Saturday 23 January 2016

Empat Tahun Ini

Beberapa paragraf di bawah tidak akan benar-benar bisa menceritakan tentang Empat Tahun Ini.
Salah satu hal yang paling manusiawi yang pernah ada adalah bahwasanya setiap manusia cenderung tidak pernah puas dengan keadaannya (pada saat itu). Selalu menginginkan yang lebih. Bahkan itu sudah dimulai saat kita masih belum terlalu mengerti, apa makna dari ‘menginginkan’ itu sebenarnya. Seperti saat kita masih duduk di bangku sekolah sebagai siswa dengan seragam putih-merah, namun lama-kelamaan penasaran dengan rasa memakai seragam putih-biru itu seperti apa. Saat kita baru menyadari begitu rentannya dunia remaja, kita mulai tidak sabar dengan dunia abu-abunya siswa SMA. Dan saat kita mulai bosan dengan sebutan siswa, kita mulai bertanya-tanya, bagaimana dengan menjadi mahasiswa?

Sayup-sayup masih teringat, bagaimana hari-hari pertama menyandang gelar MABA. MAhasiswa BAru. Julukan yang asing, lingkungan yang asing, dan kehidupan yang asing. Istilah-istilah baru bermunculan, seperti OSPEK (Orientasi Studi dan Pengalaman Kampus), KRS (Kartu Rencana Studi), Dosen, PA (Pembimbing Akademis), disusul KHS (Kartu Hasil Studi), dan lain-lain, yang pada saat masih menjadi siswa istilah itu belum ada. Belakangan TA (Ttd. Absen/titip absen) menjadi yang terlalu mainstream. Belum lagi yang tadinya tinggal bersama orangtua, harus siap hidup menjadi anak kos—yang dengar-dengar kejamnya hidup anak kos itu layaknya cerita serial yang tiada berujung. Semua komponen itu memaksa setiap mahasiswa beradaptasi, melewati seleksi alam yang siap menjatuhkan korban. Dan pada hari itu, hari perdana menginjakkan kaki di kampus sebagai mahasiswa, hari yang—apapun yang terjadi—tetap datang tidak peduli suka atau tidak, memberi suguhannya yang pertama, sambutan dengan ucapan, ‘selamat datang di salah satu bagian hidup paling mengesankan’.
Empat tahun menghirup oksigen dengan menyandang status sebagai mahasiswa, empat tahun itu juga seleksi alam terus berlangsung, bergumal menjadi sebuah cerita kompleks yang penuh emosional. Cerita dengan judul “Kita”. Berbagai tahap dilalui, dimulai dari satu demi satu pertemuan yang terangkai menjadi kebersamaan yang sederhana. Sama-sama bengong di kelas, sama-sama ngerjain tugas, sama-sama nyontek, sama-sama bosan, sama-sama begok, sama-sama gak dengerin dosen, kadang sama-sama serius juga (iya, kadang), pernah sama-sama pintar juga, kayaknya pernah. Kebersamaan yang belakangan ternyata memberi efek samping ‘kehilangan’. Dari situ, ada beberapa bagian yang secara ajaib, sangat perlu untuk kita tertawakan. Sebab kita sadar, hari esok tidak menjanjikan momen tersebut akan lagi terulang. Meski sesekali ada hari yang diisi dengan kekesalan atau bahkan kesedihan, saat kita menoleh, kita masih bisa mengatakan “untung ada kalian”. Dan di situlah saat dimana kita berbagi duka juga amarah, berceloteh berlebihan tentang ketidakadilan atau apalah, mencoba menghibur (melarikan) diri dari tugas kuliah. Kadang pertengkaran juga turut mengambil bagian, untuk memberi kita waktu agar saling memahami ego masing-masing. Yang akhirnya berakhir pada kesimpulan: bahwa kita saling membutuhkan. Untungnya pula, kita masih cukup paham bahwa hidup ini lebih keras dari sekadar cerita ftv ataupun drama. Ini tentang perjuangan, bukan sekadar roman kodian. Maka, kolaborasi ini lah yang berpilin menjadi hubungan yang erat, sarat, serta mengikat.
Ujung yang searah tidak menjadikan langkah-langkah kita selalu beriringan. Ada yang sudah duluan, beberapa masih tertinggal. Tidak perlu khawatir. Cerita ini tidak akan jadi lebih seru jika kita semua hanya akan jatuh di lubang yang itu-itu saja, atau sampai di garis finish bersama-sama. Sebab kita tidak pernah tahu apa ‘cerita terbaik’ itu, dan kapan ‘waktu paling tepat’ tersebut datang, kita tidak memiliki hak untuk ‘mengeksekusi’. Kita cukup meyakini. Begini lah seharusnya.
Masing-masing kita memiliki rute sendiri, dengan cara sendiri pula melewati setapak demi setapak jalan yang telah disiapkan. Bagaimanapun terjalnya jalan dan banyaknya rintangan, sebuah ujung bukan lah dongeng belaka. Selalu ada akhir dari setiap permulaan. Tapi tenang saja, kata “Kita” bukan hanya sekadar judul di cerita awal, juga untuk sebutan ‘Kalian’, tidak diberikan cuma-cuma tanpa harus ada pengorbanan. ‘Kita’ adalah sekumpulan mahasiswa yang sama-sama berjuang dari semester awal sampai pertengahan, dan tetap sama-sama nelangsa di semester akhir akibat kerasnya bimbingan. Dan ‘Kalian’ adalah sekumpulan mahasiswa yang rela ngetawain teman buat bahan hiburan, tapi tidak pernah lupa saling mengatakan “semangat ya!”, seakan dua kata itu adalah mantra untuk meyakinkan kita bahwa Skripsi bisa dikalahkan.
Ah, mungkin jika cerita ini adalah sebuah rekaman, kita tidak akan bosan untuk memutarnya ulang, saat sesekali gejala kehilangan itu kembali singgah. Atau, jika ini adalah sebuah buku cerita, bisa jadi kita tidak akan sungkan membaliknya kembali ke halaman dimana ada bagian yang paling kita rindukan. Kalian tahu kenapa? Karena ini adalah salah satu bagian hidup paling mengesankan.
Jadi, beginilah. Hidup harus terus berjalan. Bagi yang sudah menyelesaikan tahap ini, “selamat!” Bisa jadi kerasnya hidup sebenarnya baru saja dimulai. Jadi, selamat menemukan rute serta rintangan yang baru. Bagi yang masih berjuang, “semangat ya!”. Tidak apa-apa, semua akan indah pada waktunya, tetap percaya dan berusaha. Karena pada dasarnya, kita memiliki masalah yang berbeda-beda, serta jalan terbaik yang berbeda-beda pula. Tugas kita di dunia tidak selalu sama, sebab itu, jangan menyerah!
Dan, salah satu saudara, teman, sahabat terbaik kita, Rani Amilia, telah menyelesaikan tugasnnya di dunia (06011993-22012016). Menyisakan kenangan dan pembelajaran yang sangat berharga, bahwasanya hidup adalah sebuah keyakinan yang harus diperjuangkan sampai akhir. Selama kita melakukan usaha yang terbaik, hasil terbaik pula yang akan kita peroleh. Tidak ada yang tahu umur seseorang, kecuali sang Maha Pencipta. Pada akhirnya kita semua akan kembali kepada-Nya. Rani Amilia, salah satu perempuan kuat yang pernah kita kenal. Semoga seluruh amalannya diterima di sisi Allah SWT, dan kita yang ditinggalkan dapat menerima kepergiannya dengan sabar dan ikhlas. Amiin.
(Pekanbaru, 23012016)
Menjemput Malam
Terdengar sayup-sayup derita
Meneriakkan isak pencekam bulir air mata
(Rani Amilia, In memoriam)
Dia pulang, tak kan menampakkan punggung lagi
Tak terduga, tak teraba
Hanya hening terlalu berdiri sempit
Mengerang dalam setiap ucapan

Teringat senyum pengantar sebelum tidur
Esok akan memudar dan terlupa seterusnya
Ingin menangis lagi
Sampai habis, sampai tak mengerti untuk apa

Andai bisa kupeluk bebannya
Menepek-nepuk pundak hingga terpejam
Ini cerita yang kau tahu akhirnya, kawan
Segala akan kembali ke masa

Orangtua, saudara, teman, sahabat
Semua memanggil
Hidupkanlah seluruh kesedihan!
Asal sebab pedihnya kehilangan

Aku tegak luruh
Di kerumunan duka dan tidak percaya
Terlintas dosa tertutup do’a
Tuhan telah memberi jalan
Terserah, merangkak atau berlari
Kita akan tetap sendiri tertepi

Masih meringkih hati yang lelah
Ketahuilah! Siap atau tidak bukan pilihan
Semua telah dijelaskan dalam ilmu penciptaan
Ini tentang iman
Tentang seseorang yang menjemput malam
                                                                                                             (Andrianyuni, 04052012)

PS: Ini tentang Kita semua. Terima kasih karena kalian sudah menjadi salah satu bagian epik dalam hidup saya :).

No comments:

Post a Comment