Thursday 25 September 2014

Risalah Rasa - Chapter 1

Regret

Bagas tidak ingat bagaimana ia bisa sampai duduk di Telaga Senja, tahu-tahu di penghujung sore itu ia sudah di sana, tercenung sambil memandang jauh ujung dunia bersama satu-satunya orang yang ingin segera ia temui saat ini. Bagaimana bisa? Tanyanya tak bicara. Sore itu tampak terlalu tenang untuk dinikmati dengan kesunyian, Bagas mendapati banyak hal yang harus dan akan ia utarakan. Hanya saja, Bagas tidak tahu harus mulai dari mana semua itu.

“Kamu ingat kapan terakhir kali kita ke sini?”

Bagas menoleh, pertanyaan itu yang malah membenturnya duluan, seolah memaksa ia memundurkan ingatannya untuk menemui waktu yang telah lalu. Bagas tidak pernah lupa untuk mengamankan setiap kenangan dari tempat ini. Di Telaga Senja, seonggok kenangan yang memiliki ruangnya sendiri, selalu tersimpan di tempat yang sama dan tidak akan berubah. Begitu yang Bagas yakini. Lalu, jika ia tahu jawabannya, mengapa tenggorokannya tidak kunjung mengeluarkan suara? 


“Hampir tujuh tahun, Gas… Udah terlalu lama ya, buat kamu ingat?”

Tujuh tahun? Selama itu? Seketika Bagas merasa seperti sudah ditipu. Membayangkan ribuan hari itu bahkan membuatnya ngeri, bagaimana bisa ia sudah tidak ke tempat ini selama itu? Rasanya sungguh tidak mungkin. Dulu, hampir setiap sore ia datang ke sini. Menemani seorang perempuan yang suka mengantar matahari pulang ke peraduannya, sambil bercerita ngalor-ngidul tentang apa saja. Tapi, orang yang memberitahunya itu tidak mungkin berbohong. Sebab mereka adalah orang yang sama. Bagas ingin menyangkal, ingin meminta perempuan itu untuk menghitung ulang. Namun lidah Bagas malah kelu, sulit membayangkan tujuh tahun yang lalu.

“Kamu nggak mau tahu bagaimana dengan aku di sini?” perempuan itu kembali bertanya, seakan tidak terima dengan Bagas yang hanya diam.

Tentu aku mau tahu. Apa selama hampir tujuh tahun ini kamu masih sering ke sini? Sendiri tanpa aku? Tapi tenggorokan keparat ini… Bagas berteriak dalam hati, mengumpat mulutnya sendiri yang tidak kunjung mengucapkan apa-apa. Penjelasan itu hanya lumer di ujung lidahnya. Apa yang terjadi sebenarnya?

“Setelah kamu pergi, beberapa kali aku masih datang, Gas. Menghabiskan sore memandangi matahari pulang, sambil nunggu… entah apa. Tapi lama-kelamaan aku sadar, ada sesuatu yang hilang. Aku sadar hari-hari itu ternyata udah nggak sama lagi.”

Maaf. Maafkan aku, Dara.

“Kamu juga nggak pernah datang, Gas. Lama-lama aku nyerah, sejak itu aku nggak pernah ke sini lagi.”

Bagas mendapati tatapan mata itu mendakwanya, menyalahkannya atas segala kekecewaan yang diterima oleh pemilik mata tersebut. Tatapan mata sayu itu memarahinya, hukuman karena Bagas hanya menyisakan sesuatu yang hilang. Membiarkan perempuan itu satu-satunya yang jadi korban. Bagas tidak tahu lagi harus berbuat apa, ia seperti dikutuk jadi bisu. Sederet penjelasan yang Bagas punya untuk menenangkan perempuan di sampingnya tersebut seperti tidak akan berguna, tidak ada yang bisa keluar sepatah kata pun.

“Aku yang bodoh. Aku nunggu kamu, padahal kamu nggak pernah minta.” Perempuan itu tampak mulai nelangsa, “Tapi aku kangen kamu, Gas…”

Kini pandangan mata itu sudah kembali menerawang, berbaur bersama Telaga  yang tenang. Kalimat tadi bergaung di telinga Bagas, menyusup di sela-sela sel otaknya, menjalar ke sekujur tubuh. Bagai sebuah mantra yang dilontarkan agar Bagas dapat bicara. Namun sayangnya, sihir itu tidak bekerja. Ucapan itu hanya mampu memberi efek pedih pada Bagas. Betapa ingin Bagas mengucapkan hal yang sama―memberitahu perempuan itu bahwa bahkan setiap saat kerinduan juga menggerogotinya tanpa henti, betapa sulit pula ia mengeluarkan suara.

Aku juga sama, Ra. Selalu. Tapi…

“Kamu tahu, waktu adalah sahabat yang paling kejam? Di satu sisi dia setia menemenami aku nunggu, tapi di sisi lain, diam-diam dia mengikis pertahanan aku juga. Membuat seakan-akan apa yang aku lakukan cuma sia-sia.”

Matahari tampak sudah sampai di bawah garis cakrawala, hanya tersisa setengah badannya menangkup ujung barat. Entah bagaimana Bagas mulai mencemaskan malam yang akan menjelang, mengkhawatirkan ia yang tidak akan mempunyai kesempatan lagi. Segala hal yang harus diutarakan pada perempuan itu seolah akan ikut tenggelam ditutupi gelap yang menjelang. Semua akan buyar. Dan jika itu yang terjadi, maka Bagas akan menyesal seumur hidup. Ia tahu hal itu akan fatal sekali.

“Tapi lama-kelamaan aku baru sadar, Gas, sejujurnya bukan waktu yang salah. Waktu nggak bunuh perasaan dan keyakinan aku buat kamu… cuma menyadarkan, kalau sebenarnya aku nggak sekuat itu. Aku nggak sekuat itu buat nunggu kamu selamanya. Dan terkadang, berhenti bisa jadi jalan keluar.”

Tidak untuk selamanya, Dara. Apa kamu bisa dengar aku?

Bagas dapat mendengar helaan napas berat dari perempuan itu, seakan beban yang menahun itu sudah sangat menyiksanya. Sudah waktunya untuk dilepas.

“Bagas.”

Perempuan itu menoleh, kilat matanya berubah teduh, namun sanggup menelanjangi setiap kesalahan yang telah dilakukan Bagas. Dulu mata itu selalu mampu membuat Bagas kagum, sekarang setiap melihatnya hanya akan membuat Bagas merasa berdosa. Ia tidak mau mendengar apa-apa lagi.

“Hati selalu percaya pada apa yang harus ia percayai. Aku percaya kamu, Gas, tapi kamu nggak pernah minta aku nunggu. Jadi maaf, aku udah nggak bisa lagi.”

Setelah mendengar kalimat terakhir itu, Bagas mendapati sekelebat malam mulai naik, menghapus jejak jingga, menghapus siluet perempuan yang duduk di sampingnya tadi. Membuyarkan suasana. Saat itu juga gemuruh menyambar, namun anehnya hujan tak kunjung keluar. Bagas panik menyadari tubuh perempuan itu pun turut memudar, bebrbaur bersama keremangan di Telaga tersebut. Bagas ingin mengatakan sesuatu sebelum semuanya benar-benar menjadi saru, namun napasnya tercekat. Sekuat tenaga Bagas berusaha menyuara.

 “Dara!”

***

“Dara.”

Bagas tersentak dari tidurnya, napasnya tersengal-sengal seperti orang yang baru dibekap mulutnya. Mimpi buruk. Lelaki itu segera bangkit menyalakan lampu temaram di meja samping tempat tidurnya, lalu meminum air putih yang selalu ada di situ hingga tandas. Dadanya masih naik-turun, bayangan mimpi itu berputar kembali di otaknya. Bagas tertunduk sambil menjambak rambutnya sendiri, merutuki kecemasannya yang sampai terbawa mimpi. Bodoh sekali.

Jam digital di kamarnya baru menunjukkan pukul tiga dini hari, mengingat mimpi itu, bagaimana mungkin Bagas bisa kembali terlelap. Siapa yang bisa memastikan mimpi itu tidak mendatanginya lagi. Takut terhadap mimpi, benar-benar konyol pikirnya. Bagas menyandarkan tubuhnya. kesunyian membuat sekecil apapun suara terdengar, termasuk helaan napasnya sendiri. Rasa sesal itu kini mengkuliti Bagas di tengah keremangan ruang kamar, sesekali merampas oksigen yang seharusnya menjadi haknya. Napasnya memburu, membayangkan kejadian yang ia alami di dalam mimpinya itu bisa jadi sebagian kemungkinan yang akan terjadi, tinggal menunggu waktu untuk menjawab. Akan menjadi kejadian paling buruk yang pernah ia alami.

Satu-satunya hal yang menjadikan Bagas seperti ini adalah berita yang ia dengar tadi siang, ditambah fakta itu didapat bukan dari orang yang seharusnya. Tidak ada kenyataan yang lebih buruk dari berita yang baru diketahuinya itu. Dan Bagas bersumpah, ia berani membayar berapa saja untuk kebohongan berita itu. Bagas bersumpah.
*****

- Andrianyuni

No comments:

Post a Comment