Thursday 4 April 2013

A Better Way

Terkadang,jalan dipenuhi lubang berbatu itu yang akan mengantarmu ke tempat aman.Mungkin,pilihan tidak diinginkan lah yang akan membuatmu tahu arti kehidupan lebih baik di masa depan. Karena sejatinya, manusia tetaplah manusia, tak pernah benar-benar tahu tentang misteri cerita-Nya.
***
Sore yang cerah kala gadis itu sibuk menekuni tugasnya di balkon belakang rumah. Jari-jari lentiknya terus bergerak di atas keyboard, merangkai kata-kata yang mengandungmakna mengenai‘Teknologi Biologi’. Setelah selesai menekan tombol ber-ikontitik,jari yang menari-nari tadi berhenti di udara.
“Terus… apa lagi, Kak?”tanyanya kepada seseorang disampingnya.Sambil menunggu jawaban,gadis itu kembali memainkan jarinya dengan mengetuk-ngetukkan pada meja tempat notebook  itu ditaruh,sedangkan matanyamasih membeku pada layar di hadapannya.
Tidak ada jawaban.
“Apa lagi nih, Kak?” ulangnya.
Tetap hening.
Dengan setengah kesal,gadis itu menoleh ke sebelah kanannya, “Kak Fandi… apa lagi yang harus aku ketik?”
Pemuda itu terkesiap, “Eh?”Tangan yang dipakainya untuk bertopang dagu tergelincir di bibir meja.Kegiatan melamunkan wajah gadis itu terganggu oleh objeknya sendiri.
“Kakak enggakdengarin aku, ya?”Dara menyipitkan mata.Fandi langsung nyengir kuda.“Hehe…maaf, Ra. Keenakan ngeliatin kamunya.”Memandang wajah gadis yang sedang serius tadi membuatnya lupa sesaat.
“Apaan sih,Kak!”Dara kembali ke layar di depan dengan sedikit tersipu, lantas dengan tangannya menggeser-geser mouse ke arah salah satu task bar.“Nanti, kalau makalahnyaenggak selesai-selesaigimana?”tanya Dara kembali berkonsentrasi, mengabaikan Fandi.
Hmm… iya maaf, deh!”
“Ya, udah.Lanjut, gih!”
Fandi kembali pada tugasnya,mendongengkan kata-kata yang ber-genre seperti sebelumnya kepada Dara, agar gadis itu dapat mencetakkan kata tersebut pada fokus notebook. Saat sedang begini,gadis disampingnya itu memang susah untuk diajak bercanda.
Ting Tong Ting Tong!
Bel rumah itu memekik,membuat proses pengerjaan Makalah Bioteknologi Dara terganggu lagi.
“Aku bukain dulu, deh, Ra...Bibi lagi sibuk di dapur kayaknya.”Setelah mendapat anggukan Dara,Fandi beranjak dari duduk lesehannya.Menjauh dari balkon belakang rumah itu dan bergegas ke pintu utama rumahnya.
Dara memungut buku Biologi yang ditinggalkan Fandi sembarangan di atas meja,lalu melanjutkan tugas dari salah satu mata kuliahnya itu sendiri.Setelah beberapa menit Fandi tidak kunjung kembali, Dara merasa heran dan memutuskan menyusul.
Baru beberapa langkah, lamat-lamat terdengar percakapan seru dua orang laki-laki dari arah ruang tamu.“Siapa, ya?Kok, heboh banget?”Dara heran sendiri.
Belum sampai di tempat tujuan, Daraberhenti dengan terburu.Dari sudut pandangnya, Dara dapat melihat dua pemuda tengah asik berbincang lalusesekali terdengar tawa renyah dari mereka.Perlahan, gadis itu mundur teratur,memastikan kedua pemuda tadi belum melihatnya.Tapi tidak butuh berapa lama, Dara maju lagi,merasa tidak bisa menahan keinginan hatinya untuk tidak mengabaikan 'tamu' itu.Padahal jelas-jelas logika sendiri menolaknya. Sudah lama ia tidak melihat lagi kedua orang itu mengobrol bersama.Ada sejumput rindu yang menyusup diam-diam.
Maka,sambil bersembunyi di samping dinding tidak jauh dari ruang tamu―yang dapat menyembunyikan tubuhnya, Dara melanjutkan kegiatan mengintipnya.Sudah lupa pada tugas makalah penting tadi.
Seketika, gadis itu mengembuskan napas berat, merasa bahwa injeksi yang diberikansang tamu disana masih sama,detak jantung dan desiran darah yang bekerja tidak wajar ini masih juga belum berubah seperti 2 tahun yang lalu.
Kejadian dua tahun silam.Kala tiupan-tiupan lembut angin tak teraba itu terbawa pada mereka,mulai menjelma tanpa ada sengaja.
>>> 
“Dara!”
Gadis yang sedang berdiri tidak jauh dari pos satpam itu berbalik karena ada yang mencolek bahu sekaligus memanggilnya dari belakang. “Eh, Kak Fandi… Kenapa, Kak?”
Eem itu… besok proposalnya jangan lupa,” Fandi beralasan.
Ohiya, Kak...”Ujar Dara tersenyum kalem. “Proposalnya udahfix, kok,” tambah Dara.
Dara beralih kepada laki-laki yang sedang masang muka-anteng-ayem-bin-cool disamping Fandi.‘Ini…’
Eh iya, Ra,kenalin ini temen aku.”Fandi menyikut lengan Riko agar bereaksi.Mereka lantas berjabat tangan.
Riko.”
“Dara,” sambil tersenyum.Sedang Riko terlihat enggan.
Tiba-tiba sebuah Kijang Innova hitam berhenti seenaknya didekat mereka.“Eh, jemputan aku udah datang.Duluan ya, Kak!”Tersenyum lagi, Dara pamit kepada keduanya,dalam sekejap telah melarikan diri dengan mobiltersebut.
>>> 
Rasa itu memang tidak mengenal siapa,mengapa,dan kapan.Iahanya bisa mengalir tanpa dosa. Menciptakan partikel-partikel kecil tak kasat mata di relung sukma,hingga mampu melilit segumpal makna tak terbaca.
Daramengedarkan pandangan sejadi-jadinya ke seluruh penjuru kelas itu,namun sayang orang yang dicari tidak menunjukkan tanda kehidupannya disana. Hanya ada beberapa kakak kelas yang jelas tidak dikenal,eh, tunggu...
Dara dengan pede langsung masuk ke ruangan bercat biru langit itu,lantas menghampiri seseorang.“Eh, Kak!liat Kak Fandi, enggak?” tanya Dara, kelewat nyantai.
Enggak.”
Ish…”Dara hampir jengkel dibuatnya. Bukan apa-apa, ‘Setidaknya bisa,kali ya, kalau bicara sama orang itu ngadepnya ke orangnya,ini malah sibuk melototin kamera. Mana jawabnya tadi enggak pakai perasaan gitu.Enggak sopan!’
Entah mengapa gadis itu masih betah saja berdiri disamping meja, memandangi apa yang sedang diperbuat laki-laki di depannya.“Kakak suka fotografi, ya?”Dara basa-basi.
“Menurut lo?”
‘Ya ampun!Tragis banget, sih, ngomong sama,nih orang.’Yah, salahnya sendiri bertanya yang jawabannya sudah di depan mata.‘Lo juga, sih, yang begok, Ra.’
Hmm...” Dara bergumam tidak jelas,bingung harus ngomong apa lagi.Mendengar suara aneh itu membuat laki-laki tadi mengangkat wajahnya.“Eh, kamu Ra?”
Gubraak!
Riko baru sadar kalau orang yang dari tadi dikacanginnya itu ternyata…
Hiii,iya kak…” Dara tersenyum maksa,dalam hati meringis,‘Kak Riko, please deh!
“Cari Fandi, ya?Tadi dipanggil Pak Joe mau nge-bahas futsal.”Riko tanya-jawab sendiri.
Lho,tadi katanya enggak tahu?”
“Tadi kamu nanya ‘liat’ bukan ‘tahu’…”Riko kembali berkutat dengan SLR kesayangannya.
‘Diperhatiin juga,toh!’
“Eh kak,ajarin aku fotografi,dong!”Ada hal yang menarik hati Dara saat melihat ketekunan pemuda tadi memandang benda itu.
“Kamu suka?” kali inibenar-benar memandang ke arah Dara.
Hmm…suka,kali,” jawab Dara ngasal.
Riko menaikkan alis,pada awalnya merasa aneh dengan jawaban gadis itu. Namun akhirnya ia mengatakan, “Boleh.”
Yesss!”Dara girang luar biasa, dan mendapati Riko tersenyum tipis ke arahnya.
>>> 
Hembusan udara menyejukkannya datang tanpa perlu diundang.Membawa pergi jauh celah-celah pemisah, persembahan untuk keinginan mengecap rasanya yang indah.
Riko mulai tampak berbeda. Tidak jarang pemuda itu ditemukan sedangtersenyum sumringah atau ada kala dia cerewet membicarakan satu hal.Dan tidak disangka lagi, malah pemuda itu akan tergelak tak biasa saat ada yang sedang berbanyol ria.Dara tidak sadar perubahan yang dibawanya. Yang ia tahu, ia akan merasa bahagia jika bersama Riko. Waktu yang bergerak itu lebih sederhana dan berubah menjadi menyenagkan.
Klik.
Ck,Kak Riko...ngambil foto akunya jangan dari samping,dong! Ntar enggak kelihatan cantiknya.”Hardik Dara suatu hari, saat dirinya difoto Riko tanpa izin.Di tempat biasa Riko mengajaknya mencari objek foto, di atas sebuah tebing yang memperlihat hamparan pohon pinus yang damai.
Hahaha... kamu dari mana aja tetep cantik kok,Ra.”
***
Dara?”
Dara terkesiapmendapati laki-laki bermata sipit tengah berdiri tidak jauh di depannya.Membuat Dara harus menggantikan pandangandari arah mamer lantai menjadi wajah heran Fandi. Entah sejak kapan Fandi sudah di sana.
Kamu ngapindi sini?”
Aku… aku…” Dara tidak bisa menemukan suaranya. Ia hanya bergumam tidak jelas, sampai Fandi menarik tangannya secara tiba-tiba.
“Sini, deh!
Ee...” Dara yang belum siap menjadi terseok-seok saat harus menuruni tangga kecil rumah Fandi.
“Riko!”
Laki-laki yang dipanggil mendongak,menjauhkan penglihatan dari ponsel ditangannya.“Kok lama a…mat, Fan…?” Riko hampir menjatuhkan ponselnya saat melihat siapa yang datang bersama Fandi.Setelah itu Riko mencoba menguasai diri agar terlihat biasa.
Tanpa sadar Dara menahan napas saat matanya bertemu dengan Riko, lalu berusaha mengalihkan pandangan.Mendadak Dara ingin sekali melempar cengkraman Fandi di tangan kanannya.
Enggak perlu gue kenalin lagi, kan, Ko?Hehee...
Tidak tahukah Fandi,dengan pertanyaan itu ia seakan sedang menggali lubang untuknya sendiri. Karena dalam diam,selain pandangan yang bertemu tadi, pertanyaan tersebut mengingatkan kala awal yang tidak disengaja.
Ya,enggak lah,Fan.Seru Riko sebiasa mungkin,“Hai,Ra! lanjutnya sekilas.
Hai juga,Kak!
Oh, iya…” Riko seakan baru teringat, “ManaHp lo, Fan?” berharap bisa membuat sebuah kesibukan.
Fandi menepuk keningnya sendiri,lalu seakan yang dilakukannya bisa membantu ia nyengir konyol. “Hhee,lupa gue
Masih dengan alasan yang sama, Fandi berujar lagi,“Kamu lihat handphone aku enggak,Ra?” kali ini kepada gadis di sebelahnya.Fandi memandang Darabersamaan dengan melepas tautan tangannya. Diam-diam ada yang bernapas lega karena itu.
Enggak ada,Kak...
Eem…yaudah, aku cari dulu. Bentar ya,Ko!” Kata Fandi cepat kepada keduanya, lalu meninggalkan mereka dengan terburu.Fandi melaju ketempat di mana mungkin ponselnya diletakkan. Berhubung,karena itu tadi Fandi kembali masuk.
Boleh duduk kali,Ra.Riko berusaha santai. Dara yang dari tadi memang tetap berdiri disamping sofa,menurutidalam diamusulan Riko. Gadis itu beringsut ke tempat duduk empuk tepat disebrang Riko.
Kamu… apa kabar?”Tidak tahu kenapa,Riko menjadi kikuk lagi. Padahal tadi ia sudah berakting hampir sempurna.Atau mungkin karenadengan posisi Dara sekarang,Riko dapat melihat jelas gadis yang semakin terukir indah itu.Gadis yang sudah mengusik hatinya dulu, dan… sekarang?Seorang gadis yang lebih cantik,tampak dewasa dan anggun
Baik,Kak Jawaban Dara mengacaukan pengkoreksian Riko.
Dara tidak berniat untuk bertanya balik dengan pertanyaan yang sama,terlalu basa-basi, pikirnya. “Kak?”panggil Dara, menunggu Riko memberi respon.
Apa?” dalam hati Riko mulai ketar-ketir.
Kenapa Kakak pergi gitu aja..dulu?”
JLEB!
>>> 
          “Ko,biar okeguenembakDara kapan, ya?”
          Glek.
          Riko menelan ludah.Kegiatan sedang memilah-milah foto hasil jepretannya yang digerai di atas meja bulat itu terhenti.Tanpa sengaja Riko menjatuhkan salah satu foto dari tumpukanfoto yang ada di tanganya.Riko memungut foto itu, dan…oh,foto gadisnya ternyata.Ck!
          “Yaelah si Riko…bukannya jawab malah ngeliatin foto Fandi memutar badannya dari posisi bersandar di dinding jendela menjadi menghadap ke dalam kamar Riko.“Letak dulu tuhpoto,atau perlu gue buang?”perintah Fandi, setengah serius setengah bercanda.
          Dalam diam Riko membereskan serakan gambar tadi,perasaannya sudah tidak enak.
          “Ntar biar gue keliahatan kerennembaknya gimana, nih?” Fandi―masih dengan topik yang sama, kembali ke posisi awal sambil menatap jauh ke langit malam.Riko duduk termangu di sudut sofa di dalam kamarnya,merekam ulang setiap kejadian membahagiakannya bersama gadis yang sedang menjadi kunci pembicaraan mereka.Gadis pujaan hati sahabatnya.
          Merasa bosan, Fandi beranjak dari jendela, lalu menghempaskan tubuh di tempat tidurRiko dengan merentangkan tangannya.Seakan tersadar, Fandi menepuk jidat, “Oh iya,guelupa.Lokan, selalu remedi kalau ditanya soal beginian.
          Rikomasih menolak untuk mengubris.
          Laki-laki yang sedang bergolek-golek tidak keruan itu masih terus memutar otak untuk menemukan tanya hatinya sendiri. Sedikit mengabaikan Riko yang juga sedang sibuk dengan beban hatinya.Maka,malam di ruang pribadi Riko itu menjadi riuh dengan celotehan tidak penting Fandi yang membicarakan tentang tanggal jadian,tempat,pakaian,makan malam,lagu indah,bunga, dan banyak lagi kawan-kawannya yang menyembur dari mulut Fandi,tanpa lelah.
          Sedang si pemilik kerajaan―Riko, hanya diam. Bahkan sampai malam berlalu pun tidak ada satu katapun yang terucap untuk menanggapi 'kegilaan' Fandi tersebut. Ada hal yang harus diselesaikannya malam ini juga.
>>> 
          Hiruk-pikuk tempat umat sekolah melepas lapar itu menyelingi setiap cicitan yang diperdengarkan dari meja-meja.Dengan cara dipaksakan menganggap semua itu adalah berupa alunan musik jazz yang sedang dimainkan musisi ternama,kumpulan orang yang sedang meluruh raga disana mencoba tetap menikmati kegiatan mereka masing-masing.
          “Fan,kayaknya lo harus cepetanbayarbonlo ke gue, deh,Riko memulai percakapan.
          “Males, ah…Nantiaja kalau utang gueudah bisa beliin lo 'Dukati'sebiji.Jawab Fandi asal sambil mengunyah.
          “Preet'Dukati'buatan engkonglo?” balas Riko nyaris tidak percaya.
          Fandi masih sibuk dengan makanannya, belum menyadari arah pembicaraan Riko.
          “Kelas XII ini gue bakal lanjut di Manado.
          “Uhuuk... Uhuuk... Fandi tercekat,cepat-cepat mengambil es jeruknya dan langsung meminumnya hingga tandas. “Maksud loapa,Ko?”Tanya Fandi berharap tadi ia salah dengar. Ke Manado?
          “Gue mau belajar jadi fotografer profesional samaOom gue di sana.”
          “Emang disini enggak bisa?” Fandi benar-benar tidak habis pikir, ia menolak mengerti alasan Riko. Fandi ingat, Riko pernah bercerita bahwa di Manado ada Oom-nya yang berprofesi sebagai fotografer dengan jam terbang yang sudah tinggi.Tapi, bukan berarti Riko hanya bisa belajar dengan Oom-nya.
          “Ko...”Suara Fandi memelas,berharap ini adalah kekonyolan―yang amat sangat tidak lucu,sambil melayangkan tatapan 'Lo enggak pernah berbakat,Ko...' kepada Riko. Namun ternyata tatapan itu sama sekali tidak membantu, harapan itu tidak terkabul.
          “Gue serius,Fan,”Riko sadar ia tidak pernah ikhlas mengatakannya. Seyogyanya,Riko tidak pernah ingin melakukan ini.Menyelesaikan masalah dengan jalan keluar―lari dari masalah itu sendiri.
          “Ko…lo enggak mau lihat gue jadiansama Dara dulu?”Lirih Fandi, hopeless.
          “Eem…good luck aja,Fan.
***
          “Kenapa Kakak pergi gitu aja..dulu?”
          Ramalan Riko tepat, Daraakanmempertanyakannya.Riko memutar-mutar ponsel ditangannya,masih mempertimbangkan antara menjawab atau mengelak.Eeem…aku...enggak mau kalau nantinya kita…”
          “Udah ketemu nih,Ko…” Fandi menyela terlalu tepat.“Lo tadi tanya nomor siapa?”
          “Oh, itu…si…Adit.Riko hampir linglung.
          “Gue kirim ke lo aja, deh...
          Dara terdiam,ingin rasanya ia mengutuk kedua pria itu. Yang satu berhasil menghindar sedang yang lain sukses mengacaukan. Dara tidak mempedulikan lagi percakapan kedua pemuda tersebut seputar alasan Riko meminta nomor teman lama mereka karena ada urusan yang tidak jauh dari fotografi.Gadis itu sedang sibuk menerka-nerka jawaban teka-teki tanpa clue yang barusan Dinvo gantungkan untuknya.
          “Gue balik sekarang deh,Fan...
          “Lho,cepet banget sih,Ko?Fandi tidak menyukai ide Riko.
          “Guelangsung ke tempat Aditaja,” bela Riko.
          “Iya,deh yang fotografer professional sekarang.Songong lo, ah,”cibir Fandi lagi.
          “Eem...
          “Ck,baru juga datang, Ko
          “Ntar sebelum balik ke Manado gue kesini lagi, deh” Setelah memastikan tidak ada Dara, tentunya.
          Fandi menghela napas dramatis, “Oke,deh...”akhirnya pasrah.
          “Yaudah… gue cabut ya Fan… Ra…
          Fandi hanya mengangguk sedang Dara tersenyum kecut.Sepeninggalan Pemuda itu, Daramendesah,mengapa Riko memilih pergi lagi? Dara mengalihkan padangannya kepada Fandi yang kini sedang duduk di sampingnya sambil berkutat dengan ponselnya.Seketika rasa bersalah mengusik Dara.Apa yang dilakukannya sudah benar? Mengapa sekarang harus ada ragu?
          “Lhomakalah kamu gimana, Ra?Enggak di kerjain lagi?”Fandi meletak ponselnya di meja,lantas mendongak ke arah Dara.
          “Udah enggak minat, Kak…” jelas Daratidak selera.
          Fandi mengangkat bahu,sedikit bingung juga.Padahal tadi gadis itu bersemangat luar biasa.“Aku ke toilet dulu,deh Fandi berlalu.
          Dara tidak terlalu memperhatiakan, masih sibuk bertanya-tanya―apa salahnya sampai Riko menjauh darinya? Dan… Fandi?
          Drrt .Drrt.
          Hp Fandi yang tertinggal di meja bergetar.
          'Mungkin cuma pesan...' pikir Dara.
          Tidak selang lama, Dara memandangi lekat-lekat benda canggih tadi.Mungkin tidak apa, lalu putusnya.
***
          Dress cream selutut Dara bergoyang pelan saat angin halus membelainya.Rambut lurus yang terjuntai itu ikut melambai pada angin yang kian berlari, menjauh,berbaur bersama cicitan burung yang bertengger di dahan pinus.Dara menyukai tempat ini. Bukan karena dulu ia dan Riko sering ke sini, namun entah mengapa berdiri di sini selalu bisa membuat Dara lebih tenang. Dara memandang jam di pergelangan kirinya,pukul 4 lebih 13 menit.Ia mulai resah.
          Kemarin,sewaktu Dara masih di rumah Fandi, akhirnya ia melakukan hal yang selama dua tahun tidak pernah dicobanya, karena mengingat―jika pemuda itu ‘menginginkannya’ tentu tidak akan pergi begitu saja dan tanpa pernah menghubunginya lagi―akhirnya Dara mengambil nomor Hp Riko dari ponsel Fandi diam-diam.
          Aku tunggu kakaklusa di tebing jam 4
          To: +628136345XXXX
          Sent: 03:23:59pm
          19-04-2012
          Daramengirim pesan kepada Riko sepulang dari rumah Fandi.Dara berharap Riko belum lupa ingatan untuk mengingat di mana tebing ini berada. Karena jika itu terjadi, Dara tidak tahu bagaimana kecewanya…
          Sorry, aku telat.” Suara dari belakang mengagetkan Dara, membuatnya mengembuskan napas lega, “Enggak pa-pa.”
          Kali ini Riko membawa DSLR-nya.Riko berharap dengan keberadaan benda itu setidaknya bisamengalihkan perhatiaannya dari Dara.Ia tidak siap untuk ‘jatuh’ lagi.
          Keduanya belum bersuara dengan posisi berjauhan,masih sibuk dengan acara masing-masing.Dara hanya melangkah pelan tanpa arah, tidak tahu harus mulai dari mana.Sedangkan Riko dengan serius menembakkan lensa kameranya ke arah jauh.Tepat pada saat Dara berhenti,penampakan dirinya tertangkap sebagian oleh kamera Riko.
          “Ck,Kak Riko... ngambil foto akunya jangan dari samping, dong! Ntar enggak kelihatan cantiknya.”
          ‘Sial!’ umpat Riko,frustasi.Ia menurunkan kameranya.
          “Kak!”Panggilan Dara membuyarkan imajinasi terliar Riko.
          “Apa?”
          “Kakak belum jawab pertanyaan aku kemarin…”Dara memandang Riko yang sedang berusaha tidak memandangnya.“Kenapa kakak pergi begitu aja?”
          Riko mendengus,‘Oke,semuanya harus berakhir hari ini.'
          Pemuda itu melangkah mendekat lalu berdiri di samping Dara,masih dengan tatapan yang sama, hanya menembus jagadluas. “Aku pergi,karena memang itu yang harus aku lakukan…”
          “Ninggalin aku?”tanya Dara,tidak percaya.
          “Bukan,tapi ngerelain kamu.”Masih dengan mengusahakan tenang,Riko melanjutkan, “Aku enggak mau nge-rusak persahabatan aku dengan Fandi, Ra…”Riko terdiam.“Fandi cinta sama kamu.”
          “Tapi… aku cintasama Kakak,” tantang Dara.Riko meliriknya tajam, “Enggak seharusnya, Ra… Enggak seharusnya kamu melakukan itu.”
          “Kenapa?”
          “Karena kamu...punya Fandi sekarang…”
          “Aku tahu Kakak juga cinta sama aku…”
          Riko menarik napas dalam-dalam, “Enggaklebih kalau dibandingkan dengan Fandi.” Riko berani bertaruh itu adalah kebohongan terbesar dalam hidupnya. Namun ia telah bersumpah tidak akan mengkhianati sahabatnya, lagi.
          Pertahanan Dara goyah, ia tidak pernah membayangkan mencintai seseorang bisa sesakit ini. “Kakak enggak bisa memaksa orang untuk mencintai orang lain yang jelas-jelas enggak dicintainya…” Sekuat hati Dara menahan tanggul air matanya tidak merembes.Ia tidak mau lebih lemah lagi.
          “Aku enggak pernah niat buat maksa kamu, Ra…”
          Dara tidak mau menanggapinya, ia harus menata hatinya kembali seperti sedia kala. Walau Dara tidak tahu bagaimana ia bisa melakukannya.
          “Dara…” Riko ingin memanggil nama itu sekali lagi, mungkin untuk yang terakhir kali.
          “…”Namun tidak ada jawaban.
          Setelah menghela napas, “Maaf untuk semuanya… besok aku kembali ke Manado. Aku harap… kamu bisa baik-baik ajasama Fandi.”
          Dara hancur. Pemuda itu terlalu kejam memperlakukannya,ia tidak sekuat yang dibayangkan.Akhirnya, dengan napas yang sudah naik turun, “Ooh…”Tidak sadar, satu tetes air mata Dara terbit mengawali.“Kalau gitu… makasih buat rasa yang enggak seberapa yang pernah Kakak kasih ke aku, itu... sekarang… udah enggak berarti.”Cairan bening itu tumpah mengiri derap langkah cepat Dara yang menjauh.Meninggalkan semua harapan dan kenangan.
          Sepenuh hati Riko berusaha tidak mengejar gadis itu, tidak untuk menarik Dara dalam dekapannya dan berusaha menenangkan walau sekadar agar gadis itu tidak menangis tersedu-sedu didekatnya. Namun itu tidak akan pernah terjadi, terlalu berbahaya.Riko sudah memilih akhir ini, dan tidak perlu ada yang diubah lagi.

END

No comments:

Post a Comment