Saturday 3 August 2019

Pagi Ini


Pagi ini, lagi-lagi saya tertanya mengapa rasa kecewa itu masih bergelayut di hati dan tak kunjung pergi. Sudah hampir dua tahun, bukan? Tidakkah cukup untuk mengeringkan luka selama itu? Harusnya cukup. Jauh sebelum-sebelum hari ini, harusnya cukup. Di beberapa waktu yang lalu, sempat terpikir bahwa luka ini sudah kering, bahwa saya telah mendapati penerimaan yang benar itu, bahwa waktu akhirnya menyembuhkan, atas semua yang telah terjadi. Namun kenyataan mementahkan anggapan itu. Entah bagaimana luka ini, menjadi jenis luka yang tak pernah bisa benar-benar kering. Tidak akan bisa. Jadi, apa saya akan menjadi pesakitan selamanya? Apa saya harus menghabiskan jatah waktu saya di dunia ini dengan membawa beban itu kemana-mana? Saya tidak yakin, saya sanggup.

Pagi ini, lagi-lagi saya melemparkan pertanyaan pada diri sendiri, apa yang harus kamu lakukan, Yuni? Mengapa kamu selalu begini? Apa yang menyebabkan luka ini selau kembali melukaimu? Tak bisakah kamu merelakannya pergi? Tak bisakah kamu menenangkan hati yang marah entah sudah berapa lama itu? Ini melelahkan, kamu tahu, kan? Yuni, apa kamu baik-baik saja?

Lalu di suatu pagi, teringat satu ceramah seorang Ustad yang menceritakan kisah turunnya surat ad-dhuha.
“(1) Demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepenggalah), (2) dan demi malam apabila telah sunyi, (3) Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu, (4) dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan. (5) Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas. (6) Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu), (7) dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk, (8) dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. (9) Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. (10) Dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah engkau menghardik(nya). (11) Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).”
Saya akhirnya paham, bahwa sebelum-sebelum hari ini, saya salah paham.

Memang benar, bahwa luka ini adalah jenis luka yang tidak akan pernah sembuh, bahwa beban yang menyertainya akan saya bawa sepanjang sisa hidup nanti. Sebab rasa sakit, sedih, kecewa, penyesalan, dan putus asa terhadap diri sendiri itu pada akhirnya memiliki sebuah tempat tersendiri dan menjadi bagian dari sebuah keutuhan. ‘Mereka’ bergumal bersama waktu menjadi sesuatu yang mau tidak mau harus saya akui keberadaannya. Kamu tidak bisa membuang bagian dari dirimu sendiri, bukan? Sebab ‘mereka’ adalah sebuah pembuktian eksistensi. Apa yang biasa kita sebut sejarah. Oleh sebab itu, luka ini, alih-alih dibuang, harusnya kamu merawatnya.

Tak perlu lagi pertanyaan-pertanyaan—yang saat sepi menjelang dan ia pun datang—itu dilontarkan. Sudahilah menyalahkan diri sendiri atas kesalahan di masa lalu. Jangan lagi menangisi diri sendiri. Hadapilah rasa sakit, berilah pemahaman pada kesedihan, hibur hati yang kecewa, tenangkan segala penyesalan yang ada, dan setiap putus asa datang kalahkan dengan semangat yang membara. Luka-luka itu, rawatlah mereka. Dengan kesabaran, kelembutan, keikhlasan, dan kegigihan,  rawatlah mereka dengan benar. Kamu tidak bisa menjadi kamu yang lebih baik tanpa mereka.

Luka-luka ini, bisa jadi masa perawatannya sepanjang hidup. Meski sudah dirawat, tidak ada jaminan mereka tidak akan menyerangmu lagi. Karena ini bukan perihal menjinakkan, melainkan suatu proses pembelajaran dari sebuah penerimaan yang benar. Dan waktu terus berjalan. Maka berhati-hatilah, sebab terkadang, waktu lebih kenal baik dengan luka ketimbang kita.

(Pekanbaru, 21072019)
—Andrianyuni

No comments:

Post a Comment