Begitukah?
Sedikit
hambar, saya rasa seperti itu. Atau, lebih buruk. 28 hari yang tidak bersahabat
sudah pergi. Ya, mungkin tidak bisa diakumulasikan secara keseluruhan,
terdengar terlalu tidak bersyukur menurut saya. Tapi, beberapa hari yang
lumayan kacau itu cukup pantas mewakili Februari. Saya akui, saya tidak
berhasil membuat Februari menjadi menyenangkan di hari-harinya yang nyaris
seperti singkat. Well, lagi-lagi mood saya berada dalam keadaan lost-control. Dengan kesadaran penuh saya
melewatkan juga kehilangan. A bad news at
beginning of the year.
Rencana
tinggal lah rencana, takdir lebih dari segala angan-angan. Klise sekali
ternyata kenyataan itu. Rasanya, saya ingat betul bagaimana sebuah rencana yang
kemudian terus berbuah itu mencuat, tumbuh, berkembang, hingga rampung dan
mengapung. Jika semakin dibayangkan hasilnya, maka semakin indah rencana
tersebut. Bahkan sampai meremang sekaligus berdebar. Namun, beberapa saat
kemudian, dengan cara tidak terbayangkan, partikel dari rencana tadi berguguran
seenaknya dengan perlahan, layaknya daun di musim kerontokan. Pelan tapi pasti,
pasti menyakitkan. Terlebih karena yang menjadi perusak adalah si pembuat
rencana sendiri. I have no idea.
Di
salah satu dari 28 hari itu juga, saya harus kembali meninggalkan rumah.
Kembali kepada rutinitas yang hampir tiga tahun ini saya pertahankan. Buruk,
dengan kenyataan saya tidak rela. Meninggalkan rumah adalah salah satu hal yang
tidak ingin saya lakukan, singkatnya, saya benci perpisahan. Oh, c’mon, I've never met someone who likes
farewell. Perpisahan yang dalam artian lebih dalam. Bahkan orang-orang
tidak ingin berpisah dengan kehidupan dunia, which is something that definitely. Dan, perpisahan hari itu ternyata
berpengaruh besar pada proses penghancuran mood
saya. Uh-oh! Saya yakin tidak
ingin meninggalkan rumah, seyakin saya terhadap kehadiran pilihan itu tidak
pernah ada. At last, ucapan ‘sampai
jumpa’ dan ‘hati-hati’ melebur bersama lambaian tangan beserta udara.
Saya
tidak pernah suka hal-hal seperti ini, yang malah terjadi berkali-kali.
Februari pergi begitu saja, nyaris tanpa ucapan dan wejangan. Tega sekali. Saya
kehilangan. Merasa kehilangan setelah saya tidak pernah benar-benar
memperlakukan saat ‘dia’ ada. Atau, ini hanya delusi belaka. Yang mana, ada
pembual ulung yang sedang bemain-main dengan kata. Entahlah, saya tidak terlalu
bersemangat untuk menghibur diri. Tapi, setidaknya, saya masih percaya bahwa
semua yang terjadi mempunyai alasan. Saya tidak mau mengatakan satu bulan di
belakang hanyalah sia-sia, meski kenyataannya hal itu nyaris. Bahkan saya tidak
akan keberatan untuk mempercayai bahwa ‘jatuh pada lubang yang sama, bukan
berarti terus menjadi keledai’. Believe
that we can learn from everything.
Kesimpulannya,
kehilangan Februari berarti kehilangan kesempatan. Sounds bad. Toh, kenyataan memang seperti itu. Tidak peduli tentang
benar atau salah, kabar baik atau kabar buruk. Sedikit menyesalkan dan…
melegakan. Jadi, tidak terlalu buruk saya rasa. Baiklah, bagian ini saya
seperti sedang menghibur diri. Sudahlah.
Sepertinya
awal Maret mengerling kode cinta, by the
way.
No comments:
Post a Comment