Tuesday 15 April 2014

Scale of Happiness

Perempuan itu sedang bercerita tentang bagaimana sebuah keindahan dilukiskan dengan kata. Mengagumi Pantai Nusa Dua dari sudut The Bay Bali adalah cara yang paling tepat, tesis-nya. Sebab malam ini sedang berlangsung sebuah drama, penampilan dari deburan ombak yang  saling berkejaran terbawa angin darat dengan alunan musik Bali yang khas sebagai pengiring, pasir putih yang disoroti lampu-lampu temaram dari pohon adalah salah satu tokoh utama. Pemicu suasana megah, begitu katanya. Aku tidak terlalu mengerti bagaimana proses analogi itu bisa terjadi, keahlianku tidak pernah menjangkaunya. Namun, satu hal yang aku tahu. Bagiku perempuan yang sedang berkisah itulah estetika paling nyata di sini, duduk di hadapanku dengan memesona tanpa perlu analogi apapun. Florenza Orlin selalu tampak bersinar tanpa perlu cahaya.

“Jadi, apa misimu membawaku ke sini?” Pertanyaan itu tiba-tiba menodongku, memaksaku untuk menyimpan keterpanaan tadi. Dengan mata yang mengerjap-ngerjap penasaran, Flo menantiku dengan sebuah jawaban. Jawaban yang paling mengejutkan untuknya.

Just have dinner, aren’t we?” Jawabku sekenanya.

“Cuma makan malam, Bay?” Flo seperti tidak percaya, “Kita masih di pasir putih Pirates Bay dan kamu bilang cuma makan malam. Apa nggak terlalu manis?” lanjutnya sedikit berlebihan.

“Flo, ekspedisi tadi siang aku rasa sudah cukup.” Aku memberi pengertian, sadar bahwa Flo berharap lebih pada jawabanku tadi.

Wajah Flo tampak tidak setuju. “You bored, bagaimana kamu bisa berpikir itu cukup, Bay? Menikmatinya
saja, kamu nggak bisa.” 

Kuputuskan untuk tidak menjawabnya lagi, membiarkan Flo sedikit tidak terima. Ia sedang di bawah alam fantasinya dan itu hanya akan membuat Flo menerawang ke mana-mana. Sejak langit tadi masih remang-remang, petualangan Flo sudah dimulai, dan tentu saja aku harus rela ikut serta. Diawali dengan melihat sunrise yang mengagumkan di Pantai Nusa Dua, Flo seperti tidak bisa berhenti berdecak mendapati kemegahan kelahiran sang mentari tersebut. Setelah sarapan dan dilanjutkan dengan bersepeda di pinggiran pantai, Flo membuat kesimpulan bahwa kami harus mengunjungi The Pirates Bay.

Susah-susah aku menjelaskan teori bahwa umur menentukan di mana kita harus menghabiskan waktu, demi agar ia tahu kalau angka seperempat abad sudah tidak pantas untuk wahana petualangan seperti itu. Terlebih-lebih kutekankan pada argument, “Kecuali jika kita adalah sebuah keluarga yang sedang liburan bersama anak-anak, aku pasti tidak perlu keberatan.” Tapi Flo tidak mengerti, serupa dengan aku terhadap drama ombak dan lampu pohon yang diceritakannya tadi. Terakhir yang aku ingat, kata ‘sebentar saja’ dari Flo saat itu tidak pernah berlaku. Sesudah menyinggahi seluruh sudut perkampungan bajak laut di The Pirates Bay, mengambil foto bersama nelayan-nelayan yang berkostum ala Jack Sparrow di Pirates of Caribbean, aku dan Flo makan siang sekligus bercerita ngalor-ngidul di atas kapal perompak jadi-jadian yang terdampar di pinggiran pantai hingga hari hampir beranjak sore. Yang pada akhirnya membuat aku sadar, meski lagi-lagi tentang dunia yang tidak kupahami, menghabiskan waktu bersama Flo adalah dimensi hidup yang selalu membawa kebahagiaan.

Namun untuk malam ini, aku hanya ingin Flo di sini bersamaku. Membicarakan hal-hal nyata tanpa perlu ia terbang ke dunia lain yang tidak ada aku di sana. Ingin kujelaskan, bahwa jika aku bersamanya dunia nyata sudah cukup indah, tidak perlu ia membuat pengandaian ataupun serangkaian metafora. Pada dirinya telah bersemayam seni yang tidak perlu dilukiskan dengan aksara, dan aku bersedia menjadi pengagum selamanya. Tapi setiap kalimat-kalimat itu ingin kuutarakan, mata Flo yang berbinar kala imajinya sedang berkelana―saat di mana ia merasa bisa pergi ke mana saja yang ia mau tanpa ada aku, selalu mampu menghantui dan mengurungkan niatku. Aku ragu Flo sudi meninggalkan dunianya yang dinamis itu demi untuk mengisi duniaku yang statis. Aku hanya takut. Takut jika rasa kecukupan itu hanya dirasakan olehku saja.

Sesaat jeda menyita, waitress datang dengan sapaan ramah membawakan Cap cay Seafood dan Soup Tom yam lengkap dengan minuman pesanan kami. Sejenak Flo menyempatkan diri untuk beramah tamah sambil menanyakan perihal penyajian menu kami malam ini, tampak dengan senang hati waitress  itu menjelaskan. Setelah mendapati wajah senang serta puas Flo atas semua pertanyaan, waitress itu undur diri. Dalam beberapa menit hidangan lezat itu mulai mengisi rongga kosong di lambung kami masing-masing.

“Bayu?”

Terkadang aku hampir tidak percaya, setiap kali aku mendengar panggilan itu aku merasa suara tersebut seperti datang dari surga. Aku menoleh pada mata bening Flo, tempat di mana aku betah berlama-lama.

“Apa pendapat kamu tentang kebahagiaan?” Lagi-lagi pertanyaan mendadak. Sambil tersenyum Flo memandangku dengan penuh minat. Ia selalu tampak penasaran dengan jawabanku atas setiap pertanyaan yang ia lontarkan. Entah mengapa, padahal jelas-jelas jawaban itu tidak pernah memenuhi standar jawaban yang ia inginkan. Flo juga tahu hal itu. Dan sesungguhnya, aku tidak bisa menebak bagaimana pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak Flo bisa sampai hinggap.

“Perasaan yang membuatmu merasa lebih baik… mungkin?” 

Sejenak Flo diam mendengar jawabanku, sepertinya aku tahu maksudnya. “Bay…” Flo memundurkan duduknya, “Bertahun-tahun kita sahabatan, harusnya kamu bisa lebih pandai.” Lanjutnya dengan wajah agak prihatin. Kesimpulannya adalah, jawaban-jawabanku hanya akan membuat Flo seperti de javu berkali-kali. Aku memilih tidak ambil pusing.

“Lalu, apa tesis-mu untuk ini?”

Mendengar pertanyaanku Flo berubah sumringah. Mau tidak mau memberi injeksi menyenangkan untukku. Setelah menyeruput ice lemon tea-nya dan untuk sejenak melipat kedua tangan di atas meja, seorang Flo siap berkisah. Kali ini Flo ingin membongkar sebuah rahasia, satu pemahamannya tentang simbol bernama ‘kebahagiaan’. Bahwa sebenarnya, selain sebuah anugerah, kebahagiaan adalah salah satu dampak dari fenomena proses simbiosis mutualisme manusia. Manusia saling memberi kebahagiaan, seperti itu yang kutangkap. Dan kebahagiaan bukan hanya tentang perasaan diri sendiri, melainkan juga perasaan orang lain. Pada dasarnya, kebahagiaan seseorang adalah melihat orang lain bahagia juga. Setiap individu memiliki caranya sendiri untuk memperoleh perasaan bahagia itu, cara itu direalisasikan melalui sebuah skala. Skala kebahagiaan, begitu Flo menyebutnya setelah penjelasannya yang panjang. Aku takjub mendengarnya.

“Misalnya Chef restoran ini, Bay. Salah satu skala kebahagiaan untuk seorang Chef adalah mendapati para konsumennya merasa puas menikmati setiap hidangan yang ia buat. Bisa dengan adanya konsumen yang selalu kembali, atau dengan cara konsumen memberi semacam advise atau review yang baik tentang tanggapan mereka mengenai menu-menu yang disediakan di sini melalui media online.” Flo menjelaskan tanpa lelah, seperti seorang guru yang memiliki tanggungjawab besar untuk membuat muridnya mampu mengerti ucapannya. Tentu saja aku adalah muridnya.

“Jadi begitu.” Tanggapku tidak terlalu membantu. Aku tidak pernah menyangka kalau satu pemahaman bagi Flo adalah segala sesuatu yang menyangkut semua orang. Tidak pernah menemukan alasan mengapa Flo bersusah-susah memikirkan kebahagiaan orang lain. Sejujurnya, aku lebih tertarik dengan alasan yang akan membuatnya bahagia. Namun, setelah dipikir-pikir, sepertinya aku sudah tahu jawaban Flo.

“Kamu benar, Bay. Salah satu wujud dari kebahagiaan adalah kita merasa lebih baik. Mungkin dengan berkenalan dengan Chef di sini, dan mengucapkan terima kasih karena sudah membuat makanan selezat ini…”

Aku memandang Flo yang telah kembali memasukkan salah satu sayuran ke mulutnya, mulai berpikir perpaduan antara analisis yang hebat dan fantasi yang berlebihan lama-kelamaan semakin menyita segala sesuatu yang ada di diri Flo. Ia terlalu sibuk dengan fenomena alam semesta beserta orang-orang yang tidak pernah ia kenal. Hingga nantinya, bisa-bisa hanya akan tersisa seorang Flo yang tanpa lagi memikirkan realita dan dirinya sendiri. Aku harap itu hanyalah kekhawatiranku yang berlebihan.

“Kamu tahu, Bay? Sebenarnya kita ini adalah salah satu dari bagian skala-skala kebahagiaan orang lain itu. Makanya, jika punya kesempatan, lebih baik mengatakan kepada orang tersebut agar skala-skala itu dapat bekerja. Semacam berbagi kebahagiaan, Bay… Toh, nggak ada yang salah dengan kejujuran.” Tutur Flo seperti menyelesaikan penjelasannya malam ini. 

Maka sehabis mendengar kesimpulan terakhir dari Flo itu, kepalaku seperti baru saja dipukul sesuatu. Pukulan yang dapat membuka satu jendela pemikiran di dalam sana, jendela yang selama ini tidak pernah benar-benar aku buka. Pengutaraan yang lalu itu kembali berputar di pusat rotasinya. Ungkapan yang sudah tertelan berkali-kali oleh kesimpulan tidak pasti yang kubuat sendiri, sebelum ia berhasil diungkapkan.

Let me know you something, Flo…” Entah dengan sihir apa kalimat bisa terlontar. Mungkin sudah waktunya.

Sejenak Flo terperangah. “Baiklah…” Kembali tersenyum Flo mengalihkan segala aktivitasnya untuk menatapku penuh minat, nyaris seperti tidak pernah bosan. Seolah-olah yang akan aku ucapkan adalah sebuah pemikiran menakjubkan, bukan lagi rentetan datar yang biasa ia dengar. “Apa teorimu tentang ini, Mr. Awkward?” 

Kubersihkan tenggorokanku, memastikan tidak ada sesuatu yang akan membuat hal konyol itu kembali terulang. Aku tidak mungkin bisa menunda lagi, lalu membiarkan Flo pergi tanpa memberiku kesempatan sama sekali untuk meraihnya.

“Flo, kamu tahu aku nggak pernah bisa menganalisis ataupun merangkai makna seperti kamu. Meski seharian ini kamu sudah beranalogi dari matahari terbit sampai ombak yang bisa lari, aku tetap nggak bisa berubah dari Bayu yang membosankan dan kaku. Dan aku nggak akan berubah…

“Satu hal yang harus kamu tahu, kamu adalah satu-satunya alasan yang membuat aku bertahan dengan cara itu. Karena kamu selalu ada, dan itu sudah membuat aku cukup.”

Kuberanikan untuk meraih jari-jari kurus Flo yang terasa dingin, entah itu karena udara atau ucapanku yang membuatnya sekarang terkesima. Lekat-lekat kutatap mata Flo yang tampak seperti rumah yang selalu membuat aku ingin pulang, menyerahkan segala kejujuran yang sudah hampir usang.

“Seperti yang kamu bilang, setiap orang adalah salah satu dari skala kebahagiaan orang lain. Aku pikir aku nggak perlu berkelana untuk menemukan itu semua, asal aku punya satu skala yang membuat aku merasa tidak perlu apa-apa lagi.” Aku tidak peduli apakah tadi itu bisa dikatakan perumpamaan atau apapun semacamnya, yang penting aku hanya ingin Flo tahu kenyataan itu. 

“Flo, cuma kamu skala yang aku butuhkan untuk mengisi rongga kosong dalam hidup aku. Aku tahu, hidup seorang Flo adalah dunia yang meriah dengan warna, bukan dunia yang cuma bisa stuck dengan improvisasi sederhana seperti yang aku tempati. Tapi jujur… mencintai kamu, seperti harga mati buat aku.” Terakhir, kupaksakan senyum seadanya.

Lunas sudah penjabaranku. Kuhembuskan napas perlahan, setelah tadi tanpa sadar kutahan. Kulepaskan kaitanku pada jemari Flo, demi membuatnya merasa lebih leluasa. Kali ini aku tidak bisa menebak arti dari raut di wajah Flo. Aku tidak berani bertaruh apa-apa lagi. Bagaimanapun tanggapan Flo nanti, aku hanya bisa menerima. Walau jika nanti aku ditolak dan rasanya akan berdenyut luar biasa, paling tidak aku sudah menyampaikannya pada Flo. Asal kami masih bisa hidup bahagia meski hanya dengan bersahabat, itu sudah cukup untuk mengobati hatiku. Pada intinya, aku harus bisa menghibur diri sendiri mulai sekarang.

“Kamu nggak perlu jawab kalau kamu nggak bisa, atau… kalau kamu nggak mau.”

Terjadi jeda yang tidak kupahami maksudnya, hanya ada bahasa waktu yang bikin rancu. Sampai akhirnya Flo tersenyum tipis memandangku, “Bagaimana mungkin aku nggak jawab apa-apa, Bay?” 

Selanjutnya terdengar suara menenangkan. “Aku pernah membaca satu kutipan di sebuah buku, katanya ‘rumah adalah tempat di mana kamu dibutuhkan.’ Aku sudah punya satu rumah impian itu, rumah yang aku harap akan membutuhkan kehadiranku di dalamnya. Dan baru sesaat tadi aku tahu jawaban dari harapan itu.”

Aku menangkap wajah Flo, medapati ada pancaran yang lain di sana. Aku mulai penasaran dengan ujung dari pengandaiannya tentang jawaban dan rumah. Aku yang sedang menunggu jawaban, dan Flo yang sudah mendapatkan jawaban. Aku merasa ada sesuatu yang tidak pernah kuperhitungkan sama sekali sebelum ini.
“Bayu… asal kamu tahu,  hari ini aku harus beranalogi dari tentang matahari terbit sampai skala-skala cuma biar kamu bisa ngerti ada sesuatu yang harusnya kamu sadari dari dulu. Kalau sebenarnya, dari dulu aku sudah di sini, bersama kamu dan nggak pernah berniat pergi. Aku sudah di sini dan ingin berbagi skala kebahagiaan itu dengan kamu, Bay…

“Tapi, setiap kali aku menebak kamu mau bilang perasaan itu, kamu selalu tiba-tiba kembali diam. Lagi-lagi ngebiarin aku menerawang sendirian dalam tebakan yang salah.”  Seketika Flo terdiam, membiarkan aku penasaran tidak keruan.

“Cuma kamu rumah yang aku harapkan itu, Bayu.”

Tiba-tiba seorang waitress datang mengantarkan dessert ke meja kami, orang yang sama dengan yang datang sebelumnya. Sambil terburu menyeka air mata yang hampir menetes, Flo menyempatkan mengatakan sesuatu pada perempuan muda itu, sebuah pesan untuk sang Chef  bahwa makan malam kali ini begitu lezat, dan Flo mengucapkan terima kasih.

Kali ini aku tidak bisa untuk tidak terpana. Flo, sahabat yang aku cintai entah sejak kapan, perempuan petualang yang kadang kata-katanya tidak bisa aku terjemahkan, memberitahuku satu fakta tak terbantahkan. Kecukupan itu tidak untuk aku saja. Kesimpulan paling indah yang pernah ada.

*****

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! 

No comments:

Post a Comment