Friday 5 April 2013

The Reason



Karena kita berbeda
Berdiri di tepian jurang nestapa
Karena kita terus bertanya
Di mana seharusnya ada asa?
Karena kita saling jatuh cinta
Dan semua seakan tak berdaya
***
          Rifky memandangi pinggiran cangkir capucinno-nya yang baru datang sebentar, lalu mendesah pelan. Aroma pekat minuman itu terkuar dari asap yang mengepul-ngepul ke udara, sejenak seperti menyita perhatiannya. Disentuhnya  bibir cangkir itu tampak enggan untuk segera meminumnya. The Cafe terlihat lengang sore itu, meninggalkan kesan nyaman yang terpendam. Dengan pandangan kosong Rifky mendapati pikirannya sedang melanglang buana, terdampar pada pembicaraan dengan seseorang tadi malam.
          “Ky?” Rifky terjaga dari lamunannya saat jari-jari seorang gadis menyentuh jemarinya. Ia baru sadar panggilan tersebut datang bukan dari visualisasi pikirannya itu. Ditatapnya gadis yang duduk di depannya, Viola. Wajah Viola tersenyum, namun matanya terlihat agak cemas. Rifky menyadari kesalahannya. Diliriknya capucinno yang belum diteguk setetes pun, mencari tahu apakah asap masih mengepul-ngepul dari sana. Uap itu terlihat mulai samar. Jadi, sudah berapa lama ia melamun sebenarnya?
          “Kok menung? Mau cerita?” Viola akhirnya bertanya, mimik wajahnya sekilas terbaca. Rifky terdiam sesaat, jari lentik itu sudah tidak terasa lagi. Rifky mencari kata-kata yang pas untuk memulai kata, tapi tidak menemukannya juga. Ia memilih menyeruput capucinno­-nya sebelum benar-benar dingin seperti jalan otaknya.
          Gimana siaran kamu tadi?” Rifky mengalihkan pembicaraan, ia lebih suka mendengar Viola yang bercerita daripada mengeluarkan ceritanya sendiri.
          Viola mengerjap beberapa kali, menyadari semuanya. Ia memilih lebih dulu memainkan sedotan sebelum meminum strawberry float-nya barang sekejap. Rifky mengawasi itu semua, gerakan-gerakan kecil Viola yang ia rekam dalam ingatannya. Bibir  Viola baru terbuka, namun matanya seakan sudah bercerita.
          Unexpectable! Kamu tahu Mita, kan? Itu... yang biasa nyiar bareng aku. Tadi dia enggak masuk, enggak tahu tuh kenapa. Yang bikin kesel Mita enggak kasih kabar ke aku atau pun yang lain kalau dia bakal enggak masuk. Kan, jadi ribet… Orang-orang di kantor sampai kelimpungan nyari ganti dadakan, mana waktunya udah mepet. Darma yang biasa nge-cover-in acara masih sakit...
          “Kebetulan aja sih ada Selly. Selly itu anak baru yang tugasnya bawain siaran acara siap aku, terpaksa narik dia, deh... Yah, not bad sih, cuma rada canggung gitu tadi. Biasa lah anak baru…” Viola terdiam sebentar menyadari ia sudah terlalu panjang berbicara dan ia butuh untuk menarik napas sebentar. “Semoga pendengar enggak kecewa aja, deh....” Lanjutnya, hal yang ia khawatirkan adalah para pendengar sejatinya tidak merasa terhibur olehnya.
          “Kan baru sekali ini, Vi. Pendengar kamu enggak bakal kecewa, lah... bahkan mungkin mereka enggak sadar kalau ada yang beda. Kamu santai aja...”
          Viola selalu bersedia kalau diminta bercerita, mungkin karena itu ia bekerja di salah satu kantor Radio swasta. Viola sangat mencintai pekerjaannya, ia pernah mengatakan ingin terus menjadi penyiar sampai semua orang sudah bosan untuk mendengarnya lagi. Kata-kata yang keluar dari bibir Viola nyaris seperti mengalir, saat berbicara semua gerakan tubuh Viola seakan ikut berkisah. Rifky menyukai hal itu, menyukai semua tentang Viola.
          Rifky hanya bergumam beberapa kali, masih menikmati jernihnya suara Viola yang terus terdengar. Rifky tahu, ia tidak akan pernah bosan untuk menjadi pendengar setia gadis itu, pemerhati gadis yang ia kenal empat tahun lalu tersebut. Sampai kapan pun. Dan dalam diam Rifky berharap satu hal, dapat mendengar suara gadis itu di sepanjang hidupnya nanti.
          “Oh, iya... aku udah kasih tahu kamu belum, kalau tahun baru ini aku bakal ngerayain di Malang bareng keluarga di sana?”
          Tuh, barusan kamu kasih tahu...”
          Viola kontan nyengir konyol karena keseringan lupa. “Kamu enggak pa-pa kan, aku tinggal sendiri? Hehe...”
          Hmm... Gimana, yaaa? Mungkin kalau ada cewek yang nemenim sih, enggak masalah...”
          “Mama kamu? Boleh aja, kok...” Viola memeletkan lidah, Rifky terkekeh mengulum tawa. Suasana seperti ini yang biasanya membuat mereka tenang. Yang mampu membunuh waktu yang tersisa. Meyakinkan keduanya bahwa masih ada alasan untuk bersama.
          Rifky sudah hampir melupakan beban pikiran yang tadi ia bawa ke Cafe, sampai suara Viola selanjutnya mengubah duduknya.
“Ky... kamu yakin enggak mau cerita apa-apa sebelum aku pergi ke Malang? Nanti masalahnya makin larut, lho… Kita kan, udah pernah janji bakal menyelesaikan masalah sama-sama...” Viola tidak tahu sejak kapan ia merasa segala beban pemuda itu juga menjadi bebannya.
          Rifky terduduk resah di kursinya, mengerti pada akhirnya ini akan tiba. Mengungkapkan satu masalah yang sebenarnya sudah ada bersama kebersamaan mereka. Seperti sebuah lubang yang dapat membuat mereka jatuh kapan saja. Rifky menumpukkan kedua siku tangannya di meja, memuntahkan keputusannya.
“Tadi malam... Mama nanyain tentang calon pendamping hidup aku lagi, Vi...” Untuk sepatah kalimat itu ternyata Rifky kembali kehilangan kata, ia yakin tidak benar-benar bisa menyampaikannya kepada gadis di hadapannya sekarang. Melukai gadis itu… lagi.
          Kalimat Rifky layaknya sepotong mantra, menyihir keduanya menjadi saling tidak bersuara. Rifky dan Viola membiarkan udara hampa yang mengisi sebentar, membiarkan hanya senyap yang terkuar. Keduanya menyiapkan.
          Viola masih menunggu Rifky mengeluarkan penjelasan, hatinya sebenarnya juga tidak tenang. Ada sedikit sesal mengapa tadi ia harus mendesak Rifky. Ia tahu penjelasan itu mungkin akan terdengar menyesakkan. Pahit. Dan itu selalu membuatnya takut. Viola terhenyak, sepertinya pemuda itu memilih kembali menelan cerita.
Masih sunyi, sampai sebuah dentingan suara lonceng dari pintu Cafe berbunyi menandakan ada yang baru lewat sekaligus menyadarkan mereka. Mau tidak mau memaksa Rifky dan Viola mengingat bahwa mereka masih berada di tempat yang sama.
          Terus… kamu jawab apa?” Viola bertanya terlalu hati-hati, karena sejujurnya ia tidak ingin tahu jawabannya.
          Rifky menarik napas dalam-dalam lalu menjawab dengan pelan. “Aku bilang belum ada yang cocok aja, belum ada yang sesuai dengan tipe aku, lah... toh aku juga belum terlalu tua. Aku rasa Mama juga udah hafal sama jawabannya. Tapi... enggak tahu kenapa, semalam kayaknya Mama lebih cerewet dari sebelumnya, malah nyaris was-was...” Dan sekarang Rifky juga ikut was-was.
          Kembali diam, dan kembali lonceng pintu berbunyi lagi. Membebaskan waktu untuk membawa mereka pergi kepada takdir yang seharusnya.
***
          Viola menekan bel rumah itu beberapa kali dengan agak kencang―karena melakukannya dengan gugup. Rumah itu tampak asri dengan arsitektur minimalis. Viola pernah beberapa kali melewatinya, namun baru kali ini ia akan benar-benar masuk―itu pun jika dibukakan pintu dan dipersilakan masuk.  Kenyataanya Viola ingin sekali memasuki rumah itu, mengetahui isi di dalamnya. Namun, selalu ada alasan yang membuatnya berpikir dua kali untuk melakukannya. Karena itu tadi ia sempat ragu untuk mendatangi rumah ini, sayangnya ia harus menyerahkan berkas-berkas milik Rifky sebelum berangkat ke Malang. Lagi-lagi karena kelupaan.
          Ting Tong!
          “Pemisiii!”
          Selang beberapa menit pintu lebar itu terbuka, menampakkan seorang wanita setengah baya berkerudung warna nila dengan wajah berkerut bingung. Mamanya Rifky, tebak Viola.
          “Se-selamat siang, Bu...” sapa Viola canggung. Sepanjang ia bersama Rifky baru kali ini Viola berhadapan langsung dengan mama Rifky.
          “Selamat siang. Maaf... cari siapa, ya?” Mama Rifky belum lepas dari mimik wajah sebelumnya.
          “Saya Viola, Bu... temannya Rifky. Saya mau menyerahkan ini...” Viola menyerahkan suatu map berwarna merah. “ Kemarin tertinggal sama saya, lanjutnya to the point.
          Ooh… tapi Iky belum pulang, katanya ada sur-vei atau apa gitu… ibu kurang ngerti.”
          “Iya, Bu… makanya berkasnya saya antar ke rumah.”
          Mama Rifky mulai paham dan sempat tersenyum maklum kepada Viola. Tadi ia hanya ragu―jarang seorang gadis datang ke rumah, takutnya gadis yang tersesat. Mama Rifky kembali memperhatikan tamunya itu lebih intens. ‘Iky punya teman cantik kok, enggak pernah mau ngenalin?’ pikirnya. Saat baru ingat untuk mempersilakan Viola masuk, beliau tiba-tiba menunda niatnya. Bukan apa-apa, mama Rifky hanya sedang memastikan penglihatannya ketika menatap bandul dari kalung gadis tersebut, beliau sedikit terpana.
          Viola mengikuti arah mata mama Rifky dengan bingung, lalu reflek menyembunyikannya bandul kalungnya ke balik baju. Bandul kalung yang berbentuk simbol kepercayaannya itu mencuat. Ada sesal yang menggerogoti hati Viola setelahnya. Entah mengapa hubungan ini seakan selalu mengiringnya kepada penyesalan.
          “Kamu... teman sekantor Iky, ya?”
          Eum... Bukan, Bu. Saya... teman lama Rifky, teman sewaktu kuliah.” Sedikit gelagapan, Viola tersenyum sopan kepada mama Rifky. Ia melihat sorot mata itu, sorot mata yang tenang dan dalam. Kini Viola tahu dari mana sinar mata Rifky berasal.
          Mama Rifky baru ingin membuka mulutnya untuk meneruskan niat mempersilakan tamunya masuk saat…
          “Ya sudah, Bu... saya cuma mau ngasih ini. Tolong sampaikan ya...”
          “Ee, iya...nanti Ibu sampaikan, jawab beliau reflek.
          “Kalau gitu saya pamit pulang saja, Bu...”
          Lho... kok buru-buru? Enggak masuk dulu?” Mama Rifky jadi merasa bersalah karena tadi sempat menunda niatnya. Bagaimanapun, gadis itu datang untuk keperluan membantu.
          Enggak deh Bu... kebetulan saya memang lagi buru-buru.” Walau tadi ingin, Viola memilih menolaknya. Tiba-tiba ia jadi takut kecewa. Viola melangkah mundur bersiap untuk beranjak dari sana. “Saya pulang dulu, Bu. Permisi...”
          Viola akhirnya melangkah panjang, memutuskan untuk kembali seperti berpura-pura. Meski ia tidak tahu harus sampai kapan membiarkan harapan-harapannya terus mengawang di pelukan angan.
***
          Rifky terdiam menatap layar iPhone-nya, masih menimbang apa yang akan ia tulis di sana. Dibacanya sekali lagi pesan singkat dari Viola yang sudah masuk dari tadi.
          Sayaaang jemput aku ya?? Aku kangen nyiar jadi pulang duluan :D
          Di bandara jam 3 sore ini, see yaaa
          *ps: kangen kamu juga kok :p
          Sender: Viola +628137345XXXX
          Received: 01:16:48pm
          Today
           Hentakan sepatu yang beradu dengan lantai tangga mengagetkan Rifky, mamanya hampir sampai di dekatnya yang berdiri di ujung tangga.
          Lho Ky, kok masih bengong di sini? Mobilnya sudah dipanaskan?”
          Udah, Ma...” Rifky menjawab ogah-ogahan.
          “Ya sudah kalau gitu kita berangkat sekarang, yuk! Kasihan nanti Rere nunggu lama.” Ditariknya lengan Rifky agar segera beranjak. Mama tampak begitu antusias walau Rifky terlihat sebaliknya.
          Rifky merasa langkahnya berat, seakan seluruh badannya menjadi beban yang sangat mengganggu ketika ia bergerak. Ditambah ia harus mengetik balasan pesan singkat itu.
          Aku  meeting bareng bos vi, maaf ya?
          Besok aku jemput kamu di kantor, miss u too...
          To: Viola +628137345XXXX
          Sent: 02:03:59pm
          Today
***
Saat kita kehilangan pegangan
Saat kita menyerah pada harapan
Kita mengerti, berpura-pura itu melelahkan
Dan pengkhianatan bukanlah jalan
Maka kini kita memilih melepaskan
Karena tak ada lagi alasan untuk mempertahankan
***
          Jazz itu sudah berhenti sejak beberapa menit yang lalu di depan sebuah pagar bercat coklat tua. Namun belum ada yang terjadi setelah mesin mobil dimatikan sejak beberapa menit yang lalu. Kedua penumpangnya  sibuk menata hatinya masing-masing.
          “Semua… bakal baik-baik aja, kan?”
          Viola benar-benar ingin mengatakan sesuatu untuk menenangkan pemuda yang bertanya itu, namun ia bahkan kesusahan menemukan suaranya sendiri. Entah kemana perginya celotehan panjang seperti biasa itu. Viola pun ragu… apa ia bisa menjawab pertanyaan itu sedang ia juga menanyakannya juga?
          “Mungkin… ini enggak seburuk yang kita bayangkan.” Viola merasa suaranya jauh sekali, “Mungkin semua akan baik-baik aja…”
          Rifky meremas steer mobilnya kuat-kuat, merasakan buku-buku jarinya memucat dan dingin. Baru kali ini ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperjuangkan yang diinginkannya, walau itu adalah hal yang paling diinginkannya di dunia ini. Dan itu membuat Rifky membenci dirinya sendiri.
          Rifky terkesiap saat tiba-tiba tangan Viola mengusap tangan kirinya, perlahan pegangannya pada steer mengendur. Sentuhan itu selalu terasa lembut dan hangat.  Rifky bergeming, tidak bisa membayangkan jika ini yang terakhir. Hari ini yang terakhir?
          Makasih buat semuanya… makasih karena kamu udah mau bertahan sejauh ini sama aku.” Viola sadar, kali ini ia tidak mampu menggantikan tangis yang ditahan dengan seulas senyum seperti sebelum-sebelumnya. Itu hanya akan menjadi usaha terakhirnya yang sia-sia.
          Rifky menatap Viola lekat-lekat, mendapati di mata gadis itu sudah menggenang air yang siap terjun kapan saja. Dan ia tidak tahu kapan air mata itu akan berhenti nantinya. Apa ia masih bisa menghapusnya untuk gadis itu? Apa ia masih bisa melihat gadis itu di hidupnya? Rifky sungguh tidak ingin ini menjadi yang terakhir.
***
          Gimana kabar kamu, vi?
          To: Viola +628137345XXXX
          Sent: 03:03:29pm
          19-02-2013
          Viola… kamu sibuk? Kita bisa ketemu ga?
          Makan siang?
          Sent: 11:41:23am
          22-02-2013
          Kamu dimana, vi? Kok gak ada kabar??
          To: Viola +628137345XXXX
          Sent: 11:12:59am
          26-02-2013
          Vi, kamu baik2 aja kan??
          Aku harap kamu baik2 aja, kita akan baik2 aja…
          Please kasih kabar ke aku vi…
          To: Viola +628137345XXXX
          Sent: 08:09:32pm
          01-03-2013
          Viola???
          To: Viola +628137345XXXX
          Sent: 08:09:32pm
          04-03-2013
***
          “Halo? Vi?”
          “Iya…”
          “Kamu kemana aja? Kenapa…”
          “Aku baik-baik aja, Ky…”
          “Syukur deh, kalau gitu. Dari kemarin-kemarin kamu enggak bisa dihubungi, Vi…”
          “Maaf  baru ngabarin kamu sekarang. Aku… pindah ke Malang, Ky…”
          “Apa? Malang?”
          “Iya, minggu lalu…”
          “Kenapa?”
          “Enggak pa-pa…”
          “Viola?”
          “Aku enggak pa-pa, Ky…”
          “Maaf…”
          “Gak perlu minta maaf, Ky… Aku pikir mungkin kayak gini jauh lebih baik…”
          “Tapi kenapa harus pindah, Vi? Aku rasa ini bukan jalan keluar…”
          “Karena aku  enggak punya alasan lagi untuk bertahan di sana…”
          “Seburuk itu, Vi?”
          “Dulu… kita udah nyoba berjalan di jalan yang sama, walaupun kita tahu tujuan kita beda. Kita berbeda, Ky… dan sekarang kita ngerti kalau cara itu enggak bakal berhasil. Jadi, aku cuma pengen ngelupain semuanya, memulainya dari awal lagi…”
          “Ini lebih buruk dari yang aku bayangkan, Vi…”
END

No comments:

Post a Comment