Friday 5 April 2013

Menunggu Pelangi Bersama Senja



Kudapati gradasi tujuh warna
Bergelung mesra dirangkul awan
Langit itu masih bersisa sama
Mengibaskan cakrawala berpenggal harapan
***
“Kenapa harus selalu saat begini?”
“Karena akan selalu ada kamu.”
Diam.
“Ya, aku suka seperti ini. Langitnya terlihat lebih indah.”
“Kuharap nanti alasanku bisa seperti itu.”
“Tentu bisa, tunggu saja!”
***
Bolehkah kuubah waktu?
Hingga kusampai di detik deru
Atau kembali ke masa lalu
Kuingin akhiri rongga jemu
Karena, semua mulai menjelma semu
***
“Kamu tahu arti menunggu?”
“Enggak.”
“Kenapa? Bukannya manusia mempunyai batas kesabaran?”
“Aku pikir kamu enggak akan menyerah.”
“Sudahlah! Aku ini tidak akan bisa menemukan pelangi.”
“Bukan kamu yang akan menemukan pelangi, tapi pelangi yang akan menemukanmu. Percayalah!”

***
Mungkin aku tidak bisa memetik warna
Tapi biarkan aku merangkainya
Menjadi sebuah imaji penawar
Yang bisa dikristalkan
Sebagai drama penciptaan
***
“Mau dengar tentang pelangi hari ini?”
“Boleh.”
“Tapi mungkin akan membuatmu bosan.”
“Aku tidak keberatan.”
“Bagiku, pelangi itu selalu sama. Kamu tetap yang menjadikannya indah. Kamu itu salah satu dari mereka.”
“Apa semua itu benar?”
“Aku mengatakan kenyataan, bukan?”
***
Kurasakan ada cahaya di sana
Bersembunyi di balik ketakutan
Ditawan oleh setengah bintang
Mungkinkah musim akan beganti awan?
Ceritakan padaku sebuah kepastiaan!
***
“Sebentar lagi pelangi akan menemuimu, bersiaplah!”
“Aku tidak mau terlalu berharap.”
“Manusia harus selalu berharap, karena itu adalah bukti dia hidup.”
“Begitu, ya?”
“Kalau nanti kamu sudah kembali bersama pelangi, apa kamu masih butuh aku?”
“Tidak perlu memepertanyakan hal bodoh seperti itu.”
“Jawabanmu adalah hakku.”
“Huh, tentu saja aku akan tetap dan selalu butuh kamu, ada atau tanpa pelangi sekali pun.”
***
Ada kala aku menjadi temaram
Memudar bersama rotasi diam
Dan saat itu, kutahu mimpi akan menjemput
Bayangan perlahan menyisakan samar
Dan akhirnya… semua menghilang
***
“Pelangi tidak lagi seperti yang kuharapkan, tidak akan pernah.”
Senja bergeming.
“Mengapa kamu bodoh? Aku enggak…”
“Jangan menangis, Nila! Kumohon!”
***
Senja kembali ke peraduan
Menyisakan lukisan lumbung hitam
Inikah persembahan untuk sang harapan?

Kuingin warnaku kembali
Menemani deraian detik penuh mimpi
Bukan seperti ini!
Sebuah ilusi tertepikan
Hanya cahaya tanpa bintang
Sendiri meringkih keheningan
***
“Setelah ini, aku tidak ingin ada lagi.”
“Apa, ternyata semua ini membosankan?”
“Lebih dari itu.”
“Maaf.”
Nila membisu.                                                          
“Aku hanya terlalu mencintaimu, salahkah?”
“Bukan begini, Senja! Bukan dengan cara seperti ini.”
*****

No comments:

Post a Comment