Friday 2 August 2013

Ketika Mereka Bercerita

Siang tadi, saya berhasil menguping pembicaraan tiga orang ibu-ibu baya. Menguping? Iya, tapi ini saya menguping di depan mereka langsung, alias mencuri dengar. Begini kira-kira cerita dari mereka.

Hari ini saya ke rumah Uwak (Kakaknya Mamak) untuk bantu bersih-bersih. Menjelang sore, sambil beristirahat saya dan Uwak duduk-duduk sambil menjaga kedai Uwak. Kemudian ada yang datang berbelanja, ternyata Uwak saya yang lain (Kakak Mamak juga, yang paling tua). Sambil mengeluh bingung mau masak apa, Uwak yang baru datang tadi terduduk di salah satu dudukan. Lantas bercerita dengan Uwak saya pemilik kedai. Tidak lama, datang lagi pembeli, langganan Uwak. Datang-datang dengan keluhan yang hampir sama, namun Uwak (saya panggil Uwak karena terlihat lebih tua dari Mamak) yang terakhir datang hanya bingung mau masak sayur apa. Maka beliau pun memutuskan duduk. Mungkin seperti kebiasaan ibu-ibu jika belanja ke kedai dengan dalih ingin belanja.

Karena ada tiga Uwak, saya bagi saja panggilannya. Yaitu menjadi Uwak 1 adalah pemilik kedai, Uwak 2 adalah Uwak saya yang lain, dan Uwak 3 adalah Uwak yang terakhir datang. Seperti ini lebih mudah. Dan ketiga Uwak ini punya tiga latar belakang yang berbeda.

Pada awalnya, mereka membicarakan soal makanan, kue lebaran, lalu merambat ke orang. Tetangga. Katanya begini, katanya begitu. Mungkin mereka tidak bermaksud bergunjing, hanya saling bertukar pengetahuan. Entahlah. Lalu, setelah habis bahan kembali mereka teringat soal masakan. Menimbang sesaat, lalu memutuskan mengambil beberapa bahan makanan. Kemudian duduk lagi. Ngobrol lagi.
 Saya hanya duduk di samping Uwak 1 sambil mendengarkan, kadang turut juga bertanya. Sekarang mereka sedang larut dalam pembicaraan masakan dan anak-anak mereka. Kalau lauknya ini, si itu maunya begini. Kalau lauknya itu, si ini maunya begitu. Namun celotehan itu hanya terdengar dari Uwak 2 dan Uwak 3. Uwak 1 hanya diam, meniru saya. Kadang berdehem, membersihkan tenggorokan, membuat suara atau apa. Saya meringis, Uwak 1 tidak punya anak. Maksud saya, itu lah latar belakangnya.

Masih dengan masakan, akan tetapi sedikit berubah. Entah bagaimana perubahan itu bisa terjadi. Kini yang lebih banyak bicara adalah Uwak 1 dan Uwak 3, membicarakan lauk-lauk yang enak, yang harganya terkesan agak mahal. Walau juga tidak sering memakannya. Dan Uwak 2 dengan sempurna meniru saya, diam saja. Saya kembali meringis, Uwak 2 hidup dengan pas-pasan.

Ya, Uwak 1 dan Uwak 2 adalah Uwak-uwak saya. Sata tahu bagaimana kehidupan mereka. Apa yang sering menjadi masalah mereka. Sedang Uwak 3, saya tidak terlalu kenal, hanya kerap bertemu jika saya sedang menghabiskan waktu di rumah Uwak 1. Yang saya tahu, beliau juga tidak terlalu berkecukupan. Bisa makan enak hanya pada saat awal bulan, saat gaji pensiunan almarhum suami Uwak 3 keluar.

Uwak 1 menjadi Uwak kesayangan saya. Bukan saya milih-milih, namun dulu, sebelum Uwak menikah dan kembali ke kampung beliau tinggal di rumah saya. Dulu Uwak juga masih bekerja. Dari kecil saya sudah dekat dengan Uwak, kalau makan sukanya sama Uwak, kalau tidur juga maunya sama Uwak. Bagi saya Uwak adalah ibu kedua saya. Dan, saya selalu sedih jika mengingat ini. Saat Uwak akhirnya menikah. Uwak baru menikah di umur 40 dengan seorang duda beranak empat yang terpaut sekitar 20 tahunan lebih tua dari Uwak. Uwak tidak dikarunia anak dari rahimnya sendiri, dan anak-anak tirinya sudah besar-besar. Karena itu, Uwak sering sekali menyuruh saya ke rumahnya. Apalagi saat libur kuliah, maka saya wajib ke sana. Sebab di rumah Uwak hanya berdua dengan suaminya. Anak-anaknya sudah pencar semua. Uwak selalu memperlakukan saya seperti anak kandungnya, selalu lebih baik daripada terhadap anak tirinya. Dan saya mengerti mengapa tadi Uwak harus membersihkan tenggorokan atau membuat suara. Karena walau Uwak hidup dalam berkecukupan, saya selalu merasa Uwak sering kesepian.

Sedang Uwak 2, saya jarang bertemu, hanya pada saat pulang kampung saja. Uwak 2 sering ke rumah saya, ada saja keperluannya. Entah itu hanya untuk mengbrol dengan Mamak. Dari seluruh kakak Mamak, Mamak memang paling dekat dengan Uwak ini. Kalau Uwak di rumah, selalu Uwak yang memasak, biar nanti lauknya juga bisa Uwak bawa pulang. Kehidupan Uwak hanya bertopang pada hasil sawah dan kebun yang tidak seberapa. Makanya Mamak suka kalau Uwak datang ke rumah. Sedang kedekatan saya dengan Uwak seperti pada umumnya. Saya senang jika Uwak membuatkan lepat untuk saya bawa saat harus kembali meninggalkan kampung untuk kuliah.

Begitu lah ketika mereka saling bercerita, mereka tetap bertahan dengan ketidaksempurnaan hidup yang ada. Berusaha baik-baik saja walau terkadang harus terluka. Dengan tidak sengaja. Mereka sadar, mereka sudah baya. Jadi, tidak ada pilihan lain selain berserah.


Ps: Wrote on Thursday, August 1st 2013

No comments:

Post a Comment