Saturday 13 July 2013

Untuk Ramadhan Mamak

Aku memperhatikan kedai mungil ini, beberapa tahun lalu bahkan belum terlindung oleh papan-papan tua seperti sekarang. Alhamdulillah, kedai mamak sekarang sudah ada kemajuan. Bahkan sudah diberi nama walau hanya ditulis pada papan kedai menggunakan cat, Warung Jadi. Sebuah do’a―semoga warung mamak menjadi seperti yang diharapkan―begitu definisi mamak. Dua tahun lalu, saat keluargaku baru pindah di komplek ini, Mamak membuka kedai kecil-kecilan di depan rumah kontrakan kami. Mamak berjualan sembako, kedainya sederhana dan tidak terlalu banyak barang yang dijual. Kedai mamak hanya berupa rak yang disusun di luar sehingga apabila malam tiba dan kedai akan ditutup, seluruh barang harus diangkut lagi ke dalam rumah. Kadang ada barang yang rusak karena sering dipindahkan. Syukur sekarang tidak seperti itu lagi.
            Langit semakin pudar, menyiapkan sore yang akan segera pulang. Aku duduk sendiri di kursi plastik yang sudah terkelupas di mana-mana, tempat dudukan untuk aku, adik-adikku, atau mamak berjaga kedai. Jalanan komplek sepi, hanya ada anak-anak yang sedang bermain atau pulang mengaji halulalang sesekali. Kadang mereka lewat sambil melirik jajanan yang tergantung di kedai, seperti tergiur, namun memutuskan tidak membelinya. Mungkin uang mereka sudah habis untuk jajan di tempat mengaji, atau mereka lebih memilih membeli gorengan di ujung gang komplek.
            Baru dua minggu aku di kampung ini, pasca liburan panjang semester genap. Tahun ini aku tidak mengambil semester pendek, jadi liburan kali ini bisa menjadi sangat puas atau malah kebosanan. Aku menyeruput minuman gelas kemasan rasa jeruk di tanganku, masih menikmati sore yang terasa lebih hening dan berbeda. Tentu saja berbeda dengan suasana sore di kota tempat aku berkuliah. Dari arah jalan komplek sayup-sayup terdengar percakapan dua orang ibu-ibu, kelamaan makin jelas namun aku tidak terlalu mengerti apa yang mereka bicarakan. Ibu-ibu itu berbicara memakai bahasa daerah dan aku tidak begitu menguasainya. Mereka hanya saling bercerita, namun terdengar seperti sedang bertengkar karena suara yang begitu mengelegar. Aku tersenyum simpul, begitu lah orang Batak.
            Aku jadi teringat kejadian beberapa waktu lalu saat hari masih terlalu dini namun aku dan mamak harus pergi ke pasar. Ya, setiap pukul 4 pagi mamak pergi ke pasar untuk membeli ikan, sayur, dan barang lain yang akan mengisi kedai mamak. Letak pasar cukup jauh, jadi mamak harus naik becak vespa. Biasanya mamak pergi sendiri, namun tidak tiga minggu yang lalu sejak ada berita sedang rawan jambret. Mamak jadi takut dikira bawa banyak uang, lalu minta ditemani Hafiz―adikku yang kelas 3 SMP. Seminggu terakhir liburan sekolah berakhir, dan Hafiz tidak lagi bisa menemani mamak ke pasar. Bisa-bisa nanti tidur di kelas, bantahnya. Jadilah aku yang menemani mamak.
            Hari pertama aku menemani mamak ke pasar, kami kesiangan. Udara begitu dingin dan aku masih mengantuk. Ingin rasanya kembali ke belakang lalu masuk ke kamar dan meraih selimut. Tapi kasihan mamak kalau sendirian, jadi aku hanya berjalan dengan tidak fokus. Aku membayangkan mamak setiap hari harus seperti ini, pasti melelahkan sekaligus menakutkan. Di saat sebagian besar orang masih tidur tapi mamak harus bangun dan pergi ke pasar. Kemudian harus berjalan sendiri di jalan yang sepi sampai menemukan becak. Kata mamak, kadang becak datangnya lama jadi mamak harus berjalan terus dengan perasaan harap-harap cemas. Tapi mamak tetap bangun setiap jam setengah empat pagi, tetap berjalan mencari becak agar bisa segera sampai ke pasar.
            “Kenapa tidak nanti saja belanjanya, Mak? Jam enam atau jam tujuh sekalian. Kan, lebih aman, Mak...”
            “Kalau sudah jam segitu siapa lah lagi yang mau beli ikan mamak?”
            Aku hanya mengangguk, mengingat ibu-ibu di komplek itu jam enam saja sudah keluar untuk belanja ke kedai.
            Kejadiannya saat mamak mencari becak untuk kami pulang. Tanganku sudah kesakitan dengan plastik belanjaan yang berat sedangkan mamak tidak terlihat kesusahan memeluk bermacam sayuran di sebelah tangannya sedang tangan yang lain memegang plastik belanjaan juga. Mamak menemukan becak yang kosong, lalu menanyakan berapa ongkos ke rumah kami. Beberapa saat kemudian aku mendengar mamak sudah berdebat dengan tukang becaknya berbahasa daerah, mempermasalahkan ongkos. Bapak itu mengatakan ongkosnya enam ribu, naik karena BBM naik. Sedangkan mamak bersikeras hanya akan membayar lima ribu, sama seperti ongkos saat kami pergi tadi. Aku menarik-narik lengan baju mamak layaknya anak kecil, berpikir mamak suka memperbesar masalah sepele. Namun lima ribu merupakan harga mati bagi mamak. Akhirnya kami pindah becak.
            Sepanjang jalan mamak mengomel tentang bapak becak tadi, seakan barang belanjaan tidak cukup menyita energinya. Aku jadi ikutan merengut, merengut karena mamak suka berlebihan dan tidak mau mengalah. Seminggu lagi sudah memasuki bulan ramadhan, dan tentu saja mamak akan tetap ke pasar. Bagaimana jika karena perkara seribu puasa mamak rusak. Aku jadi kepikiran.
            Tidak sadar minuman yang sedang kusedot sudah habis, atau jangan-jangan sudah kosong dari tadi. Entahlah, sore itu terasa begitu tenang. Aku melihat pada tutup plastik minuman jeruk itu, menemukan hologram warna abu-abu pada kemasannya. Pada sisi lain terdapat gambar uang, TV, handphone, dan sepeda motor. Hadiah. Sebuah promosi yang biasa digunakan produk-produk berkemasan. Sepeda motor? Aku jadi ingat mamak. Alangkah bahagianya mamak kalau bisa ke pasar dengan sepeda motor sendiri. Tidak harus ketakutan jalan sendiri, tidak harus lagi berdebat dengan bapak becak. Setidaknya puasa mamak tidak akan rusak karena pergi ke pasar. Maka dengan tidak yakin namun berharap aku menggosok hologram itu sambil merapal semacam mantra dalam hati, Untuk mamak, untuk ramadhan mamak. Bismillah.
            Sejujurnya aku tidak pernah percaya pada iklan promosi di produk apapun. Dalam benakku, cara seperti itu hanya lah rayuan gombal dalam wujud pemberi harapan palsu. Coba lagi. Jangan menyerah. Dan apa lah itu. Namun kali ini aku tercekat, berkali-kali mengerjapkan mata untuk mencari kata-kata yang sudah tercetak di otakku itu. Tidak ada! Yang tertera di balik hologram abu-abu itu malah… Sepeda Motor!
***
            “Ni… Ni… bangun sudah hampir jam empat. Ke pasar lagi kita!”
            “Hemmhp… iya, Maaaakk…”
            Aku bangkit dari tempat tidur lalu setengah sempoyongan berjalan ke kamar mandi. Setelah bersiap-siap dengan bingung serta kesadaran yang kurang aku memperhatikan mamak yang sedang membuka kunci rumah. Lho, di mana sepeda motornya? Lalu seruan mamak  yang menghardikku karena hanya berdiri diam menyadarkanku, aku segera mengikuti mamak keluar rumah.
            “Mak, bagaimana kalau besok kita beli sepeda saja? Biar tidak keluar ongkos.”

            “Halah… besok-besok saja itu dipikirkan…”

No comments:

Post a Comment