Tuesday 6 August 2013

Tetangga Baru

Ada yang bilang, cara yang tepat mengabadikan kenangan adalah membekukannya ke dalam sebuah foto. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkannya. Yang jelas, aku selalu menyukai saat di mana kita bisa menyimpan potongan kenangan itu menjadi cetak lensa. Kenangan tentang aku dan kamu yang terangkai, lalu berpilin menjadi sebuah rajutan detik yang berharga. Semua.
            Maka di sini aku sekarang, duduk di ujung ranjang yang masih berantakan sambil memandangi satu dari berbagai pigura foto yang berserakan. Mengembalikan ingatan tentang aku dan kamu di kala dulu. Rasanya sudah lama sekali, tapi aku masih bisa mengingatnya. Mengingat setiap waktu yang kita habiskan bersama. Karena bagiku mengingat kisah itu seperti sedang mengulang dua hari yang lalu.
***
            Hup!
            Ketika aku melompat keluar dari bus yang membawaku sampai ke halte itu. Di mana-mana basah, dan halte menjadi salah satu tempat orang-orang mencari perlindungan dari hujan yang sedang turun dengan cukup deras. Aku menyeruak ke dalam halte sambil merapikan seragam putih dongker-ku yang agak berantakan akibat adegan desak-desakan di bus, juga menghindari air hujan yang menerpaku karena terbawa angin. Jarak ke rumah tidak terlalu jauh lagi, untungnya beberapa hari itu aku selalu membawa payung lipat ke sekolah. Antisipasi terhadap musim penghujan.
            Kuperhatikan orang-orang yang sedang berteduh di halte, sebagian besar adalah anak sekolahan. Bangku halte sudah penuh, beberapa dari mereka terpaksa harus berdiri. Dan di sana lah aku menemukanmu, di jejeran orang yang sedang berdiri, masih dengan seragam sekolahmu memandangi hujan dengan tidak senang. Mungkin jadi jengkel disebabkan rasa lapar.
            Aku mengenalmu sebagai tetangga baru. Saat seminggu lalu aku melihat kamu bersama kesibukan yang terjadi di rumah tepat di sebrang rumahku. Dari atas balkon kamar, aku bersorak girang begitu tahu akan mendapat teman baru. Hal-hal seperti itu selalu menyenangkan. Awalnya, kupikir seperti itu. Namun setelah beberapa hari, setelah aku merengek kepada Bunda agar bisa ikut mengunjungi tetangga baru, setelah berkali-kali melongok ke halaman rumahmu, setelah aku bolak-balik bersepeda di depan rumah, nyatanya kita belum juga bisa berteman sampai hari itu. Bahkan belum pernah berkenalan. Kamu yang sepertinya mengacuhkan keberadaanku. Lantas dengan terang-terangan Ibumu menjelaskan bahwa kamu orangnya kurang ramah dan pendiam―jadi maklum saja, saat untuk ketiga kalinya aku ke rumahmu, mengantar nastar buatan Bunda. Jadilah aku menyerah.
            Dan saat itu kamu berdiri beberapa meter di hadapanku, menunggu hujan reda agar bisa segera pulang ke rumah, sedang aku tidak yakin dengan apa yang ingin kulakukan. Setelah menimbang sebentar, pada akhirnya aku mengeluarkan payung lipatku dari tas, lalu melangkah juga menuju pinggir halte, mendekati pijakanmu. Tidak ada yang salah pada sebuah usaha, toh, itu adalah sebentuk bantuan.
            “Kamu… mau pulang?” Sesampai di sampingmu, aku bertanya dengan ragu. Ragu kamu bisa mendengar suaraku, ragu kamu sudi mengindahkanku. Tapi ternyata kamu menoleh juga, lalu memandangku dengan heran. Seperti tidak kenal, lalu tidak mengatakan apa-apa.
            Aku menggigit bibir, mendadak ingin mengurungkan niat mulia itu. Pandangan yang kamu berikan sama sekali tidak bersahabat. “Eemp… aku… tetangga kamu, depan rumah. Aku bawa payung kalau kamu mau pulang bareng…” Sambil memamerkan payung yang kubawa, akhirnya aku berusaha tersenyum ramah, layaknya orang yang sedang memberi tawaran menggiurkan. Namun gagal. Karena nyatanya, aku hanya bisa meringis saat pandanganmu malah jatuh pada sebelah tanganku. Payung lipat dengan warna pink norak yang kubawa.
            Kamu tampak berpikir keras, aku tidak tahu bahwa warna pink adalah petaka. Kembali aku menggigit bibir dengan tanpa sadar menahan napas, takut kamu menolak atau lebih parah. Hanya bisa sejauh ini juga tidak apa-apa, sebenarnya. Aku sekedar menawarkan. Terserah.
            “Boleh…”
            Walau yakin dua kata itu diucapkan tanpa sepenuhnya niat, aku tetap lega. Mungkin aku yang berlebihan menebakmu. Maka demi sepatah kata tadi, aku mengangguk lantas membuka payung dan mengangkatnya untuk aku dan kamu. Kemudian kita melangkah sejajar meninggalkan halte yang penuh di belakang. Payung dengan warna pink norak itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk aku dan kamu berlindung dari dera hujan. Sesekali aku berusaha mengangkat payung itu lebih tinggi, saat tulang payungnya mengenai kepalamu yang lebih menjulang. Dan agaknya kamu tampak kesusahan.
            “Sini! Gue aja yang pegang payungnya…”
            Sempat kaget ketika payung itu sudah berpindah tangan, aku membiarkannya. Sebab setelah itu, kamu terlihat merasa lebih baik, dan aku pun begitu. Karena entah mengapa, saat kamu yang sedang melakukan perlindungan, itu terasa lebih aman dan nyaman, walau dengan diam. Kemudian hujan pun seperti berubah menjadi menyenangkan.
            “Di sini aja…”
            Kita berhenti di depan gerbang coklat itu, gerbang rumahmu. Setelah menyerahkan payungku kamu mundur satu langkah, reflek aku menaikkan payung. Masih berusaha memayungimu.
            “Thanks…”
            Aku mengangguk. Lantas merasa kamu sedang memperhatikanku barang sejenak, lalu…
            “Gue Rendi.” Katamu sambil mengulurkan tangan, terkesan datar.
            Segera, tanpa bisa menahan sumringah aku menjabat tanganmu. “Adellia, tetangga baru.”
            Saat itu aku sadar, kamu memiliki lesung pipit di sebelah kanan.
***
            Selalu. Selalu aku ingat saat pertama kali kita bertemu. Saat kamu datang padaku, menawarkan sebuah persahabatan yang tidak pernah kubayangkan, meski kamu yang lebih banyak diam. Aku mengingatnya dengan baik, sama baiknya dengan ingatan tetang kamu yang malah memutuskan pergi meninggalkanku. Setelah kita telah jauh memutuskan bahwa menghabiskan waktu yang panjang bersama merupakan hal yang paling menyenangkan. Kamu bersikukuh kepada keputusan, dan aku dengan cara memalukan memohon satu permintaan.
            “Di… jangan pergi, pleasehiks…” aku menyedot cairan di hidungku dengan jorok, dan aku tidak peduli. Aku hanya ingin kamu jangan pergi.
            “Lo tega banget tinggalin gue sendiri… hiks… katanya mau nemenin gue sepedahan setiap hari… hiks… katanya mau ngelindungin gue dari senior kalau nanti gue di-bullyhiks… katanya…”
            “Ambilin topi gue yang di kursi itu dong, Del…” Sambil sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper besarmu, tidak mempedulikan aku yang benar-benar ingin mencegah kepergianmu.
            Aku duduk di sofa bebentuk dadu yang ada di kamarmu, memandangimu yang sedang berkemas sembari merengek tidak terima dengan keputusan itu. Aku tahu itu nyaris sia-sia, tiket penerbangan besokmu sudah dipesan, pendaftaran kuliahmu di sana juga sudah diselesaikan. Dan sungguh aku hanya ingin kamu tidak pergi.
            “Jahat banget lo, Di…”
            “Itu topinya yang di kursi belajar. Tolong, dong…” Masih tanpa menoleh padaku, berusaha menghindari tatapanku. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi mengatakannya, maka dari itu aku melangkah. Bergerak mengambil topi yang kamu maksud, lalu duduk di atas bed cover yang berantakan itu, di samping koper raksasamu.
            Kamu memasukkan kaus terakhir ke koper saat aku menyodorkan topi itu. Namun ketika kamu bermaksud mengambilnya, aku menarik tanganku kembali. Menoleh akhirnya kamu sudi memperhatikanku. Aku  bergeming, menatapmu datar.
            “Kenapa lagi, Adellia?” tanyamu seperti lelah.
            Aku berbalik, giliran aku yang tidak mau melihatmu lagi. Merajuk, cemberut sejadi-jadinya. Mataku sudah sembab dan kamu malah menyebalkan sekali.
            Roda-roda kursi itu berbunyi saat kamu menggesernya ke hadapanku, lalu kamu duduk di sana. Setelah menghela napas, “Gue harus ngapain biar lo ngeralin gue pergi?”
            “Gue enggak mau lo pergi.” Lalu aku menangis lagi, terisak lagi.
            “Jangan cengeng gitu, dong, Del…”
            “Tapi kenapa harus Melbourne? Kenapa mau jadi arsitek saja harus sejauh itu? Di Indonesia juga bisa, Di… HiksHiks… Atau kalau mau ke luar negeri Singapur juga Malaysia kan, bisa? Hiks…” aku nyaris berteriak, sesunggukan. Benar-benar tidak mengerti mengapa kamu memilih pergi jauh.
            “Harusnya lo senang karena gue dapat yang lebih baik, Del…”
            “Menurut lo ninggalin gue sendiri di sini lebih baik?” Aku sudah berteriak.
            “Bukan gitu, Adellia…” Sambil menyeka air mataku, kamu mengatakannya dengan sabar, berharap aku bisa tenang. “Di sana masa depan gue mungkin bisa lebih baik.”
            “Tapi Melbourne itu jauh, Rendi… Dan gue enggak bakal punya ongkos buat ke sana.” Bantahku frustasi. Ini terlalu singkat, dan aku masih ingin melihatmu. Masih ingin menghabiskan sehari dengan melakukan hal-hal konyol denganmu. Masih ingin melewatkan malam dengan menebak rasi bintang di taman belakang rumahku bersamamu.
            “Gimana kalau ternyata otak lo enggak cukup pintar buat kuliah di sana, terus lo enggak lulus-lulus? Gimana kalau beasiswa lo diberhentiin dan uang lo habis buat bayar kuliah, terus akhirnya lo enggak punya uang untuk ongkos pulang? Gimana kalau lo keasikan main sama bule di sana, terus ngelupain gue di sini? Gimana ka…”
            “Del…” kamu menghentikan aku yang sedang meracau hebat. “Gimana kalau gue janji sama lo, gue bakal balik ke sini lagi?”
            Aku bungkam, kadang kamu suka mengeluarkan kata-kata bermantra seperti itu. Membuat aku kehilangan kata-kata apalagi membantah. Kamu menatapku lurus-lurus, lalu dengan serius, “Gue janji, gue bakal balik lagi ke sini buat nemuin lo, Adellia. Dan lo enggak perlu mikir yang aneh-aneh… Lo percaya sama gue, kan?” meyakinkanku. Aku berani bertaruh, kamu selalu berhasil melakukannya.
            Kamu tahu, aku selalu mempercayaimu. Selalu untuk semua yang kamu katakan. Tidak ada pilihan lain. Karena kamu tidak pernah mengingkari janji yang sudah kamu ucapkan. Maka tidak ada alasan untuk aku tidak mengangguk, sambil merapal do’a semoga kali ini juga benar. Dan kepada janji itu lah aku berpegang, menunggumu untuk lekas pulang. Walau entah kapan. Aku tetap percaya kamu akan datang.
***
            Aku tahu, kamu tidak akan pernah ingkar. Apalagi membiarkan aku kecewa yang sudah menunggumu untuk waktu yang panjang. Jadi, tibalah hari itu. Hari di mana kamu datang dengan menyandang gelar sarjana bersama nilai yang cukup memuaskan. Ternyata tebakanku luar biasa salah. Setelah bertahun hanya berhubungan dengan segala teknologi komunikasi jarak jauh yang semakin lama semakin canggih saja, maka hari itu berubah lah semua. Tapi, aku merasa hari itu tidak terlalu baik untuk kita. Kenapa harus hari itu?
            “Jadi gini penyambutan ala Adellia? Tanpa jemputan di bandara? Tanpa pesta penyambutan yang meriah? Mana janji lo? Payah…” Kamu membuang pandang jauh, tidak mau melihatku yang sedang… menangis. “Lo enggak senang ya, gue pulang?”
            Aku dan kamu duduk di ayunan masing-masing, masih sama dengan tempat kita yang dulu. Di taman belakang rumahku. “Sorry…” Aku bisa menerima ucapan sinis darimu, tapi ini juga masalah hati. Setelah menelan isak, “Sorry kalau gue malah nangis… Tapi gue senang kok, lo udah pulang. Beneran…” Aku mengangguk kuat-kuat, berusaha meyakinkanmu.
            Dan kamu malah hanya menatapku datar. “Terus lo berharap gue percaya sama ucapan lo dengan keadaan lo yang kayak gini?” Tanpa bisa meninggalkan nada sinismu.
            Aku menyeka air mata, “Gue bahagia kali, Di… bisa ngeliat lo lagi, nanti bisa ngabisin waktu bareng lo lagi. Tapi hari ini gue baru aja patah hati, dan rasanya sakit. Gue bingung harus gimana, lo ngertiin gue dong, Di…” Iya, baru siang itu aku putus dengan pacarku, dan rasa sedihnya tidak mungkin hilang dalam waktu beberapa jam. Aku memutar ayunanku menghadap kamu lantas menarik lengan kemejamu, membujuk agar kamu mau menatapku juga.
            “Gue enggak ngerti.” Kamu membantah, sudi menatapku namun masih dengan datar.
            Aku mengeluh. “Lo, mah gitu… enggak pernah mau ngerti kalau soal begini. Jangan bilang kalau sampai sekarang lo belum juga pacaran? Payah, tauk…”
            Kamu bergeming.
            “Lo tahu, enggak? Hampir dua tahun gue bareng dia, dua tahu, Di… huhuhuGue udah berusaha berubah jadi yang terbaik buat dia, waktu dia minta gue dulu. Tapi sekarang apa? Malah dia yang selingkuh…” Aku mengisahkannya, berharap kamu mau iba. Mengingat hal itu, aku jadi ingin menangis lagi.
            “Itu lo-nya aja yang begok…”
            “Hiks… hiks… memang… Memang gue yang begokhuhuhuu…” Seakan tidak lelah aku terisak lebih keras. Karena kamu masih saja jahat.
            “Ck, masih cengeng aja lo…” Kamu berdecak, sedikit melunak. “Udah dong, Del… Udah gede ini… “ Lalu mencoba membujukku, seperti zaman sekolah dulu, membantu aku menyeka air mata. Mendadak aku ingin menjadi gadis polos seperti waktu itu, maka akan selalu ada kamu menghiburku.
            “Setelah hati lo, lo masih mau ngorbanin waktu lo yang berharga buat nangisin dia?” Aku bisa mendengar nada tidak suka itu. Kamu menghela napas, “Segitu cintanya ya, lo sama dia?”
            Deg. Aku bungkam, tidak yakin atas jawabanku. “Diselingkuhin itu… sakit, tahu engak sih, Di…” Ya, mungkin karena itu alasannya.
            Ayunan ditahan agar tidak bergoyang, kini kita berhadapan. Aku menunduk, memainkan ujung rok selututku. Merasa sedih karena patah hati, merasa bersalah kepadamu.
            Tiba-tiba aku merasakan ada yang menyentuh daguku, lalu mengangkatnya lembut. Kamu.
            “Kalau gitu, dengerin gue…” Aku mengerjap, takjub karena kamu menatapku dengan penuh hikmat. “Mulai hari ini, gue enggak akan ningggalin lo lagi, enggak akan ngebiarin lo nangis lagi… Dan lo enggak perlu berusaha buat jadi yang terbaik atau apapun…” Kamu terdiam, menelan ludah. Aku masih menyimak. Kamu tidak pernah sekaku itu sebelumnya. “Gue janji… Asal lo… mau percayain hati lo ke gueGue janji bakal jagain lo sepenuh hati… Adellia.”
            Kamu tahu? Dulu―entah kapan, aku pernah menerka-nerka perasaanmu, mengangan-angankan adakah perasaan itu untukku. Tapi kamu tampak seperti biasa, tidak ada yang terlalu spesial. Memperlakukanku sebagai sahabat yang paling kamu sayang, namun hanya sekedar sahabat. Maka sejak itu aku berhenti berharap. Melepas rasa itu. Lalu menganggap persahabatan adalah yang terbaik untuk aku dan kamu.
            Dan saat di taman itu, kamu mengatakannya. Semacam kalimat yang pernah kuharap sekali di waktu lalu.  Aku sadar, kamu selalu akan menghiburku. Namun, aku sungguh berharap rangkaian kata-kata itu bukanlah sebatas untuk menenangkan hatiku.
            “Del?” Wajahmu pias, menungu jawabanku.
            Jadi… bukankah aku sudah pernah bilang, aku selalu mempercayaimu?
            Aku menepis tanganmu, “Kenapa baru bilang?” kataku dengan ketus. Lalu tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum, aku berputar mengayunkan ayunanku pelan. Lantas seperti anak kecil yang diberi permen agar berhenti menangis, aku malah tersenyum-senyum sendiri, padahal sebelumnya rasanya sakit sekali.
            Kamu hanya terkekeh, kemudian mengacak puncak kepalaku.
            “Beneran, deh… kenapa baru sekarang bilangnya?”
            “Enggak ada yang tahu kapan waktu yang tepat, kan?” Katamu, sok diplomatis.
            “Dih… Bilang aja enggak pernah berani…”
            Tentu saja aku yang benar. Buktinya kamu hanya bisa tersenyum lebar, memamerkan sebelah lesung pipit yang ternyata begitu kurindukan.
            “Di…”
            “Ya?”
            “Kenapa aku?”
            Ha?” Kamu hampir melongo.
            Yang ini serius aku ingin tahu. “Kenapa harus aku? Kenapa setelah kamu pergi jauh, kamu masih tetap milih aku? Kenapa bukan bule-bule di sana?”
            Setelah terdiam kamu berbalik, memandang ke arah lain. Seperti salah tingkah, kamu menggaruk tengkukmu yang entah gatal. Sudah setua itu, kamu masih saja malu-malu.
            “Di?”
            Dan kamu akhirnya menyerah. Lekat-lekat manatap wajahku yang masih sembab. “Karena… cuma kamu yang mau nawarinkan aku tumpangan payung waktu hujan waktu itu.”
***
            Kamu tahu? Betapa senangnya aku mendengar jawabanmu. Dan betapa aku menyukai foto kita yang ini.
            “Yah, foto itu lagi…”
            Aku menoleh, tahu-tahu sudah mendapati wajah bosan itu. Selalu begitu. Tersenyum lebar, aku menjawab. “Dari semua foto kita, aku paling suka yang ini.”
            “Foto pernikahan kita?”
            Menggeleng mantap, “Enggak. Tetap yang ini…”
            Foto saat kita baru memakai seragam putih abu-abu di hari pertama. Setelah menarikmu dengan paksa, setelah memohon kepada kakakku untuk memotret kita, setelah aku berlari-lari mengambil payung berwarna pink norak itu ke dalam rumah. Lagi-lagi harus dengan paksaan, aku mengatur posenya. Aku menggandeng tanganmu, sedang tanganmu yang lain mengangkat payung, memayungi kita. Aku tahu kamu tidak pernah rela, seperti biasa aku tidak peduli. Aku tersenyum lebar, dan kamu tersenyum miring sambil melirk tidak suka pada payung kita. Semenjak kita berkenalan dua tahun sebelumnya, itu juga foto aku dan kamu yang pertama.
            “Memang ada apa dengan foto ini? Aku jelek gini…” Sedikit terperangah, kamu turut duduk, lalu mengambil foto itu dari tanganku. Lantas berlagak memperhatikan foto itu lamat-lamat.
            “Sesuatu yang enggak terlihat pastinya…” Aku mengedikkan bahu lalu merebutnya kembali, menganggap kamu tidak pernah serius dengan foto ini. Seperti saat kamu menanggapi sketsa-sketsa mengagumkan milikmu.
            Kamu geleng-geleng seakan takjub, “Maksud kamu ada hantu…” lalu terkekeh. Beranjak, kamu kembali pada kesibukanmu.
            Maka aku juga kembali pada pekerjaanku yang tertunda tadi, membereskan pigura-pigura foto itu lalu mentukan akan dipajang di mana. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan tidak biasa, kemudian sosokmu yang sedang membawa kardus besar masuk sambil kesusahan dengan bawaanmu itu.
            Kamu meletakkan kardus tadi sembarangan di lantai, setelah itu membersihkan tangan dengan menepuknya. Aku memandangmu dengan tatapan bertanya.
            “Alika ke mana sih, sayang? Mainan sebanyak ini malah enggak dibersin…”
            Kelinci nakal itu, entah di mana ia sekarang. Tadi setelah melompat-lompat girang saat aku menunjukkan taman belakang yang ada ayunan, ia langsung berlari memainkannya. Walau kaki kecilnya belum terlampau sampai menyentuh tanah. Lalu beberapa saat setelah itu, ia sudah lari-lari lagi keluar sambil berteriak-teriak.
            “Enggak tahu juga. Tadi, sih, katanya mau main sama tetangga baru.” Aku mengedikkan bahu.
*****

No comments:

Post a Comment