Di suatu sudut belahan dunia, sebuah peradaban
antah-berantah, terik kebingungan pekat sekali menyingsing hari itu. Menyusup ke
dalam pori-pori sosok siapa saja yang tidak kuat tabirnya. Dua sosok tertantang,
tegak tergugu saling berlomba mengurung tanya di kepala. Tidak tahan dengan
lompatan-lompatan pertanyaan yang memasuki otaknya, satu suara memilih kalah, memecah
suasana. Suara tipikal antah-berantah, bergaung membelah terik menjadi dua.
“Apa yang kau jual?”
Dia dipanggil si Pembeli. Kini tengah berdiri di
depan sebuah toko segi empat nan sempit. Sempit sekali, pikirnya. Sampai-sampai
dia merasa ruang itu tidak cukup pantas untuk dijadikan toko, membuatnya begitu
sungkan untuk masuk ke dalam—takut akan kalah cepat merebut oksigen dengan
sosok lain. Sejenak dia hanya bungkam, lalu mulai membunuh waktu dengan
bergumam, mengerjap, lalu bergumam lagi. Terasa sedikit lama, namun dia tahu
bagaimana cara membunuh waktu. Yang dia tidak tahu adalah cara membunuh rasa ingin
tahunya pada toko itu. Napasnya ditarik dan dihempas, mencari spekulasi paling
logis mengapa dia harus berdiri di sana.
Satu-satunya sosok di dalam toko segi empat nan
sempit itu maju beberapa langkah, sekarang tepat berdiri di mulut toko, di
depan si Pembeli. Dia dipanggil si Penjual. Berdekap tangan dia menjawab, tanpa
merasa perlu mengeluarkan suara—meski ada pertanyaan yang huru-hara di dalam
otaknya—sambil mengedikkan kepala hanya melirik kepada plang yang berada di
dinding atas toko. Dengan tersenyum sinis yang tipis, selagi diam dia mengolok
sosok di depannya semacam bodoh karena tidak bisa baca.
TOKO RASA SAKIT