Thursday 12 April 2018

Terikat

Kebodohan ini
seperti akan abadi pada ku
Aku tak ingin keluar
tak akan keluar
ini begitu pas
begitu pas dengan egoku
begitu pas dengan amarahku
terikat pada kebusukanku
Maka akan kujaga
baik-baik
agar dia tak lepas
agar dia tidak pergi meninggalkan ku
seperti yang lain


(Pekanbaru, 12042018)

Thursday 15 March 2018

Where have You Been? (Extended)

Langkah-langkah yang gelisah itu, terpantul pada genangan bekas hujan, dalam mimpku tadi malam. Rasa-rasa sudah lama sekali tidak mendengar percikan itu. Sejenak aku ingin berdiam, mencuri kehangatan kenangan yang belakangan ini menggigil—entah karena apa. Mungkin karena rindu yang tak jua bermuara, atau mungkin karena hati yang masih sama-sama jengah. Lalu, seketika percikan tadi tak lagi dapat kudengar. Hanya resah yang tertinggal dalam bias genangan. Menyusul pagi yang menghapus sisa-sisa semalam.

Ada di suatu siang, aku teringat ketika titk-titik masa lalu mempertanyakan ujung jalan itu. Seakan sekumpulan prosa tengah melempari bait demi baitnya, merontokkan setiap rima: tentang kita. Mendeklarasikan bahwa mereka tak lagi punya makna. Kepada kata tercampakkan dan terlupakan, mereka mulai belajar untuk tidak merasakan apa-apa. Sedang kita hanya menatap datar. Bahkan lebih datar dari kehidupan kita sebelum ini. Tidak mengingat apa-apa, dan tidak perlu mengenang apa-apa. Kini ujung jalan itu tampak lebih jauh. Sejauh dua punggung yang saling berhadapan. Sejauh ‘kita’: penghubung yang memisahkan.

Kisah Pembeli dan Penjual

Di suatu sudut belahan dunia, sebuah peradaban antah-berantah, terik kebingungan pekat sekali menyingsing hari itu. Menyusup ke dalam pori-pori sosok siapa saja yang tidak kuat tabirnya. Dua sosok tertantang, tegak tergugu saling berlomba mengurung tanya di kepala. Tidak tahan dengan lompatan-lompatan pertanyaan yang memasuki otaknya, satu suara memilih kalah, memecah suasana. Suara tipikal antah-berantah, bergaung membelah terik menjadi dua.

“Apa yang kau jual?”

Dia dipanggil si Pembeli. Kini tengah berdiri di depan sebuah toko segi empat nan sempit. Sempit sekali, pikirnya. Sampai-sampai dia merasa ruang itu tidak cukup pantas untuk dijadikan toko, membuatnya begitu sungkan untuk masuk ke dalam—takut akan kalah cepat merebut oksigen dengan sosok lain. Sejenak dia hanya bungkam, lalu mulai membunuh waktu dengan bergumam, mengerjap, lalu bergumam lagi. Terasa sedikit lama, namun dia tahu bagaimana cara membunuh waktu. Yang dia tidak tahu adalah cara membunuh rasa ingin tahunya pada toko itu. Napasnya ditarik dan dihempas, mencari spekulasi paling logis mengapa dia harus berdiri di sana.

Satu-satunya sosok di dalam toko segi empat nan sempit itu maju beberapa langkah, sekarang tepat berdiri di mulut toko, di depan si Pembeli. Dia dipanggil si Penjual. Berdekap tangan dia menjawab, tanpa merasa perlu mengeluarkan suara—meski ada pertanyaan yang huru-hara di dalam otaknya—sambil mengedikkan kepala hanya melirik kepada plang yang berada di dinding atas toko. Dengan tersenyum sinis yang tipis, selagi diam dia mengolok sosok di depannya semacam bodoh karena tidak bisa baca.

TOKO RASA SAKIT