Monday 15 December 2014

Tentang Cinta



Keheningan berhasil memecah suasana ruangan, puluhan orang yang ada di dalam bak terkena mantra sihir dari sang MC setelah sesaat tadi memanggil namaku untuk maju ke atas podium. Aku menarik napas dalam-dalam, suasana seperti ini malah lebih menakutkan ketimbang ada yang bertepuk tangan. Tidak ada yang aku siapkan untuk sambutan hari ini, terlebih karena aku tidak pernah membayangkan akan berdiri di atas podium yang dibanggakan oleh orang-orang yang ada di hadapanku sekarang. Tadi, pada saat pembawa acara memanggil namaku untuk kedua kalinya―sebab pada panggilan pertama aku merasa tidak mengenal nama itu, serius―aku tidak yakin tujuanku beranjak dari tempat duduk adalah menuju podium ini. Aku tidak mau mengambil risiko, mungkin saja ada kesalahan. Namun, setelah sentakan dari teman sebelahku dan riuh tepuk tangan yang keterlaluan itu menyadarkan tentang satu kebenaran, aku merasa tidak ada pilihan. Seketika podium ini berubah menjadi bagian yang menegangkan serta… mengharukan.

Aku menatap lurus ke depan, ke segala penjuru yang sedang mewanti-wanti kalau-kalau aku tidak tahu cara memakai microphone yang ada di depan mulutku dengan baik dan benar. Aku maklum, rasa haru membuat aku kehilangan kata-kata lantas tidak bisa langsung bicara. Hari ini merupakan hari paling bersejarah sepanjang hidupku, momen yang harus dikristalkan lalu disimpan dalam brangkas kehidupan. Satu dari tumpukan daftar hari yang aku nantikan. Hari penting. Ada yang membuncah, kuat-kuat aku menahan genangan di mataku agar tidak tumpah, tanggul itu mesti bertahan sampai kalimat sambutan ini keluar. Kini semua mata tertuju padaku, entah mereka berharap aku berubah jadi putri Indonesia, aku juga kurang tahu. Yang jelas, mereka ingin ada yang terdengar dari microphone itu. Hanya saja, fokusku kian pecah.

Aku memandang jauh ke belakang, tepat pada pintu masuk di ujung ruangan. Sudah kuputuskan tidak ada sambutan olehku sebelum jawaban dari daun pintu itu dapat menenangkanku. Aku yakin―entah masih jauh atau sudah dekat―mereka akan datang. Insting cinta jarang sekali gagal.


***
Pagi yang luar biasa, pagi yang sudah kutunggu-tunggu datangnya!

Oh, baiklah, biarkan aku menguap terlebih dahulu sebab ini masih terlalu pagi. Menjadi munafik sepertinya akan terdengar buruk, dan aku tidak benar-benar menginginkan hari ini, sebenarnya. Aku tidak boleh munafik, bukan? Namun terkecuali untuk mereka, kurasa. Kedua orang dewasa yang telah merawatku seumur hidupku itu. Mamak dan Bapak. Dilihat dari tingkah laku, Mamak dan Bapak lebih cocok untuk yang mempunyai urusan pagi ini. Akan tetapi, tentu saja tidak. Meski sejak sebelum adzan Subuh tadi mereka lah yang sudah sibuk menyuruhku bersiap-siap, ini tetaplah hariku.

Waktu hampir menunjukkan pukul 6 pagi, waku yang sebenarnya lebih nikmat jika dihabiskan dengan bermalas-malasan di balik selimut. Namun aku harus mengubur dalam-dalam impian terbesarku pagi ini, menyia-nyiakan udara dingin yang sangat mendukung ini, sebab kedua hal tersebut tidak ditakdirkan untuk hari ini. Aku harus rela menukar keduanya dengan mengikuti ujian test untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri. Dan, tidakkah itu terdengar menyedihkan?

Walaupun ini hari penting, aku berhasil bersiap-siap dengan ogah-ogahan. Aku berdiri di depan teras rumahku sambil menunggu Bapak yang masih berdiskusi dengan Mamak di dalam. Aku jadi bingung, siapa yang sebenarnya akan ujian. Teras ini terasa lebih sempit sebab aku harus berbagi tempat dengan motor keluaran lama milik Bapak yang mesinnya sedang dipanaskan. Mesin itu mengeluarkan suara aneh yang tidak enak didengar. Jalanan di perumahan itu pun masih lengang, tentu saja. Tidak banyak yang biasa dilakukan di pagi setengah buta seperti ini. Tahu-tahu suara aneh  mesin motor itu berhenti, ternyata Bapak sudah keluar dan mematikannya. Lalu Mamak juga keluar dari rumah, ingin mengantar kepergian kami.

“Semuanya sudah dibawa, kan?”

Ini adalah ketiga kalinya Bapak bertanya dengan inti pertanyaan yang sama. Maka aku menjawab dengan jawaban yang sama juga, kali ini Bapak tampak yakin. Mamak tidak mau kalah, setelah memberi jaket parasut berwarna biru pudar yang akan dikenakan Bapak, Mamak lekas menyuguhkan wejangan layaknya aku akan pergi perang. Ya, kupikir ini memang semacam perang. Sekitar pukul 6 lebih 15 menit akhirnya aku dan Bapak berangkat.

Sebenarnya ujian dimulai pukul 7.30 wib, namun jarak rumahku yang cukup jauh dari lokasi kampus mengharuskan aku berangkat lebih awal. Waktu yang dibuthkan sekitar 45 menit atau lebih, belum lagi macet yang menyebalkan. Berhubung ini adalah hari penting untukku―terlebih untuk Mamak dan Bapak, semuanya harus dipersiapkan dengan matang. Aku membuka tasku untuk mengambil HP yang tadi aku masukkan sembarangan. Dan, uh-oh! Aku dapat menemukan HP namun tidak dengan kotak pensil yang tidak sengaja tidak kutemukan di dalam tas. Lekas aku melapor ke Bapak, sambil memutar balik arah Bapak sedikit menggurutu. Ternyata tiga kali Bapak bertanya tidak ada yang aku benar-benar dengarkan.

Setelah itu motor dengan suara mesin aneh itu membawa Bapak dan aku menelusuri ruas-ruas jalan. Mulai dari daerah pinggiran hingga kami sampai pada daerah perkotaan. Bapak mengendarai dengan kecepatan sedang, tidak ingin perjuangan dari sebelum subuh tadi sia-sia. Di belakang aku sedang asik saling balas sms dengan temanku yang juga akan mengikuti ujian tes. Kami membuat janji pertemuan karena ruangan yang kami gunakan berbeda. Sambil menikmati suasana lalu lintas, sesekali aku juga mengobrol ringan dengan Bapak. Dan saat itu lah kembali aku temukan sesuatu yang janggal.

Pada keramaian jalan itu aku mendapati banyak orang-orang yang memakai baju putih-hitam, hal itu membuat perasaanku tidak enak. Untuk menenangkan diri, aku segera menepis kemungkinan-kemungkian yang tidak diinginkan. Namun sepertinya Bapak juga dapat menangkap kejanggalan itu, sebab beberapa saat kemudian Bapak bertanya, “Kok, itu banyak yang pakai baju Hitam putih? Kamu memang tidak pakai hitam putih juga?”

“Mungkin itu untuk Universitas lain, Pak. Kalau kami tidak pakai hitam putih… kayaknya…”

Baiklah, aku meragukan jawabanku sendiri dan jelas Bapak tidak puas dengan jawaban tersebut. Aku disuruh Bapak untuk memastikan sekali lagi kalau aku memang tidak harus menggunakan hitam putih, segera aku kirim sms ke temanku. Bukannya aku begitu teledor sampai-sampai tidak tahu baju yang harus aku pakai hari ini, jauh-jauh hari aku sudah menanyakan perihal tersebut kepada temanku yang menurutku informasi darinya sangat bisa dipercaya. Maka, beginilah aku sekarang, hanya memakai kaos belang-belang lengan panjang dan jeans berwarna abu-abu. Aku tidak tahu siapa yang benar, dan ini mulai membuat aku cemas.

Di tengah kepanikan, tiba-tiba saja motor Bapak berhenti. Dengan bingung aku bertanya kepada Bapak, setelah melongok ke depan dan belakang dengan penuh sesal Bapak mengatakan bahwa ban motor pecah. Uh-oh! Aku turun dari motor untuk melihatnya juga, berharap Bapak salah lihat. Dan hal konyol itu tidak terkabul, ternyata ban belakang motor Bapak memang pecah. Baru pukul 7 lebih 5 menit dan tidak ada bengkel yang buka jam segitu. Aku merasakan HP-ku bergetar pertandar satu pesan baru saja masuk. Betapa pentingnya hari ini, dan betapa sulit untuk melewatinya. Pesan itu menunjukkan bahwa aku resmi salah kostum. Jadilah cemas dan panikku berlipat-lipat. Raut wajah Bapak juga sudah tampak gelisah.

Bapak mulai mendorong motornya di jalanan yang ramai itu, mungkin berharap ada jalan keluar atau semacam pertolongan. Di belakang hampir putus asa aku mengikuti Bapak, sambil terus berkirim pesan untuk juga mencari bantuan. Aku menatap punggung lebar Bapak, pagi ini beliau bersemangat sekali. Tidak bisa aku bayangkan Bapak jika akhirnya nanti nasib kami berakhir menyedihkan. Walau harapan hampir tandas Bapak terus mendorong motor bersuara aneh itu, kini wajah tua Bapak mulai tampak lelah. Aku tidak tega melihatnya, ingin aku katakan agar Bapak tidak perlu mendorong motor lagi dan menunggu sampai ada bengkel yang buka saja, tidak perlu susah-susah mengejar ujianku, aku tidak apa-apa. Namun sekejap aku sadar, mungkin itu lebih menyedihkan untuk Bapak. Maka, hampir menangis aku terus saja jalan. Berharap apa yang diharapkan Bapak dikabulkan.

Saat itu lah secercah harpan terbit di antara perempatan jalan yang dipenuhi kendaran yang hilir mudik tidak keruan. Aku dan Bapak menyebrang, kami menemukan sebuah pasar. Segera kami mencari penjual yang menjual baju sekolah atau semacam kemeja. Tidak perlu waktu lama, sebuah kemeja putih sudah ada di tanganku, sayangnya merupakan kemeja laki-laki dan didapat dengan harga mahal. Satu masalah terselesaikan―perihal jeans-ku yang abu-abu aku memutuskan tidak terlalu pedulikan. Keluar dari pasar Bapak berbicara dengan orang asing yang sedang bertengger di atas motor bututnya di pinggir jalan. Aku tidak terlalu bisa menangkap pembicaraan, tetapi wajah sumringah Bapak terpeta jelas saat orang asing tadi beranjak dari motornya dan memberikan kunci kepada Bapak. Setelah itu aku tahu, ujian tes yang penting itu benar-benar penting, terlebih bagi Bapak.

Aku sampai di tempat ujian tepat waktu, dapat mengikuti ujian meski kostumku terlihat janggal di antara seluruh peserta ujian. Dengan sedikit tidak percaya, aku menjawab soal-soal sulit itu. Dan, keesokannya di hari kedua ujian aku harus menumpang dengan tetangga yang kebetulan searah sebab Bapak tidak bisa mengantarku dikarena masuk angin.
***

“… sebab hal-hal yang tidak terduga bisa terjadi kapan saja. Rasanya baru kemarin saga ogah-ogahan untuk mengikuti ujian tes masuk Universitas ini, sekarang saya sudah berdiri di sini. Satu hal yang menjadi biang kerok mengapa saya bisa jadi seperti ini, yaitu mereka…” Aku menoleh pada dua orang yang beberapa menit tadi―sambil terburu-buru memasuki ruangan ini. Mereka duduk pada deret bangku terakhir, tampak takjub mendapatiku bicara di depan.

“Cinta mengajarkan kita banyak hal. Kedua Orangtua saya adalah orang yang pertama memberitahu saya tentang cinta itu. Meski tampak sulit dan nyaris mustahil, ternyata cinta berhasil membuat saya sampai di sini. Karena cinta tidak pernah gagal. Cinta dari kedua orangtua saya tidak pernah gagal untuk membuat saya belajar.
*****
"Salah satu dari kumpulan cerpen Love Never Fail yang diterbitkan oleh Nulisbuku."

No comments:

Post a Comment