Monday 15 December 2014

Tentang Cinta



Keheningan berhasil memecah suasana ruangan, puluhan orang yang ada di dalam bak terkena mantra sihir dari sang MC setelah sesaat tadi memanggil namaku untuk maju ke atas podium. Aku menarik napas dalam-dalam, suasana seperti ini malah lebih menakutkan ketimbang ada yang bertepuk tangan. Tidak ada yang aku siapkan untuk sambutan hari ini, terlebih karena aku tidak pernah membayangkan akan berdiri di atas podium yang dibanggakan oleh orang-orang yang ada di hadapanku sekarang. Tadi, pada saat pembawa acara memanggil namaku untuk kedua kalinya―sebab pada panggilan pertama aku merasa tidak mengenal nama itu, serius―aku tidak yakin tujuanku beranjak dari tempat duduk adalah menuju podium ini. Aku tidak mau mengambil risiko, mungkin saja ada kesalahan. Namun, setelah sentakan dari teman sebelahku dan riuh tepuk tangan yang keterlaluan itu menyadarkan tentang satu kebenaran, aku merasa tidak ada pilihan. Seketika podium ini berubah menjadi bagian yang menegangkan serta… mengharukan.

Aku menatap lurus ke depan, ke segala penjuru yang sedang mewanti-wanti kalau-kalau aku tidak tahu cara memakai microphone yang ada di depan mulutku dengan baik dan benar. Aku maklum, rasa haru membuat aku kehilangan kata-kata lantas tidak bisa langsung bicara. Hari ini merupakan hari paling bersejarah sepanjang hidupku, momen yang harus dikristalkan lalu disimpan dalam brangkas kehidupan. Satu dari tumpukan daftar hari yang aku nantikan. Hari penting. Ada yang membuncah, kuat-kuat aku menahan genangan di mataku agar tidak tumpah, tanggul itu mesti bertahan sampai kalimat sambutan ini keluar. Kini semua mata tertuju padaku, entah mereka berharap aku berubah jadi putri Indonesia, aku juga kurang tahu. Yang jelas, mereka ingin ada yang terdengar dari microphone itu. Hanya saja, fokusku kian pecah.

Aku memandang jauh ke belakang, tepat pada pintu masuk di ujung ruangan. Sudah kuputuskan tidak ada sambutan olehku sebelum jawaban dari daun pintu itu dapat menenangkanku. Aku yakin―entah masih jauh atau sudah dekat―mereka akan datang. Insting cinta jarang sekali gagal.

Segelas Masa



Kubawakan untukmu segelas masa, yang kau pesan
lewat surat lima tahun lalu
kutemukan ia menggigil di pelupuk mata seseorang
sore ini, memberitahuku bahwa kau
ditemukan mati tenggelam oleh kehausan
kemarin lalu
di ceruk jemu

(Pekanbaru, 2014)

Sunday 2 November 2014

Kereta Kosong



Lalu kereta itu bergerak
Mencari ujung yang diimpikan
Tadi malam: oleh penumpang
Tidak ada yang sama
Namun karat rel bersuara
Decitannya sebagai bayaran
Bukan sogokan
Hanya menelan kematian

Selalu Begitu


Selalu begitu. Bahkan kaset rusak bisa jadi lebih baik. Mungkin. Hal-hal seperti ini selalu lebih menakutkan daripada seharusnya. Jatuh pada sesuatu yang sama, tanpa bisa kau cegah, apalagi untuk sempat bertanya, “maukah?” Ini ide gila.

Di sini—di dunia “Selalu Begitu”, nasihat tidak pernah punya tempat. Indera pendengaran tidak pernah tahu apa tugasnya. Meendadak amnesia. Entah di mana letak jalan pulang, sesungguhnya tidak ada yang benar-benar mencari. Karena, terkadang pemikiranmu hanya mampu mengantar sebatas pintu pertanyaan, “haruskah pindah?” Dan, tidak ada yang berani meletakkan taruhan untuk ini.

Monday 27 October 2014

Euforia #3

Bagus. Sekarang kau benar-benar terjebak. Haha, siapa yang ingin tertawa, silakan! Tidak dilarang. Memang bisa apa lagi? Ada pilihan? Percayalah! Bahkan menertawakan kehidupan tidak akan mampu membuatmu merasa bisa diselamatkan. Kubangan ini benar-benar kejam, berapa kali harus kuperingatkan. Ini buruk. Kini semua terasa bagai delusi, sering terabaikan namun malah membuat pesakitan. Padahal, banyak hal yang dapat kau perbuat lebih dari merasa terperangkap, merasa butuh ditopang, jika kau tahu. Namun, setiap kali kau ingin mendongak saja, kau merasa seperti akan jatuh. Beranggapan tiupan angin di depan itu jauh lebih kuat daripada kakimu yang bertumpu pada bumi yang sudah lama kau kenali. Ini tidak akan berhasil. Sebuah pertolongan cuma-cuma tidak ditawarkan di sini. Mahal sekali harganya. Kau sungguh kacau, kawan. Inilah sari dari bagian hidup yang kecil itu. Tidak ada yang pernah tahu, selain Yang Maha Tahu. Bagian yang kau tunggu-tunggu, aku rasa. Kau pernah membayangkannya, bukan? Saat itu kau tidak percaya, tapi di sini kau sekarang. Memenangkan hipotesa, sekaligus terjerumus pada persepsi sendiri. Hebat. Kau memang pintar menebak, tapi, kenapa harus yang ini? Kenapa euforia lagi? Aku tidak habis pikir, kau juga begitu.

(Pekanbaru, 27102014)

Friday 24 October 2014

Janji

Ini masih tentang hari kemarin, lalu kemarinnya lagi. Bukankah terasa seperti bayangan? Maka hari ini adalah biasnya, pancaran dari setiap do'a yang kau bisikkan. Dongeng tentang masa depan. Sejujurnya, kau tidak pernah benar-benar bisa merangkai. Kau tahu, beberapa keping puzzle tidak ada dalam genggamanmu. Sebabnya, kau coba mengintip dari tetangga. Hari sebelumnya.
Sejujurnya, ini hanya pengantar, bukan?

Ada yang ingin kau bahagiakan, di ratapan do'a tadi, pada dongeng masa depan itu. Kau tidak tahu, tapi kau tahu. Aku juga begitu. Waktu benar-benar berhasil menakut-nakuti kita. Yah, memang dia tidak pernah bermain-main. Dia selalu menepati janji. Ah, ya, mengapa tak kau rapalkan saja sebagai janji? Janji akan membahagiakan mereka.

Ingat! Ini masih tentang kemarin, lalu kemarinnya lagi. Kau hanya butuh percaya. Karena ia akan menuntunmu ke jalan yang seharusnya, jika kau percaya.

"Tolong lihatkan, apakah waktu masih bersedia menemaniku, besama-sama menepati janji."

Percaya

Kembali tertanya pada kata yang enggan bicara, enggan ditata, hanya mau semaunya: Mengapa?

Pertanyaan bukan berarti aku meragu, kecewa, atau yang dianggap tidak searah. Hanya saja, pengertian tidak bisa langsung kau dapat cuma dengan menatap lorong waktu. Sok tahu. Ada yang perlu dikuatkan dengan jawaban itu, agar ia tidak berontak, hingga tenang. Tidak ada yang bisa mundur, sebab itu ia kehilangan.

Sulitkah untuk meyakinkan? Diyakinkan? Untuk yang satu ini, bukan kata yang berhak menuangkan ke dalam penyerahan, melainkan ia yang pantas menyimpan penangguhan. Sisa-sisa hari kemarin menitip pesan-pesan yang tak terjamah siapa saja. Belum, mungkin. Ia masih takut berserah, ia masih takut percaya.

"Tolong simpankan untuk hari esok." Pintanya.
Ya sudahlah. Semoga.

Karena hati percaya kepada apa yang ia percayai.

Wednesday 8 October 2014

Saturday Night #FF2in1

Di sini aku sekarang, di hadapan pintu lebar berwarna coklat tua, belum bisa melakukan apa-apa. Angin sabtu mala mini tidak terlalu dingin, tapi aku menggigil. Kali ini aku memahami satu hal, tidak ada perjuangan yang mudah untuk sesuatu yang berharga. Ya, tidak mudah memang mendapatkan hati Tiara, terlebih hati kedua orangtuanya.

“Aku capek backstreet terus…” kala itu Tiara mengungkapkannya, di malam dua hari lalu saat aku meneleponnya seperti biasa. Aku menghela napas panjang.

Di sini aku sekarang, mencoba untuk memperjuangkan cinta yang aku anggap benar. Aku tidak bisa menghilangkan bayangan perempuan yang aku cintai dengan segenap hati tersebut. Tiara pernah bilang, Papanya melarangnya menjalin hubungan yang lelaki yang tidak jelas.

Friday 26 September 2014

Risalah Rasa - Chapter 2

Everything Has Changed 

Bagas memandang arloji di tangan kirinya dengan gelisah demi mengakumulasi 22 menit yang sudah melewati waktu yang sudah dijanjikan. Espresso di cangkirnya hanya tersisa ampas hitam saja, ia merasa membutuhkan kafein yang lebih untuk menenangkan dirinya, atau paling tidak untuk membuat Bagas lebih sabar menunggu. Setelah meninggalkan kantor lebih cepat dari yang seharusnya, Bagas terburu-buru menuju De Café, sama sekali tidak berniat datang terlambat. Alhasil ia sampai 10 menit sebelum waktunya, dan sampai sekarang seseorang yang ia tunggu belum juga muncul. Bagas mendorong tubuhnya ke belakang dengan kasar, semakin tidak sabar. 

Saat Bagas baru ingin mengangkat tangan untuk memesan one shot espresso lagi, terdengar bunyi denting dari arah depan café, pintu berbahan kayu jati itu terbuka. Untuk kesekian kalinya Bagas menoleh, kembali ia merasakan pegal yang sudah membebani lehernya dari tadi. Bagas tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap mendengar denting pintu itu, ia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menoleh ke kiri. Ke arah pintu yang sudah membuat Bagas memerlukan kafein lebih banyak hari ini. Namun untuk yang satu ini, akhirnya ia bisa bernapas lega. Benar-benar lega. Dari sudut ruangan yang luas itu, Bagas  mendapati seraut wajah yang sudah dinantinya sejak tadi, atau bahkan sejak beberapa tahun belakangan. Bagas sudah tidak bisa menghitung. Layaknya ini adalah sebuah penantian panjang dalam hidupnya.

Euforia #2

Euforia. Benar-benar gila. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada di sana. Tidak juga kau, sebabnya tak perlu mencoba untuk bepura-pura. Lama, baru akan kau tersadar bahwa itu hanya sekadar fatamorgana yang kau ciptakan. Dunia di mana kebisuan dan kepalsuan tidak berteman. Tunggal. Maka, saat kau temukan waktu untuk menghindar, berlarilah! Berlarilah sejauh yang kau bisa! Sekuat tenaga. Sebelum kau terbentur pada langkah yang tak sanggup lagi menahan untuk tidak menoleh ke belakang. Selanjutnya derap hati akan mendera, terdiam, kemudian balik kanan. Dan jika hari itu ada, saat kau tiba di sana, yang tertinggal hanyalah serpihan fatamorgana. Saja. Cukup? Kau tersadar. Sendirian. Kehilangan. Bukan itu yang tadi kau khayalkan. Padahal sudah kusuntikkan sapaan akrab itu di awal, bukan? Sayang, kau seperti tak ingin mendengar. Kini, kebohongan yang harus membayar. Pelan-pelan. Tidak bisa tidak. Kau tahu kenapa? Karena… yang kutakutkan… akhirnya kejadian. Bukan lagi terpenjara dalam jaring mimpi. Ia bebas, berhasil melarikan diri. Keluar. Konyol sekali. Euforia. Kali ini, kau keterlaluan, lagi.

(Pekanbaru, 26092014)

Thursday 25 September 2014

Euforia

Euforia. Ketika kau tenggelam di dalamnya, jangan terlalu berharap untuk dapat keluar dari sana. Karena aku sendiri meragu, akan adanya jalan keluar itu. Karena waktu yang berlalu, tak pernah sudi untuk menunggu. Tersesat. Tak jarang cahaya yang menyilaukan tega membawamu pada kebenaran yang salah. Di mana saat kau merasa benar, di waktu yang sama saat kau memberontak ingin disalahkan. Tidak perlu ada yang dipedulikan, selain… selain, ya, selain apa yang kau pikir kau butuhkan. Tunggu, apa kau berpikir seperti itu? Lagi dan… entah kapan berhenti. Kau merasa mengerti apa yang tidak pernah kau benar-benar pahami. Apa yang terjadi di sana? Siapa yang mengerti? Sudahlah, lupakan! Harapan bahkan hanya berani mengintip dari bayangan. Ketakutan terkadang membuatmu kering pertimbangan. Sebelum ada jaminan, yah, mungkin begitu. Mungkin… benar seperti itu. Aku bisa mengerti sekarang. Euforia. Entah apa yang terjadi di sana.

(Pekanbaru, 25092014)
Euforia?

Risalah Rasa - Chapter 1

Regret

Bagas tidak ingat bagaimana ia bisa sampai duduk di Telaga Senja, tahu-tahu di penghujung sore itu ia sudah di sana, tercenung sambil memandang jauh ujung dunia bersama satu-satunya orang yang ingin segera ia temui saat ini. Bagaimana bisa? Tanyanya tak bicara. Sore itu tampak terlalu tenang untuk dinikmati dengan kesunyian, Bagas mendapati banyak hal yang harus dan akan ia utarakan. Hanya saja, Bagas tidak tahu harus mulai dari mana semua itu.

“Kamu ingat kapan terakhir kali kita ke sini?”

Bagas menoleh, pertanyaan itu yang malah membenturnya duluan, seolah memaksa ia memundurkan ingatannya untuk menemui waktu yang telah lalu. Bagas tidak pernah lupa untuk mengamankan setiap kenangan dari tempat ini. Di Telaga Senja, seonggok kenangan yang memiliki ruangnya sendiri, selalu tersimpan di tempat yang sama dan tidak akan berubah. Begitu yang Bagas yakini. Lalu, jika ia tahu jawabannya, mengapa tenggorokannya tidak kunjung mengeluarkan suara? 

Wednesday 24 September 2014

Canggung

Canggung. Seperti saat aku menulis kalimat pertama di halaman ini. Lagi. Setelah sekian lama tidak melakukannya, karena ada alasan yang jelas―mungkin nanti akan kuceritakan. Mungkin.

Untuk beberapa saat waktu akan membeku, menyerap segenap rasa yang tertancap entah bagaimana bisa. Lalu, ketika waktu tadi telah dapat melebur, kita baru sadar bahwa ada rongga yang tak terjamah.

Canggung. Entah bagaimana bisa, begitu jadinya. Pada suatu masa ia ada, membentuk serangkaian makna resah. Terkadang ragu sudi menyapa, akan tetapi tak ada yang sanggup membaca. Dalam gundah, hati hanya bisa tertanya. Mengapa?
Canggung.


(Pekanbaru, 24092014)

Monday 9 June 2014

Pulang

Saat kau menemukan dirimu hanya butuh kembali, maka pulanglah!
Saat rindu tak membutuhkan alasan apa-apa, maka pulanglah!
Saat kau lelah memuaskan ego semata, maka pulanglah!
Saat kata tak lagi punya makna, maka pulanglah!
Saat perjalanan panjang hanya membawamu pada tanya, maka pulanglah!
 Saat lelap malah mengantarmu pada rasa bersalah, maka pulanglah!
Saat luka mampu mengoyak hati tanpa darah, maka pulanglah!
Saat kaki-kaki itu enggan berkhianat lagi, maka pulanglah!
Saat kepercayaan melepasmu tanpa pesan juga titah, maka pulanglah!

Sunday 25 May 2014

Brave and Sepatu

Hiii, I’m back agaiiin. This time, I wanna try to irritate you who have the kindness to read my blog, with writing this post in English. Well well, keep calm and get habit.

In this random post, I want to discussed about the song which is some days fill in my playlist. Yup, they are Brave by Sara Bareilles and Sepatu by Tulus. For your information, the song which I love or stand in my playlist line more than three-days, usually that song has a sense itself. So also with these two song. The lyrics. I was falling in love with their lyrics.

The lyrics of Brave by Sara Bareilles was telling about the power of a brave. Basically, everybody can be amazing. We just need to let the words fall out from our tongue. And knowing what happen furthermore will be the best result. We can be what we want. Essentially like that. I like what the meaning of there. I was made to taste like pile up with its official video. Where the official video contained with people were dancing. There are a man with a bloated body was dancing in a restaurant, a grandfather was dancing in Gym, a man with long hair was dancing in the middle of the mall, men and women were dancing in the streets, Sara was singing while dancing in the streets too, and the other. Everyone was dancing.  Everyone can exploded what they wanna say. Part of Brave song the most I love is…

Friday 23 May 2014

Janji Tiga Tahun Lalu

Beberapa hari yang lalu, facebook saya kedatangan notification dari salah satu teman SMA yang memberi komentar di salah satu posting di grup. Setelah saya baca, intinya dia pengin ngumpul lagi, ketemu lagi. Kangen. Saya memilih tidak member tangganggapan juga, walaupun merasakan hal yang sama. Entah kenapa. Selang dua atau tiga hari berikutnya, ada yang menanggapi dua orang. Kemudian, saya jadi kepikiran, itu dia komen di postingan yang mana, ya? Kok notif-nya masuk, perasaan aku jarang nimbrung. Seingat saya begitu. Jadilah saya memeriksa pemberitahuan itu kembali, dan ternyata… itu postingan saya sendiri. Begini isinya…

Pasir-pasir itu Berbicara

Pasir-pasir itu berbicara
Pada sekawanan ombak yang menggoda
Mengajaknya bercerita
Menariknya berpangku basah
Bersama-sama mengoyak raga
Dalam  gelung tak berujung, bisiknya mengapung:
Sebentar lagi senja berderap
Pulanglah ke lumbung lelap!

(Pekanbaru, 2014)



Wednesday 21 May 2014

Jejak Bisu

Kata lamat-lamat terpejam
Selamat tidur, pamitnya
Hanya sunyi yang menyaut
Meragu pada pintu yang hampir menutup
Menyisa pada rongga tanpa udara
Entah itu satu atau dua
Bayang tak mau bicara
Jera, cercanya

Sebingkai waktu dan napas dirajam
Kaki mereka terluka
Oleh kebohongan kaca
Barangkali lupa mengunci jendela
Berlari-lari mereka dalam siluet
Saling tangkap, saling dekap
Mungkin sudah mati rasa
Lalu pecah

Monday 19 May 2014

Random Conversation (again)

Hey, do you remember about random conversation that I’ve ever made? Ah, it has been so long I’m not making it. Latest is two years ago, had long isn’t it? And this time, I wanna make it again, but with a little bit differ. Yup, I write it in English with a mess.  Well, feel free to enjoy it! :p

May 19, 2014
M(e): Hey, why do you seems like that?
Me: What?
M(e): I guess there’s something wrong with your face. No, no. Indeed there is something wrong.
Me: You smartass!
M(e): Yeah. So, what happened?
Me: You won’t understand it.
M(e): Oh, of course. Of course I'll understand. I was you.
Me: Shut up!
M(e): Okay, let me guess! What is it about…?
Me: Hey, can you stop it?

Panggilan di Suatu Subuh

Rasanya sudah lama sekali saya tidak bertemu halaman kosong ini, mengisinya kembali. Sepuluh hari. Lama sekali.

Subuh ini, saya mendapati diri dirundung rasa bersalah, seperti ingin menangis rasanya. Tidak hanya rasa bersalah pada sang Maha Pencipta, melainkan juga diri saya sendiri. Sebuah pengkhianatan diri pada hati. Rasanya sakit. Bukan karena apa yang saya lakukan terlalu keterlaluan kali ini, bukan. Tapi, karena ini sudah berulang kali terjadi, membuat saya nyaris tidak sudi memberi maaf kembali. Saya hanya lelah, lelah menghadapinya. Saya hanya kecewa, kecewa pada sebagian diri saya. Mungkinkah ini sudah jalan-Nya? Entahlah, semoga. Biarkan yang berhak yang menjawab. Dan pada akhirnya, maaf itu selalu ada.

Friday 9 May 2014

Dalam Biru

Kurentang tabir kenangan lebar-lebar
Seulas Bumi memberengut apa adanya
Hati puas demi jauh tak mengenal batas
Akan kurajut pinggiranya hingga dua
Bukan rela, apalagi marah
Hanya saja bayangan di sisimu menyerah

Lamat-lamat cinta menyebrang lautan masa
Berkelana untuk mencari senja pilihanya
Semburat jingga yang juga memilihnya
Sebuah rindu tabu, namun menabung keliru
Tidak ada yang sanggup memberitahu
Bahwa mati tak mampu lagi membunuh jemu

Lagi dan Lagi

Akhir-akhir ini saya merasa banyak sekali kekurangan, yah, bukan berarti selama ini merasa sudah berlebih atau bagaimana. Hanya saja, perasaan kurang yang belakangan menghinggapi saya ini membawa pada satu pemikiran: ternyata begitu banyak celah yang membungkus saya dan perlu diperbaiki. Tidak tangung-tanggung, membuat saya merasa menjadi begitu kecil. Sebelumnya, perlu dicamkan kekurangan ataupun kelebihan yang saya ceritakan bukanlah tentang materi, melainkan sesuatu yang ada pada diri saya.

Kesadaran yang benar adalah pemahaman yang membuatmu ingin berubah menjadi lebih baik. Mungkin begitu hakikatnya. Dan satu pemikiran yang saya sebut tadi, menyadarkan saya bahwa sebenarnya masih banyak yang harus saya pelajari guna meningkatkan mutu diri. Banyak ilmu yang masih dangkal saya pahami, atau bahkan ada yang belum sempat saya ketahui keberadaannya. Apakah itu sebuah keharusan? Mengetahui banyak hal. Entahlah, yang saya tahu, kita diperintahkan untuk senantiasa menuntut ilmu. Ya, belajar. Lagi dan lagi. Tahap kehidupan yang harus dibarengi dengan sebuah komitmen, juga kesungguhan hati yang ikhlas.

Tuesday 6 May 2014

Proposal and Mid Test Vs #BulanNarasi

Hai, penulis pemberani!
Well, believe it or not, ini progress pertama yang saya buat. Uh! Bagaimana lagi, seperti judul di atas, konsentrasi saya bulan ini tengah terbagi tiga―antara tuntutan proposal penelitian, mid test yang tidak bisa dihindari, dan deadline #BulanNarasi. Ketiga bergumal di otak saya, kompleks, lebih-lebih dari cinta segitiga biasa.

Proposal penelitian S1 ini bagian dari masa depan saya, insya Allah. Sulit sekali untuk tidak mengacuhkannya. Bahkan sempat terjadi kegalauan sebelum ini, untuk memilih proposal atau bulan narasi. Dan akhirnya, saya tidak bisa melepas keduanya. Ditambah lagi dengan musim mid test yang sedang kampus, yang ini nilai-nilai saya taruhannya. Karenanya, bulan narasi harus rela sedikit terlupakan. Sebab dua pengalihan tersebut, alhasil, begini lah saya sekarang―masih jalan di tempat. Calon novel saya belum menunjukkan perubahan yang signifikan.

Monday 28 April 2014

Penulis Pemberani

Hai, Penulis pemberani!
Saya mendapat panggilan itu pasca mengirim sinopsis calon-novel  saya untuk mengikuti kompetisi menulis #BulanNarasi yang diadakan oleh NulisBuku dan PlotPoint. Bukan hanya saya, melainkan ratusan penulis lain yang mengikuti kompetisi itu juga disebut: Penulis pemberani. Pasalnya, lomba menulis tersebut bukan lomba biasa. Mekanisme perlombaan adalah, kami (peserta) harus bisa menyelesaikan satu novel dalam waktu satu bulan. Satu bulan! Selain harus menyelesaikan novel masing-masing, setiap peserta juga harus membuat writing progress di sini. Tidakkah itu terdengar sangat menantang? 

Setiap kompetisi tentu ada reward yang sudah menanti untuk seorang pemenang. Kali ini ganjaran untuk karya terbaik adalah akan diterbitkan oleh PlotPoint. Hal yang paling dinanti-nanti oleh seorang penulis tentunya, di mana nantinya mereka dapat melihat buku hasil kerja keras mereka dapat bertengger di rak-rak toko buku yang tersebar di Indonesia. Membahagiakan sekaligus mengharukan. Tidak hanya untuk satu karya terbaik yang diberikan reward, ada juga dua naskah favorit akan dihadiahi tablet pc. Yang ini juga terdengar menggiurkan.

Thursday 24 April 2014

One and Only

Terserah kau mau menganggapku kurang waras, muka tembok, tidak punya telinga, atau apapun semacamnya, aku bisa terima. Lebih tepatnya tidak dapat menolak. Aku pun tidak bisa menolong diriku sendiri. Kau seperti telah mematikan seluruh daya kontrolku, kemudian aku hanya boleh berpusat padamu. Namun, setiap aku melihat kepadamu, kau selalu menatapku hanya sekilas lalu. Apa salahnya aku? Apa kurangnya aku?

“Pulanglah! Harus berapa kali aku bilang, aku tidak mau pergi denganmu.”

Lagi-lagi jawabanmu mengoyak harapanku. Malam itu, bermodal martabak mesir kesukaanmu, aku ingin mengajakmu keluar. Jalan-jalan saja, cari angin sambil keliling kampung. Tapi penolakan itu seperti tak bosan menamparku.

Tuesday 22 April 2014

Di Antara Dua

Jalan setapak mengoyak malam
Kiri dan kanan pisah tanpa batas
Lepas: hanya saja merekat
Jerat: namun tak sesat
Siapa saja, pegang kuat-kuat

Ruas-ruas menyuruh diam
Jika ingin pulang: tidak ada yang boleh bermantra
Apalagi meringis nyanyian alang
Bisa-bisa ada yang berang
Paginya teman, nantinya sudah tawan

Wednesday 16 April 2014

Sangkar dan Harapan

Sangkar:
Masuklah ke dalam
Akan aman kau dari ketakutan
Sendawa langit terlalu berbahaya
Kau hanya sebatang ringkih jika diterpa
Tidak punya pelana atau duri pengundang luka
Hei, kau yang di sana
Mendengarkah?

Harapan:
Wahai kau, rongga sempit
Jangan terlalu banyak bicara
Mengganggu nyanyian angin saja
Rayuanmu tidak akan mempan
Sedang kawanan burung enggan dikurung
Aku bisa menjelma peluru, takkan melepuh
Asal kau tahu, aku ini tangguh

Tawakal

In KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) tawakal is self-defenceless at God, or believe wholeheartedly at God. That is only a theory which is we know. The real tawakal not only about what the meaning is, but how to comprehend it. IMO.
If we'd trying strongly, tawakal and go home.
If we'd praying truly, tawakal and go home.
May Allah give us a best present. It could be answered, or not. But, believe that is a best for. Although, it hard to acceptable. We just need to keep believing.

Sincerely

Yuni Andriany


Tuesday 15 April 2014

Scale of Happiness

Perempuan itu sedang bercerita tentang bagaimana sebuah keindahan dilukiskan dengan kata. Mengagumi Pantai Nusa Dua dari sudut The Bay Bali adalah cara yang paling tepat, tesis-nya. Sebab malam ini sedang berlangsung sebuah drama, penampilan dari deburan ombak yang  saling berkejaran terbawa angin darat dengan alunan musik Bali yang khas sebagai pengiring, pasir putih yang disoroti lampu-lampu temaram dari pohon adalah salah satu tokoh utama. Pemicu suasana megah, begitu katanya. Aku tidak terlalu mengerti bagaimana proses analogi itu bisa terjadi, keahlianku tidak pernah menjangkaunya. Namun, satu hal yang aku tahu. Bagiku perempuan yang sedang berkisah itulah estetika paling nyata di sini, duduk di hadapanku dengan memesona tanpa perlu analogi apapun. Florenza Orlin selalu tampak bersinar tanpa perlu cahaya.

“Jadi, apa misimu membawaku ke sini?” Pertanyaan itu tiba-tiba menodongku, memaksaku untuk menyimpan keterpanaan tadi. Dengan mata yang mengerjap-ngerjap penasaran, Flo menantiku dengan sebuah jawaban. Jawaban yang paling mengejutkan untuknya.

Just have dinner, aren’t we?” Jawabku sekenanya.

“Cuma makan malam, Bay?” Flo seperti tidak percaya, “Kita masih di pasir putih Pirates Bay dan kamu bilang cuma makan malam. Apa nggak terlalu manis?” lanjutnya sedikit berlebihan.

Thursday 10 April 2014

Memaksa: Kebiasaan yang Baik

Kali ini saya mau berbagi pemahaman. Bukan pemahaman dari saya sendiri, melainkan dari orang lain. Lebih tepatnya pengalaman dari orang lain. Hari itu sudah lama terlewat sebenarnya, yaitu waktu saya mengikuti sebuah seminar di kampus. Saya tidak ingat pasti tema dari seminar tersebut, tapi inti dari acara itu adalah ‘betapa pentingnya English skill untuk masa depan’. Saat itu saya memang lagi keranjingan mengikuti seminar di mana-mana. Di seminar tersebut, salah satu narasumber bertanya kepada kami audiens, “Bagaimana melawan rasa malas?” Tidak ada jawaban terdengar, maka narasumber tersebut dengan pasrah menjawab pertanyaannya sendiri. “Paksa.” Beberapa terkesima.

Something New

Hey, it seems like something new?
Sesuatu yang baru selalu identik dengan perbedaan. Semacam metamorphosis. Yup, hal itu lah yang terjadi pada blog saya. Akhirnya. ‘Dear World: Notes of Me’ ber-metamorphosis menjadi ‘THE JOURNAL'. Ini untuk pertama kalinya nama blog yang saya ubah, kalau alamat dari blog ini sendiri sudah beberapa kali. Tidak hanya nama dan deskripsi blog yang saya ganti, beberapa layout dan widget juga saya rombak, meski tidak terlalu banyak dan berubah menjadi sangat bagus. Setidaknya, saya pribadi yang melihatnya merasa lebih baik. Sebenarnya tidak ada alasan khusus. Saya hanya ingin melihat sebuah tampilan yang baru, dan barangkali juga sebuah nama yang lebih memiliki ‘makna’. Begitu saja.

Thursday 3 April 2014

Everyone Leaves

This is the first time I write my post in English, but actually, I’m not even good. Is it bad? Well, don’t punish me if I throw a lot of misstated. Sorry, can’t help it. As learn by error. I’m just to try to improve my English ability. And, here I am―with my first English post. Is it too late? I know, I know. When almost everybody in this world talks in English, I’m still here, with my mistakes that overload. Everyone leaves me. But, I’ve been trying. And, however, the first debut is the first debut.

Tuesday 1 April 2014

Surat untuk Mantan

Untukmu, pemilik rindu.
Apa kabar hari-harimu? Apakah masih sibuk dan terlalu mengganggu? Asal kamu tahu, aku masih menolak untuk mengerti masalahmu yang itu. Maaf. Dan, apa kamu masih belum menganggapnya bukan sebuah masalah? Sudah, lupakan! Kamu tahu apa yang kamu lakukan, aku masih seyakin dulu. Baiklah, aku tidak bisa menahan untuk tidak menanyakannya. Bagaimana kabarmu? Apakah sudah berubah? Sejujurnya, aku tidak berharap banyak. Aku tahu, kamu mampu mengatakan ‘baik-baik saja’ jika memang harus mengatakannya, kamu hanya akan ‘pindah’ jika telah menemukan alasannya. Hanya saja, ada perasaan yang menggerutuku jika hal ini tidak kusampaikan padamu. Tentang kita dan masa lalu. Surat ini akan memberitahu.

Untukmu, yang dirindu.
Kamu tahu, waktu merupakan sahabat paling kejam? Di satu sisi dia setia menemenamiku merajut penantian, tapi di sisi lain, diam-diam dia mengikis pertahananku hingga jatuh berdebam, lalu karam. Yang akhirnya, jeraku tak mampu lagi diredam. Jangan salah sangka, aku mengatakan ini bukan untuk menyalahkannya. Bukan juga untuk mencari siapa yang salah. Pada dasarnya kita sama-sama tahu, pilihanlah yang membuat kita satu sama lain terluka. Aku memilih melepaskan, sedang kamu menawarkan kembali sebuah pertahanan. Kamu tahu, aku bisa. Aku tahu, saat itu aku dan kamu mungkin akan lebih terluka. Dan kita tidak pernah menyangka, menyerah mampu mengantarkan kita menemukan sebuah jalan. Yaitu jalan yang pada awalnya  kita tempuh bersama, namun ternyata tidak membawa kita pada tujuan yang serupa. Aku dan kamu memiliki ujung jalan yang terpisah. Aku tidak menganggapnya sebagai kesalahan, aku harap kamu juga paham.

Monday 31 March 2014

Jalan yang Berubah

Kemarin aku masih di ujung Barat
Tersenyum dan termangu
Terjebak bersama langit yang bersemu
Malu-malu
Bungkam mengalahkan pilar aksara
Tak perlu kami saling berucap
Cukup dengan bersitatap
Peluh dan rindu mengalir tanpa syarat

Hari ini aku: entah di mana
Tak biasa angin datang dari sana
Dengan kursi-kursi yang tegak pincang
Dengan meja-meja yang tersusun sumbang
Seperti kenangan yang baru dibuang
Kudengar mereka saling berbisik
Diam-diam mengharap iba sang pemilik
Ingin aku turut mengusik
Turut berbisik: yang tak terpakai takkan lagi dilirik

Thursday 27 March 2014

Dalam Cermin

Tampak langit malam yang kotor
Berserakan berpasang-pasang bintang
Saling pamer: siapa paling terang
Saling koar: siapa yang punya kekuatan
Lampu-lampu kota meredup
Ketakutan
Angin heboh bersorak
Daun sibuk menyeru
Jagoan dan pecundang kerepotan
Cahaya kalem saja
Mengunci suara juga aksara
Diam

(Pekanbaru, 2014)

Wednesday 26 March 2014

Filosofi: THE JOURNAL

Apa judulnya terlalu berat?
THE JOURNAL. Saya ingin bercerita sedikit tentang dia―buku pertama saya. Buku di sini bukan novel ataupun buku kumpulan cerpen yang saya idamkan itu, melainkan buku catatan yang saya buat sendiri. FYI, it’s the best handicraft I’ve ever made. Cool. Hal yang melatarbelakangi saya membuat THE JOURNAL adalah: sudah lama ingin membeli buku catatan seperti ini tapi kantong saya tidak siap untuk memenuhinya. Maka, tiga hari yang lalu saya kepikiran untuk membuatnya sendiri. Dan, inilah hasilnya…

His Eyes #FF Nulisbuku

Tolong jelaskan padaku apa yang salah pada matanya! Atau… aku?
Biarkan aku menganggapnya sebagai sihir, karena aku benar-benar tidak ada ide. Bagaimana tidak? Aku masih ingat betul bagaimana aku mengemis kepada Rere agar tidak membawaku ke salah satu tempat yang termasuk dalam daftar danger area-ku: Perpustakaan. Dan itu tidak berhasil. Raungan dan sogokan ice cream tidak mempan pada Rere yang sedang semangat membabi buta mengerjakan tugas akhir kuliah. Maka aku hanya bisa pasrah.

Sunday 23 March 2014

Rindu Menangis

Kaki-kaki melangkah jauh
Menjemput semesta
Di sampingnya terduduk cakrawala
Lalu berhenti
Katanya: ingin ikut mendengarkan cerita
Apa saja
Menangislah

Langkah-langkah menggema rapuh
Ia kehilangan sesuatu
Ada pencuri yang rindu dihukum
Mungkin dia lupa kepada dosa dan kematian
Mungkin esok telah berbisik sebuah rahasia
Mungkin saja

Musim-musim melepas bajunya
Kini tampaklah luka dan memar
Mulai meradang, menghilang
Tanggalkan saja topeng itu
Biar tak pandai lagi kerak mengendap
Merindulah
menangislah


Pekanbaru, 2014

Friday 21 March 2014

Hujan Kamis Malam

Hujan kamis malam 
Terdengar rusuh berhamburan 
Angin-angin keluar 
Dingin-dingin girang 
Mereka menilik, berbisik: usik 
Hati yang rela tak perlu lagi suara

Hujan malam jum'at 
Tahu-tahu sudah datang 
Tanpa diundang 
Tanpa wejangan 
Mereka akan begadang 
Mengusir, menyingkir: jiwa-jiwa yang getir 

Hujan kamis malam 
Baiklah sudah saatnya 
Raga ini berselimut merah 
Gerah 
Baterai juga sudah menyerah 
Tunaikan saja tugasmu dengan gagah 
Aku sudah lelah. 

Yuni Andriany 
(Pekanbaru, 20 Maret 2014)
#LatePost

Thursday 20 March 2014

Intuisi

Tidak lagi kata yang ditunggu untuk penjelasan
Tidak lagi suara yang diharap membuat remang
Ombak sudah memberitahu lewat deburan
Tentang angin
Ditemani bintang dan lautan
Tentang kita
Berbekal waktu dan ruang

Tiada perlu menemukan simpang untuk sebuah jalan
Tiada perlu perjalanan untuk akhir yang digenggam
Kabut telah menyimpan segenap kisah terbuang
Kepada malam
Janji dan bisu dikaitkan
Kepada jiwa
Takdir dan harapan jadi peraduan

Monday 17 March 2014

Melawan Asap

Negeri Lancang Kuning kian mengabur
Polutan menyebar dengan sangar
Napas pelan-pelan mulai karatan
Rakyat sudah ingar-bingar tak karuan
Mereka yang mengerti lengah peduli
Atau memang tidak punya hati
Entah kemana nurani itu menyepi
Mungkin turut pula diasapi

Di mana keadilan?
Yang kabarnya simbol kebenaran
Yang ceritanya santer berkoar-koar
Kami hanya kurang paham
Tentang dunia yang penuh kepalsuan
Kami hanya tidak bisa mendengar
Tentang kidung yang hampa kekeringan

Sunday 16 March 2014

Antologi Pertama (Cerita di Balik Cerita)

Aah, apa ini terdengar seperti awal dari sebuah pencapaian?
Berita itu saya terima tadi malam di sini, cerpen saya masuk 200 besar cerpen terpilih dari ribuan peserta. Artinya akan dibukukan secara self-publishing yang akan diterbitkan oleh NulisBuku yang notabene sebagi penyelenggara. Antologi pertama saya, dengan tema #LoveNeverFails. Tentang Cinta. Luar biasa.


Jujur, saat cerpen itu dikirim untuk diikutsertakan lomba, saya tidak terlalu berharap cerita itu akan lolos. Keikutsertaan hanyalah bentuk sebuah janji pada diri saya sendiri, meski dari lubuk hati yang paling dalam secuil harapan itu tetap ada. Kali ini saya memang tidak ingin terlalu berharap. Bukan apa-apa, bisa dikatakan proses pengerjaannya jauh dari kata siap. Cerpen itu saya tulis dalam sehari, tepat di hari terakhir deadline. Dalam waktu yang singkat serta banyak tekanan, Tentang Cinta lahir dengan cacat (re: typo dimana-mana). Mengingat itu, terlalu munafik sepertinya jika saya menginginkan yang lebih. Lalu, mengapa saya katakan dengan waktu singkat dan banyak tekanan? Baiklah, begini ceritanya…