Sunday 14 July 2013

Green Park

Alice membanting pintu di belakangnya dengan sengaja, meninggalkan kedua orang dewasa yang sedang bertengkar itu. Entah apa yang sedang mereka perdebatkan, ia hanya berusaha tidak peduli. Alice benci masalah orang dewasa, membuat ia membayangkan betapa mengerikannya jika nanti hari itu harus menimpanya juga. Menjadi seorang dewasa yang menyebalkan. Umur Alice masih bersekolah, tapi kehidupan sudah memperlakukannya seperti seseorang yang harus memikirkan masalah rumah tangga dan tagihan. Akhir-akhir ini Alice merasa terlalu banyak tahu tentang apa yang terjadi di kamar orangtuanya. Dan, tidak ada hari yang lebih buruk daripada itu.

Remaja itu melangkah memasuki taman komplek rumahnya, tidak akan ada orang dewasa yang saling berteriak di depan banyak anak-anak―setidaknya begitu pikir Alice. Terlihat plang kayu berwarna coklat tua bertuliskan Green Park dari kejauhan. Bagi Alice mendapati plang itu, jauh lebih menenangkan daripada melihat pagar rumahnya. Taman yang terletak di tengah-tengah komplek, di mana terdapat lapangan rumpuh hijau yang luas, pohon-pohon rindang yang mengelilingi, bangku-bangku panjang, wahana bermain, serta beberapa lampu taman. Tempat itu selalu terlihat hidup dengan segala benda mati yang ada di sana.

Alice memilih duduk sendirian di bangku sudut taman, di bawah pohon Trambesi yang teduh. Sebenarnya, sore itu ia tidak ingin terlihat terlalu menyedihkan, namun hanya bangku tersebutlah yang kosong. Tidak ada pilihan lain. Dari sana Alice dapat melihat taman itu sekarang dipenuhi gerombolan anak kecil yang berkejaran, bermain ayunan, jungkat-jungkit, seluncuran, dan lainnya, serta beberapa ibu yang sedang menemani anak mereka. Alice yakin tidak akan menemukan teman di sana. Tidak akan ada anak umur 12 tahun yang mau rebutan ayunan dengan anak-anak yang masih ingusan, tebaknya.


Alice meraba saku jaket birunya, mencoba menemukan IPOD yang biasa ia bawa ke mana-mana. “Damn it!” umpatnya, karena menyadari benda itu tidak berada di tempat seharusnya, sepertinya tertinggal di meja belajar atau di mana. Ia tidak bisa mengingat pasti. Sekarang gadis itu tidak tahu apa yang harus dilakukannya sendirian di taman yang ramai ini, tanpa ada yang bisa didengar sama sekali.

Sial!

“Apa kau sedang sibuk?”

Alice mengangkat kepalanya, lalu mendapati seorang anak laki-laki sedang berdiri di hadapannya dengan tatapan ingin tahu. Alice mengerjap beberapa kali, memperhatikan anak itu dari atas ke bawah, kemudian ke atas lagi. Anak berkaos hijau tosca bergambar monster jelek dengan celana jeans tanggung, berkulit putih, bermata hijau, serta potongan rambut pirang yang juga jelek―menurut Alice. Alice yakin ia lebih tinggi daripada anak itu. Seingat Alice, ia tidak tidak pernah membuat janji dengan temannya hari ini, di taman ini. Dan yang lebih penting, anak laki-laki itu bukan temannya.

“Tidak.”

“Boleh aku duduk di sini?”

“Berapa umurmu?”

“10 tahun.”

“Kalau begitu tidak boleh.”

“Kenapa?” Anak laki-laki itu jelas sekali tidak terima.

“Karena aku tidak tertarik pada anak kecil.” Alice mengucapkannya dengan hembusan napas dramatis, lalu melambaikan tangannya dengan gerakan mengusir yang serius. Ia sedang tidak minat berbasa-basi. Anak laki-laki itu memandangnya aneh, tapi Alice tampak tak terperangah. Ia membuang muka ke arah lain, lalu memandang jauh. Benar-benar tidak berniat meladeni anak itu. Ia tidak butuh teman bicara sekarang, walau Alice merasa agak kesepian.

“Aku juga tidak tertarik padamu.” Kata bocah itu seakan tidak mau direndahkan, namun ia tetap mengambil tempat duduk di samping Alice. Seolah-olah perkataannya tadi sudah cukup pantas untuk sebuah tiket duduk di bangku tersebut.

Kontan Alice menoleh―membuat rambut coklatnya ikut berayun hebat. Sambil melipat tangan di dada dan menyipitkan mata, berharap anak itu mengerti tanpa ia harus mengucapkan, ‘Lalu apa yang sedang kau lakukan di sini? Aku tidak ingin melihatmu, jadi, pergilah!’

“Apa kau mencoba membunuhku dengan tatapan itu?” Anak itu berusaha terlihat dingin dan tidak terlalu ambil pusing. Ia memilih posisi duduk yang agak berjauhan, antisipasi kalau-kalau nanti tiba-tiba ia diserang. Tidak ada yang bisa menebak apa yang dipikirkan anak perempuan yang lebih memilih duduk sendiri di taman seramai ini. 

Alice bergeming.

“Baiklah… asal kau tahu, aku tidak akan pindah. Ini tempat umum, dan kau tidak punya hak sama sekali.” Jawabnya lagi, kali ini dengan percaya diri. Ia pernah melihat adegan ini di salah satu drama televisi yang sering ditonton oleh kakak perempuannya, dan tidak menyangka harus menirukannya. Ia tidak suka acara konyol itu, namun mulai merasa perlu menontonnya juga.

Alice berbalik, masih dengan tangan di dada memandang ke depan lurus-lurus, bibirnya mengerucut sejadi mungkin. Lalu, berakting seperti sangat tertarik pada wahana seluncuran yang sedang ramai dengan anak-anak. Terserah! Pikirnya. Yang jelas ia tidak akan mengajak anak laki-laki itu bicara. Alice hanya menginginkan sorenya bisa nyaman, namun kali ini ia tidak terlalu yakin.

Anak laki-laki itu mengeluarkan PSP dari balik bajunya, ‘It’s show time…’ bisiknya sambil terkekeh. Tidak mempedulikan lagi siapa yang duduk di sampingnya, yang penting ia bisa merasakan hawa bebas melakukan apa saja, memainkan game apa saja. Green park is heaven.

“Kau tahu? Aku tidak bisa memainkan Final Fantasy VII ini di rumah. Orangtuaku pasti akan memarahiku karena tidak belajar. Dan kakak perempuanku yang cerewet itu, akan marah-marah kalau aku sudah keasikan. Padahal, aku tidak seribut itu…” Ia mulai bercerita, walau matanya tidak lepas dari layar konsolnya. Seakan-akan ada yang memaksanya untuk melakukan hal itu.

Alice sudah mengatakan tidak mau bicara dengan anak itu, tapi ia tidak bisa untuk tidak mendengarnya. Alice tidak mengatakan akan berubah menjadi tuli, bukan?

“Aku yakin mereka tidak mengerti. Mereka tidak akan mengerti dunia ‘kita’ yang…” tiba-tiba anak itu terdiam, tidak yakin dengan ucapannya.

Tidak sadar Alice melirik dari ekor matanya, menunggu juga. Ia sudah tidak bisa mencegah dirinya lagi. ‘Apakah yang dimaksud anak ini dengan ‘mereka’ adalah ‘orang dewasa’?’

Sambil sejenak mengalihkan perhatian dari PSP-nya, anak itu menoleh ke Alice lalu melanjutkan, “Kau tidak menyukaiku, bukan? Baiklah, aku ralat… duniaku… yang penuh dengan pertempuran dan strategi ini.” Ia sudah kembali tenggelam pada benda di tangannya, bergerak-gerak aneh seakan ia sedang menghindar dari sebuah serangan. Permainan sudah semakin seru.

Saat itu juga Alice merasa dirinya menjadi konyol. Ada yang tidak beres padanya hari ini, karena ia baru saja mendengarkan anak kecil berceramah. Alice menggeleng pelan, tidak mau anak laki-laki itu menangkap kelakuannya yang akan terlihat memalukan. Kembali ia melihat pada seluncuran dengan bermacam trek yang berada beberapa puluh meter darinya, tidak ada anak-anak tadi lagi. Beberapa anak sudah beranjak pulang, mendapati langit mulai berkilauan bersama jingga, dan kini seluncuran warna-warni itu telah resmi kosong. Mendadak Alice ingin benar-benar tertarik pada wahana itu.

“Kadang aku merasa… hidup mereka sangat mengerikan. Hidup dalam dunia yang membosankan, dipenuhi dengan hal-hal yang tidak asik sama sekali.” Lanjut anak dengan PSP itu sambil bergidik. Ternyata ia masih ingin bercerita.

‘Bukannya benda di tanganmu itu yang mengerikan?’ Alice tidak habis pikir.

“Coba kau bayangkan! Yang mereka urusi hanya masalah rumah, kantor, kebun, sekolah, uang, artis, bisnis... Apa yang menarik dari semua itu? Well, money is the exception, maybe. Bahkan mereka tidak mengerti cara memainkan PSP ini...” Sekarang anak itu sudah berujar berlebihan dengan mimik dramatis yang terlalu dibuat-buat. Ia sungguh tidak bisa memahami jalan pikiran dari seluruh anggota keluargannya, lebih-lebih tidak tertarik.

Keep dying with your freak game, Kid! Cemooh Alice dalam hati. Dan Alice merasa ia tidak sudi membayangkan itu semua, namun otaknya terus bekerja. Well, aku sudah membenci mereka terlebih dahulu. Apa semua orang yang duduk di sini punya masalah dengan orang dewasa? Alice mulai penasaran dengan kesimpulan yang dibuatnya sendiri. Hal itu membuatnya kembali mengingat perdebatan kedua orangtuanya di rumah tadi. Alice tidak tahu bagaimana cara menghapus bayangan itu. 

And… a matter of fact, I hoped if I would never be a part of them.” Anak laki-laki tersebut mengedikkan bahu, tidak sadar berakting layaknya seorang yang sudah dewasa. Seketika saja setelah itu, ia berteriak yay! sambil mendorong sebelah tangannya ke angkasa, membuat Alice hampir tersungkur dari duduknya. Anak itu baru saja memenangkan game-nya. Lalu, sambil memperhatikan keseluruhan taman―mengabaikan Alice yang sedang mengurut dada, “Taman ini adalah tempat yang paling cocok untuk…” Anak itu kembali melirik Alice…

Kau benar-benar berisik! Kembali Alice mengumpat dalam hati.

“Hei… apa kau masih saja tidak menyukaiku?” Anak laki-laki itu tersenyum miring sambil memainkan alisnya dengan jahil, ia menyenggol siku Alice pelan. Mulai berpikir bahwa gadis di sampingnya tidak terlalu menginginkan ia pergi. Buktinya gadis itu bertahan di bangku taman ini.

“Aku tidak tahu ada yang salah dengan perbedaan umur…” Lanjutnya berlagak polos.

Alice tidak punya ide, hampir saja bibirnya tertarik untuk tersenyum. Entah bagaimana, tatapannya kali ini sedikit melembut. Namun tidak bisa dikatakan lembut juga, setidaknya bukan tatapan dengan niatan membunuh seseorang seperti tadi. Alice mendengus tidak percaya, “Well, what is your name, kid?” Tanyanya sok tua.

“Briand, and… you?” Briand terkekeh.

“Alice.” Gumamnya masih berniat menyangkal kalau ia sudah mengajak anak laki-laki bernama Briand itu bicara, namun tidak menemukan cara. IPOD-nya juga tidak ada. “Well, Briand… what are you thingking about the slide?” Alice memainkan mata pada seluncuran yang terlihat kosong di sana. Mungkin saja, pada wahana itu tersimpan suatu misteri yang sudah membuatnya penasaran dari tadi, semacam jalan keluar misalnya. Dan, ia ingin mendengar pendapat anak itu.

A matter of fact, I doubt with your freak game. You make me bored…” Alice berhasil menirukan nada Briand pada saat bicara tadi, dengan tambahan gaya menyesal yang sedikit menggelikan. Kali ini Alice yakin bahwa ia pandai berakting.

Hahaha… okay! Seluncuran juga menarik.” Briand memasukkan kembali PSP-nya ke balik baju. Sepertinya hari ini ia harus mengorbankan waktu bermain Final Fantasi VII barang sebentar. Briand tidak terlalu mengerti, apa sebenarnya yang membuat anak perempuan yang tadinya tidak mau bicara, sekarang malah mengajaknya bermain seluncuran. Sudahlah, pikirnya. Setidaknya, Briand tahu bahwa di bangku ini, ia lah pemenang. “Let’s play…

Entah bagaimana, Alice mulai bisa menerima suara cempreng yang dikeluarkan Briand. Walau tetap mengejek di dalam hati, setidaknya perkataan dari suara cempreng itu dapat membuatnya merasa lebih baik. Mungkin, nanti ia mulai bisa mengganti cara pandangnya terhadap anak-anak laki yang suka berisik. Diawali dengan mengganti beberapa acara yang biasa ia tonton di televisi.

Keduanya berjalan menjauhi bangku di sudut taman itu, memutuskan seluncuran yang mempunyai trek di empat sisi itu cukup menyenangkan untuk menghabiskan sore ini bersama. Melangkah ke dunia yang mereka anggap paling sederhana. Di mana suatu masalah bisa seketika lenyap kala kau terbang bersama ayunan. Saat kebencian yang kau pendam bisa menghilang secepat kau meluncur di seluncuran. Di mana kemarahan dapat kau lebur bersamaan dengan gelak tawa di atas jungkat-jungkit yang terus berdebam. Mereka hanya butuh sedikit pengalihan dari kehidupan yang terkadang mulai kejam. Taman bermain akan selalu menjadi tempat yang menyenangkan. 

“Omong-omong, mengenai yang kau katakan tadi, apa kau benar-benar membenci… mereka?”

Briand terdiam sejenak, tidak langsung mengerti apa yang dimaksud Alice dengan mereka. Selang beberapa detik, “Tidak juga,” setelah ia tahu makna mereka adalah orang dewasa. Mengedikkan bahu ia melanjutkan, “Mungkin aku akan membenci mereka jika mereka sudah tidak peduli padaku,” putus Briand setelah paham. Bagaimanapun, ia tidak mungkin menginginkan kedua orangtuanya yang banyak aturan itu, serta kakak perempuannya yang cerewet tersebut, menghilang dari kehidupannya. Itu adalah hal yang paling mengerikan yang tidak ingin Briand bayangkan.

Lalu, apakah orangtua Alice sudah tidak mempedulikannya? Entahlah, sepertinya tidak juga. Alice jadi teringat, tadi pagi Ibunya sempat mengomelinya. Ia terlambat bangun dikarenakan menonton acara televisi hingga larut malam, sehingga tidak sempat sarapan saat pergi ke sekolah. Ayahnya juga ikutan terlambat sampai di kantor karena ulahnya. Mulai besok Alice harus bersiap dengan jam menonton yang akan dibatasi oleh orangtuanya.

*****

No comments:

Post a Comment