Euforia kembali.
Kini dengan sekelumit perasaan yang tak kunjung pergi. Masih dengan perpaduan antara
mimpi dan misteri, yang seakan telah bersahabat sejak rasa ini terpatri, yang
belakangan membuatmu ingin lari. Begitu, kah? Namun, anehnya, kau tak pernah
benar-benar sanggup untuk mengingkarinya. Tak pernah benar-benar ingin
meninggalkannya. Hingga tanya-tanya itu terunggah, menuntutmu menyerah. Adakah mimpi
terhapus oleh pagi? Atau, bisakah misteri terpecahkan oleh sunyi? Sedikit saja.
Agar ilusi tak sempat meranumkan hati, dan pesona tak sempat menguasai peri. Layaknya
harap-harap yang terulang. Sayangnya, seperti biasa, hanya ada sautan oleh diam
yang bergema. Bukan penjelasan sebagaimana mestinya. Meski kali ini hadir marah
yang menyurut lelah, nyatanya kau tetap saja rela—menyisipkan resah yang
percaya, entah akan apa. Mungkin akan suatu masa, atau malah akan jejak yang
tak jua bernama. Tidakkah kau merasa ini saatnya untuk mengatakan ‘sudah’? Baiklah,
terserah. Jika kau bersedia, tunggu saja. Sampai kau temukan makna sekelumit
rasa itu sesungguhnya, dan menyadari, bahwa pada akhirnya euforia hanya akan membuatmu menjadi penerjemah yang
salah.
(Pekabaru, 31082015)
No comments:
Post a Comment