Langkah-langkah yang gelisah itu, terpantul pada
genangan bekas hujan, dalam mimpku tadi malam. Rasa-rasa sudah lama sekali
tidak mendengar percikan itu. Sejenak aku ingin berdiam, mencuri kehangatan
kenangan yang belakangan ini menggigil—entah karena apa. Mungkin karena rindu yang
tak jua bermuara, atau mungkin karena hati yang masih sama-sama jengah. Lalu,
seketika percikan tadi tak lagi dapat kudengar. Hanya resah yang tertinggal
dalam bias genangan. Menyusul pagi yang menghapus sisa-sisa semalam.
Ada di suatu siang, aku teringat ketika titk-titik
masa lalu mempertanyakan ujung jalan itu. Seakan sekumpulan prosa tengah
melempari bait demi baitnya, merontokkan setiap rima: tentang kita.
Mendeklarasikan bahwa mereka tak lagi punya makna. Kepada kata tercampakkan dan
terlupakan, mereka mulai belajar untuk tidak merasakan apa-apa. Sedang kita
hanya menatap datar. Bahkan lebih datar dari kehidupan kita sebelum ini. Tidak
mengingat apa-apa, dan tidak perlu mengenang apa-apa. Kini ujung jalan itu
tampak lebih jauh. Sejauh dua punggung yang saling berhadapan. Sejauh ‘kita’:
penghubung yang memisahkan.
Kadang, sekelebat ide menyusup pada sepersekian
detik saat pandangan saling bertukar. Hei, apakah kau sadar? Mata yang baru
saja menghampiri matamu itu adalah mata yang dulu... oh, ya, ya, aku mulai
lagi—meracau tentang hal-hal dulu. Sekelebat ide tadi, menunggu, layaknya ia
mengenal waktu. Ide yang belakangan membuat aku merangkai beberapa pertanyaan
yang harus kujawab sendiri. Sudahkah kita sama-sama saling menyumbangkan
pengertian? Lalu, bagaimana dengan bertukar senyuman? Semacam senyuman yang dapat
mengatakan—hei, ini aku. Kau masih ingat,
kan? Aku tahu aku cukup sulit untuk dilupakan. Omong-omong, bisakah kita
memiliki satu waktu untuk bertemu? Kau tahu, ada beberapa hal yang seharusnya
kukatakan saat itu, namun tidak kukatakan. Juga ada beberapa hal yang kukatakan
saat itu, yang seharusnya tidak kukatakan. Jadi... Oh, baiklah, berhenti di
situ. Bisakah kau membayangkan akan seperti apa senyuman ini? Dan, yang
berhasil menjawab sekelebat ide tersebut adalah sepersekian detik selanjutnya, sepersekian
detik setelah tatapan matamu menghilang dariku. Tatapan yang tidak mengatakan
apa-apa. Namun, pada akhirnya, ide layaknya tak kenal jemu, sebab hanya pada
setiap sepersekian detik itulah ia bisa bertaruh.
Mencari adalah bagian paling epik dari kisah ini,
bukan? Dimana ada saat aku begitu merindukan mimpi, dimana kata bisa melukai
makna, dimana taruhan tak lagi sesuatu yang berharga. Aku masih mencari, entah
itu siapa dan dimana. Aku memiliki cukup waktu untuk menerka-nerka tentang alasan
mengapa semua ini terjadi. Ini seperti menyusun sebuah puzzle. Mencoba
menemukan setiap kepingan yang akan saling menggenapkan. Setiap kepingan yang
nantinya akan berada di tempat seharusnya ia berada. Tidak akan kemana-mana,
tidak akan tertukar. Sebab, ia tahu kemana seharusnya bermuara, ia tahu dimana
pencarian itu akan berlabuh, selamanya.
Lalu, pada akhirnya, aku bisa menanyakan apa yang
selama ini ingin aku tanyakan.
(Jakarta, 06092017)
PS:
Original version: Where Have You Been?
No comments:
Post a Comment