Beberapa paragraf di bawah tidak akan
benar-benar bisa menceritakan tentang Empat Tahun Ini.
Salah satu hal yang paling manusiawi
yang pernah ada adalah bahwasanya setiap manusia cenderung tidak pernah puas
dengan keadaannya (pada saat itu). Selalu menginginkan yang lebih. Bahkan itu
sudah dimulai saat kita masih belum terlalu mengerti, apa makna dari ‘menginginkan’
itu sebenarnya. Seperti saat kita masih duduk di bangku sekolah sebagai siswa dengan
seragam putih-merah, namun lama-kelamaan penasaran dengan rasa memakai seragam putih-biru
itu seperti apa. Saat kita baru menyadari begitu rentannya dunia remaja, kita mulai
tidak sabar dengan dunia abu-abunya siswa SMA. Dan saat kita mulai bosan dengan
sebutan siswa, kita mulai bertanya-tanya, bagaimana dengan menjadi mahasiswa?
Sayup-sayup masih teringat, bagaimana hari-hari pertama menyandang gelar MABA. MAhasiswa BAru. Julukan yang asing, lingkungan yang asing, dan kehidupan yang asing. Istilah-istilah baru bermunculan, seperti OSPEK (Orientasi Studi dan Pengalaman Kampus), KRS (Kartu Rencana Studi), Dosen, PA (Pembimbing Akademis), disusul KHS (Kartu Hasil Studi), dan lain-lain, yang pada saat masih menjadi siswa istilah itu belum ada. Belakangan TA (Ttd. Absen/titip absen) menjadi yang terlalu mainstream. Belum lagi yang tadinya tinggal bersama orangtua, harus siap hidup menjadi anak kos—yang dengar-dengar kejamnya hidup anak kos itu layaknya cerita serial yang tiada berujung. Semua komponen itu memaksa setiap mahasiswa beradaptasi, melewati seleksi alam yang siap menjatuhkan korban. Dan pada hari itu, hari perdana menginjakkan kaki di kampus sebagai mahasiswa, hari yang—apapun yang terjadi—tetap datang tidak peduli suka atau tidak, memberi suguhannya yang pertama, sambutan dengan ucapan, ‘selamat datang di salah satu bagian hidup paling mengesankan’.
Empat tahun menghirup oksigen dengan
menyandang status sebagai mahasiswa, empat tahun itu juga seleksi alam terus
berlangsung, bergumal menjadi sebuah cerita kompleks yang penuh emosional.
Cerita dengan judul “Kita”. Berbagai tahap dilalui, dimulai dari satu demi satu
pertemuan yang terangkai menjadi kebersamaan yang sederhana. Sama-sama bengong di kelas, sama-sama ngerjain
tugas, sama-sama nyontek, sama-sama bosan, sama-sama begok, sama-sama gak dengerin
dosen, kadang sama-sama serius juga (iya,
kadang), pernah sama-sama pintar juga, kayaknya
pernah. Kebersamaan yang belakangan ternyata memberi efek samping
‘kehilangan’. Dari situ, ada beberapa bagian yang secara ajaib, sangat perlu
untuk kita tertawakan. Sebab kita sadar, hari esok tidak menjanjikan momen tersebut
akan lagi terulang. Meski sesekali ada hari yang diisi dengan kekesalan atau
bahkan kesedihan, saat kita menoleh, kita masih bisa mengatakan “untung ada
kalian”. Dan di situlah saat dimana kita berbagi duka juga amarah, berceloteh
berlebihan tentang ketidakadilan atau apalah, mencoba menghibur (melarikan)
diri dari tugas kuliah. Kadang pertengkaran juga turut mengambil bagian, untuk memberi kita waktu agar saling memahami ego masing-masing. Yang akhirnya berakhir pada kesimpulan: bahwa kita saling membutuhkan. Untungnya pula, kita masih cukup paham bahwa hidup ini
lebih keras dari sekadar cerita ftv ataupun drama. Ini tentang perjuangan, bukan
sekadar roman kodian. Maka, kolaborasi ini lah yang berpilin menjadi hubungan
yang erat, sarat, serta mengikat.
Ujung yang searah tidak menjadikan
langkah-langkah kita selalu beriringan. Ada yang sudah duluan, beberapa masih
tertinggal. Tidak perlu khawatir. Cerita ini tidak akan jadi lebih seru jika
kita semua hanya akan jatuh di lubang yang itu-itu saja, atau sampai di garis finish bersama-sama. Sebab kita tidak
pernah tahu apa ‘cerita terbaik’ itu, dan kapan ‘waktu paling tepat’ tersebut datang,
kita tidak memiliki hak untuk ‘mengeksekusi’. Kita cukup meyakini. Begini lah
seharusnya.
Masing-masing kita memiliki rute sendiri,
dengan cara sendiri pula melewati setapak demi setapak jalan yang telah
disiapkan. Bagaimanapun terjalnya jalan dan banyaknya rintangan, sebuah ujung
bukan lah dongeng belaka. Selalu ada akhir dari setiap permulaan. Tapi tenang
saja, kata “Kita” bukan hanya sekadar judul di cerita awal, juga untuk sebutan
‘Kalian’, tidak diberikan cuma-cuma tanpa harus ada pengorbanan. ‘Kita’ adalah sekumpulan
mahasiswa yang sama-sama berjuang dari semester awal sampai pertengahan, dan
tetap sama-sama nelangsa di semester akhir akibat kerasnya bimbingan. Dan ‘Kalian’
adalah sekumpulan mahasiswa yang rela ngetawain
teman buat bahan hiburan, tapi tidak pernah lupa saling mengatakan “semangat
ya!”, seakan dua kata itu adalah mantra untuk meyakinkan kita bahwa Skripsi bisa
dikalahkan.
Ah, mungkin jika cerita ini adalah
sebuah rekaman, kita tidak akan bosan untuk memutarnya ulang, saat sesekali
gejala kehilangan itu kembali singgah. Atau, jika ini adalah sebuah buku
cerita, bisa jadi kita tidak akan sungkan membaliknya kembali ke halaman dimana
ada bagian yang paling kita rindukan. Kalian
tahu kenapa? Karena ini adalah salah satu bagian hidup paling mengesankan.
Jadi, beginilah. Hidup harus terus
berjalan. Bagi yang sudah menyelesaikan tahap ini, “selamat!” Bisa jadi kerasnya
hidup sebenarnya baru saja dimulai. Jadi, selamat menemukan rute serta
rintangan yang baru. Bagi yang masih berjuang, “semangat ya!”. Tidak apa-apa, semua
akan indah pada waktunya, tetap percaya dan berusaha. Karena pada dasarnya, kita
memiliki masalah yang berbeda-beda, serta jalan terbaik yang berbeda-beda pula.
Tugas kita di dunia tidak selalu sama, sebab itu, jangan menyerah!
Dan, salah satu saudara, teman, sahabat
terbaik kita, Rani Amilia, telah menyelesaikan tugasnnya di dunia (06011993-22012016).
Menyisakan kenangan dan pembelajaran yang sangat berharga, bahwasanya hidup adalah
sebuah keyakinan yang harus diperjuangkan sampai akhir. Selama kita melakukan
usaha yang terbaik, hasil terbaik pula yang akan kita peroleh. Tidak ada yang
tahu umur seseorang, kecuali sang Maha Pencipta. Pada akhirnya kita semua akan
kembali kepada-Nya. Rani Amilia, salah satu perempuan kuat yang pernah kita kenal. Semoga seluruh amalannya diterima di sisi Allah SWT, dan kita yang ditinggalkan dapat menerima kepergiannya dengan sabar dan ikhlas. Amiin.
(Pekanbaru, 23012016)
Menjemput Malam
Terdengar
sayup-sayup derita
Meneriakkan isak
pencekam bulir air mata
(Rani Amilia, In memoriam) |
Dia pulang, tak
kan menampakkan punggung lagi
Tak terduga, tak
teraba
Hanya hening
terlalu berdiri sempit
Mengerang dalam
setiap ucapan
Teringat senyum
pengantar sebelum tidur
Esok akan
memudar dan terlupa seterusnya
Ingin menangis
lagi
Sampai habis, sampai
tak mengerti untuk apa
Andai bisa
kupeluk bebannya
Menepek-nepuk
pundak hingga terpejam
Ini cerita yang
kau tahu akhirnya, kawan
Segala akan
kembali ke masa
Orangtua,
saudara, teman, sahabat
Semua memanggil
Hidupkanlah seluruh
kesedihan!
Asal sebab
pedihnya kehilangan
Aku tegak luruh
Di kerumunan
duka dan tidak percaya
Terlintas dosa
tertutup do’a
Tuhan telah
memberi jalan
Terserah,
merangkak atau berlari
Kita akan tetap
sendiri tertepi
Masih meringkih
hati yang lelah
Ketahuilah! Siap
atau tidak bukan pilihan
Semua telah
dijelaskan dalam ilmu penciptaan
Ini tentang iman
Tentang
seseorang yang menjemput malam
(Andrianyuni, 04052012)
No comments:
Post a Comment