Thursday 28 March 2019
2
Saya
berencana tidak memberi judul tulisan-tulisan yang nantinya akan disimpan di
folder penyimpanan berkas ini. menjuduli sebuah tulisan sudah terlalu sulit
untuk saya, sedang saya masih tidak yakin tulisan ini akan sampai dimana, akan
jadi sperti apa. Jika tulisan-tulisan ini, nantinya hanyalah menjadi alasan
saya harus kembali lagi, biarlah seperti itu. Jujur saja, ini hanya rencana
tanpa tujuan yang pasti, tanpa arah yang mengarahkan, tanpa pegangan. Benar,
tulisan-tulisan ini, serapuhnya rapuh.
Saya
suka angka-angka, menyimbolkan kepastian. Hal yang belakangan jauh sekali dari
jangkauan. Dulu, saya pernah meyakini, bahwa menghitung makna lebih mudah
daripada menafsirkan satu, dua, tiga. Saya sedih lagi. Dulu, saya seterlena
itu. Namun perasaan itu ternyata dapat menguap. Sekarang, saya tidak seyakin
itu. Bahkan terasa ragu. Saya tidak tahu apa yang harus saya yakini sekarang.
Bagaimana meyakini sesuatu yang tidak meyakinkan apa-apa? Disinilah kesalahan
saya. Persepsi ini menjerumuskan. Bukan sesuatu itu yang harus meyakinkan. Hati
ini, yang terlalu mencari-cari alasan.
Dua:
dia akan tetap menjadi dua. Tanpa perlu mengusahakan atau menjabarkan apa-apa,
dua bisa meyakinkan siapapun makna dari dirinya. Tanpa ada samar-samar.
Sampai
disini, adakah kata kembali?
(Pekanbaru, 15022019)
1
Jadi,
begini hal ini dimulai.
Sudah
sejak lama saya selalu buruk dalam memulai sesuatu. Lebih tepatnya, entah sejak
kapan. Memulai menjadi sesuatu yang tidak begitu ramah. Meski begitu, saya
masih ingin memulai yang kali ini. Mengapa? Mungkin, karena tulisan ini seputus
asa itu. Begitu juga dengan saya. Saya, seputus asa itu dalam memulai sesuatu,
hingga saya tidak terlalu berpikir panjang mengenai baik dan buruk,
mengesampingkan pemilihan diksi, tidak mencoba mengindahkan sama sekali.
Biarkan saja ini dimulai.
Saya,
yang disini sekarang, begitu jauh dari saya yang dulu. Saya yang dulu
subuh-subuh bela-belain tidak tidur lagi sebelum ke kampus hanya untuk
menuliskan beberapa paragraf ide yang tiba-tiba mampir di kepala. Saya bisa
merasakan jarak itu, karena jarak tersebut terlalu kasat mata. Bukan tentang
waktu, melainkan saya. Saya. Bukti autentik yang tak terbantah.
Subscribe to:
Posts (Atom)