Dan
terjadi lagi. Seperti lagu kesukaan yang selalu ingin kau ulang. Seperti rumah paling
nyaman yang selalu membuatmu ingin pulang. Berkali-kali, kemudian kembali lagi.
Tidak ada yang membuatmu merasa ada yang salah, ataupun merasa ada hal yang
harus dibenarkan. Bukan. Bukan tentang lagu kesukaan ataupun rumah paling
nyaman. Keduanya terlalu lemah untuk diminta pertanggungjawaban. Apalagi hanya
karena dijadikan perumpamaan. Hal ini lebih tentang yang terjadi, yang kau
anggap seperti dua tadi. Dan yang terjadi di sini adalah, kau membuat percikan
yang tercipta pada ruang tak bertakhta itu, seakan memiliki kemampuan untuk
menjadi penawar mati rasa. Padamu, istilah ‘gila’ bisa jadi tidak akan mempan, dan
waktu yang saling kejar pun mungkin hanya akan mental.
Lalu,
kau sebut apa yang tadi itu? Pujangga makna? Ha, yang benar saja! Tidakkah kau
merasa sedikit keterlaluan? Begini, biar kuperbaiki, harusnya kau menamainya...
imaji tak masuk akal. Bagaimana? Lebih pantas, bukan? Tapi, tunggu! Sejak kapan
imaji menjadi lebih sering masuk akal? Ah!