Monday 1 April 2013

Until

Just Until
Ada pesan tak kasat mata
Dilebur tanpa harus menyapa
Dirajut waktu dalam roda
Untuk sekilas rasa tak dinyana
***
    Sang mentari masih bergelayut malu, belum mau menampakkan diri sepenuh dirinya. Namun sinar meganya telah dipamerkan  kepada hiruk-pikuk kota yang masih terlihat lengang dalam konteks normal seperti biasa.
    Hal yang sama terpeta juga pada tempat orang-orang menimba ilmu untuk tingkat menengah atas itu. Waktu yang masih menunjukkan pukul 6 pagi menegaskan bagaimana suasana SMA CAKRAWALA yang masih terlihat tenang. Hanya segelintir murid rajin yang bersedia meluangkan waktu untuk bergentayangan di sekolahnya dengan datang lebih awal.
Tak terkecuali gadis manis yang sedang berjalan melewati koridor sekolah tersebut. Dengan bersenandung kecil si gadis menapaki kakinya ke arah tujuan. Rambut panjang yang di kuncir kuda ikut berayun lucu mengiringi gerak ceria sang empunya.
     Sampai di satu ruangan, gadis itu mendorong pintu yang menjadi penghalang kelas?yang dia yakini belum berpenghuni. Dengan pasti menyusuri tempat yang dipenuhi perabotan kelas, lantas berhenti tepat di sebelah sebuah meja dan kursi. Dia merogoh tas yang disampirkannya di bahu, lalu menarik sesuatu dari dalam sana. Tersenyum simpul, dipandanginya untuk terakhir kali kotak yang telah dibungkusnya rapi tersebut. Seakan puas, kotak itu kemudian diletakkan pada tempat seharusnya, di atas sebuah kursi kosong di hadapannya. Setelah memastikan aksi rahasianya lancar, si gadis manis bersiap untuk meninggal kelas bercat putih itu, mengambil langkah panjang menuju kelasnya.
***
    Siswa-siswi SMA CAKRAWALA sudah mulai beredar di sekitarnya, menyamarkan ketenangan tadi dengan riuh percakapan ala anak putih abu-abu yang diperdengarkan sepelataran jalan. Sarat akan tentang kehidupan yang masih samar digenggam. Seorang siswa berjalan santai menyusuri lorong koridor dengan selalu menatap dingin ke depan, tidak terlalu peduli dengan siswa-siswi yang ingin menyapanya.
    Murid laki-laki tadi memasuki kelas menuju dan melempar tasnya sembarangan di atas meja. Belum sempat dia duduk, tangannya tergerak memungut kotak yang sudah bertengger duluan di bangkunya. Pemuda tadi memandang kotak itu dengan bosan, tahu sekali siapa yang mengirimnya. Selang mengambil napas sebentar, pemuda itu membuka ransel miliknya dan menjejalkan kotak tadi bersama buku-buku disana. Pertanda tidak minat mengetahui apa yang ada di dalam kotak.
    Pemuda jangkung itu memutuskan untuk duduk di bangkunya, masih tetap mengabaikan apa saja yang terjadi di kelas, seperti biasanya. Setelah mengambil mp4 dan headset dari dalam saku celana, lantas menyambungkan benda elektronik itu di telinganya, dia mencoba menenggelamkan diri dalam alunan musik yang disajikan. Tidak pernah mengubris hal yang terjadi hampir disetiap harinya.
***
Karena kau tak tahu bagaimana aku menunggu
Hingga habis rasa jemu
Disitu aku masih membeku
***
    "Hai, Kak! sorry gue telat," seru seorang gadis sambil menyeka keringat yang mengalir dari pelipisnya, napasnya tersengal-sengal.
    "Enggak ada yang nunggu lo," balas laki-laki yang dipanggil 'Kak' tadi sengit, tanpa mengalihkan perhatian sedikit pun dari bola basket yang sedang dimainkannya.
     Gadis itu diam saja, masih sibuk mengatur napas karena tadi harus berlari dari laboratorium kimia ke lapangan basket yang jaraknya memang tidak dekat. Padahal sesuai yang dikatakan pemuda tadi, tak ada yang mengharuskannya melakukan hal itu.
    "Tadi gue piket dulu di labor kimia, jadi rada lama, deh," lanjut gadis yang sama seakan ada yang meminta alasan. Masih dengan napas berantakannya, tanpa mempedulikan kata-kata tajam yang jelas diluncurkan untuk dia barusan.
    Gadis manis yang tak diharapkan kehadirannya itu beringsut ke samping lapangan, memperhatikan satu-satunya pemain disana. "Kak ikutan, dong! gue udah bisa main, lho…" pintanya.
    "Ck, Kak Tama! Acha ikutan main, yah?!" Suara Acha?gadis tadi?meninggi, peringatan bahwa dia butuh tanggapan.
    "Lo… ngapain sih, kesini?! ganggu tauk!"
    "Mau nemenin lo main basket."
    "Enggak butuh!"
    "Tapi gue mau!"
    "Sayangnya gue enggak mau!"
    "Eem… enggak pa-pa."
    "Ck!" Tama berdecak kesal, karena 'enggak pa-pa' gadis itu justru menjadi 'apa-apa' baginya. Sadar tak ada gunanya berdebat dengan gadis keras kepala?yang walau sudah dicetuskan semua kata penolakan kepadanya tetap belum mampu membuat dia jera, Tama memutuskan menghentikan permainan tunggalnya.
    Tama berjalan menuju pinggir lapangan tempat ranselnya diletakkan, tepat di sisi kiri Acha. Tanpa melempar pandangan ke arah gadis yang sedang menatapnya dengan tatapan tak terbaca itu, Tama berangsur menjauh. Dengan menyandangkan tas di sebelah kiri bahunya, sedang tangan kanan membawa bola basket yang sesekali dihujam ke lantai, laki-laki tampan itu pergi meninggalkan lapangan basket. Menyisakan kesunyian untuk menemani gadis itu sendiri.
    Hari beranjak sore, semua siswa telah bubar sejak bel pulang berbunyi beberapa jam lalu, kecuali dua orang tadi. Yang kini hanya meninggalkan satu sosok berdiri di pinggir lapangan, sedang menatap punggung laki-laki yang hampir hilang.
    "KAK TAMA!" teriakan Acha diberinya jeda, berharap akan ada gerakan kecil yang timbul dari orang yang dipanggil. Tapi naas, seonggok daging hidup itu tetap melangkah maju.
    "HATI-HATI YAA!" tepat setelah kata-kata itu terucap, Tama berbelok di tikungan menuju parkiran. Membiarkan serangkaian kalimat tadi hanya mengawang-ngawang bersama angin lalu.
    Acha mendesah kecewa, disadarkan kenyataan telak bahwa perjuangannya belum bisa melelehkan bongkahan es yang kian hari makin beku saja. Bahkan untuk sekedar membiarkan pemuda itu tahu bahwa dia ada dan masih tetap bertahan untuk menunggunya.
***
Di penghujung garis cakrawala
Semburat jingga terpendar di batas senja
Membawa riak mulai menjelma
Dalam bungkam seribu makna
***
    "Kak Tama kenapa, sih, suka liat sunset?" Selalu Acha yang memulai, sambil menyantap lukisan alam hasil sang maha karya, gadis itu mencoba menciptakan suasana nyaman diantara mereka.
    Yang selalu gagal!
    "Lo kenapa enggak bosan-bosan ganggu gue?" Alih-alih menjawab, Tama malah mengeluarkan pertanyaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan prihal sebelumnya. Dia pun tak lepas menikmati detik-detik saat sang bintang siang itu pulang ke ufuk barat. Detik yang paling dia kagumi keberadaannya.
    Acha mengerutkan kening sekilas, mendapati sifat Tama. Setelah menimbang beberapa waktu?karena kalau dipikir sejurus pertanyaan itu adalah sebuah sindiran untuknya, pada akhirnya dia memutuskan untuk berinterupsi. "Karena gue yakin, lo itu sebenarnya enggak seburuk seperti yang lo tunjukin ke orang-orang. Eem… buktinya, waktu itu, lo mau nolongin gue dari preman..."
    "Berapa kali harus gue bilang, itu cuma karena gue udah enggak mau liat preman-preman mangkal disitu. Ngerusak pemandangan aja!" Tama tidak habis pikir, gadis itu selalu saja mengungkit-ungkit kejadian pertama kali mereka berjumpa, membuat dia sedikit menyesal telah mengalaminya.
    "Apapun itu," Acha terdiam sesaat  untuk mengambil napas, "bagi gue, jati diri lo yang terus lo coba bunuh itu masih tetap ada. Dan waktu itu juga pasti ada, waktu dimana lo bisa nunjukin sisi diri lo apa adanya." Acha menyelesaikan interupsi yang tadi sempat terhambat dengan tersenyum puas. Sambil menerawang lurus ke depan. Mengingat karena pemikiran itulah, Acha betah mengusik ketenangan seorang Tama?dengan reputasi buruknya, sejak kejadian sekitar sebulan yang lalu. Yang juga menjadi penyebab dirinya malah terkadang melakukan hal-hal tidak masuk akal.
    Tama menaikkan sebelah alisnya, bingung dengan racauan gadis yang terasa tepat menohoknya. Membuat dia berpikir dalam diam tentang gadis itu sebenarnya.
    Acha mengalihkan pandangannya kembali, "sekarang gilirin lo yang jawab pertanyaan gue tadi!" tagihnya.
    "Gue enggak bilang mau jawab."
    "Ah, Kak Tama mah, curang!"
    "Enggak usah bawel!"
    "Jawab dong, Kak!" rajuk Acha lagi.
    Hening.
    Acha mengerucutkan bibirnya ke depan, melihat tingkah Tama yang kumat?lagi. Tapi, diam-diam gadis berparas indah itu bersorak dalam hati, tahu karena hari ini Tama tidak sedingin biasa, setidaknya.
    Membuat sore di bukit belakang taman itu lebih berkesan ditemani pesona sinar jingga yang menimpa mereka, walau hanya dibalut tanpa suara. Keduanya tahu, ada yang lebih menggema dari sekedar kata.
***
Adakah jiwa yang kan terjamah
Dengan nada tersampaikan indah
Tuk sekedar menyapu lelah
***
    "Kak Tama enggak pa-pa, kan?" Itu adalah pertanyaan terbodoh yang pernah Acha ajukan, karena saking paniknya melihat keadaan Pemuda itu. Tama yang sedang terkapar di aspal dengan lebam dan darah segar yang mengalir dari sekitar bagian wajahnya. Untungnya, tadi Acha berhasil mencuri dengar pembicaraan Tama dengan seseorang via HP saat dia tengah menghampiri Tama. Pemuda itu menyebutkan sebuah tempat dalam pembicaraannya, dan di sini lah mereka sekarang.
    Acha duduk bersimpuh disamping Tama, membantu menegakkan tubuh yang lemah itu dari posisi tergeletak. "Kok bisa gini sih, kak?" tanya Acha lagi, setelah berhasil membantu Tama untuk duduk. Tapi tiba-tiba tangannya ditepis oleh Tama.
    "Enggak usah banyak tanya!" Seakan ingin membentak namun terbebani dengan keadaannya, "dan lo enggak perlu sok perhatian sama gue!" tegas Tama di sela-sela lemahnya, namun nada sinisnya dapat ditangkap jelas.
    Air mata Acha seketika terbit, bukan hanya untuk kesedihan yang dari tadi ditahannya saat melihat keadaan pemuda didekatnya ini, terlebih disebabkan sayatan yang baru dibuat oleh orang yang sama.
    Tapi, beberapa detik kemudian air mata itu telah raib, diseka oleh tangannya sendiri. Seberapa kejam pun Tama, anehnya dia berusaha tidak peduli. "Gue obatin ya, Kak?" sapa Acha, tak menyerah.
    Tama mengabaikannya. Pemuda itu bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang dia punya, tanpa ingin dibantu gadis itu lagi. Dalam hati sesungguhnya tidak habis pikir, apa yang sudah dimakan oleh gadis bodoh itu sampai dia kebal sedemikian rupa.
    Namun tak dinyana, ada bagian hatinya yang tergerak saat menangkap cairan bening tadi menetes dari sudut mata Acha. Untuk pertama kalinya Acha menangis di depannya. Entah dia iba kepada gadis itu atau apa pun lah, yang jelas hal tersebut sangat mengganggunya. Seperti torehan tak kasat mata.
    Susah payah Tama berjalan menjauhi tempat itu dengan agak terhuyung sambil memegangi kepalanya. Berusaha menghidar agar rasa tadi tidak bersarang terlalu lama di hatinya. Takut malah nanti dia yang berkelakuan melewati batas sadar. Pemuda itu langsung masuk ke Luxionya. Tanpa mempedulikan lagi apa yang ada disana, Tama pergi.
    Penyampakan barusan benar-benar sudah memperparah sakitnya. Meninggalkan gadis itu sendiri lagi untuk kesekian kali, yang sekarang malah ditemani dengan isakan memburu yang tak tertangguhkan seperti biasa. Mengorek jejak luka yang belum sempat dikeringkan. Kini, hanya ada kesunyian yang dirasakan Acha di tempat ini, bahkan lebih mencekik dari apa yang terlihat disana. Ditempat sepi itu, sebuah gang buntu terlindungi tembok tinggi menjulang di tiga sisi, Acha menangis seorang diri.
***
    Setelah cukup menjauh, Tama menghentikan mobilnya di pinggir jalan untuk menenangkan diri yang baru selesai berjibaku mempertahankan martabatnya. Nyeri yang menggerogoti hampir seluruh bagian tubuhnya itu benar-benar mengganggu, membuat dia tidak dapat berkonsentrasi mengemudikan mobil. Laki-laki itu melirik ke arah benda yang terletak di dashboard mobilnya, sebuah benda yang diberikan gadis yang baru saja dicampakannya beberapa menit lalu. Benda pertama yang diberikan gadis itu secara langsung kepadanya, sesaat sebelum dia pergi ketempat laknat yang baru dia tinggalkan. Sebuah CD.
    Dan untuk pertama kalinya juga?entah mengapa, Tama ingin tahu apa yang dipersembahkan gadis itu untuknya melalui sekeping CD tersebut. Tama memanfaatkan fasilitas yang ada di mobilnya. Tak perlu menunggu lama, sudah ada suara menggema di dalam sana. Nada yang diawali dentingan piano pertanda intro.
    I look in your eyes and I can see
    That love's a dangerous thing
    You're not trusting your heart to anyone
    You tell me you're gonna play it smart
    We're through before we start
    But I believe that we've only just begun
    When it's this good, there's no saying no
    I want you so, I'm ready to go
    Tama memejamkan matanya menikmati suara merdu Acha yang mengalun lembut bersatu dengan nada-nada piano. Merasakan hatinya ikut berdenyut menangkap pesan tersirat yang coba Acha sampaikan padanya.
    Through the fire To the limit, to the wall
    For a chance to be with you
    I'd gladly risk it all Through the fire
    Through whatever, come what may
    For a chance at loving you
    I'd take it all the way
    Membayangkan wajah gadis yang suaranya sedang dia dengar, hingga pemuda itu dapat merasakan rasa sakitnya sekarang berbaur dengan tarikan senandung pilu yang sedang dimainkan. Merajut satu cerita sendu yang sangat dikenal.
    Right down to the wire
    Even through the fire
    I know you're afraid of what you feel
    You still need time to heal
    And I can help if you'll only let me try
    You touch me and something in me knew
    What I could have with you
    Well I'm not ready to kiss that dream goodbye
    When it's this sweet, there's no saying no
    I need you so, I'm ready to go
    Through the test of time
    Through the fire, to the limit
    Through the fire, through whatever
    Through the fire, to the limit
    Through the fire, through whatever
    (Shioban Magnus - Through the Fire)
***
Dan selalu ada asa dalam cerita
Melambung lepas menembus daya
Tapi akhirnya harus terkurung di pelupuk tinta
***
    2 hari kemudian
    Toh, gadis itu tetap bertahan, mengabaikan sang hati yang berontak kesakitan. Memilih kedinginan disamping si bongkahan es dengan harapan dapat mematenkan thesis hatinya, untuk menununjukkan bahwa pada nantinya dia lah yang benar, dan dia menang. Tapi yang sebenarnya sedang gadis itu perjuangkan bukan lagi hanya tentang thesis hati, melainkan seluruh jiwa yang dia persembahkan. Sempurna.
"Kak Tama, gue boleh nebeng pulang, enggak? Sopir gue lagi sakit." Dengan khusus Acha mendatangi Tama yang masih berada di kelas, sedang membereskan alat tulis selepas bel pulang.
    "Enggak bisa, gue ada urusan."
    "Udah Tam, anterin aja! Songong amat sih, lo!" celetuk Riki, teman sebangku Tama sekaligus sahabat terdekatnya.
    "Kalau lo mau, lo aja sono yang nganterin," tantang Tama dingin.
    "Jiah, enggak usah panas gitu kali, Tam!" Riki terkekeh, "gue sih mau aja, tapi… masalahnya gue udah janji sama Fira mau nemenin dia beli gitar."
    "Ya udah, deh kak, enggak pa-pa. Gue balik sendiri aja." Acha memecahkan perdebatan kecil mereka. Tama hanya diam.
    "Eh, beneran enggak pa-pa nih, Cha?" Riki memastikan.
    "Iya..."
    "Oke deh, hati-hati ya!" Riki menyaut lagi.
    Setelah melempar senyum kepada keduanya, Acha melangkah pergi.
    "Tadi enggak mau, sekarang malah diliatin gitu," Riki menggoda, mendapati sahabatnya tengah menatap gadis yang telah ditolaknya berkali-kali itu pergi menjauh sampai hilang dibalik pintu.
    "Siapa yang ngeliatin dia!" elak Tama.
    "Ooh, berarti gue yang buta, dong."
    Lagi-lagi Tama memilih bungkam, tidak mau makin mati gaya.
    "Eem, Tam..." Riki masih menggantung perkataannya, mencari kalimat yang pas. "Kenapa lo harus bohong, sih?"
    "Bohong? Kapan gue boh…"
    "Gue tahu lo, Tam," sela Riki, tidak sabar. "Lo itu udah bohongin diri lo sendiri, terutama Acha." Lanjutnya lagi.
    Tama mendesah, sedikit menyesali mengapa orang disampingnya ini terlanjur mengerti dirinya. "Gue...gue terlalu buruk buat Acha, Ki. Enggak pantes!" aku Tama, akhirnya. Tersenyum miring, Tama meneruskan, "emang, apa sih, bagusnya anak broken home dan brandalan enggak berguna kayak gue?"
    "Lo pikir Acha peduli sama masa lalu lo yang udah basi itu!" Riki menaikkan suaranya satu oktaf, geram melihat temannya jadi cemen begini. "Enggak bisa liat dari semua yang udah dia lakuin buat lo?, Acha tulus, Tam."
    Tama menghempas napas lelah, "Gue enggak mau ngecewain dia," lirihnya, terdengar putus asa. Riki turut menghela napas, merasa ikut terbebani. "Enggak akan, selama lo bisa jujur sama kenyataan, Tam." Pemuda bergaya rambut harajuku itu meyakinkan.
    Riki tahu Tama tidak terlalu bodoh untuk menyadari kesalahan yang terlampau berlarut ini. "Gue yakin lo bisa sob," seru Riki lagi sambil menepuk pelan pundak Tama, lalu beranjak dari kursinya. "Gue duluan! Fira udah nunggu." Pemuda itu melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Tama lagi.
***
    Drrt. Drrt.
    HP Tama bergetar, ada sebuah pesan masuk.
    Cewek lo ada sama gue. Gue tunggu lo di tempat kemarin
    Sender: Deni
    Tanpa perlu pikir dua kali, Tama yang baru sampai di pekarangan rumahnya langsung masuk lagi ke mobil, lalu melarikan kendaraan itu menembus jalan raya dengan kecepatan di atas rata-rata.
***
    Pemuda itu memarkirkan Luxio-nya sembarangan saat memasuki tempat dengan keadaan suram yang mencekam itu.
    "Akhirnya lo datang juga," sambut seseorang. Ada lebih dari 10 orang sangar disana.
    "Dia enggak ada hubungannya dengan masalah kita." Rujuk Tama langsung, menjurus ke gadis tidak berdaya yang sedang dijaga dua pemuda di kanan-kirinya, dengan tangan terikat dibelakang.
    "Emang enggak ada, tapi kayaknya bisa gue pakai buat ngerjain lo," tawa Deni seketika meledak.
    Tama tidak membalas perkataan rival sejatinya itu, tahu bahwa akan ada yang tidak baik nantinya, terutama untuk gadis di sana.
    "Kecelakaan trek setahun lalu yang gara-gara lo itu, udah ngebuat gue enggak bisa main bola lagi, seumur hidup. Padahal lo tahu kalau gue…"
    "Yang kemarin enggak cukup?" sela Tama, jengah dengan semua tuduhan tersebut.
    Deni tertawa sinis, "gue mau lo juga hancur, tanpa ada perlawanan sedikit pun yang bisa lo perbuat." Permintaannya telak.
    "HABISIN!" komando Deni.
    Mendadak Tama membatu, merasa kehilangan seluruh kemampuaannya untuk mempertahankan diri. Dia hanya bisa membiarkan hujaman pukulan, tendangan, dan benda-benda tumpul terus menghantam tubuhnya hingga dia jatuh dan terkulai tak berdaya. Benar-benar tanpa usaha pencegahan.
    Dentuman bertubi-tubi itu diiringi tawa puas Deni. Senang sekali bisa menghancurkan musuhnya sejak beberapa tahun lalu. Lamat-lamat terdengar suara isakan seorang gadis yang kini berdiri hanya dengan satu penjagaan?yang tidak berarti, tidak jauh dari tempat eksekusi. Karena penjaga satunya tengah asik bergulat di depan mata gadis itu, turut menghabisi Tama.
    "Cukup, deh!" ujar Deni santai. Sekejap kerumunan itu bubar. Deni berjalan mendekat ke arah Tama, mengambil balok besar yang tergeletak disana. Dengan satu tangannya, Deni menegakkan paksa tubuh Tama yang sudah terlalu lemah. Lalu mencengkram kerah pemuda itu kuat-kuat, hampir mencekik, sambil melanjutkan intimidasinya. "Hah, ternyata enggak sulit buat ngancurin lo!"
    Tama tidak mempedulikan perkataan Deni. Matanya sibuk mencari gadis yang sedang menangisi nasibnya, satu-satunya hal yang tidak disukainya dari Acha. Membuat rasa sakit yang Tama rasakan bertambah dalam.
    'Jangan nangis Cha, please!'
    Acha terpekur menyaksikan penyiksaan yang terjadi pada Tama disertai rasa bersalah. Berharap Tuhan mau mengabulkan satu dari doa-doa yang dia panjatkan sejak tadi.
     "Kak Tama," lirih Acha di sela tangisan pilunya, tanpa terdengar. Suaranya hampir tandas karena menangis. Maka, saat dia melihat Deni melepas cengkramannya dan mulai mengangkat balok itu untuk dipukulkan kearah Tama, Acha tidak berpikir panjang untuk langsung berlari.
    Tidak ada yang mengira dengan hal itu, termasuk Tama yang memang tidak memperhatikan pergerakan Deni.
    BUUK
    Tepat saat Acha menabrak tubuh Tama hingga tersungkur jatuh, balok itu mengenai batok kepalanya. Acha terjerembab ke lantai aspal, dan dalam sekejap darah mulai bercucuran dari sela-sela rambutnya.
    "Gila lo, Den! Cewek tuh!" jerit salah satu anak buah Deni. Semua terkejut, tidak terkecuali pelakunya. "SIA!" umpat Deni.
    Tidak mempedulikan orang-orang bejat yang masih ada, Tama dengan tubuh remuknya merangkak ke arah Acha. Mencoba melakukan hal yang mustahil disana, membangunkan gadis itu.
    Beberapa saat kemudian sirene polisi mendekat kearah mereka dengan diiringi Riki yang tadi sempat diberitahu Tama sebelum pergi. Tapi sayang, kedatangan mereka pada waktu yang terlambat.
***
    Lorong bernuansa putih itu senyap, hanya ada obrolan ringan beserta suara hentakan kaki orang-orang yang mau mendatangi tempat ini pada malam hari dan juga para pekerja disana. Aroma karbol yang begitu menyengat, menusuk indra pencium setiap umat penghuninya. Tama termangu di kursi panjang koridor rumah sakit itu, luka-luka yang dialaminya sudah diobati secara kilat dengan sedikit paksaan pada suster yang merawatnya tadi. Kemeja putih yang ia kenakan masih dipenuhi bercak darah.
    Disebelah Tama, duduk seorang wanita paruh baya dengan mata sembab akibat terlalu banyak memproduksi cairan dari sana.
    "Maaf Tante, ini semua salah saya," cicit Tama memecah keheningan. Karena sedari tadi mereka hanya larut dalam diam. Dengan gerakan menyeka sisa-sisa dari kesedihannya, wanita itu menoleh ke arah Tama.
    "Kamu Tama, kan?"
    Tama tersenyum kecut mengiyakan pertanyaan klise itu.
    "Acha sering cerita tentang kamu. Ah, bukan sering lagi, bahkan hampir seluruh topik pembicaraannya menyinggung tentang kamu. Akhirnya, Tante ketemu dengan orangnya langsung." Ujar wanita itu layaknya memberi laporan. Seperti melupakan maksud perkataan pemuda tadi adalah meminta maaf. Sejujurnya mama Acha tidak tahu juga harus bersikap bagaimana. Beliau mengerti mengapa putri semata wayangnya melakukan tindakan kelewat ekstrim seperti yang terjadi. Masalah hati, dan tidak ada yang mengerti hal itu selain sang pencipta dan pemiliknya.
    Senyum Tama makin tidak enak mendengar pengakuaan langsung dari mama Acha. Menghantamnya kian terpuruk dalam rasa bersalah. Menyudutkannya dengan sesak yang menghimpit.
***
    Beberapa hari kemudian.
    Gadis itu masih saja betah dalam posisinya, tertidur pulas di ranjang rumah sakit dengan kepala yang dilit perban. Tidak mempedulikan waktu yang terus berlari, hingga telah memasuki hari keenam. Tama menatap sendu wajah pucat Acha, luka yang sudah ditabung hatinya sejak beberapa hari yang lalu semakin bertambah dan menyiksa. Ada rasa penyesalan atas tindakannya tempo hari yang tidak mau mengantar Acha pulang sehingga menyebabkan kejadian ini terjadi.
    Pemuda itu melihat ke arah dinding yang tetap bernuansa putih itu, belum jam 9 malam tapi dia sudah merasa mengantuk. Tama memutuskan keluar dari sana, pergi menuju kantin rumah sakit untuk sekedar menghilangkan kantuknya.
***
    Tama sedang menyantap coffee cream-nya, saat handphone di sakunya berdering. Memaksa dia menghentikan kegiatan, "ada apa, Tante?"
    "Acha sudah sadar, Tam," jawab orang diseberang telfon.
    Tama sampai di depan kamar Acha dengan berlari tepat saat bersamaan dengan mama Acha dan seorang dokter baru keluar dari dalam ruangan.
    "Acha beneran udah sadar, Tan?" tanya Tama menggebu. "Iya, tap..."
    "Tama masuk sekarang, ya?"
    Tanpa menunggu kelanjutan kata-kata dan persetujuan mama Acha, Tama langsung menyeruak ke dalam ruangan. Tama berjalan mendekat ke ranjang gadis?yang sedang memandang ke arah jendela, dengan rasa nano-nano di dadanya. Sedih, rindu, bahagia, berkecamuk jadi satu.
    "Hai, Cha..." Gadis itu memalingkan pandangannya dari luar jendela menuju orang yang menyapanya. "Gue kange...en…" Tama tidak meneruskan kata-katanya, bukan karena masih gengsi mengatakan kata 'kangen' tadi, melainkan karena dia mendapati tatapan kosong dari gadis itu untuknya. Tatapan yang tidak dia kenal, berbeda dengan 'biasanya'.
    "Eem, maaf kamu... siapa?"
    Tama cengo. Sejadi-jadinya. Apa-apaan ini?
    "Ee..." Tama ikut linglung, melihat tatapan ketidakpura-puraan Acha.
    Tiba-tiba mama Acha masuk dan berjalan perlahan mendekat ke putrinya. Sambil tersenyum maklum, wanita itu berkata mengagetkan, "ini kak Tama, sayang. Dia...kakak kelas kamu di sekolah."
    "Ooh..."
***
    Ingatan itu menghilang, cerita itu melayang, dan rasa itu tenggelam.
    Karma kah yang tengah dihadiahkan kepada pemuda itu? Sampai rasanya dia mau mengiba untuk dirinya sendiri. Entahlah, Tama sendiri tidak mengerti. Yang dia tahu hanya sekarang sedang dipaksa menelan kenyataan pahit yang dijejalkan untuknya.
    Tidak ada yang tersisa untuk pemuda malang itu. Hanya raga yang nelangsa, dan tidak tahu lagi jati diri sesungguhnya. Membuat pemuda itu meyakini sepenuh hati tentang pepatah yang mengatakan 'sesuatu akan terasa sangat berharga apabila kita telah kehilangannya'. Dan lagi-lagi, pemuda itu harus menelan pil pahitnya, tersadar kenyataan bahwa tak ada lagi makna dari nada yang pernah dilantunkan untuknya, apalah lagi arti benda-benda yang menyembul dari dalam kotak?yang baru beberapa hari lalu diketahui isinya, setelah lama terabaikan di kamarnya, kalau sang pemberi merasa tidak pernah mempersembahkannya.
    Masa lalu suram, hal itu lah yang menjadi tameng Tama selama ini. Memaksa dia menghukum dirinya dengan menjauh dari yang namanya cinta. Lebih memilih mengorbankan hatinya sendiri. Dan sekarang, hal itu telah bermetamorfosis menjadi bumerang bagi hidupnya, terlebih untuk hari ke depan.
***
    "Kita mau kemana sih, Kak?" tanya Acha saat Tama membawanya keluar dari kamar rawat. Acha diperbolehkan keluar karena keadaan fisiknya sudah beranggsur membaik, namun tidak berarti sama sekali pada ingatannya.
    "Katanya bosan di kamar terus."
    "Iya sih, tapi masak aku enggak boleh tahu kita mau kemana."
    "Ntar juga kamu tahu."
    Tama menghentikan kursi roda Acha di taman rumah sakit. "Cha, mau duduk di rumput?"
    Acha hanya mengangguk kecil sambil tersenyum. Hati-hati Tama menggendong gadis itu dari kursi roda, lalu mendudukkan Acha di rumput yang juga diikuti olehnya. Selang beberapa saat mereka habiskan dalam sunyi, menatap langit sore yang mulai berubah gelap.
    "Kak Tama kenapa suka liat matahari tenggelam?"
    Deja Vu!
    Tama menoleh cepat kearah Acha yang sedang menatapnya dengan tanya. "Eh, Aku cuma nebak doang kok. Salah ya, Kak?"
    Tama terhenyak sesaat, menyadari gadis lupa ingatan ini mengulang pertanyaannya dulu, menebak bahwa dirinya menyukai fenomena alam itu?hal yang sebenarnya juga tidak disenangi Tama dari gadis itu dulu, terkaan yang selalu benar. Padahal ini kali pertama Tama mengajak Acha lagi melihat sunset. Pemuda itu menatap lekat-lekat manik mata Acha, berharap menemukan sisa-sisa memori yang tertinggal disana untuknya.
    Nihil.
    Angan yang sesaat tadi coba direngkuh Tama terhempas bersama dirinya, karena realita berbicara, mata itu tetap berbeda. Tama membuang napas berat, kembali menatap ke depan sambil menjawab. "Kamu bener kok, Cha..."
    Tama diam sejenak, mencoba merangkai jawaban yang dulu tidak mau dia lontarkan kepada gadis yang masih sama, atau memang tak ada jawaban untuk pertanyaan itu. "Aku enggak punya jawaban dari pertanyaan kamu tadi, Cha. Karena menurut aku, kalau ada alasan kenapa suka sama karya tuhan itu, artinya aku juga mau memilikinya. Bukan itu yang aku butuhin, Cha. Aku cuma butuh sesuatu yang akan selalu aku dapat dari sana. Apapun, yang selalu membuat aku merasa lebih baik."
    Acha tertegun, sesungguhnya tidak terlalu mengerti dengan penjelasan Tama tadi. Terlebih karena nada pemuda itu saat menjelaskannya terdengar miris. "Ooh, gitu ya, Kak. Tanggapnya bingung.
    Tama melihat ke arah Acha lagi, hanya untuk tersenyum menatap gadis itu lalu kembali memandang jagad luas. Ada rindu tak tertahan yang ingin Tama urai dengan mengiring gadis itu kesini. Mencoba mengenang sendiri cerita yang terlewatkan. Karena Acha takkan mungkin mengerti dengan kisah-kisah pengabaian yang sedang Tama reka ulang, walau kenyataannya dia lah tokoh utama dalam sandiwara kehidupan itu. Menyadarkan Tama akan suatu keputusan. Sejak Matahari yang telah menghilang beberapa detik yang lalu, dia sudah menentukan pilihan.
    Walau nanti harus tertatih dan terjatuh lagi, Tama telah bersabda dalam hati akan terus berlari untuk meraih gadisnya kembali. Merajut cerita yang berbeda dengan rasa yang tak lagi sama. Memulai kembali semua itu dari awal. Mungkin, entah akan berapa kali benang semangatnya itu nanti putus, atau, dia akan sering merasakan perih akibat tertusuk jarum ketulusan miliknya sendiri, dia tidak terlalu acuh. Tama berharap, dia akan menemukan takdir terbaiknya. Apapun itu.


No comments:

Post a Comment