Ada
yang bilang, cara yang tepat mengabadikan kenangan adalah membekukannya ke
dalam sebuah foto. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkannya. Yang jelas, aku
selalu menyukai saat di mana kita bisa menyimpan potongan kenangan itu menjadi
cetak lensa. Kenangan tentang aku dan kamu yang terangkai, lalu berpilin
menjadi sebuah rajutan detik yang berharga. Semua.
Maka di sini aku sekarang, duduk di
ujung ranjang yang masih berantakan sambil memandangi satu dari berbagai pigura
foto yang berserakan. Mengembalikan ingatan tentang aku dan kamu di kala dulu.
Rasanya sudah lama sekali, tapi aku masih bisa mengingatnya. Mengingat setiap
waktu yang kita habiskan bersama. Karena bagiku mengingat kisah itu seperti
sedang mengulang dua hari yang lalu.
***
Hup!
Ketika aku melompat keluar dari bus
yang membawaku sampai ke halte itu. Di mana-mana basah, dan halte menjadi salah
satu tempat orang-orang mencari perlindungan dari hujan yang sedang turun
dengan cukup deras. Aku menyeruak ke dalam halte sambil merapikan seragam putih
dongker-ku yang agak berantakan akibat adegan desak-desakan di bus, juga
menghindari air hujan yang menerpaku karena terbawa angin. Jarak ke rumah tidak
terlalu jauh lagi, untungnya beberapa hari itu aku selalu membawa payung lipat
ke sekolah. Antisipasi terhadap musim penghujan.
Kuperhatikan orang-orang yang sedang
berteduh di halte, sebagian besar adalah anak sekolahan. Bangku halte sudah
penuh, beberapa dari mereka terpaksa harus berdiri. Dan di sana lah aku
menemukanmu, di jejeran orang yang sedang berdiri, masih dengan seragam
sekolahmu memandangi hujan dengan tidak senang. Mungkin jadi jengkel disebabkan
rasa lapar.
Aku mengenalmu sebagai tetangga
baru. Saat seminggu lalu aku melihat kamu bersama kesibukan yang terjadi di
rumah tepat di sebrang rumahku. Dari atas balkon kamar, aku bersorak girang
begitu tahu akan mendapat teman baru. Hal-hal seperti itu selalu menyenangkan. Awalnya,
kupikir seperti itu. Namun setelah beberapa hari, setelah aku merengek kepada
Bunda agar bisa ikut mengunjungi tetangga baru, setelah berkali-kali melongok
ke halaman rumahmu, setelah aku bolak-balik bersepeda di depan rumah, nyatanya
kita belum juga bisa berteman sampai hari itu. Bahkan belum pernah berkenalan. Kamu
yang sepertinya mengacuhkan keberadaanku. Lantas dengan terang-terangan Ibumu
menjelaskan bahwa kamu orangnya kurang ramah dan pendiam―jadi maklum saja, saat
untuk ketiga kalinya aku ke rumahmu, mengantar nastar buatan Bunda. Jadilah aku
menyerah.
Dan saat itu kamu berdiri beberapa
meter di hadapanku, menunggu hujan reda agar bisa segera pulang ke rumah,
sedang aku tidak yakin dengan apa yang ingin kulakukan. Setelah menimbang
sebentar, pada akhirnya aku mengeluarkan payung lipatku dari tas, lalu melangkah
juga menuju pinggir halte, mendekati pijakanmu. Tidak ada yang salah pada
sebuah usaha, toh, itu adalah sebentuk
bantuan.
“Kamu… mau pulang?” Sesampai di
sampingmu, aku bertanya dengan ragu. Ragu kamu bisa mendengar suaraku, ragu kamu
sudi mengindahkanku. Tapi ternyata kamu menoleh juga, lalu memandangku dengan
heran. Seperti tidak kenal, lalu tidak mengatakan apa-apa.
Aku menggigit bibir, mendadak ingin
mengurungkan niat mulia itu. Pandangan yang kamu berikan sama sekali tidak
bersahabat. “Eemp… aku… tetangga
kamu, depan rumah. Aku bawa payung kalau kamu mau pulang bareng…” Sambil memamerkan payung yang kubawa, akhirnya aku
berusaha tersenyum ramah, layaknya orang yang sedang memberi tawaran
menggiurkan. Namun gagal. Karena nyatanya, aku hanya bisa meringis saat pandanganmu
malah jatuh pada sebelah tanganku. Payung lipat dengan warna pink norak yang
kubawa.
Kamu tampak berpikir keras, aku
tidak tahu bahwa warna pink adalah petaka. Kembali aku menggigit bibir dengan
tanpa sadar menahan napas, takut kamu menolak atau lebih parah. Hanya bisa sejauh
ini juga tidak apa-apa, sebenarnya. Aku sekedar menawarkan. Terserah.
“Boleh…”