Pagi ini, lagi-lagi saya tertanya mengapa rasa
kecewa itu masih bergelayut di hati dan tak kunjung pergi. Sudah hampir dua
tahun, bukan? Tidakkah cukup untuk mengeringkan luka selama itu? Harusnya
cukup. Jauh sebelum-sebelum hari ini, harusnya cukup. Di beberapa waktu yang
lalu, sempat terpikir bahwa luka ini sudah kering, bahwa saya telah mendapati
penerimaan yang benar itu, bahwa waktu akhirnya menyembuhkan, atas semua yang
telah terjadi. Namun kenyataan mementahkan anggapan itu. Entah bagaimana luka
ini, menjadi jenis luka yang tak pernah bisa benar-benar kering. Tidak akan
bisa. Jadi, apa saya akan menjadi pesakitan selamanya? Apa saya harus
menghabiskan jatah waktu saya di dunia ini dengan membawa beban itu
kemana-mana? Saya tidak yakin, saya sanggup.
Pagi ini, lagi-lagi saya melemparkan pertanyaan pada
diri sendiri, apa yang harus kamu lakukan, Yuni? Mengapa kamu selalu begini? Apa
yang menyebabkan luka ini selau kembali melukaimu? Tak bisakah kamu
merelakannya pergi? Tak bisakah kamu menenangkan hati yang marah entah sudah
berapa lama itu? Ini melelahkan, kamu tahu, kan? Yuni, apa kamu baik-baik saja?
Lalu
di suatu pagi, teringat satu ceramah seorang Ustad yang menceritakan kisah
turunnya surat ad-dhuha.
“(1)
Demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepenggalah), (2) dan demi malam apabila
telah sunyi, (3) Tuhanmu tidak
meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu, (4) dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik
bagimu dari yang permulaan. (5) Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya
kepadamu, sehingga engkau menjadi puas. (6) Bukankah Dia mendapatimu
sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu), (7) dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan
petunjuk, (8) dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia
memberikan kecukupan. (9) Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku
sewenang-wenang. (10) Dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah engkau
menghardik(nya). (11) Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan
(dengan bersyukur).”
Saya akhirnya paham, bahwa sebelum-sebelum hari ini, saya salah
paham.
Memang benar, bahwa luka ini adalah jenis luka yang tidak akan
pernah sembuh, bahwa beban yang menyertainya akan saya bawa sepanjang sisa
hidup nanti. Sebab rasa sakit, sedih, kecewa, penyesalan, dan putus asa
terhadap diri sendiri itu pada akhirnya memiliki sebuah tempat tersendiri dan
menjadi bagian dari sebuah keutuhan. ‘Mereka’ bergumal bersama waktu menjadi
sesuatu yang mau tidak mau harus saya akui keberadaannya. Kamu tidak bisa
membuang bagian dari dirimu sendiri, bukan? Sebab ‘mereka’ adalah sebuah
pembuktian eksistensi. Apa yang biasa kita sebut sejarah. Oleh sebab itu, luka ini,
alih-alih dibuang, harusnya kamu merawatnya.
Tak perlu lagi pertanyaan-pertanyaan—yang saat sepi menjelang dan
ia pun datang—itu dilontarkan. Sudahilah menyalahkan diri sendiri atas
kesalahan di masa lalu. Jangan lagi menangisi diri sendiri. Hadapilah rasa
sakit, berilah pemahaman pada kesedihan, hibur hati yang kecewa, tenangkan
segala penyesalan yang ada, dan setiap putus asa datang kalahkan dengan
semangat yang membara. Luka-luka itu, rawatlah mereka. Dengan kesabaran,
kelembutan, keikhlasan, dan kegigihan, rawatlah
mereka dengan benar. Kamu tidak bisa menjadi kamu yang lebih baik tanpa mereka.
Luka-luka ini, bisa jadi masa perawatannya sepanjang hidup. Meski
sudah dirawat, tidak ada jaminan mereka tidak akan menyerangmu lagi. Karena ini
bukan perihal menjinakkan, melainkan suatu proses pembelajaran dari sebuah
penerimaan yang benar. Dan waktu terus berjalan. Maka berhati-hatilah, sebab
terkadang, waktu lebih kenal baik dengan luka ketimbang kita.
(Pekanbaru, 21072019)
—Andrianyuni
No comments:
Post a Comment