And I don't want the world
to see me
Cuz I don't think that
they'd understand
When everything's made to
be broken
I just want you to know who
I am
(Goo Goo Dolls – Iris)
***
Adit telah lama menunggu hari ini datang, entah sejak kapan.
Kedua tangannya erat memegang buku setebal kira-kira 300an halaman itu,
kemudian menatap antrean panjang di depan. Penantiannya, hari ini tiba juga.
Pemuda itu melepas napas, rasanya jadi berdebar. Sudah lama sekali Adit tidak
begini, merasakan sensasi yang luar biasa. Malahan sepertinya belum pernah
sehebat ini. Begitu menyenangkan. Antrean di depannya mulai menyusut, sama
seperti udara yang mampu dihirupnya.
‘Sial! Tenang, dong, Dit!’
Tanpa sadar Adit mencoba mengintip wajah yang ada di balik meja
depan dari samping, rasa penasaran telah mengganggu kerja sarafnya. Sulit. Antrean ini tepat
menutupi orang yang ada di sana. Pemuda itu mulai menghitung, 5 orang lagi.
Barisan orang-orang di depannya bagai tidak bergerak. Beberapa menit
selanjutnya dibunuh dengan bosan. 2 orang terakhir. 'Duh, kenapa gue jadi
keringat dingin gini?!' keluhnya mulai kesusahan mengontrol diri. Bayangan di
depan mulai terlihat hilang timbul di matanya.
Dan, akhirnya...
“Namanya siapa?” Sapa yang berada di balik meja itu duluan saat Adit menyodorkan
buku yang dibawanya tadi. Di covernya tertulis judul buku dan nama indah
penulis. Tiara 'Ara' Vania.
“Aditya Prayogi.”
Ara membuka cover novel itu masih tanpa menoleh kepada salah
satu pembaca novel perdananya itu. ‘A-di-tya-pra-yo-gi,’ ejanya sambil menulis untuk memastikan pendengarannya benar. Karena
terlalu banyak menundukkan kepala gadis itu jadi agak enggan menengadah.
“Novel kamu bagus.”
“Thanks.” Gadis itu tersenyum belum menoleh, sedang membubuhi tanda tangan.
“Pertemuan di taman waktu itu...” perkataan yang menggantung tersebut mampu membuat gadis itu terdiam.
Berhenti saat ia ingin menulis namanya di
bawah tanda tangan. Lalu terdengar lagi, “enggak nyangka ada hikmahnya
juga.”
Suara Adit jadi kaku, padahal tadi di rumah ia sudah yakin dengan
latihan di depan kacanya. Kata-kata dan intonasi ucapan sudah dirangkai sekeren
mungkin. Lebih-lebih seperti pidato kelurahan. Tapi sekarang, saat benar-benar
di depan gadis itu, semua hasil latihannya tidak ada yang mempan. Yang ada
hanya suara bisikan dan bergetar. Adit sudah tidak sempat lagi mengumpat
kebodohannya sendiri karena beberapa saat setelah kalimat terakhirnya tercetus,
gadis itu mengangkat wajahnya. Lagi-lagi tanpa sadar, Adit menahan napas.
“Ha-hai...” pemuda itu berusaha sekuat mungkin untuk tidak membuat hari
ini gagal. Dipasangnya senyum–yang semoga bisa dibilang cool, tapi sayangnya yang keluar hanya cengiran tidak jelas. Payah.
“Hai...” Ara tersenyum gugup.
***
Ketika kau dan aku kembali tertanya
Kapan yang dulu menjadi nyata?
***
Dengan kesabaran extra akhirnya rencana Adit selanjutnya dapat
berjalan, walaupun terseok-seok. Ia ingin mengajak Ara keluar setelah acara itu, dan konsekuensinya
Adit harus menunggu acara itu selesai dilanjutkan beberapa hal yang harus Ara
urus dengan pihak penerbit. Alhasil mereka pergi setelah hari beranjak sore.
Di sini lagi, di taman kala sore itu. Saat takdir tanpa
bersalah mempertemukan mereka. Saat semua masih jauh dari rencana. Di sana mereka
dulu, bersama ego yang dipunya. Terlalu samar untuk kata esok, yang tenyata...malah
ditanya.
“Kok ke sini, Dit?”
Sore itu begitu nyaman. Sinar-sinar jingga yang menimpa
dahan-dahan memberi efek teduh yang mempesona. Udara yang terhirup sedikitnya
terhindar dari polutan kota karena keberadaan pohon-pohon. Taman ini
tampak cukup
lengang, persis seperti waktu itu. Dan mereka duduk dibangku
yang sama.
“Kamu enggak suka, ya, ke sini?” Adit balik bertanya.
“Eh, bukan gitu...” Ara merasa salah bicara,
“emh... maksud aku, ke sini juga enggak pa-pa, kok,” ringis gadis itu, sedikit
bingung dengan kata-katanya sendiri. Tadi ia hanya asal
bertanya karena tidak ada bahan obrolan, walau sebenarnya ingin tahu juga
jawabannya. Rasa canggung masih menyelimuti mereka.
Adit tersenyum tipis, lalu tidak sengaja memperhatikan penampilan gadis di
hadapanya. Ukiran wajah itu sudah dewasa. Terpeta pada polesan make-up tipis yang menghiasi. Kaca mata yang bertengger di
hidung bangirnya sama sekali tidak memberikan kesan culun, malah mempertegas image gadis itu yang berkomitmen. Dan
sepasang mata di balik lensa itu pun tidak berubah. Dress
hijau tosca selutut
beserta bolero
yang membungkusnya tampak pas dengannya.
Ara menyandarkan tubuhnya, hari ini cukup melelahkan. Tadi,
saat pemuda di sampingnya itu mengajaknya pergi tanpa menyebutkan tujuannya, ia segera menyanggupi
walau harus menyelesaikan beberapa urusan
terkait peluncuran novel perdananya sejak dua hari yang lalu. Beberapa hari terakhir
ia agak sibuk, dan barusan penatnya terasa sedikit
terangkat.
“Sorry ya, Ra... aku malah ganggu waktu
istirahat kamu.” Adit berbasa-basi, mencoba agar kecanggungan ini bisa mencair.
“Santai aja, kali, Dit. Aku enggak sesibuk yang kamu bayangin, kok.” Ara tersenyum menenangkan.
“Masa?
Tapi kamu kan, sekarang udah terkenal. Bentar
lagi juga sibuk sama jumpa fans.”
Ara tergelak, “Kamu nyindir? Novel aku kan, belum se-ekstrem
J. K Rowling atau Stephenie Meyer.” Ara mendorong kecil
lengan disampingnya. Mengikis perlahan jejak kaku di antara mereka.
Celotehan-celotehan mulai menyembur dari keduanya. Berbaur bersama
satuan waktu yang kian menipis. Tidak terlalu banyak, karena intens pertemuan
yang memang baru dua kali berjumpa. Percakapan mereka
masih seputar kesibukan masing-masing.
“Aku enggak nyangka, lho, kita bisa ketemu lagi,” kata Ara tiba-tiba. Setelah sesaat tadi hening
menjadi raja kembali.
“Oh, ya?” Adit memalingkan wajah
untuh menatap gadis yang juga sedang menatapnya. Ditangkapnya manik mata yang
tersembunyi di balik lensa itu. Mata yang selalu bicara, mata yang akhirnya
membuatnya jatuh juga. Lalu tersenyum
rahasia, “Asal tahu saja, aku malah udah nyiapin hari ini.”
“Hah?”
>>>
Ketika mentari memancar tak biasa
Ketika semua berubah asing dan tak terjamah
>>>
Adit memilih memarkirkan Jazz-nya sembarangan di kawasan
taman. Beberapa saat kemudian—dengan pandangan tidak fokusnya, keluar dari
mobil dan melangkah ke salah satu bangku panjang yang terlihat kosong. Tidak
hanya bangku, sore itu sekitaran taman juga terlihat sepi. Walau merasa tidak
biasa dengan suasananya, pemuda itu berusaha mengabaikannya. Setidaknya disini
lebih baik, pikirnya.
Dengan gerakan meraba, remaja SMA itu
memijit-mijit kepalanya yang tadi terasa berat. Di saat sebelumnya melihat
gadis yang baru saja ia tinggalkan tiba-tiba menangis membuatnya sedikit
pening. Adit sadar walau perkara putus-memutuskan pacar sudah menjadi hal yang
lumrah baginya, pemuda itu masih belum bisa membawa diri apabila gadis yang
akan segera menjadi mantannya malah menangis terluka—lebih baik mereka
mencak-mencak atau semacamnya. Pemandangan seperti itu akan membuatnya sulit. Dan yang bisa
dilakukannya hanya menjauh secepat mungkin, seperti sekarang ini. Meski tampak kejam.
Belum bisa
tenang sepenuhnya, Adit merasa ada sosok yang datang dan mengisi ruang kosong
di sisi kirinya. Kini bangku panjang itu terisi oleh dua orang. Dirinya dan seorang... perempuan.
Lumayan cantik, sih, tapi...
saat ia benar-benar
menoleh didapatinya wajah perempuan itu sedang bermuram durja. Enggan untuk mengganggu, Adit hanya memperhatikan perempuan yang sedang
bermuram durja tadi dari ekor matanya dan tidak sengaja melihat apa yang ada di
tangan peremupuan tersebut. Semacam buku atau... entahlah.
Pada sampulnya Adit dapat menemukan kalimat 'When
I'm Falling in Love.'
“Kenapa...”
Adit terkesiap, lantas bingung. Barusan ia mendengar suara tertatih seperti
bertanya. Apa gadis itu mengajaknya bicara?
“Kenapa, sih, mereka enggak mau ngasih
gue kesempatan kedua? Gue yakin kok, kalau naskah ini diperbaiki bakal layak
terbit juga...” Gadis itu meracau tidak jelas. Seketika ia menutup wajahnya dengan
kedua tangan, terlihat sangat kecewa. Tubuhnya mulai berguncang.
Adit menelan ludah. Tidak mengerti harus berbuat apa, sama sekali. Ia bukan tipe laki-laki
'penghibur'—maksudnya, buat apa ia
berada di sini, kalau ia mampu membujuk gadis yang sedang besedih? Ingin bertanya, namun gadis itu bergerak lagi. Menarik tangannya
yang menutupi kesedihannya itu sehingga memperlihatkan wajahnya, membuat Adit
tercekat. Gadis itu menangis.
Dengan bercucuran air mata, “Walaupun gue masih SMA, bukan berarti mereka harus nyepelein gue,
kan? Sejak kapan umur jadi ukuran
kemampuan seseorang? Novel gue enggak sejelek yang
mereka pikirin, kali... Ini enggak adil! Gue enggak terima! Huwaa... Hiks hiks...”
‘Mampus Gue!’
Bagaimana Adit mau kabur kali ini? Bukan. Bukan
seperti itu. Kali ini ia merasa tidak selayaknya kabur. Gadis itu menangis bukan karenanya, maka ia tidak perlu melarikan
diri. Lagi pula, entah mengapa saat ini rasanya tidak seharusnya
ia pergi begitu saja. Tapi yang menjadi masalah adalah,
bagaimana cara menghadapi perempuan yang sedang menangis?!
“Hiks...hiks...” perempuan itu kembali sesenggukan.
“Ee..emh...itu...anu... Lo...ada
masalah... ya?”
‘Ya iya, lah, begok! Udah
jelas dia lagi nangis, pake nanya!’ Adit malah merutuk dirinya sendiri. Ia bingung lagi, gadis itu masih saja tersedu-sedu.
Lalu seketika, “Menurut lo, gimana?”
‘Hah?' Adit hampir menganga,
tidak siap dengan pertanyaan apapun. Ia kembali mengingat apa yang dikatakan gadis itu
sebelumnya.
“Eem...” otaknya kosong, “Mungkin... novel lo emang
enggak bagus, eh?”
BUUK.
Lengan Adit segera mendapat pukulan keras dari naskah gadis itu. “Enak aja lo ngomong gitu!” semprot gadis itu langsung,
lalu lebih cemberut lagi sambil menatap kosong ke bawah.
Adit meringis. Gadis tersebut benar-benar memukulnya tanpa perasaan, dan sakitnya lumayan.
Sambil mengelus lengannya yang terkena serangan tadi, “Sorry... Sorry... Gue enggak
maksud...”
Adit tidak melanjutkan ucapan lagi, ia sibuk menilik gadis yang sepertinya
tidak memperhatikan perkataannya. Adit sempat mendapati pancaran yang sarat kekecewaan dari mata yang
dilindungi lensa minus tersebut. “Iya, maaf...”.
Hening menjejak tiba-tiba.
“Udah... enggak usah sedih! Hidup
lo enggak bakal berakhir hari ini, kali...” Entah datang dari mana kata-kata itu tadi.
Adit sendiri bingung mendengar suaranya.
Gadis itu akhirnya menoleh, merasa ada yang harus ia perhatikan.
“Hari ini mimpi lo
kesandung kerikil kecil, terus lo jatuh. Apa lo enggak bakal lari lagi cuma
karena kerikil kecil itu? Padahal lo masih bisa berdiri, yah, walaupun sedikit sakit...”
Gadis berkuncir kuda itu diam saja.
“Enggak ada yang lebih
menyedihkan dari pada putus asa mengejar impian,” tutup Adit. Perkataannya terlontar begitu saja
saking enggannya melihat gadis yang tidak dikenal di sampingnya itu
mengeluarkan air mata lagi, terutama,
memukulnya lagi.
“Tahu apa lo tentang mengejar impian?” Meski
mengamini, Gadis itu sedikit meremehkan perkataan yang didengarnya barusan, terlebih
karena kata-kata tersebut keluar dari laki-laki yang baru saja menghina
novelnya tadi.
Adit mengedikkan bahu, “Ya... gue cuma dengar aja,
sih... Tapi, setidaknya gue percaya.” jawabnya jujur tanpa niat untuk
melemahkan.
Sedikit menerawang, Adit beralih kepada
gadis yang masih duduk tidak jauh di
sampingnya tersebut. Tak disangka, mata gadis itu mengerjap takjub. Adit
jadi terkesima. Detik bagai membeku untuk mereka. Mata yang seperti mendakwa,
meminta pertanggungjawaban atas ucapannya tadi. Akhirnya gadis itu mengalihkan
pandangannya, jadi salah tingkah. Kembali ditekuninya rumput hijau di bawah.
Lalu, terjadi diam yang lama.
Adit menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, “Lo baik-baik aja, kan?” Tidak
yakin, entah sejak kapan ia merasa perlu memastikan keadaan gadis itu.
Dengan tetap menunduk gadis tersebut mengangguk beberapa kali.
Bahasa tubuhnya mendadak seperti tidak leluasa.
Adit tersenyum lega. Ingin rasanya ia mengangkat tangannya untuk sekadar mengusap puncak
kepala gadis itu, seperti yang biasa dilakukannya kepada pacar-pacarnya. Namun
untungnya ia masih ingat, bahkan nama gadis tersebut pun ia tidak tahu.
“Tahu, enggak?” Adit mulai terbiasa, “tadi gue baru aja mutusin
cewek gue, dan waktu dia tiba-tiba nangis, gue langsung tinggal gitu aja. Bukannya
niat kejam, sih, tapi... gue sering kelabakan aja kalau harus berhadapan sama cewek yang lagi
nangis.”
Adit menghela napas, agak bingung juga kenapa ia menceritakan hal
ini kepada gadis tersebut. Mungkin ini karma, pikirnya. Walau begitu ia amsih melanjutkan, “Tahunya, di sini gue malah
ketemu lo...”
Memandang gadis itu lagi seakan menjelaskan bagaimana keadaan sosok itu saat
ini. Ada secuil harapan yang rumit. Adit berharap gadis di sampingnya sekarang
sudi menatapnya lagi, menudingnya dengan mata yang bergejolak itu. Ada candu
disana. Tapi sayang, gadis itu bahkan tidak susah-susah memberi respon untuknya.
Adit membuang udara dari mulutnya, “Hari yang aneh,” putusnya.
Gadis itu bergeming tanpa suara.
***
'Cause it's you and me
And all of the people with
nothing to do
Nothing to lose
And it's you and me
And all other people
And I don't know why,
I can't keep my eyes off of
you
(Lifehouse – You
and Me)
***
“Adiiiiiiit, udah dong, ketawanya! Enggal lucu!” muka Ara sudah merah padam. Merasa jengah saat Adit mengulang cerita lama mereka.
“Habis kamu aneh aja waktu itu,
ajaib banget.” Balas Adit, masih tertinggal sisa-sisa gelaknya.
Sesaat kembali terjadi
hening di sela canda mereka. Ara menyelipkan sejumput rambut hitamnya ke belakang
telinga. Tadi ia bagai tersambar mendengar ucapan Adit tentang hari ini. Hatinya masih
menunggu atas penjelasan, namun tak ingin bertanya duluan.
Adit tersaruk-saruk mengambil udara untuk mengisi rongga dadanya.
Banyak untaian kata yang berdesakan di kepalanya, saat ingin diucapkan malah
kembali tertelan. Adit merasakan perubahan suhu yang cepat, panas-dingin.
Mungkin begini rasanya saat ingin mengungkapkan perasaan kepada gadis yang
benar-benar meluluhlantahkan hatinya.
“Ra...” gadis itu menoleh padanya.
Ah, memang benar. Cinta itu datang dari mata turun ke hati. Mata yang pernah
ditatapnya dua tahun lalu, membuatnya tidak mampu berpaling seperti biasanya.
Bagai dikutuk saja.
“Sejak hari itu, aku ngerasa ada yang berbeda.” akunya. Pemuda itu tertawa kecil mengingat bagaimana perubahan tingkahnya
sendiri. Bagaimana perempuan tidak bisa
menarik perhatiannya lagi. “Aku ngerasa, ada yang udah perempuan di taman ini dulu lakuin
terhadap aku. Seperti kena kutukan… cinta.” Adit bagai mengucapkan
hal yang sangat mutakhir terjadi dalam hidupnya. Ditelitinya gadis yang telah
menunduk itu. Sepertinya kebiasaannnya.
“Tiara Vania?” Untung gadis itu
bersedia menatapnya lagi, mendadak Adit lupa cara bernapas. Akhirnya, bersama lelah, “Mulai hari ini dan
seterusnya, bisa kamu enggak pergi dari aku lagi? Dengan begitu, aku bersedia kamu kutuk selamanya.”
Ara nyaris seperti kepiting rebus sekarang. Ia merasa dapat mendengar degup jantungnya yang berdetak tidak keruan. Semuanya campur
aduk dan sulit diungkapkan. Gadis itu menggigit bawah bibirnya, “Aku… enggak pernah ngutuk
Kamu,” ujarnya, entah
bagaimana.
Ara memilih fokus pada tangannya yang tertangkup keringat dingin di
atas tas di pangkuannya. Masih jengah, “Ehm... pasti kamu belum baca novel aku, kan? Atau kalau pun udah, berarti enggak benar-benar kamu baca.” Ara menuduh Adit yang
aneh-aneh. Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya, “Nih,” menyodorkan novelnya yang berwarna jingga dengan judul ‘When I’m
Falling in Love’ itu kepada Adit. Semua dilakukan Ara tanpa jeda.
Adit nyaris melongo, “Aku... udah punya kok,
Ra. Di mobil...” Dengan gerakan lambat meraih novel itu
sambil terheran dan berpikir, apa Ara tidak mengerti ucapanya tadi, ya? Padahal ia sudah
hampir jadi gagu begitu.
“Halaman lima angka romawi,” kata Ara membuyarkan
kebingungan Adit. Dibukanya lembar novel, halaman itu berada di bagian awal.
Adit memutuskan untuk membacanya.
'Thanks to' tertulis besar
sebagai judul.
Paling pertama, kepada Allah swt buat semua anugerah tak terhingga, novel
ini tentu enggak akan selesai tanpa izin-NYA.
Papa Mama, yang sudah memberikan aku kasih
sayang tak terhingga. Apapun yang terjadi, kalian tetap
yang paling hebat.
Terus buat Citra Remaja,
editor, dan rekan-rekan disana, yang akhirnya bersedia menerbitkan novel aku,
padahal waktu pertama kali aku ke sana sempat
marah-marah enggak jelas, hehehe… maaf, deh.
Buat Fela, Vebi, Tika,
Intan, Rani, Della, Dede, dan semua sahabat aku yang udah bersedia jadi 'tong
sampah' sekaligus inspirasi aku, I'll be there for you,
guys J
Buat pembaca yang secara
enggak langsung sudah jadi penyemangat aku agar nulis terus.
Dan terakhir… especially buat seseorang
yang sudah sok tahu nyeramahin aku dan ngatain kalau
novel aku jelek. Terima kasih karena telah membuat aku jatuh cinta.
*****
(PSP, 28082012)
No comments:
Post a Comment