Tuesday 13 August 2013

Surat Untuk Esok

Dear, Esok…
Akankah kau masih ada? Untuk menerpa sudut jendela, membangunkan sang empunya. Membawa sejumput kejutan atau apa, yang kutunggu-tunggu. Membawa 86400 detik beserta isinya. Ceritanya.

Dear, Esok…
Jika kau masih ada, maukah kau bercerita? Kepadaku yang tidak tahu apa-apa. Tentang binatang yang tak kutahu bentuknya. Tentang tumbuhan yang tak kutahu fungsinya. Tentang manusia yang bermacam-macam tingkahnya.

Dear, Esok…     

Monday 12 August 2013

Kita Bertemu

Kita bertemu
Pada alarm pukul lima
Terjaga dari lamunan panjang yang tak sadar
Bergejolak dengan suara panggilan
Entah siapa      
Tiada orang di sana

Kita bertemu
Pada senja yang terpecah
Hanya terdiam melumat tanya
Tertegun dengan larik kecewa
Rasa membuncah rupa-rupa
Dari  mana mereka semua?

Kita bertemu
Pada seperjuta detik yang dikekang
Luruh berbisik-bisik tenang
Tentang kunang-kunang merengkuh malam
Tentang lukisan berbingkai alam
Disemat cakrawala dengan rancang

Tuesday 6 August 2013

Tetangga Baru

Ada yang bilang, cara yang tepat mengabadikan kenangan adalah membekukannya ke dalam sebuah foto. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkannya. Yang jelas, aku selalu menyukai saat di mana kita bisa menyimpan potongan kenangan itu menjadi cetak lensa. Kenangan tentang aku dan kamu yang terangkai, lalu berpilin menjadi sebuah rajutan detik yang berharga. Semua.
            Maka di sini aku sekarang, duduk di ujung ranjang yang masih berantakan sambil memandangi satu dari berbagai pigura foto yang berserakan. Mengembalikan ingatan tentang aku dan kamu di kala dulu. Rasanya sudah lama sekali, tapi aku masih bisa mengingatnya. Mengingat setiap waktu yang kita habiskan bersama. Karena bagiku mengingat kisah itu seperti sedang mengulang dua hari yang lalu.
***
            Hup!
            Ketika aku melompat keluar dari bus yang membawaku sampai ke halte itu. Di mana-mana basah, dan halte menjadi salah satu tempat orang-orang mencari perlindungan dari hujan yang sedang turun dengan cukup deras. Aku menyeruak ke dalam halte sambil merapikan seragam putih dongker-ku yang agak berantakan akibat adegan desak-desakan di bus, juga menghindari air hujan yang menerpaku karena terbawa angin. Jarak ke rumah tidak terlalu jauh lagi, untungnya beberapa hari itu aku selalu membawa payung lipat ke sekolah. Antisipasi terhadap musim penghujan.
            Kuperhatikan orang-orang yang sedang berteduh di halte, sebagian besar adalah anak sekolahan. Bangku halte sudah penuh, beberapa dari mereka terpaksa harus berdiri. Dan di sana lah aku menemukanmu, di jejeran orang yang sedang berdiri, masih dengan seragam sekolahmu memandangi hujan dengan tidak senang. Mungkin jadi jengkel disebabkan rasa lapar.
            Aku mengenalmu sebagai tetangga baru. Saat seminggu lalu aku melihat kamu bersama kesibukan yang terjadi di rumah tepat di sebrang rumahku. Dari atas balkon kamar, aku bersorak girang begitu tahu akan mendapat teman baru. Hal-hal seperti itu selalu menyenangkan. Awalnya, kupikir seperti itu. Namun setelah beberapa hari, setelah aku merengek kepada Bunda agar bisa ikut mengunjungi tetangga baru, setelah berkali-kali melongok ke halaman rumahmu, setelah aku bolak-balik bersepeda di depan rumah, nyatanya kita belum juga bisa berteman sampai hari itu. Bahkan belum pernah berkenalan. Kamu yang sepertinya mengacuhkan keberadaanku. Lantas dengan terang-terangan Ibumu menjelaskan bahwa kamu orangnya kurang ramah dan pendiam―jadi maklum saja, saat untuk ketiga kalinya aku ke rumahmu, mengantar nastar buatan Bunda. Jadilah aku menyerah.
            Dan saat itu kamu berdiri beberapa meter di hadapanku, menunggu hujan reda agar bisa segera pulang ke rumah, sedang aku tidak yakin dengan apa yang ingin kulakukan. Setelah menimbang sebentar, pada akhirnya aku mengeluarkan payung lipatku dari tas, lalu melangkah juga menuju pinggir halte, mendekati pijakanmu. Tidak ada yang salah pada sebuah usaha, toh, itu adalah sebentuk bantuan.
            “Kamu… mau pulang?” Sesampai di sampingmu, aku bertanya dengan ragu. Ragu kamu bisa mendengar suaraku, ragu kamu sudi mengindahkanku. Tapi ternyata kamu menoleh juga, lalu memandangku dengan heran. Seperti tidak kenal, lalu tidak mengatakan apa-apa.
            Aku menggigit bibir, mendadak ingin mengurungkan niat mulia itu. Pandangan yang kamu berikan sama sekali tidak bersahabat. “Eemp… aku… tetangga kamu, depan rumah. Aku bawa payung kalau kamu mau pulang bareng…” Sambil memamerkan payung yang kubawa, akhirnya aku berusaha tersenyum ramah, layaknya orang yang sedang memberi tawaran menggiurkan. Namun gagal. Karena nyatanya, aku hanya bisa meringis saat pandanganmu malah jatuh pada sebelah tanganku. Payung lipat dengan warna pink norak yang kubawa.
            Kamu tampak berpikir keras, aku tidak tahu bahwa warna pink adalah petaka. Kembali aku menggigit bibir dengan tanpa sadar menahan napas, takut kamu menolak atau lebih parah. Hanya bisa sejauh ini juga tidak apa-apa, sebenarnya. Aku sekedar menawarkan. Terserah.
            “Boleh…”

Saturday 3 August 2013

Semoga Tidak Perokok

Semoga jodoh saya nanti tidak perokok
Biar saya tidak perlu pusing akibat asapnya
Semoga jodoh saya nanti tidak perokok
Biar kalau suatu saat hidup susah tidak makin susah
Semoga jodoh saya nanti tidak perokok
Biar ia tidak terkena gangguan kehamilan dan rupa-rupa

Namun, jika jodoh yang dikirim Tuhan adalah perokok
Ya sudah, tidak mengapa
Mungkin nanti, pelan-pelan, bisa berubah
Semoga akan mengerti rokok hanya membawa mudarat saja
Tidak masalah
Karena bertemu dengan jodoh saja sudah Alhamdulillah

Friday 2 August 2013

Paket Penyelamat(an)

Paket penyelematan? Maksudnya? Apakah ada? Siapa yang diselamatkan? Apa yang diselematkan? Nyawa? Atau apa?
Baiklah. Baiklah. Saya akan jelaskan. Walaupun, belum tentu ada yang meminta penjelasan. Biarlah.

Jadi begini, paket penyelamat itu ada. Saya sendiri yang memberi nama, karena saya lah yang sudah diselamatkan. Paket yang sangat berjasa. Paket penyelamat itu adalah… *jeng jeng jeng* Bonus Gratisan Setiap Bulan dari Paket Always On 3. Hmph.

Lantas, bagaimana bisa sejumput paket gratisan bisa menyelematkan saya? Ya, tentu saja itu adalah jalan yang ditunjukkan Allah SWT. Tapi, bagaimana ceritanya? Okay, sepertinya saya mulai random karena dari tadi hanya tanya jawab sendiri. Biarlah.

Begini ceritanya, dua hari yang lalu, tepatnya tanggal 31 Juli 2013, saya kehabisan kuota modem. Begitu saja. Memang, belakangan ini saya merasa kebanyakan surfing internet untuk hal-hal yang tidak terlalu penting. Tidak tahu diri kalau sedang tidak di kost yang biasa pakai wi-fi. Jadilah saya keasikan, dan hari itu pun datang. Hari di mana saya tidak bisa melakukan apa-apa melalui internet selain hanya mengunjungi situs facebook dan twitter (karena gratis), hari di mana saya tidak bisa bloging. Posting. Uh-oh!

Ketika Mereka Bercerita

Siang tadi, saya berhasil menguping pembicaraan tiga orang ibu-ibu baya. Menguping? Iya, tapi ini saya menguping di depan mereka langsung, alias mencuri dengar. Begini kira-kira cerita dari mereka.

Hari ini saya ke rumah Uwak (Kakaknya Mamak) untuk bantu bersih-bersih. Menjelang sore, sambil beristirahat saya dan Uwak duduk-duduk sambil menjaga kedai Uwak. Kemudian ada yang datang berbelanja, ternyata Uwak saya yang lain (Kakak Mamak juga, yang paling tua). Sambil mengeluh bingung mau masak apa, Uwak yang baru datang tadi terduduk di salah satu dudukan. Lantas bercerita dengan Uwak saya pemilik kedai. Tidak lama, datang lagi pembeli, langganan Uwak. Datang-datang dengan keluhan yang hampir sama, namun Uwak (saya panggil Uwak karena terlihat lebih tua dari Mamak) yang terakhir datang hanya bingung mau masak sayur apa. Maka beliau pun memutuskan duduk. Mungkin seperti kebiasaan ibu-ibu jika belanja ke kedai dengan dalih ingin belanja.

Karena ada tiga Uwak, saya bagi saja panggilannya. Yaitu menjadi Uwak 1 adalah pemilik kedai, Uwak 2 adalah Uwak saya yang lain, dan Uwak 3 adalah Uwak yang terakhir datang. Seperti ini lebih mudah. Dan ketiga Uwak ini punya tiga latar belakang yang berbeda.

Pada awalnya, mereka membicarakan soal makanan, kue lebaran, lalu merambat ke orang. Tetangga. Katanya begini, katanya begitu. Mungkin mereka tidak bermaksud bergunjing, hanya saling bertukar pengetahuan. Entahlah. Lalu, setelah habis bahan kembali mereka teringat soal masakan. Menimbang sesaat, lalu memutuskan mengambil beberapa bahan makanan. Kemudian duduk lagi. Ngobrol lagi.

Sedang Tidak Ingin Menulis

Iya, saya sedang tidak ingin menulis tapi harus tetap menulis. Jadi, biarkan saja catatan ini menjadi The most random ever, sampai saat ini. Sementara. Karena saya sama sekali tidak mood untuk merangkai kata-kata indah. Ya, setidaknya kata-kata yang diperindah, kalau memang tidak bisa dikatakan indah.

Memang. Catatan ini dibuat hanya bermaksud untuk memenuhi kewajiban, janji, tanggungjawab, saya dalam dunia menulis ini. Dunia yang… entahlah. Saya sedang tidak berminat untuk mengumbar kata ataupun frasa. Sudah saya bilang, kan? Saya sedang tidak ingin menulis.

egini saja yang bisa saya buat untuk penangguhan hari ini. Maaf. Tapi, yang penting saya sudah berusaha memenuhinya, sebisanya. Saya pun kecewa. Tapi, ya sudahlah.

Ps: wrote on Wednesday, July 31st 2013