Titik
balik, sebuah dedikasi yang saya persembahkan atas pengorbanan waktu. Terimalah.
Tidak.
Tidak ada yang special ataupun wah,
saya hanya iseng. Tak perlu menanggapinya berlebihan apalagi serius. Catatan
ini hanya pelepas dahaga. Semacam setetes peluh yang tak lagi punya daya,
sebait tinta terakhir dari pena, seperti halaman kosong di tengah buku,
layaknya kerikil yang menghalangi jalan. Tidak
nyambung? Baiklah, anggap saja, ini adalah sebuah alasan yang membuat saya
menoleh ke belakang. Saatnya untuk terdiam.
Konon,
suatu pagi saya terbangun dengan menemukan diri saya mengingat hari kemarin.
Jutaan detik yang terlewatkan. Kepikiran tentang sebuah kotak yang berlabel masa lalu, begitu saja. Ternyata, saya
hanya ingin mengenang beberapa saat sebelum semua itu nantinya menghilang,
tergantikan entah dengan bentuk pigura kehidupan yang bagaimana. Itu bisa saja
terjadi. Tidak ada yang bisa menutupi kemungkinan sekalipun itu keinginan
sendiri. Jadi, biarlah hari ini menjelma seperti seharusnya. Sebagai penghubung
antara kemarin dengan esok, lusa, lalu seterusnya.
Saat
saya membuka kotak masa lalu, wangi
detik usang itu pun semerbak. Melesak memori, lalu memenuhi hati. Teringat awal
mimpi yang bersemi, tatkala dunia saya masih sederhana. Sekarang sudah tidak,
terlalu banyak tanda tanya dan pilihan yang membingungkan. Belum lagi berbagai
pertimbangan yang―entah mengapa, terkadang―lebih terdengar seperti kebodohan
daripada jalan keluar. Semisal, mengapa
memilih melakukan hal yang bagus dilihat orang, ketimbang hal yang membuat
nyaman? Jawaban dari pertanyaan itu sudah ada di pemikiran masing-masing,
tidak perlu ada tuduhan penilaian. Yang saya sayangkan, saya pernah menerapkannya.
Oke, ini, uh. Hal-hal yang tak lagi
sederhana itu lah yang sepertinya juga telah mengubah anatomi mimpi. Mimpi bermetamorfosis,
kini menjadi lebih tinggi dan memiliki sayap peri. Benarkah?
Di
masa sebelumnya, saya kerap berpikir sekaligus berharap, melarikan diri adalah
sebuah jalan keluar. Tidak ada yang salah
dengan kejujuran, bukan? Sekalipun kejujuran itu menguarkan satu kesalahan,
atau lebih. Saya suka menerka-nerka, bisakah saya terisap dari segala
hiruk-pikuk? Bisakah saya bersembunyi di balik kantong mata yang menghitam?
Bisakah saya menghindari kemunafikan? Bisakah saya hanya memilih hitam atau
putih? Bukan abu-abu. Karena saya tidak suka menjadi abu-abu. Karena kalau
benar bisa, saya sungguh-sungguh ingin. Serius. Bukannya mau sok bijaksana,
sama sekali bukan. Untuk mengalahkan diri sendiri saja saya belum bijak. Saya
hanya menyadari, bahwa tidak semua
keinginan dapat bekerja sama dengan kebebasan.
Di
hadapan titik balik, saya membuat
semacam delusi. Entah berguna atau tidak, sesungguhnya saya tidak begitu
peduli. Let it flow. Let it flow. Let it
flow.
Saya
juga merasakan ada yang tidak beres dengan beberapa hari yang lalu itu.
Harusnya saya memberitahu dunia, dengan cara berteriak atau bagaimana, bahwa saya ini Penikmat Kata, bukan Penghitung Angka.
Saya sendiri tidak habis pikir sampai di sini. Tapi saya belum melakukannya,
atau, hal itu pelan-pelan sudah bekerja sendiri. Diam-diam? Omong-omong, saya tidak sadar. Terserahlah, bagaimana
wacana itu mengambang. Saya hanya ingin suatu kejelasan, pembetulan, kesaksian,
pembuktian. Itu saja. Walau itu berarti, saya menodai pengorbanan.
Bagaimanapun,
kenangan selalu membawa saya pulang ke pangkuan masa yang ingin direnungkan. Mengambil
ampas yang sebelumnya sudah saya sia-siakan. Karena saya manusia, tidak
terlepas dari segala kekurangan. Tidak berdaya terhadap khilaf apalagi
kesombongan. Baiklah, saya mulai merasa ini semacam naskah pidato atau script sebuah talk show. Sudahlah. Jadi,
begini saja titik balik dari saya untuk sang waktu. Maaf, tidak bisa lebih
baik.
No comments:
Post a Comment