Terserah
kau mau menganggapku kurang waras, muka tembok, tidak punya telinga, atau
apapun semacamnya, aku bisa terima. Lebih tepatnya tidak dapat menolak. Aku pun
tidak bisa menolong diriku sendiri. Kau seperti telah mematikan seluruh daya kontrolku,
kemudian aku hanya boleh berpusat padamu. Namun, setiap aku melihat kepadamu,
kau selalu menatapku hanya sekilas lalu. Apa salahnya aku? Apa kurangnya aku?
“Pulanglah!
Harus berapa kali aku bilang, aku tidak mau pergi denganmu.”
Lagi-lagi
jawabanmu mengoyak harapanku. Malam itu, bermodal martabak mesir kesukaanmu,
aku ingin mengajakmu keluar. Jalan-jalan saja, cari angin sambil keliling
kampung. Tapi penolakan itu seperti tak bosan menamparku.
“Sebentar
saja, Rukmi. Apa kau tidak bosan selalu di rumah?”
“Kau
masih saja tidak mengerti.”
Bukan.
Aku mengerti, Rukmi. Aku mengerti sekali mengapa kau selalu menolakku. Yang aku
tidak mengerti, mengapa kau masih saja setia menunggu laki-laki yang tidak
kunjung menjemputmu. Tidak kunjung menepati janji kosongnya itu.
“Bukan
aku yang tidak mengerti, Rukmi. Tapi kau. Kau yang tidak mengerti bagaimana
seharusnya mencintai.”
“Kau
tidak perlu mengajariku tentang cinta.” Tatapanmu menghujamku, memaksa aku
merontokkan pertahananku sendiri. Aku dapat melihat gejolak kegundahan di
matamu, Rukmi. Menyerahlah. Biarkan aku yang mengisi ruang kosong yang tak
berpenghuni itu. Harusnya kau sadar, ruang itu telah lama tak terpakai.
Penghuni lamanya telah melarikan diri, tidak akan kembali. Sebab ia sudah
bahagia dengan wanita lain. Tak usah kau mengharap lagi untuk dibawanya kawin
lari.
“Apa
yang membuatmu masih menunggu, Rukmi?”
“Tidakkah
kau merasa pertanyaan itu lebih pantas untukmu?” Hatimu dingin, bagai tak tersentuh. “Apa yang membuatmu masih saja menungguku?”
Angin
malam mencoba mengusik kepercayaan yang susah payah kubuat. “Aku tidak tahu,
Rukmi. Sesunguhnya aku juga tidak tahu alasannya.” Asal kau tahu, Rukmi, aku
sendiri tak bisa menggugurkan kepercayaanku sendiri. Aku tidak bisa berhenti
mempercayai bahwa suatu hari nanti kau akan sudi melihatku, menerima cintaku.
Walau entah kapan.
“Yang
aku tahu, aku hanya bisa mencintaimu, Rukmi.” Itu faktanya, harga mati.
“Sayangnya,
cintaku hanya cukup untuk laki-laki yang sedang kutunggu. Aku percaya dia akan
datang, dia sudah janji.” Untuk pertama kalinya kau memandangku dengan gurat
tenang. “Jadi pulanglah, Salman. Kebahagiaanmu bukan di sini.”
Saat
itulah aku tahu, kau ternyata telah menyerah. Kau menyerah kepada penderitaanmu
sendiri. Kau sebut, kebahagiaanku? Aku sudah merelakannya untuk membungkus
hatimu, Rukmi, sebab kupikir kau lebih membutuhkannya. Namun kau terus saja
menolak. Tidakkah kau iba dengan luka yang sudah menahun di hatimu itu? Asal
kau mau, aku bisa menjadi obatnya, obat sepanjang masa. Aku sudah tidak bisa
pulang, Rukmi. Maaf. Karena sampai kapanpun, mencintaimu tetaplah harga mati.
“Aku
pamit.” Beranjak, aku menitipkan jejak kasih di pangkuanmu, Rukmi. Tolong jaga,
esok aku akan datang lagi, seperti biasa mencoba merajutnya kembali.
“Jangan
pernah kembali lagi, Salman. Usahamu hanya sia-sia.”
Aku
tidak bisa. Aku hanya tidak bisa, Rukmi.
No comments:
Post a Comment