Kudapati
gradasi tujuh warna
Bergelung
mesra dirangkul awan
Langit
itu masih bersisa sama
Mengibaskan
cakrawala berpenggal harapan
***
“Kenapa
harus selalu saat begini?”
“Karena
akan selalu ada kamu.”
Diam.
“Ya,
aku suka seperti ini. Langitnya terlihat lebih indah.”
“Kuharap
nanti alasanku bisa seperti itu.”
“Tentu
bisa, tunggu saja!”
***
Bolehkah
kuubah waktu?
Hingga
kusampai di detik deru
Atau
kembali ke masa lalu
Kuingin
akhiri rongga jemu
Karena,
semua mulai menjelma semu
***
“Kamu
tahu arti menunggu?”
“Enggak.”
“Kenapa?
Bukannya manusia mempunyai batas kesabaran?”
“Aku
pikir kamu enggak akan menyerah.”
“Sudahlah!
Aku ini tidak akan bisa menemukan pelangi.”
“Bukan
kamu yang akan menemukan pelangi, tapi pelangi yang akan menemukanmu.
Percayalah!”
Mungkin
aku tidak bisa memetik warna
Tapi
biarkan aku merangkainya
Menjadi
sebuah imaji penawar
Yang
bisa dikristalkan
Sebagai
drama penciptaan
***
“Mau
dengar tentang pelangi hari ini?”
“Boleh.”
“Tapi
mungkin akan membuatmu bosan.”
“Aku
tidak keberatan.”
“Bagiku,
pelangi itu selalu sama. Kamu tetap yang menjadikannya indah. Kamu itu salah
satu dari mereka.”
“Apa
semua itu benar?”
“Aku
mengatakan kenyataan, bukan?”
***
Kurasakan
ada cahaya di sana
Bersembunyi
di balik ketakutan
Ditawan
oleh setengah bintang
Mungkinkah
musim akan beganti awan?
Ceritakan
padaku sebuah kepastiaan!
***
“Sebentar
lagi pelangi akan menemuimu, bersiaplah!”
“Aku
tidak mau terlalu berharap.”
“Manusia
harus selalu berharap, karena itu adalah bukti dia hidup.”
“Begitu,
ya?”
“Kalau
nanti kamu sudah kembali bersama pelangi, apa kamu masih butuh aku?”
“Tidak
perlu memepertanyakan hal bodoh seperti itu.”
“Jawabanmu
adalah hakku.”
“Huh,
tentu saja aku akan tetap dan selalu butuh kamu, ada atau tanpa pelangi sekali
pun.”
***
Ada
kala aku menjadi temaram
Memudar
bersama rotasi diam
Dan
saat itu, kutahu mimpi akan menjemput
Bayangan
perlahan menyisakan samar
Dan
akhirnya… semua menghilang
***
“Pelangi
tidak lagi seperti yang kuharapkan, tidak akan pernah.”
Senja
bergeming.
“Mengapa
kamu bodoh? Aku enggak…”
“Jangan
menangis, Nila! Kumohon!”
***
Senja
kembali ke peraduan
Menyisakan
lukisan lumbung hitam
Inikah
persembahan untuk sang harapan?
Kuingin
warnaku kembali
Menemani
deraian detik penuh mimpi
Bukan
seperti ini!
Sebuah
ilusi tertepikan
Hanya
cahaya tanpa bintang
Sendiri
meringkih keheningan
***
“Setelah
ini, aku tidak ingin ada lagi.”
“Apa,
ternyata semua ini membosankan?”
“Lebih
dari itu.”
“Maaf.”
Nila
membisu.
“Aku
hanya terlalu mencintaimu, salahkah?”
“Bukan begini, Senja!
Bukan dengan cara seperti ini.”
*****
No comments:
Post a Comment