Thursday 24 April 2014

One and Only

Terserah kau mau menganggapku kurang waras, muka tembok, tidak punya telinga, atau apapun semacamnya, aku bisa terima. Lebih tepatnya tidak dapat menolak. Aku pun tidak bisa menolong diriku sendiri. Kau seperti telah mematikan seluruh daya kontrolku, kemudian aku hanya boleh berpusat padamu. Namun, setiap aku melihat kepadamu, kau selalu menatapku hanya sekilas lalu. Apa salahnya aku? Apa kurangnya aku?

“Pulanglah! Harus berapa kali aku bilang, aku tidak mau pergi denganmu.”

Lagi-lagi jawabanmu mengoyak harapanku. Malam itu, bermodal martabak mesir kesukaanmu, aku ingin mengajakmu keluar. Jalan-jalan saja, cari angin sambil keliling kampung. Tapi penolakan itu seperti tak bosan menamparku.


“Sebentar saja, Rukmi. Apa kau tidak bosan selalu di rumah?”

“Kau masih saja tidak mengerti.”

Bukan. Aku mengerti, Rukmi. Aku mengerti sekali mengapa kau selalu menolakku. Yang aku tidak mengerti, mengapa kau masih saja setia menunggu laki-laki yang tidak kunjung menjemputmu. Tidak kunjung menepati janji kosongnya itu.

“Bukan aku yang tidak mengerti, Rukmi. Tapi kau. Kau yang tidak mengerti bagaimana seharusnya mencintai.”

“Kau tidak perlu mengajariku tentang cinta.” Tatapanmu menghujamku, memaksa aku merontokkan pertahananku sendiri. Aku dapat melihat gejolak kegundahan di matamu, Rukmi. Menyerahlah. Biarkan aku yang mengisi ruang kosong yang tak berpenghuni itu. Harusnya kau sadar, ruang itu telah lama tak terpakai. Penghuni lamanya telah melarikan diri, tidak akan kembali. Sebab ia sudah bahagia dengan wanita lain. Tak usah kau mengharap lagi untuk dibawanya kawin lari.

“Apa yang membuatmu masih menunggu, Rukmi?”

“Tidakkah kau merasa pertanyaan itu lebih pantas untukmu?” Hatimu dingin, bagai tak tersentuh.  “Apa yang membuatmu masih saja menungguku?”

Angin malam mencoba mengusik kepercayaan yang susah payah kubuat. “Aku tidak tahu, Rukmi. Sesunguhnya aku juga tidak tahu alasannya.” Asal kau tahu, Rukmi, aku sendiri tak bisa menggugurkan kepercayaanku sendiri. Aku tidak bisa berhenti mempercayai bahwa suatu hari nanti kau akan sudi melihatku, menerima cintaku. Walau entah kapan.

“Yang aku tahu, aku hanya bisa mencintaimu, Rukmi.” Itu faktanya, harga mati.

“Sayangnya, cintaku hanya cukup untuk laki-laki yang sedang kutunggu. Aku percaya dia akan datang, dia sudah janji.” Untuk pertama kalinya kau memandangku dengan gurat tenang. “Jadi pulanglah, Salman. Kebahagiaanmu bukan di sini.”

Saat itulah aku tahu, kau ternyata telah menyerah. Kau menyerah kepada penderitaanmu sendiri. Kau sebut, kebahagiaanku? Aku sudah merelakannya untuk membungkus hatimu, Rukmi, sebab kupikir kau lebih membutuhkannya. Namun kau terus saja menolak. Tidakkah kau iba dengan luka yang sudah menahun di hatimu itu? Asal kau mau, aku bisa menjadi obatnya, obat sepanjang masa. Aku sudah tidak bisa pulang, Rukmi. Maaf. Karena sampai kapanpun, mencintaimu tetaplah harga mati.

“Aku pamit.” Beranjak, aku menitipkan jejak kasih di pangkuanmu, Rukmi. Tolong jaga, esok aku akan datang lagi, seperti biasa mencoba merajutnya kembali.

“Jangan pernah kembali lagi, Salman. Usahamu hanya sia-sia.”


Aku tidak bisa. Aku hanya tidak bisa, Rukmi. 

No comments:

Post a Comment