Saya
ragu, entah benar-benar bisa. Haruskah?
Seperti bercermin, nyaris sama. Tapi
saya sangsi, apakah bayangan itu adalah benar refleksi dari bentuk nyatanya. Apa
raut yang terpantul itu benar berasal dari tanya sebelum detik ini hadir. Siapa
yang berani berjanji? Adakah yang akan bersuara atau apa? Cermin hanyalah
sebatas benda mati, sedang di sini dia lah yang bersaksi. Menegakkan sekaligus
mematahkan.
Kalau dipikir-pikir, benar itu tidak
mutlak. Sekedar sesuai dengan apa yang dimaksud oleh orang yang menyatakannya.
Belum tentu apa yang saya bilang benar, di-iya-kan juga oleh orang lain. Begitu
sebaliknya. Tentu saja. Jadi, semisal cermin bisa bicara lalu mendakwa bahwa
bayangan tadi benar adalah saya, bisa saja saya menyangkal. Bisa saja saya
tidak terima, mencela cermin hanya mengada-ada yang kelewat berlebihan dengan
teori kebenaran dia. Bisa saja, bukan?
Tapi bukan itu yang saya cari. Tidak dengan cara berbicara dengan cermin lalu berharap dia dapat membual yang akan membuat saya nyaris gila. Bukan!
Ini tentang membaca. Seperti menafsirkan
bait dari syair pujangga, seperti menyusuri labirin teka-teki yang ujungnya
hanya bisa diterka. Ini tentang pemahaman. Saat kau merasa cukup dengan satu
alasan yang menenangkan. Saat kau selalu merasa akan menang. Tentang sebuah
jiwa yang paling kau mengerti sekaligus paling kau benci. Karena terkadang
kemunafikan membohongi segalanya. Saya urung bangga.
Saya tidak yakin dengan apa yang
harus saya lakukan untuk membaca diri. Walau bayangan itu akan tegak persis di
depan saya, meski jelas-jelas yang sedang bertanya adalah bentuk yang sama
dengan saya, belum tentu saya mampu. Mengungkap rahasia yang terlalu rahasia
bukanlah perkara mudah. Apalagi, saya sudah begitu lupa pernah menyimpannya.
Mungkin, pertama-tama saya harus
menutup mata. Pelan-pelan. Sambil mengingat, ini hari apa? Bagaimana hari ini
akan saya lewati? Di mana harus saya letakkan tangis juga tawa? Kapan saya bisa
tersenyum bahagia? Adakah yang cukup pantas untuk saya simpan dari hari ini?
Untuk nanti dikenang karena telah terlanjur mengkristal. Terus-menerus. Dapatkah
semua itu menjawab? Dapatkah semua itu mengartikan membaca diri?
Saya masih di sana, di ruang kata
bersama diam yang menggumam. Mampu mengatakan baik-baik saja jika memang harus.
Mampu untuk pindah jika telah menemukan alasannya. Esok terlalu jauh untuk
diraba, jadi saya belum bisa perpegang meski dipaksa bertahan.
Saya masih berusaha, memecahkan
balon yang memang layak dipecahkan. Biar nanti tidak ada yang sudi menyalahkan
atau mau membenarkan. Kali ini saya tidak butuh pendapat. Maaf. Karena semua
akan berjalan seperti yang diwajibkan. Dan saya masih ingin belajar dan
bertanya.
Pada akhirnya, haruskah membaca diri?
No comments:
Post a Comment