Monday 31 March 2014

Jalan yang Berubah

Kemarin aku masih di ujung Barat
Tersenyum dan termangu
Terjebak bersama langit yang bersemu
Malu-malu
Bungkam mengalahkan pilar aksara
Tak perlu kami saling berucap
Cukup dengan bersitatap
Peluh dan rindu mengalir tanpa syarat

Hari ini aku: entah di mana
Tak biasa angin datang dari sana
Dengan kursi-kursi yang tegak pincang
Dengan meja-meja yang tersusun sumbang
Seperti kenangan yang baru dibuang
Kudengar mereka saling berbisik
Diam-diam mengharap iba sang pemilik
Ingin aku turut mengusik
Turut berbisik: yang tak terpakai takkan lagi dilirik

Thursday 27 March 2014

Dalam Cermin

Tampak langit malam yang kotor
Berserakan berpasang-pasang bintang
Saling pamer: siapa paling terang
Saling koar: siapa yang punya kekuatan
Lampu-lampu kota meredup
Ketakutan
Angin heboh bersorak
Daun sibuk menyeru
Jagoan dan pecundang kerepotan
Cahaya kalem saja
Mengunci suara juga aksara
Diam

(Pekanbaru, 2014)

Wednesday 26 March 2014

Filosofi: THE JOURNAL

Apa judulnya terlalu berat?
THE JOURNAL. Saya ingin bercerita sedikit tentang dia―buku pertama saya. Buku di sini bukan novel ataupun buku kumpulan cerpen yang saya idamkan itu, melainkan buku catatan yang saya buat sendiri. FYI, it’s the best handicraft I’ve ever made. Cool. Hal yang melatarbelakangi saya membuat THE JOURNAL adalah: sudah lama ingin membeli buku catatan seperti ini tapi kantong saya tidak siap untuk memenuhinya. Maka, tiga hari yang lalu saya kepikiran untuk membuatnya sendiri. Dan, inilah hasilnya…

His Eyes #FF Nulisbuku

Tolong jelaskan padaku apa yang salah pada matanya! Atau… aku?
Biarkan aku menganggapnya sebagai sihir, karena aku benar-benar tidak ada ide. Bagaimana tidak? Aku masih ingat betul bagaimana aku mengemis kepada Rere agar tidak membawaku ke salah satu tempat yang termasuk dalam daftar danger area-ku: Perpustakaan. Dan itu tidak berhasil. Raungan dan sogokan ice cream tidak mempan pada Rere yang sedang semangat membabi buta mengerjakan tugas akhir kuliah. Maka aku hanya bisa pasrah.

Sunday 23 March 2014

Rindu Menangis

Kaki-kaki melangkah jauh
Menjemput semesta
Di sampingnya terduduk cakrawala
Lalu berhenti
Katanya: ingin ikut mendengarkan cerita
Apa saja
Menangislah

Langkah-langkah menggema rapuh
Ia kehilangan sesuatu
Ada pencuri yang rindu dihukum
Mungkin dia lupa kepada dosa dan kematian
Mungkin esok telah berbisik sebuah rahasia
Mungkin saja

Musim-musim melepas bajunya
Kini tampaklah luka dan memar
Mulai meradang, menghilang
Tanggalkan saja topeng itu
Biar tak pandai lagi kerak mengendap
Merindulah
menangislah


Pekanbaru, 2014

Friday 21 March 2014

Hujan Kamis Malam

Hujan kamis malam 
Terdengar rusuh berhamburan 
Angin-angin keluar 
Dingin-dingin girang 
Mereka menilik, berbisik: usik 
Hati yang rela tak perlu lagi suara

Hujan malam jum'at 
Tahu-tahu sudah datang 
Tanpa diundang 
Tanpa wejangan 
Mereka akan begadang 
Mengusir, menyingkir: jiwa-jiwa yang getir 

Hujan kamis malam 
Baiklah sudah saatnya 
Raga ini berselimut merah 
Gerah 
Baterai juga sudah menyerah 
Tunaikan saja tugasmu dengan gagah 
Aku sudah lelah. 

Yuni Andriany 
(Pekanbaru, 20 Maret 2014)
#LatePost

Thursday 20 March 2014

Intuisi

Tidak lagi kata yang ditunggu untuk penjelasan
Tidak lagi suara yang diharap membuat remang
Ombak sudah memberitahu lewat deburan
Tentang angin
Ditemani bintang dan lautan
Tentang kita
Berbekal waktu dan ruang

Tiada perlu menemukan simpang untuk sebuah jalan
Tiada perlu perjalanan untuk akhir yang digenggam
Kabut telah menyimpan segenap kisah terbuang
Kepada malam
Janji dan bisu dikaitkan
Kepada jiwa
Takdir dan harapan jadi peraduan

Monday 17 March 2014

Melawan Asap

Negeri Lancang Kuning kian mengabur
Polutan menyebar dengan sangar
Napas pelan-pelan mulai karatan
Rakyat sudah ingar-bingar tak karuan
Mereka yang mengerti lengah peduli
Atau memang tidak punya hati
Entah kemana nurani itu menyepi
Mungkin turut pula diasapi

Di mana keadilan?
Yang kabarnya simbol kebenaran
Yang ceritanya santer berkoar-koar
Kami hanya kurang paham
Tentang dunia yang penuh kepalsuan
Kami hanya tidak bisa mendengar
Tentang kidung yang hampa kekeringan

Sunday 16 March 2014

Antologi Pertama (Cerita di Balik Cerita)

Aah, apa ini terdengar seperti awal dari sebuah pencapaian?
Berita itu saya terima tadi malam di sini, cerpen saya masuk 200 besar cerpen terpilih dari ribuan peserta. Artinya akan dibukukan secara self-publishing yang akan diterbitkan oleh NulisBuku yang notabene sebagi penyelenggara. Antologi pertama saya, dengan tema #LoveNeverFails. Tentang Cinta. Luar biasa.


Jujur, saat cerpen itu dikirim untuk diikutsertakan lomba, saya tidak terlalu berharap cerita itu akan lolos. Keikutsertaan hanyalah bentuk sebuah janji pada diri saya sendiri, meski dari lubuk hati yang paling dalam secuil harapan itu tetap ada. Kali ini saya memang tidak ingin terlalu berharap. Bukan apa-apa, bisa dikatakan proses pengerjaannya jauh dari kata siap. Cerpen itu saya tulis dalam sehari, tepat di hari terakhir deadline. Dalam waktu yang singkat serta banyak tekanan, Tentang Cinta lahir dengan cacat (re: typo dimana-mana). Mengingat itu, terlalu munafik sepertinya jika saya menginginkan yang lebih. Lalu, mengapa saya katakan dengan waktu singkat dan banyak tekanan? Baiklah, begini ceritanya…

Monday 10 March 2014

Benang Kusut

Bukankah terkadang hidup seperti benang kusut?
Belakangan, saya mulai terpikir bahwa benang kusut memiliki filosofi tentang kehidupan, lebih tepatnya kemarin. Saat saya sedang membuat kesibukan sendiri dengan membuat kerajinan dari kain flannel, ketularan tetangga sebelah sebenarnya. Di waktu lalu―saat dunia belum benar-benar menyita, saya pernah belajar jahit-menjahit dengan tangan dan jarum jahit. Meski tidak bisa dikatakan mahir, setidaknya saya bisa menggabungkan dua buah kain atau merapikan pinggiran kain. Nah, saat kemarin melihat tetangga sebelah membuat kerajinan dari flannel, saat itulah saya tergoda untuk membuatnya sekaligus sekedar mengguji apa ilmu jahit yang saya dapat dulu masih menempel atau bagaimana. Kemudian, ditemukanlah benang kusut disana.

Sesuatu yang terlalu dipaksakan sering kali berujung tidak baik, jauh dari niat awal atau bahkan nyaris runyam. Seperti itu yang saya lalukan kepada benang malang itu. Entah terlalu bersemangat atau bagaimana, bukannya membuat benang itu terulur, saya malah menacaukannya. Dari awal saya memang sudah tidak sabar sebenarnya. Dan, di situlah letak kesalahannya. Saya lupa beberapa pelajaran kehidupan, lupa bahwa semua fenomena kehidupan pada dasarnya saling kait satu sama lain. Segala sesuatu―sekecil apapun―membutuhkan kesabaran, walau itu secuil juga. Imbas yang terjadi, saya membuat masalah baru―mengurai benang kusut itu tidak mudah.

Saturday 1 March 2014

Kehilangan Februari

Begitukah?
Sedikit hambar, saya rasa seperti itu. Atau, lebih buruk. 28 hari yang tidak bersahabat sudah pergi. Ya, mungkin tidak bisa diakumulasikan secara keseluruhan, terdengar terlalu tidak bersyukur menurut saya. Tapi, beberapa hari yang lumayan kacau itu cukup pantas mewakili Februari. Saya akui, saya tidak berhasil membuat Februari menjadi menyenangkan di hari-harinya yang nyaris seperti singkat. Well, lagi-lagi mood saya berada dalam keadaan lost-control. Dengan kesadaran penuh saya melewatkan juga kehilangan. A bad news at beginning of the year.

Rencana tinggal lah rencana, takdir lebih dari segala angan-angan. Klise sekali ternyata kenyataan itu. Rasanya, saya ingat betul bagaimana sebuah rencana yang kemudian terus berbuah itu mencuat, tumbuh, berkembang, hingga rampung dan mengapung. Jika semakin dibayangkan hasilnya, maka semakin indah rencana tersebut. Bahkan sampai meremang sekaligus berdebar. Namun, beberapa saat kemudian, dengan cara tidak terbayangkan, partikel dari rencana tadi berguguran seenaknya dengan perlahan, layaknya daun di musim kerontokan. Pelan tapi pasti, pasti menyakitkan. Terlebih karena yang menjadi perusak adalah si pembuat rencana sendiri. I have no idea.