Aku
memperhatikan kedai mungil ini, beberapa tahun lalu bahkan belum terlindung
oleh papan-papan tua seperti sekarang. Alhamdulillah,
kedai mamak sekarang sudah ada kemajuan. Bahkan sudah diberi nama walau hanya
ditulis pada papan kedai menggunakan cat, Warung
Jadi. Sebuah do’a―semoga warung mamak menjadi seperti yang
diharapkan―begitu definisi mamak. Dua tahun lalu, saat keluargaku baru pindah
di komplek ini, Mamak membuka kedai kecil-kecilan di depan rumah kontrakan
kami. Mamak berjualan sembako, kedainya sederhana dan tidak terlalu banyak
barang yang dijual. Kedai mamak hanya berupa rak yang disusun di luar sehingga
apabila malam tiba dan kedai akan ditutup, seluruh barang harus diangkut lagi
ke dalam rumah. Kadang ada barang yang rusak karena sering dipindahkan. Syukur
sekarang tidak seperti itu lagi.
Langit semakin pudar, menyiapkan
sore yang akan segera pulang. Aku duduk sendiri di kursi plastik yang sudah
terkelupas di mana-mana, tempat dudukan untuk aku, adik-adikku, atau mamak berjaga
kedai. Jalanan komplek sepi, hanya ada anak-anak yang sedang bermain atau
pulang mengaji halulalang sesekali. Kadang mereka lewat sambil melirik jajanan yang
tergantung di kedai, seperti tergiur, namun memutuskan tidak membelinya.
Mungkin uang mereka sudah habis untuk jajan di tempat mengaji, atau mereka
lebih memilih membeli gorengan di ujung gang komplek.
Baru dua minggu aku di kampung ini,
pasca liburan panjang semester genap. Tahun ini aku tidak mengambil semester
pendek, jadi liburan kali ini bisa menjadi sangat puas atau malah kebosanan. Aku
menyeruput minuman gelas kemasan rasa jeruk di tanganku, masih menikmati sore
yang terasa lebih hening dan berbeda. Tentu saja berbeda dengan suasana sore di
kota tempat aku berkuliah. Dari arah jalan komplek sayup-sayup terdengar
percakapan dua orang ibu-ibu, kelamaan makin jelas namun aku tidak terlalu
mengerti apa yang mereka bicarakan. Ibu-ibu itu berbicara memakai bahasa daerah
dan aku tidak begitu menguasainya. Mereka hanya saling bercerita, namun
terdengar seperti sedang bertengkar karena suara yang begitu mengelegar. Aku
tersenyum simpul, begitu lah orang Batak.
Aku jadi teringat kejadian beberapa
waktu lalu saat hari masih terlalu dini namun aku dan mamak harus pergi ke
pasar. Ya, setiap pukul 4 pagi mamak pergi ke pasar untuk membeli ikan, sayur,
dan barang lain yang akan mengisi kedai mamak. Letak pasar cukup jauh, jadi
mamak harus naik becak vespa. Biasanya
mamak pergi sendiri, namun tidak tiga minggu yang lalu sejak ada berita sedang
rawan jambret. Mamak jadi takut dikira bawa banyak uang, lalu minta ditemani
Hafiz―adikku yang kelas 3 SMP. Seminggu terakhir liburan sekolah berakhir, dan
Hafiz tidak lagi bisa menemani mamak ke pasar. Bisa-bisa nanti tidur di kelas, bantahnya.
Jadilah aku yang menemani mamak.
Hari pertama aku menemani mamak ke
pasar, kami kesiangan. Udara begitu dingin dan aku masih mengantuk. Ingin
rasanya kembali ke belakang lalu masuk ke kamar dan meraih selimut. Tapi kasihan
mamak kalau sendirian, jadi aku hanya berjalan dengan tidak fokus. Aku
membayangkan mamak setiap hari harus seperti ini, pasti melelahkan sekaligus
menakutkan. Di saat sebagian besar orang masih tidur tapi mamak harus bangun
dan pergi ke pasar. Kemudian harus berjalan sendiri di jalan yang sepi sampai
menemukan becak. Kata mamak, kadang becak datangnya lama jadi mamak harus
berjalan terus dengan perasaan harap-harap cemas. Tapi mamak tetap bangun
setiap jam setengah empat pagi, tetap berjalan mencari becak agar bisa segera
sampai ke pasar.
“Kenapa tidak nanti saja belanjanya,
Mak? Jam enam atau jam tujuh sekalian. Kan, lebih aman, Mak...”
“Kalau sudah jam segitu siapa lah
lagi yang mau beli ikan mamak?”
Aku hanya mengangguk, mengingat
ibu-ibu di komplek itu jam enam saja sudah keluar untuk belanja ke kedai.
Kejadiannya saat mamak mencari becak
untuk kami pulang. Tanganku sudah kesakitan dengan plastik belanjaan yang berat
sedangkan mamak tidak terlihat kesusahan memeluk bermacam sayuran di sebelah
tangannya sedang tangan yang lain memegang plastik belanjaan juga. Mamak
menemukan becak yang kosong, lalu menanyakan berapa ongkos ke rumah kami. Beberapa
saat kemudian aku mendengar mamak sudah berdebat dengan tukang becaknya berbahasa
daerah, mempermasalahkan ongkos. Bapak itu mengatakan ongkosnya enam ribu, naik
karena BBM naik. Sedangkan mamak bersikeras hanya akan membayar lima ribu, sama
seperti ongkos saat kami pergi tadi. Aku menarik-narik lengan baju mamak
layaknya anak kecil, berpikir mamak suka memperbesar masalah sepele. Namun lima
ribu merupakan harga mati bagi mamak. Akhirnya kami pindah becak.
Sepanjang jalan mamak mengomel
tentang bapak becak tadi, seakan barang belanjaan tidak cukup menyita
energinya. Aku jadi ikutan merengut, merengut karena mamak suka berlebihan dan
tidak mau mengalah. Seminggu lagi sudah memasuki bulan ramadhan, dan tentu saja
mamak akan tetap ke pasar. Bagaimana jika karena perkara seribu puasa mamak
rusak. Aku jadi kepikiran.
Tidak sadar minuman yang sedang
kusedot sudah habis, atau jangan-jangan sudah kosong dari tadi. Entahlah, sore
itu terasa begitu tenang. Aku melihat pada tutup plastik minuman jeruk itu, menemukan
hologram warna abu-abu pada kemasannya. Pada sisi lain terdapat gambar uang,
TV, handphone, dan sepeda motor.
Hadiah. Sebuah promosi yang biasa digunakan produk-produk berkemasan. Sepeda
motor? Aku jadi ingat mamak. Alangkah bahagianya mamak kalau bisa ke pasar
dengan sepeda motor sendiri. Tidak harus ketakutan jalan sendiri, tidak harus
lagi berdebat dengan bapak becak. Setidaknya puasa mamak tidak akan rusak
karena pergi ke pasar. Maka dengan tidak yakin namun berharap aku menggosok
hologram itu sambil merapal semacam mantra dalam hati, Untuk mamak, untuk ramadhan mamak. Bismillah.
Sejujurnya
aku tidak pernah percaya pada iklan promosi di produk apapun. Dalam benakku,
cara seperti itu hanya lah rayuan gombal dalam wujud pemberi harapan palsu.
Coba lagi. Jangan menyerah. Dan apa lah itu. Namun kali ini aku tercekat,
berkali-kali mengerjapkan mata untuk mencari kata-kata yang sudah tercetak di
otakku itu. Tidak ada! Yang tertera di balik hologram abu-abu itu malah… Sepeda Motor!
***
“Ni… Ni… bangun sudah hampir jam empat.
Ke pasar lagi kita!”
“Hemmhp… iya, Maaaakk…”
Aku bangkit dari tempat tidur lalu
setengah sempoyongan berjalan ke kamar mandi. Setelah bersiap-siap dengan
bingung serta kesadaran yang kurang aku memperhatikan mamak yang sedang membuka
kunci rumah. Lho, di mana sepeda motornya?
Lalu seruan mamak yang menghardikku
karena hanya berdiri diam menyadarkanku, aku segera mengikuti mamak keluar
rumah.
“Mak, bagaimana kalau besok kita
beli sepeda saja? Biar tidak keluar ongkos.”
“Halah… besok-besok saja itu
dipikirkan…”
No comments:
Post a Comment