Thursday 31 October 2013

Titik Balik

Titik balik, sebuah dedikasi yang saya persembahkan atas pengorbanan waktu. Terimalah.

Tidak. Tidak ada yang special ataupun wah, saya hanya iseng. Tak perlu menanggapinya berlebihan apalagi serius. Catatan ini hanya pelepas dahaga. Semacam setetes peluh yang tak lagi punya daya, sebait tinta terakhir dari pena, seperti halaman kosong di tengah buku, layaknya kerikil yang menghalangi jalan. Tidak nyambung? Baiklah, anggap saja, ini adalah sebuah alasan yang membuat saya menoleh ke belakang. Saatnya untuk terdiam.

Konon, suatu pagi saya terbangun dengan menemukan diri saya mengingat hari kemarin. Jutaan detik yang terlewatkan. Kepikiran tentang sebuah kotak yang berlabel masa lalu, begitu saja. Ternyata, saya hanya ingin mengenang beberapa saat sebelum semua itu nantinya menghilang, tergantikan entah dengan bentuk pigura kehidupan yang bagaimana. Itu bisa saja terjadi. Tidak ada yang bisa menutupi kemungkinan sekalipun itu keinginan sendiri. Jadi, biarlah hari ini menjelma seperti seharusnya. Sebagai penghubung antara kemarin dengan esok, lusa, lalu seterusnya.

Saat saya membuka kotak masa lalu, wangi detik usang itu pun semerbak. Melesak memori, lalu memenuhi hati. Teringat awal mimpi yang bersemi, tatkala dunia saya masih sederhana. Sekarang sudah tidak, terlalu banyak tanda tanya dan pilihan yang membingungkan. Belum lagi berbagai pertimbangan yang―entah mengapa, terkadang―lebih terdengar seperti kebodohan daripada jalan keluar. Semisal, mengapa memilih melakukan hal yang bagus dilihat orang, ketimbang hal yang membuat nyaman? Jawaban dari pertanyaan itu sudah ada di pemikiran masing-masing, tidak perlu ada tuduhan penilaian. Yang saya sayangkan, saya pernah menerapkannya. Oke, ini, uh. Hal-hal yang tak lagi sederhana itu lah yang sepertinya juga telah mengubah anatomi mimpi. Mimpi bermetamorfosis, kini menjadi lebih tinggi dan memiliki sayap peri. Benarkah?



Di masa sebelumnya, saya kerap berpikir sekaligus berharap, melarikan diri adalah sebuah jalan keluar. Tidak ada yang salah dengan kejujuran, bukan? Sekalipun kejujuran itu menguarkan satu kesalahan, atau lebih. Saya suka menerka-nerka, bisakah saya terisap dari segala hiruk-pikuk? Bisakah saya bersembunyi di balik kantong mata yang menghitam? Bisakah saya menghindari kemunafikan? Bisakah saya hanya memilih hitam atau putih? Bukan abu-abu. Karena saya tidak suka menjadi abu-abu. Karena kalau benar bisa, saya sungguh-sungguh ingin. Serius. Bukannya mau sok bijaksana, sama sekali bukan. Untuk mengalahkan diri sendiri saja saya belum bijak. Saya hanya menyadari, bahwa  tidak semua keinginan dapat bekerja sama dengan kebebasan.

Di hadapan titik balik,  saya membuat semacam delusi. Entah berguna atau tidak, sesungguhnya saya tidak begitu peduli. Let it flow. Let it flow. Let it flow.

Saya juga merasakan ada yang tidak beres dengan beberapa hari yang lalu itu. Harusnya saya memberitahu dunia, dengan cara berteriak atau bagaimana, bahwa saya ini Penikmat Kata, bukan Penghitung Angka. Saya sendiri tidak habis pikir sampai di sini. Tapi saya belum melakukannya, atau, hal itu pelan-pelan sudah bekerja sendiri. Diam-diam? Omong-omong, saya tidak sadar. Terserahlah, bagaimana wacana itu mengambang. Saya hanya ingin suatu kejelasan, pembetulan, kesaksian, pembuktian. Itu saja. Walau itu berarti, saya menodai pengorbanan.


Bagaimanapun, kenangan selalu membawa saya pulang ke pangkuan masa yang ingin direnungkan. Mengambil ampas yang sebelumnya sudah saya sia-siakan. Karena saya manusia, tidak terlepas dari segala kekurangan. Tidak berdaya terhadap khilaf apalagi kesombongan. Baiklah, saya mulai merasa ini semacam naskah pidato atau script sebuah talk show. Sudahlah. Jadi, begini saja titik balik dari saya untuk sang waktu. Maaf, tidak bisa lebih baik.




No comments:

Post a Comment