Seperti
hari-hari sebelumnya, subuh ini pun kami bangun pukul empat pagi untuk sahur. Kali
ini, lagi-lagi―untuk yang kedua kalinya―adikku yang laki-laki yang pertama
terbangun. Aku bisa mendengar saat ia membangunkan Mamak, lalu Mamak menyaut
dengan suara serak yang pelan. Alarm-ku belum bunyi jadi aku enggan untuk turut
bangun, mungkin beberapa menit lagi.
Setelah melakukan segala ritual
sebelum makan sahur (seperti berbasuh dan menyiapkan makan), sekitar pukul 4.20
kami berempat―aku, Mamak, adik laki-laki dan perempaunku―menyantap hidangan
sahur. Sahur kali ini sedikit telat. Seperti biasa juga, sambil mendengar
ceramah dari radio HP, acara makan subuh ini diselingi pembicaraan yang tidak
terlalu penting oleh adik-adikku, Mamak sibuk dengan nasi dan raket listriknya―sambil
makan Mamak sesekali melayangkan raket itu ke udara dengan agak frustasi, rumah
kami memang banyak nyamuk―sedangkan aku lebih banyak diam―kadang menyela Mamak
yang heboh sendiri. Ceramah subuh ini mengenai Manusia yang hanya mengejar kehidupan dunia, Mamak
mengangguk-angguk seperti sangat paham. Sekarang kami semua yang menyela mamak.
Pukul 4.50 sirene imsyak terdengar,
seluruh kegiatan makan dan minum berhenti. Terakhir aku melihat Mamak yang
masih meniup air di gelas saat sirene berakhir, lalu mamak memutuskan tidak
menghabiskan air yang masih panas itu. Kemudian satu-satu dari kami bergerak dengan
kesibukan masing-masing.
Setelah sholat subuh, seperti biasa
aku membaca Al-qur’an, dengan jelas
aku bisa mendengar Mamak sudah membaca kitab suci tersebut lebih dulu di ruang
tengah. Suara Mamak nyaring. Sebenarnya bukan untuk yang pertama kali mamak
mambaca Al-qur’an setelah
sholat subuh, akan tetapi ada yang berbeda dengan pembacaan hari ini. Selang beberapa
menit tidak sadaar aku menunggu-nunggu suara mamak membacakan sodhaqollahulaziim sambil tetap mengaji,
namun tidak ada, Mamak masih terus membaca ayat-ayat suci itu. Bukan apa-apa, Mamak
tidak pernah selama ini sebelumnya sepanjang Ramadhan.
Dan suara yang sudah kuhapal itu mulai
berubah, masih nyaring namun sekarang… dengan sedikit serak. Pada awalnya aku
tidak terlalu peduli, mungkin karena mamak sudah terlalu lama mengaji. Tapi lama
kelamaan terdengar tangis yang ditahan sesekali, Mamak menangis? Aku mengaji
dengan tidak fokus. Seperti itu seterusnya, sampai aku mengakhir ibadah
tersebut dan Mamak masih terus melantunkan ayat-ayat-Nya.
Di mata kami―anak-anaknya, Mamak adalah
sosok ibu yang agak slenge’an. Untuk ibadah,
insyaAllah Mamak melaksanakan
perintah-Nya. Namun sifat mamak membuat aku, abang, dan adik-adik sering
menanggapi Mamak dengan tidak serius. Baiklah, aku mengkategorikan Mamak
sedikit labil. Emosinya suka meledak tidak tentu arah lalu mereda tiba-tiba,
dan Mamak gampang sekali dipengaruhi. Perkara Mamak suka mengangguk-angguk
kalau mendengar ceramah, Mamak memang suka sok tahu. Jika dibandingkan, Mamak juga
tidak sepintar Bapak, tapi mamak suka sok pintar. Bukan berarti Mamak bodoh! Kami
suka mengejek mamak, tentu saja hanya bercanda. Satu yang jelas, mamak itu
wanita tegar.
Aku menerka-nerka apa gerangan yang
membuat wanita setengah baya yang telah melahirkan aku ke dunia itu menangis
saat mengaji. Aku yakin tidak ada kalimat dari ayat itu yang Mamak mengerti,
mungkin hanya satu-satu kata, namun tentu tidak bisa mengartikan apa maksudnya.
Al-qur’an Mamak juga buka yang ada
terjemahannya. Namun, dia menangis. Subuh itu, dengan suara nyaringnya, Mamak memperdengarkan
ayat suci al-qur’an sambil menahan
tangis. Entah dengan alasan apa. Munkinkah?
(Qs.Al-Anfal 8:2)
(Qs.Al-Anfal 8:2)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Qs. Al-Anfal 8:2)
Amiin.
No comments:
Post a Comment