Tuesday 30 July 2013

Tawar-menawar

Sebenarnya hari ini mood saya sedang tidak bagus, mendung, tapi saya coba saja menulisnya.

Tadi pagi menjelang siang, adik saya yang laki-laki merengek minta ditemani pergi ke pasar membeli baju. Tidak merengek sih, tapi dia lebih terkesan memaksa, padahal saya sedang tidak dalam mood belanja. Tapi berhubung saya kakak yang bertanggung jawab―terlihat dari cara adik-adik saya merengek (lagi-lagi) kepada saya―akhirnya saya meng-iya-kan juga bujukan tersebut, dengan ogah-ogahan.

Sekitar pukul 10 lebih 20 menitan, saya dan kedua adik saya pergi ke pasar. Ya, saya punya dua adik, sepasang. Dan adik saya yang perempuan juga ikutan minta ditemani. Pergilah kami bertiga di pagi menjelang siang itu ke pasar dengan menggunakan angkot (anakutan umum), untuk tidak pakai desak-desakan. Pasar? Iya. Kalau di kampong kami belanjanya di pasar.

Sesampai di pasar kami lekas menyeruak di antara orang-orang yang tidak dikenal di sana, melewati beberapa toko pakaian sambil melihat-lihat. Kali saja ada yang cocok di hati. Tapi itu bukan tugas saya, melainkan kedua adik saya. Karena peran saya hanya menemani, tidak membeli. Jadilah kami sedikit berdebat pakaian siapa duluan yang mau dicari. Cewek atau cowok? Dan keputusan jatuh pada pakaian cowok. Adik saya yang ini memang lebih tanggap mengambil keputusan walaupun dia paling bungsu, meski tidak semua keputusannya bisa dibenarkan.
Adik saya yang laki-laki ini posturnya tinggi besar, gendut pula. Jadi agak sulit mencari ukuran untuk badannya. Setelah memasuki beberapa toko, kami berhenti di sebuah toko baju pria dan menjatukan pilihan. Baju yang ditunjuk kaos oblong warna biru dengan harga Rp 75.000,00. Maka di sini lah terjadi aksi tawar-menawar yang pertama kali. Angka pertama saya tawar Rp 40.000,00 lalu naik jadi Rp 50.000,00. Penjual baju tetap tidak mau, dan mengatakan,”Harga pas aja 65 ribu. Kalau harga segitu kami enggak nawarkan.” Saya jadi bingung, ini lah fungsi saya sebenarnya. Tukang tawar. Saya Tanya adik, dia hanya mengedikkan bahu. Selalu saja begitu, kepentingan, kepentingan siapa, tetap saja yang diminta memutuskan. Setelah mencoba menawar lagi dan hasilnya sama saja, saya kembali bertanya kepada ke calon empunya baju. Setelah mengedikkan bahu untuk kesekian kali, diam sebentar, dia lalu berkata pelan, “Ambil aja lah, udah capek aku.” Menimbang sebentar lagi, akhirnya saya mebeli baju itu juga. Ini lah awal tawar-menawar saya hari ini yang gagal. Karena terakhir saya menemani adik saya membeli baju, saya bisa membawa pulang kaos oblongnya dengan harga 50 ribu saja.

Keliling lagi dan berhenti, kali ini di toko baju perempuan. Yang ini lain lagi tingkahnya. Dia tidak mengerti model baju perempuan dan merengek minta baju kaos saja, cowok pula. Mentah-mentah saya tolak. Jadilah kami berhenti di salah satu toko dengan asal tunjuk saja―karena adik cowok saya sudah ngomel tidak jelas. Saya diminta memilihkan, terserah katanya. Saya tunjuk satu baju, penjaga toko langsung melepas baju itu dari manekin. Baju cewek yang sangat cewek dengan motif bunga-bunga, mentah-mentah juga dia tolak. Saya mulai malas,  lalu membiarkan penjaga toko sibuk menyodorkan baju ini-itu kepadanya. Dan tetap ujung-ujungnya saya yang memilih. Saya pilih baju model kalong warna merah gambar kepala mickey, akhirnya dia bilang iya. Harganya 110.000 ribu, saya langsung tawar 60 ribu. Harusnya segitu. Penjaga toko langsung menyembur bla bla bla mengatakan tentang online dan modalnya. Saya tidak suka dengan penjual yang sudah bawa-bawa modal, itu urusan dia. Di sela-sela pilih baju tadi, penjual sempat menanyakan asal kami dari mana―mungkin karena kami bercakap tidak memakai bahasa daerah, kenyataan dua di antara kami memang tidak lancar bahasa daerah (batak). Saya bilang saja dari Pekanbaru, dia langsung manut-manut. Kembali ke harga, maka keluar lagi ‘istilah harga pas’-nya yaitu 90 ribu. Ah, masih mahal. Maka keluarlah angka modal itu, katanya 80 ribu. Lantas disebut-sebutnya karena kami anak sekolah, jadinya dia mau ngasih harga segitu. Bah, yang benar saja. Itu tetap mahal. Kembali saya bingung. Dan kembali adik laki-laki saya mengerutu, menyuruh iya-iya. Yang satu lagi? Tidak usah ditanya, dia mah terserah saja. Karena sudah lelah dan malas, akhirnya kembali saya mengatakan ‘iya’. Dibelilah baju kalong seharga 90 ribu.

Di perjalanan pulang saya jadi mikir, baju kalong tadi itu juga hasil gagal tawar-menawar. Jelas sekali. Jelas sekali ia memanfaatkan kami yang berstatus pendatang. jelas sekali baju itu terlalu mahal untuk toko yang hanya di pasar. Dan agaknya saya merasa ada kebohongan, entah di bagian mana. Tapi, ya sudah lah. Baju sudah terbeli dan akhirnya kami bisa pulang setelah membeli lagi beberapa yang lain. Walau membawa sedikit penyesalan dan kegagalan.

No comments:

Post a Comment