Wednesday 23 October 2013

Kompetisi

Belakangan, saya banyak melihat kompetisi menulis yang diadakan baik itu di dunia maya, maupun di dunia nyata. Beberapa ada yang menarik minat saya. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas menulis. Di sisi lain, mau tak mau, mengingatkan saya pada rating buruk kompetisi menulis yang pernah saya ikuti. Saya kategorikan buruk bukan karena saya belum pernah keluar sebagai pemenang, walaupun kenyataannya memang seperti itu. Biar. Terserah. Buruk di sini menyatakan bahwa jumlah kompetisi yang lebih sering saya batalkan keikutsertaannya, serta bagaimana cara saya melewati suatu kompetisi tersebut. Baiklah, saya akan menguraikannya.

Masalah pertama adalah, saya tidak jadi mengikuti kompetisi yang padahal sudah saya targetkan. Malah batal. Bukan dengan tiba-tiba, tapi kebanyakan telah terprediksi sebelumnya. Memang sudah sifat saya yang selalu menggebu-gebu di awal, dan pada akhirnya hanya bermalas-malasan. Ditambah dengan kebiasaan yang suka menunda, kolaborasi perangai jelek itu pun berhasil mengalahkan saya. Ini yang belum bisa saya ubah, sampai detik ini juga. Kurang berkomitmen dan sudah terlalu nyaman di zona nyaman. Terperangkap, ingin keluar tapi masih bimbang apakah rela meninggalakan. Kadang saya sadar, lalu, hanya sekadar sadar. Setelah itu tidak terjadi apa-apa, kehidupan kembali seperti semula. Saya pulang menjadi pemimpi yang menyedihkan.


Konklusi dari masalah ini adalah, saya dikejar deadline dan mentok-mentoknya saya memilih mundur sebelum berperang. Terlalu sering mengalah membuat saya terbiasa sekaligus akrab, meski jelas-jelas tahu itu akan menjadi suatu hubungan yang buruk. Hasil yang tidak menghasilkan apa-apa. Tidak ada gunanya menjalin hubungan kalau tidak saling menguntungkan.


Masalah kedua, bagaimana saya melewati suatu kompetisi. Ini bisa dijadikan tolak ukur hasil yang akan saya terima. Dan sebenarnya masalah yang kedua ini tidak jauh beda dari yang sebelumnya, menunda, maunya ngeborong kerja. Semisal besoknya deadline, maka sehari atau dua hari sebelumnya saya baru mengerjakan. Ya, ya, saya paham sekali. Kesalahan terjadi pada saya, bukan pada tenggat waktu atau pun tema kompetisi yang bikin pusing. Saya lah yang harus disalahkan. Tapi, bagaimanalah, saya juga tidak mau menyangkal. Saya belum bisa berdamai dengan diri sendiri, semacam membuat janji, meneguhkan hati, atau apa lah. Terlalu berkonsentrasi dengan tidak bisa konsentrasi.

Saya tahu, jika masih seperti ini, suatu hari nanti saya harus sanggup mengucapkan selamat tinggal kepada mimpi-mimpi itu. Mimpi-mimpi yang sudah mengantarkan saya sampai ke titik ini. Dan sepenuh hati saya katakan, saya tidak sanggup. Saya tidak mampu membiarkan waktu merambat jika mimpi dalam keadaan mati. Walau belum ada sepenggal jalan, namun lentera harapan itu masih senantiasa berpijar. Memperlihatkan bahwa yang bernama setapak di depan masih panjang, masih penuh dengan rintang. Saya masih berminat melewati. Harusnya saya malu karena sudah gentar, tapi saya malah merasa menyedihkan. Tidak menghargai apa-apa, malah memilih mengiba. Maaf.


Ya, begitulah sekelumit kisah tentang kompetisi saya. Tidak ada yang bisa dibanggakan, yang ada jadi memalukan. Namun menurut saya, pada dasarnya, tidak ada yang salah dari sebuah kesalahan. Hanya takdir yang sedang menempatkannya pada satu sudut pandang. Sudut pandang yang relatif. Tidak ada yang bisa membenarkan atau menyalahkan dengan mutlak, selain yang Maha Adil. Kesalahan juga berhak mempunyai nilai. Kita bisa belajar dari siapa saja, apa saja, di mana saja. Termasuk dari hal yang tidak menghasilkan apa-apa. Sekalipun datangnya dari sesuatu yang dianggap tidak berharga. Setidaknya, poin yang dapat diambil, jangan mengulanginya lagi. Jangan mau jadi keledai!



No comments:

Post a Comment