Saturday 15 August 2015

BEKAL

Hei, apa ini? Bekal?
Pernahkah kalian berpikir bahwa saat ini kita sedang mempersiapkan suatu bekal? Atau beberapa bekal? Yep, bekal buat masa yang akan datang. Semacam amunisi, sebagai persiapan untuk hal yang sudah direncanakan. Sesaat tadi saya terpikir tentang “bekal” itu, entahlah, terlintas begitu saja. Jika membicarakan tentang bekal untuk masa depan, hal yang muncul dalam pikiran saya adalah salah satu ‘tahap pengemasan’ bekal yang tengah saya jalani, yaitu penyusunan tugas akhir (skripsi) untuk gelar S1 saya yang tak kunjung di-acc (). Yah, mungkin waktu terbaik untuk itu belum tiba (semoga segera). Namun, apa hanya satu bekal itu yang sedang saya persiapkan? Tidakkah beberapa bekal juga bisa? Maka pertanyaan-pertanyaan lain muncul.

Beberapa bekal, toh, tidak terdengar buruk, bukan? Kata ‘beberapa’ mengimplikasikan bahwa kita butuh menambahkan amunisi-amunisi yang lebih banyak dari sebelumnya. Niat yang hebat harus diikuti dengan usaha yang kuat. Kira-kira seperti itu. Untuk hal-hal yang lebih besar, tentu perlu penyokong yang lebih besar pula. Dan setiap rencana yang dibuat tentunya akan membuahkan hasil, terlepas itu berhasil atau tidak. Toh, pada dasarnya kita hanya bisa berencana, keputusan akhir tetap milik sang Pencipta. Tapi, percaya satu hal, hasil tidak pernah mengkhianati proses. Untuk itu kita harus tetap berusaha dan berdo’a.


Ada saat dimana kamu hanya bisa memilih satu saja. Pemikiran lain muncul. Setiap orang diciptakan berbeda-beda, mulai itu dari anatomi, cara berpikir, sampai nasib, nyaris tidak ada yang sama. Walau kemungkinan sama itu tetap ada. Dari sini pemikiran lain itu tumbuh, dari perbedaan-perbedaan yang kita dapati. Kembali pada “bekal”, pernah terlintas di pikiran saya untuk mempersiapkan satu bekal lagi. Bekal yang paling saya idamkan sebenarnya. Layaknya hal yang teramat menggiurkan, yang dengan membayangkannya saja dapat membuat hati meletup-letup sedemikian rupa. Intinya, saya begitu menantikan saat dimana saya bebas mengemasi amunisi-amunisi untuk bekal tersebut. Saya pernah mencobanya, namun, di tengah jalan seperti ada yang mengganjal langkah itu. Menghadang dengan kenyataan bahwa jika ingin melanjutkan langkah lagi, saya harus memilih. Hanya satu, dan yang lain harus rela dilepaskan. Sebab pilihan selalu diikuti oleh keterbatasan, dan salah satu perbedaan setiap orang tadi, tidak terlepas dari keterbatasan.

Saya memilih melepaskan bekal kedua tadi, bekal yang paling diidamkan. Dari awal sebenarnya bekal itu merupakan hal utama bagi saya, namun seiiring bergeraknya waktu ia mundur menjadi hal yang tidak lagi diprioritaskan. Mungkin ini terdengar semacam pengkhianatan, atau saya yang sedang merasa mengkhianati diri sendiri. Entahlah. Banyak penyangkalan-penyangkalan yang muncul, seperti pesimis, payah, egois, lemah, dan semacamnya yang saling serang. Bergumal menuntut untuk dimenangkan. Membawa saya kembali pada perbedaan, keterbatasan, pilihan, yang juga menuntut dibenarkan. Dan dengan semua perdebatan yang muncul, saya memutuskan untuk memilih satu bekal yang bisa dinikmati bersama-sama. Dengan alasan yang tak mampu saya bantah, saya memilih bekal pertama.

Melepaskan bukan berarti tak lagi mengiginkan. Di suatu waktu nanti, setelah bekal pertama selesai disiapkan, jika masih diberi kesempatan, saya masih ingin mempersiapkan bekal kedua itu. Memunguti kembali amunisi-amunisi yang mungkin dulu tak sengaja ‘terjatuh’. Bukan untuk penebusan rasa bersalah atau pengkhianatan sebelumnya, namun karena saya benar-benar mengiginkannya.

Semoga langkah-langkah yang terus berusaha, dapat menemukan puncak bahagia.

Barang siapa mengetahui kebenaran dan mengerjakan kebajikan, serta memperoleh petunjuk, maka dia telah mencapai puncak kebahagiaan.” (footnote Al Qur’an, 6:104)

(Pekabaru, 15082015)

No comments:

Post a Comment