Tuesday 16 July 2013

Dia Menangis

Seperti hari-hari sebelumnya, subuh ini pun kami bangun pukul empat pagi untuk sahur. Kali ini, lagi-lagi―untuk yang kedua kalinya―adikku yang laki-laki yang pertama terbangun. Aku bisa mendengar saat ia membangunkan Mamak, lalu Mamak menyaut dengan suara serak yang pelan. Alarm-ku belum bunyi jadi aku enggan untuk turut bangun, mungkin beberapa menit lagi.
            Setelah melakukan segala ritual sebelum makan sahur (seperti berbasuh dan menyiapkan makan), sekitar pukul 4.20 kami berempat―aku, Mamak, adik laki-laki dan perempaunku―menyantap hidangan sahur. Sahur kali ini sedikit telat. Seperti biasa juga, sambil mendengar ceramah dari radio HP, acara makan subuh ini diselingi pembicaraan yang tidak terlalu penting oleh adik-adikku, Mamak sibuk dengan nasi dan raket listriknya―sambil makan Mamak sesekali melayangkan raket itu ke udara dengan agak frustasi, rumah kami memang banyak nyamuk―sedangkan aku lebih banyak diam―kadang menyela Mamak yang heboh sendiri. Ceramah subuh ini mengenai Manusia yang hanya mengejar kehidupan dunia, Mamak mengangguk-angguk seperti sangat paham. Sekarang kami semua yang menyela mamak.
            Pukul 4.50 sirene imsyak terdengar, seluruh kegiatan makan dan minum berhenti. Terakhir aku melihat Mamak yang masih meniup air di gelas saat sirene berakhir, lalu mamak memutuskan tidak menghabiskan air yang masih panas itu. Kemudian satu-satu dari kami bergerak dengan kesibukan masing-masing.
            Setelah sholat subuh, seperti biasa aku membaca Al-qur’an, dengan jelas aku bisa mendengar Mamak sudah membaca kitab suci tersebut lebih dulu di ruang tengah. Suara Mamak nyaring. Sebenarnya bukan untuk yang pertama kali mamak mambaca Al-qur’an  setelah sholat subuh, akan tetapi ada yang berbeda dengan pembacaan hari ini. Selang beberapa menit tidak sadaar aku menunggu-nunggu suara mamak membacakan sodhaqollahulaziim sambil tetap mengaji, namun tidak ada, Mamak masih terus membaca ayat-ayat suci itu. Bukan apa-apa, Mamak tidak pernah selama ini sebelumnya sepanjang Ramadhan.
            Dan suara yang sudah kuhapal itu mulai berubah, masih nyaring namun sekarang… dengan sedikit serak. Pada awalnya aku tidak terlalu peduli, mungkin karena mamak sudah terlalu lama mengaji. Tapi lama kelamaan terdengar tangis yang ditahan sesekali, Mamak menangis? Aku mengaji dengan tidak fokus. Seperti itu seterusnya, sampai aku mengakhir ibadah tersebut dan Mamak masih terus melantunkan ayat-ayat-Nya.
            Di mata kami―anak-anaknya, Mamak adalah sosok ibu yang agak slenge’an. Untuk ibadah, insyaAllah Mamak melaksanakan perintah-Nya. Namun sifat mamak membuat aku, abang, dan adik-adik sering menanggapi Mamak dengan tidak serius. Baiklah, aku mengkategorikan Mamak sedikit labil. Emosinya suka meledak tidak tentu arah lalu mereda tiba-tiba, dan Mamak gampang sekali dipengaruhi. Perkara Mamak suka mengangguk-angguk kalau mendengar ceramah, Mamak memang suka sok tahu. Jika dibandingkan, Mamak juga tidak sepintar Bapak, tapi mamak suka sok pintar. Bukan berarti Mamak bodoh! Kami suka mengejek mamak, tentu saja hanya bercanda. Satu yang jelas, mamak itu wanita tegar.
            Aku menerka-nerka apa gerangan yang membuat wanita setengah baya yang telah melahirkan aku ke dunia itu menangis saat mengaji. Aku yakin tidak ada kalimat dari ayat itu yang Mamak mengerti, mungkin hanya satu-satu kata, namun tentu tidak bisa mengartikan apa maksudnya. Al-qur’an Mamak juga buka yang ada terjemahannya. Namun, dia menangis. Subuh itu, dengan suara nyaringnya, Mamak memperdengarkan ayat suci al-qur’an sambil menahan tangis. Entah dengan alasan apa. Munkinkah?

(Qs.Al-Anfal 8:2)

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ
ىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُو
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Qs. Al-Anfal 8:2)
           

            Amiin.

No comments:

Post a Comment