Terkadang,jalan dipenuhi lubang berbatu
itu yang akan mengantarmu ke tempat aman.Mungkin,pilihan tidak diinginkan lah
yang akan membuatmu tahu arti kehidupan
lebih baik di masa depan. Karena sejatinya, manusia tetaplah manusia, tak
pernah benar-benar tahu tentang misteri cerita-Nya.
***
Sore yang cerah kala gadis itu sibuk
menekuni tugasnya di balkon belakang rumah. Jari-jari lentiknya terus bergerak
di atas keyboard, merangkai kata-kata
yang mengandungmakna mengenai‘Teknologi Biologi’. Setelah selesai menekan tombol ber-ikontitik,jari
yang menari-nari tadi berhenti di udara.
“Terus… apa lagi, Kak?”tanyanya
kepada seseorang disampingnya.Sambil menunggu jawaban,gadis itu kembali
memainkan jarinya dengan mengetuk-ngetukkan pada meja tempat notebook itu ditaruh,sedangkan matanyamasih membeku
pada layar di hadapannya.
Tidak ada jawaban.
“Apa lagi nih, Kak?” ulangnya.
Tetap hening.
Dengan setengah kesal,gadis itu
menoleh ke sebelah kanannya, “Kak Fandi… apa lagi yang harus aku ketik?”
Pemuda itu terkesiap, “Eh?”Tangan yang dipakainya untuk
bertopang dagu tergelincir di bibir meja.Kegiatan melamunkan wajah gadis itu terganggu
oleh objeknya sendiri.
“Kakak enggakdengarin
aku, ya?”Dara menyipitkan mata.Fandi langsung nyengir kuda.“Hehe…maaf, Ra. Keenakan ngeliatin kamunya.”Memandang wajah gadis
yang sedang serius tadi membuatnya lupa sesaat.
“Apaan sih,Kak!”Dara kembali ke layar di depan dengan sedikit
tersipu, lantas dengan tangannya menggeser-geser
mouse ke arah salah satu task bar.“Nanti, kalau makalahnyaenggak selesai-selesaigimana?”tanya Dara
kembali berkonsentrasi, mengabaikan Fandi.
“Hmm… iya maaf, deh!”
“Ya, udah.Lanjut, gih!”
Fandi kembali pada tugasnya,mendongengkan
kata-kata yang ber-genre seperti
sebelumnya kepada Dara, agar gadis itu dapat mencetakkan kata tersebut pada fokus
notebook. Saat sedang begini,gadis
disampingnya itu memang susah untuk diajak bercanda.
Ting Tong Ting Tong!
Bel rumah itu memekik,membuat proses
pengerjaan Makalah Bioteknologi Dara terganggu lagi.
“Aku bukain dulu, deh, Ra...Bibi lagi sibuk di dapur kayaknya.”Setelah mendapat anggukan
Dara,Fandi beranjak dari duduk lesehannya.Menjauh dari balkon belakang rumah
itu dan bergegas ke pintu utama rumahnya.
Dara memungut buku Biologi yang
ditinggalkan Fandi sembarangan di atas meja,lalu melanjutkan tugas dari salah satu mata
kuliahnya itu sendiri.Setelah beberapa menit Fandi tidak kunjung kembali, Dara merasa heran
dan memutuskan menyusul.
Baru beberapa langkah, lamat-lamat
terdengar percakapan seru dua orang laki-laki dari arah ruang tamu.“Siapa, ya?Kok,
heboh banget?”Dara heran sendiri.
Belum sampai di tempat tujuan, Daraberhenti dengan
terburu.Dari sudut pandangnya, Dara dapat
melihat dua pemuda tengah asik berbincang lalusesekali terdengar tawa renyah
dari mereka.Perlahan, gadis itu mundur teratur,memastikan kedua pemuda tadi
belum melihatnya.Tapi tidak butuh berapa lama, Dara maju lagi,merasa tidak bisa
menahan keinginan hatinya untuk tidak mengabaikan 'tamu' itu.Padahal
jelas-jelas logika sendiri menolaknya. Sudah lama ia tidak melihat lagi kedua
orang itu mengobrol bersama.Ada sejumput rindu yang menyusup diam-diam.
Maka,sambil bersembunyi di samping
dinding tidak jauh dari ruang tamu―yang dapat menyembunyikan
tubuhnya, Dara melanjutkan kegiatan
mengintipnya.Sudah lupa pada tugas makalah penting tadi.
Seketika, gadis itu mengembuskan napas
berat, merasa bahwa injeksi yang diberikansang tamu disana masih sama,detak jantung dan
desiran darah yang bekerja tidak wajar ini masih juga belum berubah seperti 2
tahun yang lalu.
Kejadian dua tahun silam.Kala
tiupan-tiupan lembut angin tak teraba itu terbawa pada mereka,mulai menjelma
tanpa ada sengaja.
>>>
“Dara!”
Gadis yang sedang berdiri tidak jauh
dari pos satpam itu berbalik karena ada yang mencolek bahu sekaligus
memanggilnya dari belakang. “Eh, Kak Fandi… Kenapa, Kak?”
“Eem
itu… besok proposalnya jangan lupa,” Fandi beralasan.
“Ohiya,
Kak...”Ujar Dara tersenyum kalem. “Proposalnya udahfix, kok,” tambah Dara.
Dara beralih kepada laki-laki yang
sedang masang muka-anteng-ayem-bin-cool
disamping Fandi.‘Ini…’
“Eh
iya, Ra,kenalin ini temen aku.”Fandi menyikut lengan Riko agar bereaksi.Mereka lantas berjabat tangan.
“Riko.”
“Dara,” sambil tersenyum.Sedang Riko
terlihat enggan.
Tiba-tiba sebuah Kijang Innova hitam berhenti seenaknya
didekat mereka.“Eh, jemputan aku udah datang.Duluan ya, Kak!”Tersenyum
lagi, Dara pamit kepada keduanya,dalam sekejap telah melarikan diri dengan
mobiltersebut.
>>>
Rasa itu memang tidak mengenal siapa,mengapa,dan
kapan.Iahanya bisa mengalir tanpa dosa. Menciptakan partikel-partikel kecil tak
kasat mata di relung sukma,hingga mampu melilit segumpal makna tak terbaca.
Daramengedarkan pandangan
sejadi-jadinya ke seluruh penjuru kelas itu,namun sayang orang yang dicari tidak menunjukkan
tanda kehidupannya disana. Hanya ada beberapa kakak kelas yang jelas tidak
dikenal,eh, tunggu...
Dara dengan pede langsung masuk ke ruangan bercat biru langit itu,lantas
menghampiri seseorang.“Eh, Kak!liat Kak Fandi, enggak?” tanya Dara, kelewat nyantai.
“Enggak.”
“Ish…”Dara
hampir jengkel dibuatnya. Bukan apa-apa, ‘Setidaknya bisa,kali ya, kalau bicara sama orang itu ngadepnya ke orangnya,ini malah sibuk melototin kamera. Mana jawabnya tadi enggak pakai perasaan gitu.Enggak
sopan!’
Entah mengapa gadis itu masih betah
saja berdiri disamping meja, memandangi apa yang sedang diperbuat laki-laki di
depannya.“Kakak suka fotografi, ya?”Dara basa-basi.
“Menurut lo?”
‘Ya ampun!Tragis banget, sih, ngomong sama,nih orang.’Yah, salahnya sendiri bertanya yang jawabannya sudah di
depan mata.‘Lo juga, sih, yang begok, Ra.’
“Hmm...” Dara
bergumam tidak jelas,bingung harus ngomong apa lagi.Mendengar suara aneh itu membuat laki-laki tadi mengangkat
wajahnya.“Eh, kamu Ra?”
Gubraak!
Riko baru sadar kalau orang yang dari tadi dikacanginnya
itu ternyata…
“Hiii,iya
kak…” Dara tersenyum maksa,dalam hati meringis,‘Kak Riko, please deh!’
“Cari Fandi, ya?Tadi dipanggil Pak
Joe mau nge-bahas futsal.”Riko tanya-jawab sendiri.
“Lho,tadi
katanya enggak tahu?”
“Tadi kamu nanya ‘liat’ bukan ‘tahu’…”Riko kembali berkutat dengan SLR
kesayangannya.
‘Diperhatiin juga,toh!’
“Eh kak,ajarin aku fotografi,dong!”Ada hal yang menarik hati Dara saat melihat ketekunan pemuda tadi
memandang benda itu.
“Kamu suka?” kali inibenar-benar
memandang ke arah Dara.
“Hmm…suka,kali,” jawab Dara ngasal.
Riko menaikkan alis,pada awalnya
merasa aneh dengan jawaban gadis itu. Namun akhirnya ia mengatakan, “Boleh.”
“Yesss!”Dara girang luar biasa, dan mendapati Riko tersenyum tipis
ke arahnya.
>>>
Hembusan udara menyejukkannya datang
tanpa perlu diundang.Membawa pergi jauh celah-celah pemisah, persembahan untuk
keinginan mengecap rasanya yang indah.
Riko mulai tampak berbeda. Tidak jarang
pemuda itu ditemukan sedangtersenyum sumringah atau ada kala dia cerewet
membicarakan satu hal.Dan tidak disangka lagi, malah pemuda itu akan tergelak
tak biasa saat ada yang sedang berbanyol ria.Dara tidak
sadar perubahan yang dibawanya. Yang ia tahu, ia akan merasa bahagia jika
bersama Riko. Waktu yang bergerak itu lebih sederhana dan berubah menjadi
menyenagkan.
Klik.
“Ck,Kak Riko...ngambil foto akunya jangan dari
samping,dong! Ntar enggak kelihatan cantiknya.”Hardik Dara suatu hari, saat dirinya difoto Riko tanpa izin.Di tempat
biasa Riko mengajaknya mencari objek foto, di atas sebuah tebing yang
memperlihat hamparan pohon pinus yang damai.
“Hahaha... kamu dari mana aja tetep cantik kok,Ra.”
***
“Dara?”
Dara terkesiapmendapati laki-laki
bermata sipit tengah berdiri tidak jauh di depannya.Membuat Dara harus
menggantikan pandangandari arah mamer lantai menjadi wajah heran Fandi. Entah sejak kapan Fandi sudah di
sana.
“Kamu ngapindi sini?”
“Aku… aku…” Dara tidak bisa menemukan suaranya. Ia
hanya bergumam tidak jelas, sampai Fandi menarik tangannya secara tiba-tiba.
“Sini, deh!”
“Ee...” Dara yang belum siap menjadi
terseok-seok saat harus menuruni tangga kecil rumah Fandi.
“Riko!”
Laki-laki yang dipanggil
mendongak,menjauhkan penglihatan dari ponsel ditangannya.“Kok lama a…mat,
Fan…?” Riko hampir menjatuhkan ponselnya saat melihat siapa yang datang bersama
Fandi.Setelah itu Riko mencoba menguasai diri agar terlihat biasa.
Tanpa sadar
Dara menahan napas saat matanya bertemu dengan Riko, lalu berusaha mengalihkan
pandangan.Mendadak Dara ingin sekali melempar cengkraman Fandi di tangan kanannya.
“Enggak perlu gue kenalin lagi, kan, Ko?Hehee...”
Tidak tahukah Fandi,dengan pertanyaan itu ia seakan
sedang menggali lubang untuknya sendiri. Karena dalam diam,selain pandangan yang bertemu tadi,
pertanyaan tersebut mengingatkan kala awal yang tidak disengaja.
“Ya,enggak lah,Fan.”Seru Riko sebiasa mungkin,“Hai,Ra!” lanjutnya sekilas.
“Hai juga,Kak!”
“Oh, iya…” Riko seakan baru teringat,
“ManaHp lo, Fan?”
berharap bisa membuat sebuah kesibukan.
Fandi menepuk keningnya sendiri,lalu
seakan yang dilakukannya bisa membantu ia nyengir
konyol. “Hhee,lupa gue…”
Masih dengan alasan yang sama, Fandi berujar lagi,“Kamu lihat handphone aku enggak,Ra?”
kali ini kepada gadis di sebelahnya.Fandi memandang Darabersamaan dengan melepas tautan tangannya. Diam-diam ada
yang bernapas
lega karena
itu.
“Enggak ada,Kak...”
“Eem…yaudah, aku cari dulu. Bentar ya,Ko!” Kata Fandi cepat kepada keduanya,
lalu meninggalkan mereka dengan terburu.Fandi melaju
ketempat di mana mungkin ponselnya diletakkan. Berhubung,karena itu tadi Fandi kembali masuk.
“Boleh duduk kali,Ra.”Riko berusaha santai. Dara yang dari tadi memang tetap
berdiri disamping sofa,menurutidalam diamusulan Riko. Gadis itu beringsut ke tempat
duduk empuk tepat disebrang Riko.
“Kamu… apa kabar?”Tidak tahu kenapa,Riko menjadi kikuk lagi. Padahal tadi ia
sudah berakting
hampir sempurna.Atau mungkin karenadengan posisi Dara sekarang,Riko dapat melihat jelas gadis yang semakin
terukir indah itu.Gadis yang sudah mengusik hatinya dulu, dan… sekarang?Seorang gadis yang lebih cantik,tampak dewasa dan anggun…
“Baik,Kak…” Jawaban Dara mengacaukan pengkoreksian Riko.
Dara tidak berniat untuk bertanya balik
dengan pertanyaan yang sama,terlalu basa-basi, pikirnya. “Kak?”panggil Dara, menunggu Riko memberi respon.
“Apa?” dalam hati Riko mulai ketar-ketir.
“Kenapa Kakak pergi gitu aja..dulu?”
JLEB!
>>>
“Ko,biar okeguenembakDara
kapan, ya?”
Glek.
Riko menelan ludah.Kegiatan sedang
memilah-milah foto hasil jepretannya yang digerai di atas meja bulat itu
terhenti.Tanpa sengaja Riko menjatuhkan salah
satu foto dari tumpukanfoto yang ada di
tanganya.Riko
memungut foto itu, dan…oh,foto gadisnya ternyata.Ck!
“Yaelah si Riko…bukannya jawab malah ngeliatin foto…” Fandi memutar badannya dari posisi
bersandar di dinding jendela menjadi menghadap ke dalam kamar Riko.“Letak dulu tuhpoto,atau perlu gue
buang?”perintah Fandi, setengah serius setengah bercanda.
Dalam diam Riko membereskan serakan gambar
tadi,perasaannya sudah tidak enak.
“Ntar biar gue keliahatan kerennembaknya
gimana, nih?” Fandi―masih dengan topik yang sama, kembali ke posisi awal sambil
menatap jauh ke langit malam.Riko duduk termangu di sudut sofa di dalam kamarnya,merekam
ulang setiap kejadian membahagiakannya bersama gadis yang sedang menjadi kunci
pembicaraan mereka.Gadis pujaan hati sahabatnya.
Merasa bosan, Fandi beranjak dari jendela, lalu
menghempaskan tubuh di tempat tidurRiko dengan merentangkan tangannya.Seakan tersadar, Fandi menepuk jidat, “Oh iya,guelupa.Lokan, selalu
remedi kalau ditanya soal beginian.”
Rikomasih menolak untuk mengubris.
Laki-laki
yang sedang bergolek-golek tidak keruan itu masih terus memutar otak untuk
menemukan tanya hatinya sendiri. Sedikit mengabaikan Riko yang juga sedang
sibuk dengan beban hatinya.Maka,malam di ruang pribadi Riko itu menjadi riuh dengan celotehan
tidak penting Fandi yang membicarakan
tentang tanggal jadian,tempat,pakaian,makan
malam,lagu indah,bunga, dan banyak lagi kawan-kawannya yang menyembur dari mulut Fandi,tanpa lelah.
Sedang si
pemilik kerajaan―Riko, hanya diam. Bahkan sampai malam berlalu pun tidak ada
satu katapun yang terucap untuk menanggapi 'kegilaan' Fandi tersebut. Ada hal yang harus
diselesaikannya malam ini juga.
>>>
Hiruk-pikuk
tempat umat sekolah melepas lapar itu menyelingi setiap cicitan yang
diperdengarkan dari meja-meja.Dengan cara dipaksakan menganggap semua itu
adalah berupa alunan musik jazz yang
sedang dimainkan
musisi ternama,kumpulan orang yang sedang meluruh raga disana mencoba tetap
menikmati kegiatan mereka masing-masing.
“Fan,kayaknya lo harus cepetanbayarbonlo ke gue, deh,”Riko memulai percakapan.
“Males, ah…Nantiaja kalau utang gueudah
bisa beliin lo 'Dukati'sebiji.”Jawab Fandi asal sambil mengunyah.
“Preet…'Dukati'buatan engkonglo?” balas Riko nyaris tidak percaya.
Fandi masih sibuk dengan makanannya,
belum menyadari arah pembicaraan Riko.
“Kelas XII
ini gue bakal lanjut di Manado.”
“Uhuuk... Uhuuk...” Fandi tercekat,cepat-cepat mengambil es
jeruknya dan langsung meminumnya hingga tandas. “Maksud loapa,Ko?”Tanya Fandi berharap tadi ia salah dengar. Ke Manado?
“Gue mau belajar jadi fotografer profesional samaOom gue… di sana.”
“Emang disini enggak
bisa?” Fandi benar-benar tidak habis pikir, ia menolak mengerti alasan Riko.
Fandi ingat, Riko pernah bercerita bahwa di Manado ada Oom-nya yang berprofesi
sebagai fotografer dengan jam terbang
yang sudah tinggi.Tapi, bukan berarti
Riko hanya bisa belajar dengan Oom-nya.
“Ko...”Suara Fandi memelas,berharap ini adalah
kekonyolan―yang
amat sangat tidak lucu,sambil melayangkan tatapan 'Lo enggak
pernah berbakat,Ko...' kepada Riko. Namun
ternyata tatapan itu sama sekali tidak membantu, harapan itu tidak terkabul.
“Gue serius,Fan,”Riko sadar ia tidak pernah ikhlas
mengatakannya. Seyogyanya,Riko tidak pernah ingin melakukan ini.Menyelesaikan
masalah dengan jalan keluar―lari dari masalah itu sendiri.
“Ko…lo enggak mau lihat gue
jadiansama
Dara dulu?”Lirih Fandi, hopeless.
“Eem…good luck aja,Fan.”
***
“Kenapa Kakak pergi gitu aja..dulu?”
Ramalan Riko
tepat, Daraakanmempertanyakannya.Riko memutar-mutar ponsel ditangannya,masih mempertimbangkan
antara menjawab atau mengelak. “Eeem…aku...enggak
mau kalau nantinya kita…”
“Udah ketemu nih,Ko…” Fandi menyela terlalu tepat.“Lo tadi tanya nomor siapa?”
“Oh,
itu…si…Adit.”Riko hampir linglung.
“Gue
kirim ke lo aja, deh...”
Dara terdiam,ingin rasanya ia mengutuk kedua pria itu. Yang
satu berhasil menghindar sedang yang lain sukses mengacaukan. Dara tidak mempedulikan lagi percakapan
kedua pemuda tersebut seputar alasan Riko meminta nomor teman lama mereka karena ada urusan yang tidak jauh dari fotografi.Gadis itu
sedang sibuk menerka-nerka jawaban teka-teki tanpa clue yang barusan Dinvo
gantungkan untuknya.
“Gue balik sekarang deh,Fan...”
“Lho,cepet banget sih,Ko?”Fandi tidak menyukai ide Riko.
“Guelangsung ke tempat Aditaja,” bela Riko.
“Iya,deh… yang fotografer professional sekarang.Songong lo,
ah,”cibir Fandi lagi.
“Eem...”
“Ck,baru juga datang, Ko…”
“Ntar sebelum balik ke Manado gue kesini lagi, deh…” Setelah memastikan tidak ada Dara,
tentunya.
Fandi menghela napas dramatis, “Oke,deh...”akhirnya pasrah.
“Yaudah… gue cabut ya
Fan… Ra…”
Fandi hanya mengangguk sedang Dara tersenyum kecut.Sepeninggalan
Pemuda itu, Daramendesah,mengapa
Riko memilih
pergi lagi? Dara
mengalihkan padangannya kepada Fandi yang kini sedang duduk di sampingnya
sambil berkutat dengan ponselnya.Seketika rasa bersalah mengusik Dara.Apa yang
dilakukannya sudah benar? Mengapa sekarang harus ada ragu?
“Lho…makalah kamu
gimana, Ra?Enggak di kerjain lagi?”Fandi meletak ponselnya di meja,lantas mendongak
ke arah Dara.
“Udah enggak minat, Kak…” jelas Daratidak selera.
Fandi
mengangkat bahu,sedikit bingung juga.Padahal tadi gadis itu bersemangat luar
biasa.“Aku ke toilet dulu,deh…” Fandi berlalu.
Dara tidak terlalu memperhatiakan, masih sibuk bertanya-tanya―apa
salahnya sampai Riko menjauh darinya? Dan… Fandi?
Drrt .Drrt.
Hp Fandi yang tertinggal di meja bergetar.
'Mungkin cuma pesan...' pikir Dara.
Tidak
selang lama, Dara
memandangi lekat-lekat benda canggih tadi.Mungkin tidak apa, lalu putusnya.
***
Dress cream selutut Dara bergoyang pelan saat angin halus
membelainya.Rambut lurus yang terjuntai itu ikut melambai pada angin yang kian berlari,
menjauh,berbaur bersama cicitan burung yang bertengger di dahan pinus.Dara
menyukai tempat ini. Bukan karena dulu ia dan Riko sering ke sini, namun entah
mengapa berdiri di sini selalu bisa membuat Dara lebih tenang. Dara memandang
jam di pergelangan kirinya,pukul 4 lebih 13 menit.Ia mulai resah.
Kemarin,sewaktu
Dara masih di rumah Fandi, akhirnya ia melakukan hal yang selama dua tahun tidak
pernah dicobanya, karena mengingat―jika pemuda itu ‘menginginkannya’ tentu
tidak akan pergi begitu saja dan tanpa pernah menghubunginya lagi―akhirnya Dara
mengambil nomor Hp Riko dari ponsel
Fandi diam-diam.
Aku tunggu kakaklusa
di tebing jam 4
To: +628136345XXXX
Sent:
03:23:59pm
19-04-2012
Daramengirim
pesan kepada Riko sepulang dari rumah Fandi.Dara berharap Riko belum lupa
ingatan untuk mengingat di mana tebing ini berada. Karena jika itu terjadi,
Dara tidak tahu bagaimana kecewanya…
“Sorry, aku telat.” Suara dari belakang
mengagetkan Dara, membuatnya mengembuskan napas lega, “Enggak pa-pa.”
Kali ini Riko
membawa DSLR-nya.Riko berharap dengan
keberadaan benda itu setidaknya bisamengalihkan perhatiaannya dari Dara.Ia
tidak siap untuk ‘jatuh’ lagi.
Keduanya belum bersuara dengan
posisi berjauhan,masih sibuk dengan acara masing-masing.Dara hanya melangkah
pelan tanpa arah, tidak tahu harus mulai dari mana.Sedangkan Riko dengan serius
menembakkan lensa kameranya ke arah jauh.Tepat pada saat Dara
berhenti,penampakan dirinya tertangkap sebagian oleh kamera Riko.
“Ck,Kak Riko... ngambil
foto akunya jangan dari samping,
dong! Ntar
enggak
kelihatan
cantiknya.”
‘Sial!’ umpat
Riko,frustasi.Ia menurunkan kameranya.
“Kak!”Panggilan
Dara membuyarkan imajinasi terliar Riko.
“Apa?”
“Kakak belum
jawab pertanyaan aku kemarin…”Dara memandang Riko yang sedang berusaha tidak
memandangnya.“Kenapa kakak pergi begitu
aja?”
Riko
mendengus,‘Oke,semuanya harus berakhir hari ini.'
Pemuda itu
melangkah mendekat lalu berdiri di samping Dara,masih dengan tatapan yang sama,
hanya menembus jagadluas. “Aku pergi,karena memang itu yang harus aku lakukan…”
“Ninggalin aku?”tanya Dara,tidak percaya.
“Bukan,tapi ngerelain kamu.”Masih dengan
mengusahakan tenang,Riko melanjutkan, “Aku enggak
mau nge-rusak persahabatan aku dengan
Fandi, Ra…”Riko terdiam.“Fandi cinta sama kamu.”
“Tapi… aku
cintasama Kakak,” tantang Dara.Riko meliriknya tajam, “Enggak seharusnya, Ra… Enggak
seharusnya kamu melakukan itu.”
“Kenapa?”
“Karena
kamu...punya Fandi sekarang…”
“Aku tahu Kakak
juga cinta sama aku…”
Riko menarik
napas dalam-dalam, “Enggaklebih kalau
dibandingkan dengan Fandi.” Riko berani bertaruh itu adalah kebohongan terbesar
dalam hidupnya. Namun ia telah bersumpah tidak akan mengkhianati sahabatnya,
lagi.
Pertahanan
Dara goyah, ia tidak pernah membayangkan mencintai seseorang bisa sesakit ini. “Kakak
enggak bisa memaksa orang untuk
mencintai orang lain yang jelas-jelas enggak
dicintainya…” Sekuat hati Dara menahan tanggul air matanya tidak
merembes.Ia tidak mau lebih lemah lagi.
“Aku enggak pernah niat buat maksa kamu, Ra…”
Dara tidak
mau menanggapinya, ia harus menata hatinya kembali seperti sedia kala. Walau
Dara tidak tahu bagaimana ia bisa melakukannya.
“Dara…” Riko
ingin memanggil nama itu sekali lagi, mungkin untuk yang terakhir kali.
“…”Namun
tidak ada jawaban.
Setelah
menghela napas, “Maaf untuk semuanya… besok aku kembali ke Manado. Aku harap… kamu
bisa baik-baik ajasama Fandi.”
Dara hancur.
Pemuda itu terlalu kejam memperlakukannya,ia tidak sekuat yang
dibayangkan.Akhirnya, dengan napas yang sudah naik turun, “Ooh…”Tidak sadar, satu tetes air mata Dara terbit mengawali.“Kalau gitu… makasih buat rasa yang enggak seberapa yang pernah Kakak kasih
ke aku, itu... sekarang… udah enggak
berarti.”Cairan bening itu tumpah mengiri derap langkah cepat Dara yang
menjauh.Meninggalkan semua harapan dan kenangan.
Sepenuh hati Riko
berusaha tidak mengejar gadis itu, tidak untuk menarik Dara dalam dekapannya
dan berusaha menenangkan walau sekadar agar gadis itu tidak menangis
tersedu-sedu didekatnya. Namun itu tidak akan pernah terjadi, terlalu
berbahaya.Riko sudah memilih akhir ini, dan tidak perlu
ada yang diubah lagi.
END
No comments:
Post a Comment