Belakangan, saya banyak melihat kompetisi
menulis yang diadakan baik itu di dunia maya, maupun di dunia nyata. Beberapa ada
yang menarik minat saya. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas menulis. Di
sisi lain, mau tak mau, mengingatkan saya pada rating buruk kompetisi menulis yang pernah saya ikuti. Saya
kategorikan buruk bukan karena saya belum pernah keluar sebagai pemenang,
walaupun kenyataannya memang seperti itu. Biar.
Terserah. Buruk di sini menyatakan
bahwa jumlah kompetisi yang lebih sering saya batalkan keikutsertaannya, serta
bagaimana cara saya melewati suatu kompetisi tersebut. Baiklah, saya akan
menguraikannya.
Masalah
pertama adalah, saya tidak jadi mengikuti kompetisi yang padahal sudah saya
targetkan. Malah batal. Bukan dengan tiba-tiba, tapi kebanyakan telah terprediksi
sebelumnya. Memang sudah sifat saya yang selalu menggebu-gebu di awal, dan pada
akhirnya hanya bermalas-malasan. Ditambah dengan kebiasaan yang suka menunda,
kolaborasi perangai jelek itu pun berhasil mengalahkan saya. Ini yang belum
bisa saya ubah, sampai detik ini juga. Kurang berkomitmen dan sudah terlalu
nyaman di zona nyaman. Terperangkap,
ingin keluar tapi masih bimbang apakah rela meninggalakan. Kadang saya sadar,
lalu, hanya sekadar sadar. Setelah itu tidak terjadi apa-apa, kehidupan kembali
seperti semula. Saya pulang menjadi pemimpi yang menyedihkan.
Konklusi
dari masalah ini adalah, saya dikejar deadline
dan mentok-mentoknya saya memilih mundur sebelum berperang. Terlalu sering mengalah
membuat saya terbiasa sekaligus akrab, meski jelas-jelas tahu itu akan menjadi suatu
hubungan yang buruk. Hasil yang tidak menghasilkan apa-apa. Tidak ada gunanya
menjalin hubungan kalau tidak saling menguntungkan.
Masalah
kedua, bagaimana saya melewati suatu kompetisi. Ini bisa dijadikan tolak ukur
hasil yang akan saya terima. Dan sebenarnya masalah yang kedua ini tidak jauh
beda dari yang sebelumnya, menunda, maunya ngeborong kerja. Semisal besoknya deadline, maka sehari atau dua hari
sebelumnya saya baru mengerjakan. Ya, ya, saya paham sekali. Kesalahan terjadi
pada saya, bukan pada tenggat waktu atau pun tema kompetisi yang bikin pusing. Saya
lah yang harus disalahkan. Tapi, bagaimanalah, saya juga tidak mau menyangkal. Saya
belum bisa berdamai dengan diri sendiri, semacam membuat janji, meneguhkan hati,
atau apa lah. Terlalu berkonsentrasi dengan tidak
bisa konsentrasi.
Saya
tahu, jika masih seperti ini, suatu hari nanti saya harus sanggup mengucapkan
selamat tinggal kepada mimpi-mimpi itu. Mimpi-mimpi yang sudah mengantarkan
saya sampai ke titik ini. Dan sepenuh hati saya katakan, saya tidak sanggup. Saya
tidak mampu membiarkan waktu merambat jika mimpi dalam keadaan mati. Walau belum
ada sepenggal jalan, namun lentera harapan itu masih senantiasa berpijar. Memperlihatkan
bahwa yang bernama setapak di depan
masih panjang, masih penuh dengan rintang. Saya masih berminat melewati. Harusnya
saya malu karena sudah gentar, tapi saya malah merasa menyedihkan. Tidak menghargai
apa-apa, malah memilih mengiba. Maaf.
Ya,
begitulah sekelumit kisah tentang kompetisi saya. Tidak ada yang bisa
dibanggakan, yang ada jadi memalukan. Namun menurut saya, pada dasarnya, tidak ada yang
salah dari sebuah kesalahan. Hanya takdir yang sedang menempatkannya pada satu sudut
pandang. Sudut pandang yang relatif. Tidak ada yang bisa membenarkan atau
menyalahkan dengan mutlak, selain yang Maha Adil. Kesalahan juga berhak
mempunyai nilai. Kita bisa belajar dari siapa saja, apa saja, di mana saja. Termasuk
dari hal yang tidak menghasilkan apa-apa. Sekalipun datangnya dari sesuatu yang dianggap tidak berharga. Setidaknya, poin yang dapat
diambil, jangan mengulanginya lagi. Jangan
mau jadi keledai!
No comments:
Post a Comment