dingin ditangkupkan di atas tas di pangkuannya. Perempuan itu berusaha mengatur napas yang sesaat tadi seperti terampas darinya. Ia sudah lelah, dan semua sudah harus berakhir. Hari ini, tidak ada yang perlu ia sembunyikan lagi.

“Aku cinta sama kamu, Gas.” Pelan meluncurlah kata-kata manis itu, namun tersisa pahit di tenggorokan Dara, sekujur lidahnya. Lunas sudah ia mengatakan perasaan yang telah ia tahan menahun itu. Dalam denyut ngilu di hatinya, ada secuil perasaan lega.  Dara memberanikan diri menatap Bagas. Di dapatinya mata Bagas, sedang menatapnya lekat-lekat. Hening. Mereka bagai tidak mendengar apa-apa. Terjadi jeda yang menyiksa sesaat, membuat perasaan campur aduk itu lebih lama mendekam pada keduanya.

Aku cinta kamu, Gas. Tapi dulu, sebelum aku memutuskan untuk melepas kamu.

“Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat.” Suara Bagas seketika melunak, namun terdengar jauh. 

“Ke mana?” Dara ragu.

“Telaga Senja.”

*****

To be continued

No comments:

Post a Comment