Wednesday 16 December 2015

Jika Tidak

Jika tidak, mengapa lintasan kita bersisian
menuju pusara yang sejak kaki-kaki kita pandai berkhianat,
sudah direnungkan
berjalan melewati pagi,
malamnya bertaruh mengecoh mimpi
Apakah ia akan pecah?
Apakah ia akan berai?
Bagaimana kau tahu pecah dan berai adalah beda?
semua hati menunggu,
siapa juga yang tidak menanti-nanti hasil undian keluar.
Jika pecah yang keluar, maka aku lah pemenang
jika berai yang keluar, semua ini akan menjadi melelahkan
karena jika tidak, mengapa lintasan kita bersisian?

Terlintas...

Terkadang, saat kau terlalu lama meninggalkan rumah, tidak dapat menemukan alasan untuk kembali, bisa jadi kau akan sulit mengingat jalan ke sana. Jalan pulangmu sendiri. Mulai bertanya-tanya, apakah selama ini aku menuju rumah yang seharusnya? Benarkah rumah tersebut yang telah menggenapkan rasa pulang? Karena jika demikian, mengapa aku masih bisa tersesat?

Kau tahu, saat kita merasa sedang dihadapkan pada beberapa pilihan, pada dasarnya hanya ada satu pilihan—yang artinya itu bukan pilihan melainkan keyakinan. Lalu dari mana berasal pilihan satu, dua, dan seterusnya? Pilihan-pilihan tersebut berasal dari keraguan—sebab tidak ada yang namanya pilihan, maka sebut itu keraguan satu, dua, dan seterusnya. Maka jelas sudah selama ini, tidak ada yang namanya pilihan. Yang ada hanya satu keyakinan yang diganggu beberapa keraguaan. Jangan sampai bingung.

(Pekanbaru, 16122015)

Friday 4 December 2015

Pigura

Hai.
Aku tidak yakin kapan terakhir kali kau terbujur di sebuah halaman kosong, dimana kau selalu mempunyai tempat. Belakangan kau kehilangan hak, seperti diabaikan untuk dibunuh pelan-pelan. Sekarang kau kembali, mungkin ingin menuntut, atau semacam meminta diberi wewenang yang lebih. Baiklah, kuberi kau wewenang untuk merindu. Adakah kau rindu, Hai? Maaf. Kehilangan bukan rasa yang seharusnya kau miliki. 

Hai, bisa jadi kau bertanya-tanya di mana rangkaian kata itu berdiam selama ini. Bisa jadi kau menerka-nerka adakah tempat yang lebih pantas untuk menyimpan daripada penjaranya: Pigura. Aku mengerti, sebagai pengawal kau adalah yang paling sibuk menyita perhatian, untuk mencari celah agar disulap menjadi ruang. Selama tidak ada itu, kau hanyalah seonggok bungkam, dan bisa-bisa Pigura akan sirna—sesuatu yang selalu kita cemaskan. Kini kau mulai sadar, perjalanan-perjalanan yang lalu menjadikanmu memahami suatu hal: waktu dapat menyihir seseorang menjadi kejam.

Thursday 15 October 2015

Euforia #7

Hei, apa belakangan ini kau merasakan sesuatu? Semacam jera yang tengah menjerat. Sebab, sebelum detik ini menjelang kau berhasil bersembunyi dan melarikan diri, dari apa yang kau butuhkan namun sekaligus kau elakkan. Mungkin, saat itu kau merasa mampu melakukan keduanya di waktu yang sama. Tapi, tidakkah itu terdengar lebih gila? Kau sadar, sebelumnya itu seperti parade kebohongan besar-besaran yang menjadikan kehidupan sebagai tuan rumah. Apa boleh buat, aturan main bahkan telah dibuat sebelum kau menemukan apa tujuannya. Sederhana saja, pilih satu di antara dua. Dan kau lebih tampak seperti tidak memiliki pilihan, daripada harus memilih. Kita sama-sama tahu, memainkan permainan ini tidak pernah mudah, bagaimanapun keadaannya. Perjudian kehidupan tidak pernah menyenangkan, bukan? Karena bukan gelar pemenang atau pecundang yang tengah dipertaruhkan, melainkan lebih-lebih tentang pengkhianatan hati. Satu hal yang lebih dikenal dengan nama pengorbanan. Itukah yang tengah menjeratmu sekarang? Akibat dari pengkhianatan yang tak pernah diinginkan, tapi malah jadi kebutuhan. Untuk yang satu ini kau diperbolehkan merasa heran yang keterlaluan. Tidak dilarang. Yang terlintas saat ini adalah, masih mampukah kau baik-baik saja? Sebab, akhir dari bagian ini bermuara pada euforia—dimana suasana selalu berujung jera.

(Pekanbaru, 15102015)

Monday 12 October 2015

Where have You Been?

Langkah-langkah yang gelisah itu, terpantul pada genangan bekas hujan, dalam mimpinya tadi malam. Rasa-rasa sudah lama sekali tidak mendengar percikan itu. Sejenak ia ingin berdiam, mencuri kehangatan kenangan yang belakangan ini menggigil—entah karena apa. Mungkin karena rindu yang tak jua bermuara, atau mungkin karena hati yang masih sama-sama jengah. Lalu, seketika percikan tadi tak lagi bersuara, dan langkah itu mulai kembali  menapaki genangan yang tetap resah, sebab tidak ada satu dari mereka yang sanggup menjawabnya.

Monday 7 September 2015

Ketika Melakukan Kesalahan Membuatmu Merasa Lebih Baik

Anggap saja ini semacam bertukar pemahaman, tentang satu hal yang sederhana. Bisa jadi ada yang berpikir sama, atau bisa jadi di pemikiran lain ada pemahaman yang lebih bijaksana, lebih dapat diterima, lebih menggugah, dan sejenis lainnya. Berikut ilustrasinya:

Ada suatu masa, dimana saat kamu melakukan satu kesalahan yang orang-orang biasa lakukan, dan itu untuk yang pertama kalinya, tapi malah kamu satu-satunya orang yang mendapat ganjaran. Sama sekali tidak menyenangkankan, bukan? Rasanya... entahlah. Mau marah, tapi tidak tahu kepada siapa. Memang punya hak apa? Bagi yang pernah mengalaminya, mungkin pada saat itu kamu merasa sedang sial, atau sangat sial, semacam sedang dijadikan tumbal. Lalu pertanyaan itu pun mencuat, kenapa harus aku? Kenapa??! Sebab tidak ada yang mampu menjawab, beberapa saat kemudian akan kamu habiskan dengan menggalau, mengeluh, mengadu, menggerutu, atau bahkan mengutuk. Rentetan ungkapan penyesalan akan keluar, memenuhi pikiran. Andai begini... andai begitu... harusnya si ini... harusnya si itu...

Thursday 3 September 2015

Flashlight

Ketika dengan menatap matanya saja dapat membuatmu merasa aman. Ketika duduk dengannya dapat menjadikanmu nyaman meski dalam diam. Ketika dengan melangkah di sampingnya meyakinkanmu kemanapun tujuan. Mungkin saat itu kau akan mulai melupakan—melupakan bahwa waktu terus berjalan, melupakan yang namanya kesepian, dan melupakan tentang perjalanan penuh bebatuan. Karena makna lain dari bersamanya, adalah kecukupan.


(Pekanbaru, 03092015)

Inspiring song: Flashlight - Jessie J

Wednesday 2 September 2015

Paradoks

Ketika kau menyadari, bahwa makna lain dari pertemuan itu ternyata perpisahan, bisa jadi rasanya seperti mati rasa. Tidak tahu harus bagaimana, atau lebih tepatnya, tidak tahu harus merasakan apa. Pertemuan rasa perpisahan, mungkin seperti itu frasanya. Layaknya sedang mengecap gula, tapi malah pahit yang sampai di lidah. Menghadirkan kebahagiaan akan membuatmu seperti sedang mengadakan pesta perpisahan. Mengharapkan pilihan akan berubah menjadi tiket pulang menuju kebuntuan. Sekadar menguraikan sisa-sisa do’a semalam. Dan, pada akhirnya, kepasrahan lah yang memperoleh singgasana kehidupan. Mampu menempatkanmu pada takhta pemahaman yang paling rasional, bahwa sejatinya pertemuan dan perpisahan senantiasa duduk berdampingan. Karena, ketika kau siap untuk bertemu, sama artinya kau juga siap untuk berpisah.

(Pekanbaru, 02092015)

Monday 31 August 2015

Euforia #6

Euforia kembali. Kini dengan sekelumit perasaan yang tak kunjung pergi. Masih dengan perpaduan antara mimpi dan misteri, yang seakan telah bersahabat sejak rasa ini terpatri, yang belakangan membuatmu ingin lari. Begitu, kah? Namun, anehnya, kau tak pernah benar-benar sanggup untuk mengingkarinya. Tak pernah benar-benar ingin meninggalkannya. Hingga tanya-tanya itu terunggah, menuntutmu menyerah. Adakah mimpi terhapus oleh pagi? Atau, bisakah misteri terpecahkan oleh sunyi? Sedikit saja. Agar ilusi tak sempat meranumkan hati, dan pesona tak sempat menguasai peri. Layaknya harap-harap yang terulang. Sayangnya, seperti biasa, hanya ada sautan oleh diam yang bergema. Bukan penjelasan sebagaimana mestinya. Meski kali ini hadir marah yang menyurut lelah, nyatanya kau tetap saja rela—menyisipkan resah yang percaya, entah akan apa. Mungkin akan suatu masa, atau malah akan jejak yang tak jua bernama. Tidakkah kau merasa ini saatnya untuk mengatakan ‘sudah’? Baiklah, terserah. Jika kau bersedia, tunggu saja. Sampai kau temukan makna sekelumit rasa itu sesungguhnya, dan menyadari, bahwa pada akhirnya euforia hanya akan membuatmu menjadi penerjemah yang salah.


(Pekabaru, 31082015)

Sunday 23 August 2015

Belakangan...

Belakangan, langit tidak memberikan efek apa-apa. Seperti telah kehilangan maknanya. Tak ada lagi yang menjadi benar-benar berarti, atau yang terlalu dirindukan, semacam yang mampu menghibur, atau malah yang kadang dibenci. Entah apa yang terjadi pada makna-makna itu. Pergi meninggalkan, atau hilang ditinggalkan. Keraguan tidak berani menjawab, sedang hati tak ingin lagi bermain isyarat—seakan semuanya sudah cukup sarat. Langit, haruskah kita mulai berkirim surat?

Saturday 15 August 2015

BEKAL

Hei, apa ini? Bekal?
Pernahkah kalian berpikir bahwa saat ini kita sedang mempersiapkan suatu bekal? Atau beberapa bekal? Yep, bekal buat masa yang akan datang. Semacam amunisi, sebagai persiapan untuk hal yang sudah direncanakan. Sesaat tadi saya terpikir tentang “bekal” itu, entahlah, terlintas begitu saja. Jika membicarakan tentang bekal untuk masa depan, hal yang muncul dalam pikiran saya adalah salah satu ‘tahap pengemasan’ bekal yang tengah saya jalani, yaitu penyusunan tugas akhir (skripsi) untuk gelar S1 saya yang tak kunjung di-acc (). Yah, mungkin waktu terbaik untuk itu belum tiba (semoga segera). Namun, apa hanya satu bekal itu yang sedang saya persiapkan? Tidakkah beberapa bekal juga bisa? Maka pertanyaan-pertanyaan lain muncul.

Beberapa bekal, toh, tidak terdengar buruk, bukan? Kata ‘beberapa’ mengimplikasikan bahwa kita butuh menambahkan amunisi-amunisi yang lebih banyak dari sebelumnya. Niat yang hebat harus diikuti dengan usaha yang kuat. Kira-kira seperti itu. Untuk hal-hal yang lebih besar, tentu perlu penyokong yang lebih besar pula. Dan setiap rencana yang dibuat tentunya akan membuahkan hasil, terlepas itu berhasil atau tidak. Toh, pada dasarnya kita hanya bisa berencana, keputusan akhir tetap milik sang Pencipta. Tapi, percaya satu hal, hasil tidak pernah mengkhianati proses. Untuk itu kita harus tetap berusaha dan berdo’a.

Thursday 18 June 2015

Pengakuan

Ehem. Kali ini saya mau membuat pengakuan. Bukan pengakuan yang 'gimana-gimana', ya, hanya sekadar pengakuan saja. But wait, happy fasting for moslem, by the way. kembali ke pengakuan, begini...
Beberapa hari yang lalu saya mengikuti suatu proyek yang diadakan sebuah komunitas (nulisbukudotcom), dimana pada proyek itu merupakan suatu ajakan untuk menulis random selama satu bulan penuh, tepatnya bulan Juni. Proyek tersebut dinamai #NulisRandom2015 dengan banner seperti ini...

Sunday 7 June 2015

Pertemuan untuk Perpisahan



Ah, sederhana sekali kehidupan dunia ini, bukan? Akhir ceritanya sudah bisa kita tebak. Tanpa perlu mengira-ngira. Ujung itu sudah disiapkan dari awal. Bagai alur yang terkenal, bagian yang selalu kita hapal. Kekal.

Begitu juga pertemuan dengan kalian. Belakangan jadi kepikiran tentang akhir dari cerita yang sudah dihapal itu. Nantinya kita juga akan seperti itu, bukan? Menemukan suatu waktu dimana perpisahan merupakan pijakan yang harus kita lalui. Menjadi tiket untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya, yang lebih... entahlah. Tidak ada yang benar-benar tahu, selain sang Pembuat Skenario.

Saturday 6 June 2015

Penakluk Malam


Hiruk-pikuk keluar
menyambut tamunya: sang hitam tak bertuan
banyak cerita santer terdengar: tentang si pendatang
dari mulut ke mulut orang bertukar
dari cicit demi cicit burung yang tidak ada kerjaan
hingga daun di dahan tidak  mau kalah ikutan
entah salah atau benar
dan, gemintang pun mengambang
memikul dendam dan pembelaan
untuk mengusir bagian yang sumbang
maka, selamat bergabung, selamat berjuang.

(Pekanbaru, 06062015)

Ps: #NulisRandom2015 day 6


Friday 5 June 2015

Tanda



Pernahkah kau merasa bisa gila karena sebuah tanda?

Seperti tidak keruan. Dikukung rasa yang dapat membawamu ke pintu-pintu yang serba salah. Serba takut, serba susah. Pekerjaan menerka-nerka bukan perkara gampang, sebab itu hati merasa perlu—sangat perlu—meraba waktu yang lalu, waktu sekarang, lalu mencoba melompat-lompat untuk mengintip waktu di depan. Layaknya tengah mencari pegangan untuk membuat suatu keputusan. Sekali lagi, bukan perkara gampang, kan? Ini semua karena tanda.

Tidak untuk dilebih-lebihkan. Tapi ‘menjadi gila’, bisa jadi pemikiranmu yang terakhir saat kau tengah terjebak dalam permainan ‘menebak tanda’. Rasanya sungguh menyebalkan, kadang-kadang keterlaluan. Saat salah satu tebakan mengambang, mulai merangkai keping demi keping cuplikan suatu masa yang kau inginkan, maka tebakan lain akan turut keluar, menyusul guna mematahkan hingga semua berantakan. Atau, saat kau ingin memastikan bahwa ada satu jalan yang mungkin bisa membawamu pada sebuah kesimpulan, maka buntu siap menghadangmu, demi turut memastikan kau akan tetap berdiri di sana tanpa kemana-mana. Di persimpangan kebingungan. Tanda juga dapat melakukannya.

Ada Saat



Ada saat dimana kamu tidak ingin meninggalkan suatu masa, dan ada saat dimana kamu ingin sekali meninggalkan suatu masa. Biasanya saat itu datang bersamaan.

(Pekanbaru, 05062015)

Ps: Anggap ini penangguhan untuk kemarin yang terlewatkan (#NulisRandom2015 Day 4).

Wednesday 3 June 2015

Scars



Abby kembali masuk ke kamar ganti, mencoba gaun yang ke-26—mungkin, cemoohnya. Dia tidak ingin benar-benar menghitung. Kali ini berwarna krem, dengan model renda-renda di bagian dada yang nyaris sama dengan dua atau tiga gaun yang ia coba sebelumnya. Memuakkan. Ia harus cepat-cepat keluar dari sini, sebelum gaun-gaun ini membuatnya ingin jadi gila. Terserah dengan pesta konyol itu.

“Apa yang kau gunakan? Kau tampak sangat pucat. Kau tidak berniat membuat aku terlihat seperti sedang memaksamu untuk ke pesta di saat kau sedang sakit, bukan?” lagi-lagi, membuatnya ingin membuang seluruh gaun itu ke muka pria yang berkomentar tersebut. Tanpa terkecuali, lalu memaki pria itu hingga puas.

Tuesday 2 June 2015

Kerandoman Hari Ini

Kerandoman hari ini disponsori oleh revisian skripsi yang menguras sanubari (?), serta termotivasi oleh harapan 'semoga bisa ketemu dosen pembimbing di esok pagi'.

Selamat malam, selamat bermimpi.

(Pekanbaru, 02062015)
#NulisRandom2015 Day 2

Monday 1 June 2015

Timbul-tenggelam



Terkisah suatu rasa, bergerak liar membalut asa. Dalam denting berirama, ia menyebar makna di tepian senja. Geraknya melukiskan tanya, tentang langkah-langkah yang mulai jera. Suaranya membiaskan kita, tentang masa yang merona jengah.

Terkadang, rasa itu tak berdaya, mengepakkan sayapnya menantang cakrawala harapan. Membiarkan hujan dan percikan saling serang. Sebab untaian tak pernah menyuguhkan satu keputusan, menahan atau melepaskan. Bagai simfoni bergaung sendirian.

Tak jarang, rasa itu terlalu dalam, menabung nada yang selalu ingin diulang tanpa sungkan. Menyediakan sekelumit drama lengkap bersama peran. Sebab sandiwara menyiratkan takhta, untuk ruang tak bertiang. Bagai hujan penawar kesunyian.

(Pekanbaru, 01062015)
#NulisRandom2015 Day 1


Friday 22 May 2015

Hari-hari yang Hilang



Halo!
Ah, sapaan itu terdengar sudah basi, bukan? Iya, seperti  hari-hari di belakang. Hari di mana seperti ada lubang waktu yang sudah tertinggal. Sekilas melegakan, selebihnya meresahkan. Sebab jejaknya, tidak memberikan petunjuk apa-apa. Dan bayangan hanya menggiring kepada kerinduan. Ah, terdengar semakin basi, bukan? Iya, seperti kalimat-kalimat di belakang.

Langkah demi langkah jarum itu dibiarkan pergi, mengikuti jalur yang sudah dihapalnya setiap hari. Sibuk kesana-kemari seperti di stasiun kereta api. Bisa jadi. Di stasiun kereta api pun, langkah demi langkah dibiarkan pergi, menempuh jalur yang dipilihnya sendiri. Melupakan mimpinya tadi pagi. Setiap hal yang pergi, selalu meninggalkan lain hal di suatu sisi. Walau sisi itu hanya sebatas debu yang berlari-lari. Apa debu tidak ingin ditinggal angin pergi? Apa yang terdiam di stasiun kereta api—yang menatap kosong pada debu yang berlari—ingin turut mengejar kereta api? Juga ingin mengubah waktu di dalam hari? Mungkin saja. Mungkin saja debu telah lelah dipijaki. Dan mungkin saja, yang sudah pergi tidak mungkin kembali lagi. Sebab itu yang ditinggal takut menemui hari setelah ini.

Wednesday 22 April 2015

Kopi Pertama



Sejak kapan aku begini? Menerka-nerka makna kenikmatan pagi. Ah, ya, sejak mendapatimu di sini. Duduk tersenyum menikmati secangkir kopi. Kopi pertamamu hari ini. 

Katamu, ini seperti candu. Menyambut pagi ditemani secangkir kopi. Bagiku, ini hanya tentang kamu. Memandangimu seperti ini di setiap pagi.

Terima kasih, kopi.

(Pekanabru, 22042015)