Keheningan
berhasil memecah suasana ruangan, puluhan orang yang ada di dalam bak terkena
mantra sihir dari sang MC setelah sesaat tadi memanggil namaku untuk maju ke
atas podium. Aku menarik napas dalam-dalam, suasana seperti ini malah lebih
menakutkan ketimbang ada yang bertepuk tangan. Tidak ada yang aku siapkan untuk
sambutan hari ini, terlebih karena aku tidak pernah membayangkan akan berdiri
di atas podium yang dibanggakan oleh orang-orang yang ada di hadapanku
sekarang. Tadi, pada saat pembawa acara memanggil namaku untuk kedua
kalinya―sebab pada panggilan pertama aku merasa tidak mengenal nama itu,
serius―aku tidak yakin tujuanku beranjak dari tempat duduk adalah menuju podium
ini. Aku tidak mau mengambil risiko, mungkin saja ada kesalahan. Namun, setelah
sentakan dari teman sebelahku dan riuh tepuk tangan yang keterlaluan itu
menyadarkan tentang satu kebenaran, aku merasa tidak ada pilihan. Seketika
podium ini berubah menjadi bagian yang menegangkan serta… mengharukan.
Aku
menatap lurus ke depan, ke segala penjuru yang sedang mewanti-wanti kalau-kalau
aku tidak tahu cara memakai microphone
yang ada di depan mulutku dengan baik dan benar. Aku maklum, rasa haru membuat
aku kehilangan kata-kata lantas tidak bisa langsung bicara. Hari ini merupakan
hari paling bersejarah sepanjang hidupku, momen yang harus dikristalkan lalu
disimpan dalam brangkas kehidupan. Satu dari tumpukan daftar hari yang aku
nantikan. Hari penting. Ada yang membuncah, kuat-kuat aku menahan genangan di
mataku agar tidak tumpah, tanggul itu mesti bertahan sampai kalimat sambutan
ini keluar. Kini semua mata tertuju padaku, entah mereka berharap aku berubah
jadi putri Indonesia, aku juga kurang tahu. Yang jelas, mereka ingin ada yang
terdengar dari microphone itu. Hanya saja,
fokusku kian pecah.
Aku
memandang jauh ke belakang, tepat pada pintu masuk di ujung ruangan. Sudah
kuputuskan tidak ada sambutan olehku sebelum jawaban dari daun pintu itu dapat
menenangkanku. Aku yakin―entah masih jauh atau sudah dekat―mereka akan datang.
Insting cinta jarang sekali gagal.
***
Pagi
yang luar biasa, pagi yang sudah kutunggu-tunggu datangnya!
Oh,
baiklah, biarkan aku menguap terlebih dahulu sebab ini masih terlalu pagi.
Menjadi munafik sepertinya akan terdengar buruk, dan aku tidak benar-benar
menginginkan hari ini, sebenarnya. Aku tidak boleh munafik, bukan? Namun
terkecuali untuk mereka, kurasa. Kedua orang dewasa yang telah merawatku seumur
hidupku itu. Mamak dan Bapak. Dilihat dari tingkah laku, Mamak dan Bapak lebih
cocok untuk yang mempunyai
urusan pagi ini. Akan tetapi, tentu saja tidak. Meski sejak sebelum adzan Subuh
tadi mereka lah yang sudah sibuk menyuruhku bersiap-siap, ini tetaplah hariku.
Waktu
hampir menunjukkan pukul 6 pagi, waku yang sebenarnya lebih nikmat jika
dihabiskan dengan bermalas-malasan di balik selimut. Namun aku harus mengubur
dalam-dalam impian terbesarku pagi ini, menyia-nyiakan udara dingin yang sangat
mendukung ini, sebab kedua hal tersebut tidak ditakdirkan untuk hari ini. Aku
harus rela menukar keduanya dengan mengikuti ujian test untuk masuk Perguruan
Tinggi Negeri. Dan, tidakkah itu terdengar menyedihkan?
Walaupun
ini hari penting, aku berhasil bersiap-siap dengan ogah-ogahan. Aku berdiri di depan teras rumahku sambil menunggu
Bapak yang masih berdiskusi dengan Mamak di dalam. Aku jadi bingung, siapa yang
sebenarnya akan ujian. Teras ini terasa lebih sempit sebab aku harus berbagi
tempat dengan motor keluaran lama milik Bapak yang mesinnya sedang dipanaskan. Mesin
itu mengeluarkan suara aneh yang tidak enak didengar. Jalanan di perumahan itu
pun masih lengang, tentu saja. Tidak banyak yang biasa dilakukan di pagi
setengah buta seperti ini. Tahu-tahu suara aneh
mesin motor itu berhenti, ternyata Bapak sudah keluar dan mematikannya.
Lalu Mamak juga keluar dari rumah, ingin mengantar kepergian kami.
“Semuanya
sudah dibawa, kan?”
Ini
adalah ketiga kalinya Bapak bertanya dengan inti pertanyaan yang sama. Maka aku
menjawab dengan jawaban yang sama juga, kali ini Bapak tampak yakin. Mamak
tidak mau kalah, setelah memberi jaket parasut berwarna biru pudar yang akan
dikenakan Bapak, Mamak lekas menyuguhkan wejangan layaknya aku akan pergi
perang. Ya, kupikir ini memang semacam perang. Sekitar pukul 6 lebih 15 menit
akhirnya aku dan Bapak berangkat.
Sebenarnya
ujian dimulai pukul 7.30
wib, namun jarak rumahku yang cukup jauh dari lokasi kampus mengharuskan aku
berangkat lebih awal. Waktu yang dibuthkan sekitar 45 menit atau lebih, belum
lagi macet yang menyebalkan. Berhubung ini adalah hari penting untukku―terlebih
untuk Mamak dan Bapak, semuanya harus dipersiapkan dengan matang. Aku membuka tasku
untuk mengambil HP yang tadi aku masukkan sembarangan. Dan, uh-oh! Aku dapat menemukan HP namun
tidak dengan kotak pensil yang tidak sengaja tidak kutemukan di dalam tas.
Lekas aku melapor ke Bapak, sambil memutar balik arah Bapak sedikit menggurutu.
Ternyata tiga kali Bapak bertanya tidak ada yang aku benar-benar dengarkan.
Setelah
itu motor dengan suara mesin aneh itu membawa Bapak dan aku menelusuri ruas-ruas
jalan. Mulai dari daerah pinggiran hingga kami sampai pada daerah perkotaan.
Bapak mengendarai dengan kecepatan sedang, tidak ingin perjuangan dari sebelum
subuh tadi sia-sia. Di belakang aku sedang asik saling balas sms dengan temanku yang juga akan mengikuti
ujian tes. Kami membuat janji pertemuan karena ruangan yang kami gunakan
berbeda. Sambil menikmati suasana lalu lintas, sesekali aku juga mengobrol
ringan dengan Bapak. Dan saat itu lah kembali aku temukan sesuatu yang janggal.
Pada
keramaian jalan itu aku mendapati banyak orang-orang yang memakai baju
putih-hitam, hal itu membuat perasaanku tidak enak. Untuk menenangkan diri, aku segera
menepis kemungkinan-kemungkian yang tidak diinginkan. Namun sepertinya Bapak
juga dapat menangkap kejanggalan itu, sebab beberapa saat kemudian Bapak
bertanya, “Kok, itu banyak yang pakai baju Hitam putih? Kamu memang tidak pakai
hitam putih juga?”
“Mungkin
itu untuk Universitas lain, Pak. Kalau kami tidak pakai hitam putih… kayaknya…”
Baiklah,
aku meragukan jawabanku sendiri dan jelas Bapak tidak puas dengan jawaban
tersebut. Aku disuruh Bapak untuk memastikan sekali lagi kalau aku memang tidak
harus menggunakan hitam putih, segera aku kirim sms ke temanku. Bukannya aku begitu teledor sampai-sampai tidak
tahu baju yang harus aku pakai hari ini, jauh-jauh hari aku sudah menanyakan
perihal tersebut kepada temanku yang menurutku informasi darinya sangat bisa
dipercaya. Maka, beginilah aku sekarang, hanya memakai kaos belang-belang
lengan panjang dan jeans berwarna
abu-abu. Aku tidak tahu siapa yang benar, dan ini mulai membuat aku cemas.
Di
tengah kepanikan, tiba-tiba saja motor Bapak berhenti. Dengan bingung aku
bertanya kepada Bapak, setelah melongok ke depan dan belakang dengan penuh
sesal Bapak mengatakan bahwa ban motor pecah. Uh-oh! Aku turun dari motor untuk melihatnya juga, berharap Bapak
salah lihat. Dan hal konyol itu tidak terkabul, ternyata ban belakang motor
Bapak memang pecah. Baru pukul 7 lebih 5 menit dan tidak ada bengkel yang buka
jam segitu. Aku merasakan HP-ku bergetar pertandar satu pesan baru saja masuk. Betapa
pentingnya hari ini, dan betapa sulit untuk melewatinya. Pesan itu menunjukkan
bahwa aku resmi salah kostum. Jadilah cemas dan panikku berlipat-lipat. Raut
wajah Bapak juga sudah tampak gelisah.
Bapak
mulai mendorong motornya di jalanan yang ramai itu, mungkin berharap ada jalan
keluar atau semacam pertolongan. Di belakang hampir putus asa aku mengikuti
Bapak, sambil terus berkirim pesan untuk juga mencari bantuan. Aku menatap
punggung lebar Bapak, pagi ini beliau bersemangat sekali. Tidak bisa aku
bayangkan Bapak jika akhirnya nanti nasib kami berakhir menyedihkan. Walau harapan
hampir tandas Bapak terus mendorong motor bersuara aneh itu, kini wajah tua
Bapak mulai tampak lelah. Aku tidak tega melihatnya, ingin aku katakan agar
Bapak tidak perlu mendorong motor lagi dan menunggu sampai ada bengkel yang
buka saja, tidak perlu susah-susah mengejar ujianku, aku tidak apa-apa. Namun
sekejap aku sadar, mungkin itu lebih menyedihkan untuk Bapak. Maka, hampir
menangis aku terus saja jalan. Berharap apa yang diharapkan Bapak dikabulkan.
Saat
itu lah secercah harpan terbit di antara perempatan jalan yang dipenuhi
kendaran yang hilir mudik tidak keruan. Aku dan Bapak menyebrang, kami
menemukan sebuah pasar. Segera kami mencari penjual yang menjual baju sekolah
atau semacam kemeja. Tidak perlu waktu lama, sebuah kemeja putih sudah ada di
tanganku, sayangnya merupakan kemeja laki-laki dan didapat dengan harga mahal. Satu masalah
terselesaikan―perihal jeans-ku yang
abu-abu aku memutuskan tidak terlalu pedulikan. Keluar dari pasar Bapak
berbicara dengan orang asing yang sedang bertengger di atas motor bututnya di
pinggir jalan. Aku tidak terlalu bisa menangkap pembicaraan, tetapi wajah
sumringah Bapak terpeta jelas saat orang asing tadi beranjak dari motornya dan
memberikan kunci kepada Bapak. Setelah itu aku tahu, ujian tes yang penting itu
benar-benar penting, terlebih bagi Bapak.
Aku
sampai di tempat ujian tepat waktu, dapat mengikuti ujian meski kostumku
terlihat janggal di antara seluruh peserta ujian. Dengan sedikit tidak percaya,
aku menjawab soal-soal sulit itu. Dan, keesokannya di hari kedua ujian aku
harus menumpang dengan tetangga yang kebetulan searah sebab Bapak tidak bisa
mengantarku dikarena masuk angin.
***
“…
sebab hal-hal yang tidak terduga bisa terjadi kapan saja. Rasanya baru kemarin
saga ogah-ogahan untuk mengikuti
ujian tes masuk Universitas ini, sekarang saya sudah berdiri di sini. Satu hal
yang menjadi biang kerok mengapa saya bisa jadi seperti ini, yaitu mereka…” Aku
menoleh pada dua orang yang beberapa menit tadi―sambil terburu-buru memasuki
ruangan ini. Mereka duduk pada deret bangku terakhir, tampak takjub mendapatiku
bicara di depan.
“Cinta
mengajarkan kita banyak hal. Kedua Orangtua saya adalah orang yang pertama
memberitahu saya tentang cinta itu. Meski tampak sulit dan nyaris mustahil, ternyata
cinta berhasil membuat saya sampai di sini. Karena cinta tidak pernah gagal.
Cinta dari kedua orangtua saya tidak pernah gagal untuk membuat saya belajar.”
*****
"Salah satu dari kumpulan cerpen Love Never Fail yang diterbitkan oleh Nulisbuku."
No comments:
Post a Comment