Monday 1 April 2013

Story in memories

Aku memandang refleksi diriku dengan puas di depan sebuah cermin besar yang berada di kamarku. Dress hitam selutut ini terlihat pantas dikenakan olehku dengan aksen tak berlebihan yang menghiasinya. Aku membiarkan rambut panjangku terurai melewati bahu dengan sedikit gelombang pada ekornya. Aku tersenyum simpul, semua telah siap. Suara dering handphone membuatku agak terperanjat, pertanda pesan baru saja masuk. Santai aku bergerak meraih HP yang tergeletak sembarang di ranjang. Setelah memastikan isi pesan singkat itu aku mendesah lega, langsung menyambar tas yang terletak disitu juga dan memasukkan HP tadi kedalamnya. Segera melangkah panjang menuju luar.
***
Beberapa saat aku sempat memperhatikan plang besar bertuliskan nama sebuah Sekolah Menengah Atas di kota ini, sebelum Swift putih yang kutumpangi benar-benar melewati gerbang besar yang menjadi pintu utama sekolah. Tiba-tiba ada rasa rindu yang merambat liar di dadaku, sudah lama aku tidak mendatangi tempat ini. Tempat yang walau hanya menyimpan sebagian kecil dari masaku, tapi banyak cerita yang telah terukir di sana. Mampu membuat jejak dalam di hatiku.
Setelah memastikan mobil itu terparkir dengan manis di tempat yang sudah disediakan, aku dan pemilik mobil tadi berjalan beriringan sambil berbincang ringan menuju tempat perhelatan. Saat itu kami melewati koridor sekolah, membuatku mengalihkan sedikit perhatianku dari pembicaraan untuk sekedar memperhatikan koridor yang biasa aku lewati dulu. Tak ada perubahan yang berarti pada lalu lintas sekolah ini. Selain cat pada dinding dan tiang penyangga gedung yang direnovasi, semua masih terlihat sama. Dari sini aku bisa melihat lapangan upacara dan lapangan basket yang lengang.
Sesampai di depan pintu aula yang dijadikan tempat acara aku berhenti sesaat, mengedarkan pandanganku menyapu keseluruh ruangan. Bukan untuk mencari seseorang, namun hanya mencoba meyerap euforia acara ini, sebelum benar-benar memastikan diriku turut larut di dalamnya.
"Hei, Shin..." aku mendengar teriakan tertahan memanggilku, bersamaan dengan tepukan pelan di bahuku yang otomatis membuat aku menoleh ke samping.
"Via!" jeritku, reflek menyebut namanya. "Lo apa kabar?" kami langsung bercipika-cipiki. Setelah itu, aku dan Via telah larut dalam cerita seputar debut kami masing-masing selepas SMA. Sambil mulai menyusup ke dalam ruangan itu, aku dan Via masih saja asik bercurhat ria, sekilas melupakan ada orang lain selain kami berdua.
"Eh..." celetukku menyadarinya, sambil melirik pria manis di samping Via, yang membuat pembicaraan kami berhenti. Via turut meliriknya lalu tersenyum maklum.
"Oh iya, kenalin Shin, ini kak Dani. Eem, cowok gue."
"Ooo... Shinta..." Aku mengulurkan tanganku.
"Dani... panggil aja Dan," balasnya, tersenyum manis sambil menyambut uluran tanganku. Entah mengapa Via terlihat sedikit tersipu setelahnya.
"Dia tadi ke mana, Shin?" tanya Via, menjurus kepada pria yang menemaniku tadi yang belum sempat bergabung dalam percakapan.
"Pergi bentar, nerima telfon."
***
Ngiiiiiiiikk
Pintu itu berderit pelan, memberikan celah yang cukup untuk aku masuk ke dalam ruang tersebut. Salah satu kelas yang ada di sekolah ini. XII IPA 3, tertulis di pintu atasnya. Sedikit ragu aku berjalan memasuki ruang kosong itu membiarkan rasa rindu kini semakin mengintaiku. Sampai di satu meja aku membeku, tanganku bergerak meraba mejanya, meja yang terletak nomor tiga dari depan di barisan paling ujung. Rasa itu kian parah disertai sesak yang seketika saja menyeruak. Aku menghembuskan napas berat, berusaha menenangkan diri.
Aku bersandar di meja itu, tersenyum tipis menatap meja di depanku, di sebelah barisannya?mejaku. Dan kenangan-kenangan itu pun seakan menyergap tanpa ampun, mendesak ingin keluar karena sudah sedari tadi terkontaminasi hal-hal sensitif tentangnya. Aku mengeratkan pegangan di tepi meja, lalu perlahan menutup mata, memutar kaset masa lalu yang telah lama tersimpan. Kisah klasik masa abu-abu bersama seseorang.
>>>
"Sst..sst...Yo! nomer dua, dong!" ucapku pelan, memastikan guru di depan sana tidak dapat mendengar cicitanku. "Ck..." aku berdecak kesal meratapi anak laki-laki yang duduk di sebrang kiriku itu tak kunjung menoleh.
"Yo, Mario Ardana! nomer dua!" pintaku hopeless.
Akhirnya pria itu mengalihkan pandangannya ke arahku sambil memutar bola matanya, yang membuat aku membuang bernapas lega.
"Apaan, sih lo? Ganggu konsentrasi aja," protesnya tidak terima. Tapi aku tak peduli, ini sudah urgent.
"Nomer dua..." jawabku tidak terlalu ambil pusing. Karena soal ulangan kimia yang ada di depanku ini sudah cukup menyita pikiranku. Dengan sedikit kesal, Rio menggeser kertas jawabannya ke samping meja agar aku bisa menyontek. Sepertinya konsentrasinya benar-benar terganggu olehku.
"Iiiih... kagak keliatan begoookk!"
Rio langsung melotot sangar kepadaku, membuat aku jiper setelahnya. "Heh! Enak aja lo ngatain gue begok, yang nyontek, kan elo. Siapa yang begok sekarang?" katanya sadis.
Hanya nyengir bodoh, "Iya... tapi itu kagak keliatan Rio CAKEEEEP."
"Lo-nya aja tuh, yang katarak, dasar! Liat noh sendiri!" Rio terlanjur sensi. Mungkin jika Rio adalah seorang penyihir, dia sudah membacakan mantra paling mutakhirnya untuk melenyapkanku. Rio menggeser kertasnya lagi dengan kasar agar lebih mendekatkan ke pinggir, tapi tetap saja itu tidak membantu. Ya iyalah, Rio cuma geser dikit.
Rio kembali mengerjakan soalnya dengan santai, hanya sesekali kerutan terpeta didahinya. Tanpa memperdulikan aku lagi, yang sedang kelimpungan. Dengan harapan yang hampir tandas, aku melirik ke depan kelas, memastikan situasi aman. Aha, ternyata sesuai harapan. Ibu guru Kimia yang galak itu sedang sibuk dengan bukunya.
Dengan gerakan cepat aku mencoba menarik kertas yang sedang digunakan Rio menulis itu untuk bisa aku lihat, yang membuat sang empunya terganggu?lagi. Maka terjadilah aksi geser-menggeser kertas jawaban Rio di mejanya. Teman-temanku hanya menatap ngeri ke arah kami. Bahkan Via yang duduk tepat di belakangku telah memberi isyarat agar jangan macam-macam, aku tidak mengubris. Suasana ulangan yang tenang tadi kini agak terusik oleh ulah kami. Ugh, Rio menyebalkan sekali!
    Karena kepentinganku yang sudah mendesak dan kegeramanku akan tingkah Rio, aku beranjak dari tempat duduk lalu mencondongkan tubuhku ke arah Rio, ingin mengambil kertasnya hingga aku dapat menguasai sepenuhnya. Namun disaat bersamaan, "SHINTA! RIO!" menggelegar dari depan kelas. Uh-oh!
Akibat kegaduhan kecil yang kami perbuat, aku dan Rio harus naas menerima hukuman.
"Gara-gara lo, nih Yo... kita jadi dihukum gini, kan!"
"Berisik, lo!"
"Lo tuh, yang nyebelin!"
"Heh, sedeng! Lo bisa waras dikit kagak? Yang ada mah, gara-gara elo."
Aku cemberut. "Yeee... kalau lo nyontekinnya bener, kan enggak gini jadinya."
"Wooo... enggak tahu diri banget, sih idup lo. Udah dicontekin juga, pake ngatain begok lagi tadi."
"Ah, elo mah..."
Aku makin memajukan bibirku beberapa inci ke depan, benar-benar kesal dengan Rio. Yah, walaupun kalau dipikir menggunakan akal sehat memang aku yang salah. Tapi, posisi aku tadi adalah orang yang butuh pertolongan, jadi wajar saja bukan? pikirku keukeh.
Terik panas dari sang mentari seakan mendukung hukuman yang sedang kami jalankan. Aku rasa binatang melata pun enggan keluar dari tempat amannya.
"Lagian elo Shin... udah tahu mau ulangan kimia, bukannya belajar. Kayak otak lo encer aja di bidang begituan." Rio menyinggungku lagi, membuat tumbukan kekesalanku bertambah tinggi, pakai ngatain pula.
"Bawel lo, ah..."
"Ini tuh semester terakhir kita di sini, kasih kesan yang bener, dong!"
"Berisik banget sih lo... ini juga gue lagi ngasih kesan yang bener," jawabku ngeyel.
"Bener-bener hancur maksud lo?"
"HEI KALIAN! LAGI DIHUKUM MASIH SEMPAT MENGOBROL. HORMAT BENDERA YANG BENAR!" perintah ibu Winda, makin sangar. Teriakan yang mampu mengacaukan perdebatan tak penting kami.
Aku melirik Rio yang sedikit bersunggut karena teriakan itu, lalu kembali membenarkan posisi tegak dan hormatnya ke arah bendera. Dengan berat hati aku mengikutinya.
***
Aku tertawa kecil mengingat kejadian itu, beberapa bulan sebelum kami menghadapi Ujian Nasional. Mencoba melupakan rasa yang membebaniku tadi. Merasa cukup tenang, aku memutuskan keluar dari kelas itu dan melanjutkan langkahku ke tempat lain yang ingin kukunjungi juga.
Aku menatap kursi-kursi panjang yang berjejer di ruangan luas ini, lalu berjalan ke arahnya dan mendarat disana. Dari kursi penonton ini, aku seakan melihat visualisasi aku dan Rio yang sedang berkejaran bermain basket di lapangan itu. Saling rebut bola yang akan diakhiri dengan gelak tawa kami yang menggema ke seluruh penjuru.
Mungkin karena terlalu asik menerawang, aku sampai tidak menyadari kalau ada seseorang yang masuk ke GOR ini. Hingga dia duduk di sampingku dan mengagetkanku.
"Hei, sedang apa?" tanyanya lembut, tak mau aku terlalu terkejut.
"Eh, nggak ada. Uum... cuma lagi... kangen..."
Aku tidak melanjutkan perkataanku. Hari ini aku menjadi lebih pendiam di depannya, kurasa dia bisa memaklumi keadaanku. Lelaki berkemeja abu-abu itu hanya terseyum menanggapiku. Tak sadar malah turut denganku, larut dalam kenangan.
"Masih sama ya, Shin?" suaranya kembali terdengar.
Aku tersenyum tipis, "Iya."
>>>
Riuh suporter yang meneriakan tim kebanggaannya membahana di GOR SMA TUNAS JAYA, SMA tempatku menimba ilmu. Aku tentu tidak mau tinggal diam. Dengan posisi paling dekat dengan lapangan, aku sudah siap berkoar untuk memberi semangat kepada tim sekolahku tercinta.
"Rio!" seruku sambil melambaikan tangan, mendapati pelaku yang kupanggil baru saja memasuki pintu GOR bersama beberapa temannya yang sudah lengkap dengan seragam basket kebanggaan mereka.
"Semangat, ya! Gue yakin kalian pasti menang," cerocosku sembari tersenyum menyemangati saat dia sampai di hadapanku. Rio membalas senyumku, mengangguk menyanggupi sambil memberikan ibu jarinya. Kemudian dengan sigap langsung mengacak-acak mahkotaku.
"Iih Rioooo enggak pake diacak-acak kali, rambut guenya. Udah cakep ini!" Aku menepis tangan Rio lalu mencak-mencak heboh sambil merapikan rambutku. Terdengar  tawa renyah milik Rio setelahnya.
>>>
PRIIIIIIT.
Peluit wasit dibunyikan, tanda pertandingan dimulai. Aku kontan heboh memberi semangat sambil memperhatikan pergerakan tim sekolahku yang sedang beraksi di lapangan, terlebih Rio. Saat mataku jelalatan menikmati permainan yang sedang disuguhkan oleh dua tim tangguh itu, indra penglihatku tidak sengaja tertuju pada sosok yang berada di lapangan yang sama.
Deg!
Jantungku yang dari tadi sudah dipompa bergerak cepat karena suasana pertandingan, seketika menjadi lebih tidak terkendali. Membuat desiran darahku mejalar menyalahi aturannya. Aku jelas tidak salah lihat.
Pertandingan berlangsung sengit, dengan saling kejar-mengejar point dengan jarak tipis. Dan akhirnya selesai dengan dimenangkan oleh... sekolahku. Tanpa koor dari siapapun, sontak siswa-siswi dari sekolahku bersorak merayakan suka cita yang didapat, akupun ikut di dalamnya.
Tapi konsentrasi kebahagiankanku buyar, saat aku sengaja melirik ke arah lapangan dan melihat sosok tadi baru saja bergerak keluar dari pintu GOR. Dengan tergesa-gesa aku berlari menuju pintu itu. Jangan sampai kehilangan kesempatan.
"Kevin!" pekikku tidak terlalu keras, karena menyadari posisinya belum terlalu jauh. Dia berbalik, aku mendekat.
"Shinta? Hai, apa kabar?" dia tampak takjub, "Lo... sekolah di sini?" tanyanya, terdengar penuh minat di telingaku.
"Iya... gue sekolah di sini, kabar gue baik kok. Hehe..." aku hampir salah tingkah. "Lo gimana?" tak lupa sambil tersenyum manis, berharap dia menyadarinya. Selanjutnya kami saling bertukar informasi satu sama lain. Kevin adalah teman sekelas lesku sewaktu SMP. Rio juga mengenalnya, walau tidak dekat karena memang Rio berbeda kelas dengan kami. Seusai pertandingan tadi aku juga melihat Kevin menghampiri Rio, mungkin memberikan selamat dan berbicara sebentar lalu pergi.
Hari itu aku lebih dari sekedar senang. Selain disebabkan kemenangan sekolah kami, ada yang dominan mengisi rongga di dadaku.
"Heh! kenapa lo senyum-senyum sendiri, sedeng beneran?"
Suara berat Rio membuyarkan lamunanku, saat aku baru saja masuk lagi ke GOR. Kurang ajar si Rio!
"Apaan sih lo, sirik aja! Enggak  lucu, tauk!"
"Ada juga  elo yang enggak lucu, siap pertandingan langsung ngilang," rajuknya.
    Aku terdiam sebentar, "Hehe, iya maap, deh..." aku cengengesan tidak jelas, "Tadi gue nyamperin Kevin dulu, Yo." Rio menaikkan alisnya, mendengar jawabanku tadi.Memang salah, ya?
"Eh, selamat ya... Benerkan gue bilang, kalian bakal menang." Aku langsung mengganti topik, tidak berniat menanggapi ekspresi Rio.
"Iyeeee... Udah yuk, balik!" tuntasnya. Rio menarikku ke sisi kananya lalu mengacak lembut puncak kepalaku dengan sebelah tangan lantas meletakkan tangannya di bahuku. Seperti biasa. Aku dan Rio bukanlah sepasang kekasih. Rio adalah sahabat terbaikku dari kecil, sahabat sepanjang masaku.
***
"Aku kangen dia, Vin." Lirihku tanpa menatap lawan bicara, masih fokus ke lapangan.
"Iya... aku ngerti, kok." Kevin menepuk pelan bahuku, tersenyum menenangkan.
"Berangkat sekarang aja, yuk!" ajaknya. Setelah menerima anggukan persetujuan olehku, Kevin meraih tanganku dan mengaitkan tangannya di sana, menuntun keluar GOR.
"Yah, kok hujan, sih... Malah lebat lagi." Kevin ngedumel sendiri, tidak terlalu menyukai tangisan awan yang datang pada waktu yang kurang tepat baginya.
"Kita tunggu reda aja ya, Shin?" Kevin kembali meminta persetujuanku, dan lagi-lagi hanya kutanggapi dengan anggukan kecil.
Kami memutuskan duduk di bangku semen yang ada di dinding luar GOR. Tadi aku sudah mengatakan kepada Via dan teman-teman yang lain bahwa kami tidak bisa mengikuti acara sampai selesai. Setelah itu aku meminta izin untuk berjalan-jalan melihat bagian sekolah yang memang tidak kulalui saat memasuki sekolah ini tadi. Meninggalkan Kevin yang sedang asik bercerita dengan beberapa teman yang dia kenal di sekolahku.
    Aku menatap langit yang hampir sore, hujan yang sedang diluruh awan ini seakan ingin menutup lembar kenanganku. Aku mengamit kedua tanganku di lengan Kevin, lalu menyandarkan kepalaku di bahunya, membuat diriku senyaman mungkin. Untuk menerawang kembali ke masa yang telah terlewatkan, tentang ujung dari setiap jalan.
>>>
Tangisan alam kala itu cukup lebat, memaksa orang-orang yang sedang beraktivitas di luar sana untuk menyingkir sesaat dari peredaran, sekedar berteduh mencari aman. Tapi tidak untukku. Hujan yang turun ini bagai nada yang sedang mengiringiku berlari di tepian trotoar jalan suatu kompleks. Berlari, bukan untuk menepi dari hujan ini, melainkan untuk turut juga meluruh. Meluruh rasa yang menggebu di dada.
Aku berhenti di depan sebuah rumah.
"RIO...RIO..." berteriak melawan deru hujan yang menghantam tubuhku. Hujan tidak menunjukkan akan mengurangi kadar air yang diturunkannya.
    "YO... RIO..." aku masih bersemangat memangil nama itu, tidak peduli suaraku akan tersamarkan detak hujan. Tidak lama orang yang kuteriaki keluar, langsung berlari membuka gerbang rumahnya. Ikut menikmati hujan bersamaku, sebelum aku mengundangnya.
    "LO APA-APAAN SIH, SHIN? HUJAN LEBAT GINI TERIAK-TERIAK DEPAN RUMAH ORANG.  LAGIAN KENAPA JUGA LO PAKE MANDI HUJAN? RUMAH LO ENGGAK ADA AIR?!" Rio meneriakiku, seperti khawatir.
"GUE MAU NGOMONG!"
"YA UDAH, DI DALAM AJA YUK! HUJANYA LEBAT BANGET. ADA YANG MAU GUE BILANG JUGA. PENTING!" Rio sudah siap menyeretku masuk ke dalam, tapi segera kubantah dengan menggelengkan kepala.
Deranya masih saja kuat, tapi sepertinya gemuruh suara air turun itu sedikit melemah. "Disini aja!"
"Lo mau ngomong apaan, sih? Sampai harus hujan-hujanan. Mau kayak sinetron?" Rio itu orang paling rese' yang pernah aku kenal, enggak bisa diajak mellow sedikit.
Aku tidak mengubrisnya. Menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan, bersiap untuk meluncurkan sebuah berita. "Gue udah jadian sama Kevin!" Yup, akhirnya berita bahagia itu terbagikan juga.
"Apa?"
Aku jadi agak kesal karena Rio tidak mendengar kata-kataku tadi. Aku rasa suaraku cukup sampai ke telinganya.
"GUE UDAH JADIAN SAMA KEVIN, MARIO!" Ulangku, mantap.
Seketika, aku menangkap sejurus ekspresi aneh yang ditimbulkan Rio, terlihat syok saat mendengar beritaku tadi. Huh, kenapa lagi dia?
"Lo kok, diam aja sih, Yo? Lo enggak senang sahabat seumur hidup lo ini bahagia?" Rio seakan tidak menghargai perjuanganku yang sudah berlari dari rumah, hujan-hujanan hanya untuk menyampaikan berita paling bahagia kedua yang kudapati setelah kelulusan kami kemarin. Untuk menjadikannya orang pertama yang tahu. "Lo pernah bilang, lo bakal ikut senang kalau gue..."
"Gue senang kok, Shin..." Akhirnya dia berucap. "Selamat, ya!" Lanjutnya sambil tersenyum ganjil. Ada yang lain dari tarikan bibir itu, yang tidak dapat terbaca jelas olehku. Atau karena efek kedinginan Rio jadi begitu?  Aku juga sudah kedinginan sebenarnya.
Tiba-tiba saja, aku merasakan lengan Rio menarikku dalam dekapannya. Memelukku... hangat. Ya, setidaknya itu yang kudapati dari perlakuan aneh Rio. Walau di tengah hujan seperti sekarang, pelukan yang diberikannya terasa begitu nyaman, bahkan lebih dari sekedar yang kurasakan. Aku merasa ada yang berbeda dengan rengkuhannya kali ini, tidak seperti biasa. Mengapa Rio tiba-tiba memelukku? Apa untuk meluapkan rasa senangnya? Entahlah, tidak ingin berpikir panjang, aku hanya bisa membalas mendekapannya.
    Dan semakin lama, pelukan itu menjadi terlalu asing. Pelukan yang membuatku nyaman, namun menimbulkan sesak di dalam. Memberikan rasa yang berbeda di tengah euforia kebahagianku yang ada.
>>>
Pagi telah menjelang, dan hari ini masih libur. Aku terbangun dari tidur ketika jam wekerku yang sudah menunjukkan pukul 08.30 berbunyi. Setelah mematikannya, aku mengerjap-ngerjap sebentar, membalik-balikkan badanku secara asal?menunggu jiwaku benar-benar terkumpul. Setelah beberapa saat, akhirnya aku beranjak dari tempat nyaman itu, lalu menyibak tirai yang menutupi pintu balkon kamarku.
Langit tampak tidak terlalu cerah, biru yang kelam. Mungkin karena efek hujan kemarin yang memang baru berhenti subuh tadi. Tiba-tiba ekor mataku menangkap ke arah lantai balkon, ada yang tergeletak di sana. Aku membuka pintu balkon dan memungut benda persegi empat itu.
Bibirku langsung membentuk senyum tipis saat mengamati benda berbentuk kado itu. Aku tahu siapa yang melakukannya. Hanya ada satu nama yang akan memperlakukanku seperti ini. Tapi, ini kan, bukan hari ulang tahunku. Aku masuk kembali ke kamarku. Tanganku sudah siap membuka bungkusan berwarna biru itu saat..
Tok Tok Tok
"Shinta, kamu sudah bangun?" Bunda berteriak dari arah luar pintu kamarku.
"Sudah, Bun!"
"Ya sudah, cepat mandi! Habis itu sarapan ke bawah." Perintah Bunda, layaknya komandan.
"Iya, Bunda!' jawabku menyanggupi. Terdengar suara langkah menjauh setelah itu. Tidak ingin membuat repot bunda hanya untuk menyuruhku mandi kedua kalinya, aku meletak kotak kado tadi di tempat tidurku, langsung menyambar handuk dan memasuki kamar mandi.
Setelah beberapa menit kuhabiskan untuk berbenah diri, aku sudah siap turun ke bawah, seperti perintah bunda tadi. Aku melirik jam yang betengger di dinding kamarku, hampir jam setengah sepeluh. Sebelum benar-benar beranjak, aku melihat benda yang tersampirkan di tempat tidurku, aku jadi merasa tergelitik untuk mengetahui isianya.
Tanganku mulai merayap untuk membukanya. Aku terhenyak, mendapati sebuah kotak musik klasiklah yang ada di dalamnya.
Sebuah kotak musik keluaran lama, tapi aku jelas sangat mengenali benda itu. Kado terakhir yang diberikan almarhum Papa pada saat aku masih kelas 6 SD. Lama kuamati benda lazim itu. Rindu dalam sekejap merasuk, mencoba meciptakan genangan air di pelupuk mata yang siap meluncur, namun langsung kucegah. Kemudian aku kembali berkutat dengan benda mati di tanganku. Aku mengangkat kotak musik itu, sehingga baru menyadari ada kertas terlipat rapi sebagai alas di bawahnya. Aku duduk di ujung tempat tidurku, meletakkan kotak musik itu di pangkuanku, dan memutuskan membuka kertas yang kuyakini adalah sebuah surat.
Dear Shinta...
Sebelumnya, gue mau beri penjelasan tentang kado yang gue kasih bukan di hari ulang tahun lo. Hehe, lo pasti ingat kotak musik itukan, Shin? Kotak musik pemberian almarhum Papa lo sebelum beliau pergi, yang sukses gue rusakin padahal umurnya baru beberapa bulan. Untuk yang terakhir kalinya... maaf ya, Shintaaa. Gue benar-benar enggak sengaja jatuhinnya. Asal lo tahu, gue amat sangat merasa bersalah waktu itu, apalagi sejak itu lo enggak mau lagi ngomong sama gue, main bareng gue. Merasa orang paling berdosa sedunia gue. Hehe, rada lebay enggak pa-pa kali, ya!
Karena itu, gue bertekat mau benerin kotak musik itu dengan tangan gue sendiri. Tapi berhubung gue masih anak kelas 6 SD, gue enggak mungkin bisa benerinnya. Untung bunda lo berhasil bujukin lo biar maafin gue. Tapi gue tetap bertekad kalau suatu saat nanti gue harus benerin kotak musik itu dengan tangan gue sendiri. Dan itu lah hasilnya sekarang.
Sebenarnya surat ini gue jadiin perantara buat pamit sama lo. Sorry karena gue belum sempat kasih tahu lo, dan sorry juga kalau ini sulit buat lo. Gue take off pagi ini jam 8. Bokap pindah tugas ke Aussie, dan kita sekeluarga terpaksa ikut. Keputusannya mendadak banget Shin, sampai gue bingung cara bilanginnya ke elo gimana. Kemarin sore gue udah niat buat ngomong, sekaligus ngasih tau lo sesuatu. Tapi gue enggak cukup tega ngurangin kebahagian lo waktu itu. Dan hal penting yang mau gue kasih tau ke elo itu, 'Entah sejak kapan gue enggak lagi nganggap lo sekedar sahabat doang. Gue enggak  pernah tahu, kalau sering-sering bareng lo bisa bikin gue... jatuh cinta. Maaf, Shinta.'
Gue tahu ini begok, ngungkapin perasaan gue cuma dari surat perpisahan, setelah gue tau isi hati lo, dan setelah gue pergi jauh dari lo. Kenyataannya, gue enggak pernah benar-benar punya nyali buat ngungkapinnya, sampai gue tahu kalau gue bakal kehilangan lo. Karena itu, gue putuskan lo cukup tahu perasaan gue dari surat ini aja. Sorry kalau kali ini gue egois. Kayaknya gue udah kebanyakan sorry dari tadi. Hahaha...
Gue sempat takut buat ninggalin lo, ingat betapa terpuruknya elo waktu ditinggal Papa lo. Tapi gue udah bisa tenang sekarang, karena lo udah dapat pengganti gue yang bakal jagain lo, gue percaya Kevin bisa. Dan gue harap lo baik-baik aja selepas gue pergi nanti. Udah deh, salam perpisahan gue, udah kepanjangan kayaknya. Oya, Shin... mudah-mudahan kotak musik itu bisa membantu lo lagi saat lo rindu almarhum Papa lo, seperti dulu. Dan mungkin, saat lo kangen gue. Hehee...
Gue akan selalu sayang sama lo, Shinta!
           With love
        Mario Ardana
Cairan bening dari mataku sudah menganak sungai sedari tadi, cucurannya menimpa torehan tinta di kertas itu. Kupeluk kotak musik itu, merasakan kehilangan yang teramat dalam pada alamarhum Papa, yang meninggalkanku sebelum puas bermanja kepadanya. Papa terbaik sedunia. Dan untuk terlalu cepat, aku merindukan sosok yang memberiku ini lagi.
"Dasar Rio begoookk!! Hiks... lo pikir... lo siapa bisa ngelakuin ini ke gue!! hiks hiks..." aku meraung, berharap Rio akan segera datang untuk memarahiku dengan kata-kata sok tahunya, menghiburku dengan tingkah bodohnya. Sejak Papa meninggal, Rio bilang dia enggak akan ngebiarin aku sedih. Tapi, di mana Rio sekarang?
"Gue enggak mau maafin lo, Yo!! Enggak akan... Hiks... hiks... lo harus... lo harus pulang buat ngejelasin semuanya ke gue!!... MARIOOO..."
Cklek.
Pintu kamarku terbuka, menunjuk wanita paruh baya yang telah mengurusiku seumur hidup tengah menatap nanar ke arahku. Pandanganku mengabur karena air mata.
"Kamu yang sabar ya, sayang..." Bunda menghampiriku lalu memelukku dan mengelus lembut rambutku. Aku hanya bisa menanggapinya dengan isakan tertahan. Sepertinya Rio sempat pamit dengan Bunda, mungkin saat dia menaruh kado ini sebelum berangkat. Apa hanya kepada aku Rio menyampaikannya melalui sepucuk surat. Keterlaluan sekali anak itu!
"Biarkan dia tenang di alamnya."
DEG.
Jantungku mencelos mendengar kelanjutan kata-kata bunda. Apa maksudnya? Aku langsung menarik pelan tubuhku dari pelukan Bunda. "Maksud bunda apa? Rio Cuma pindah ke Aussie, Bun.." suaraku serak dan bergetar, akibat belum selesai menangis. Bunda terlihat membuang napas berat. Melihat ekspresi Bunda, entah mengapa aku jadi tidak yakin dengan ucapanku sendiri.
"Pesawat yang dinaiki keluarga Rio mengalami kecelakaan. Terjadi kesalahan sistem penerbangan... ditambah cuaca yang buruk. Sayangnya... tidak seorang pun selamat dari sana."
Lengkap sudah semua, serasa dihimpit beban sebesar dunia.
Tidak pernah kubayangkan, sekalipun dalam mimpi terburukku. Rasa nyeri di ulu hati yang begitu parah, hingga mampu melemahkan saraf-saraf tubuh. Aku menahan isakku mengingat sosoknya, sahabat yang ternyata diam-diam menaruh hati padaku, tanpa kuketahui. Masih dapat kurasakan pelukan hangatnya sore itu. Pelukan terakhir darinya, yang takkan dihadirkannya lagi untukku. Aku kalut, menyadari rasa kehilangan yang begitu besar ini menggerogoti hatiku tanpa ampun. Meninggalkan bekas yang amat tidak nyaman.
    Bunda kembali mendekapku, berusaha meredam kesedihan yang semakin dalam. Diam-diam turut menangis meratapi nasibku.
***
Kevin menggenggam tanganku erat, menuntunku melewati jalan setapak berkerikil. Setelah hujan yang mereda beberapa menit tadi, aku dan Kevin memutuskan pergi dari pekarangan sekolahku, meninggalkan acara Reuni angkatanku tadi.
Langit sore kala itu hanya menyisakan gerimisnya, hal yang tak terlalu berarti untuk aku dan Kevin bisa sampai ke tempat kami sekarang berada. Akhirnya, kami tiba di salah satu rumah masa depan itu. Kevin melepaskan kaitan jarinya. Membiarkan aku berjongkok yang lalu diikuti olehnya. Kuusap nisan yang bertuliskan nama sahabat terbaikku itu. Setelah membersihkan daun-daun kering yang mengotori kuburan itu, aku berdo'a dengan khusuk, mengharap yang terbaik untuk Rio.
"Hei Yo, udah lama ya gue enggak k esini. Maaf... gue sibuk ngurusin wisuda." Aku mulai bermonolog, hal yang selalu aku lakukan kalau mendatangi tempat ini. Dan Kevin selalu memposisikan dirinya sebagai pendengar yang baik, atau kadang sebagai penguatku, kala aku tak mampu membendung kesedihan.
"Enggak kerasa ya, Yo, ini udah masuk tahun keempat gue ngabisin hari-hari gue tanpa lo. Hmmp... dan itu semua masih tetap terasa berat. Gue ngerasa selalu ada yang hilang di setiap hari gue...
"Asal lo tahu, sampai saat ini gue masih belum bisa baik-baik aja tanpa lo, seperti yang lo harepin. Sorry, karena itu memang terlalu sulit buat gue. Disaat gue sadar enggak ada lagi Rio yang selalu bersedia ngantarin gue kemanapun gue mau, enggak ada lagi Rio yang bakal nge-hibur gue saat sedih sampai gue bisa tersenyum lagi, enggak ada lagi orang yang setiap minggu pagi gedor-gedor pintu kamar gue cuma buat ngajakin main basket, orang yang bisa gue rayu buat mandi hujan bareng, dan enggak akan ada lagi kado di balkon setiap hari ulang tahun gue. Semuanya enggak akan pernah menjadi mudah, Rio..."
Aku hampir saja meneteskan air mata lagi jika mengingat hal itu, namun sekuat hati kutahan, tidak mau lagi ada air mata. Aku menarik napas, menghirup oksigen hingga memenuhi rongga dadaku, lantas mehembuskannya perlahan. Berharap sesak ikut terurai bersamanya.
"Tapi gue sadar Yo, waktu enggak bakal mau nunggu buat kesedihan gue. Untungnya Kevin selalu ada buat gue disaat paling sulit hidup gue. Menguatkan gue yang belum sanggup menerima kenyataan. Dan, lo nggak boleh cemburu kalau gue bilang minggu depan gue tunangan sama Kevin."
Aku terkekeh sendiri dengan ucapanku, mencoba menunjukkan untuk ketidaksia-siaan perjuanganku dan Kevin. "Ya udah Yo, gue balik dulu. Gue harap lo tenang di sana. Gue juga bakal tetap dan selalu sayang sama lo." Tersenyum, aku menandaskan ucapanku. Aku menoleh ke arah Kevin, yang tengah tersenyum menatapku, lalu beralih.
"Rio, makasih udah kasih kepercayaan buat gue gantiin lo jagain Shinta. Gue tahu lo enggak akan pernah diam kalau Shinta kenapa-kenapa. Lo tenang aja, gue pasti jagain Shinta sebaik-baiknya. Bahkan melebihi nyawa gue. Gue cinta banget sama dia."
Tanpa harus dipungkiri, aku tersanjung mendengar monolog Kevin barusan, yang memberi kesan berbeda terhadapku. Menciptakan semburat merah jambu yang tidak kentara di pipiku.
"Pulang yuk, Shin! Ngeri juga lama-lama di sini." Aku kembali terkekeh, kali ini karena kata-kata Kevin dan mimik wajah yang dibuatnya.
"Ya udah, yuk!"
Kami beranjak dari tempat peristirahat terakhir itu. Dengan tangan yang mengeratkan satu sama lain, aku dan Kevin berjalan keluar dari area pemakaman. Ditemani cakrawala yang tengah melukiskan keindahan langit senja, dengan latar sang surya yang hampir kembali ke peraduannya. Menghadirkan pias jingga yang megah dan gradasi tujuh warna dari efek sehabis hujan yang mendera.

No comments:

Post a Comment