Tuesday 1 October 2013

Membaca Diri

Saya ragu, entah benar-benar bisa. Haruskah?
            Seperti bercermin, nyaris sama. Tapi saya sangsi, apakah bayangan itu adalah benar refleksi dari bentuk nyatanya. Apa raut yang terpantul itu benar berasal dari tanya sebelum detik ini hadir. Siapa yang berani berjanji? Adakah yang akan bersuara atau apa? Cermin hanyalah sebatas benda mati, sedang di sini dia lah yang bersaksi. Menegakkan sekaligus mematahkan.
            Kalau dipikir-pikir, benar itu tidak mutlak. Sekedar sesuai dengan apa yang dimaksud oleh orang yang menyatakannya. Belum tentu apa yang saya bilang benar, di-iya-kan juga oleh orang lain. Begitu sebaliknya. Tentu saja. Jadi, semisal cermin bisa bicara lalu mendakwa bahwa bayangan tadi benar adalah saya, bisa saja saya menyangkal. Bisa saja saya tidak terima, mencela cermin hanya mengada-ada yang kelewat berlebihan dengan teori kebenaran dia. Bisa saja, bukan?

            Tapi bukan itu yang saya cari. Tidak dengan cara berbicara dengan cermin lalu berharap dia dapat membual yang akan membuat saya nyaris gila. Bukan!
            Ini tentang membaca. Seperti menafsirkan bait dari syair pujangga, seperti menyusuri labirin teka-teki yang ujungnya hanya bisa diterka. Ini tentang pemahaman. Saat kau merasa cukup dengan satu alasan yang menenangkan. Saat kau selalu merasa akan menang. Tentang sebuah jiwa yang paling kau mengerti sekaligus paling kau benci. Karena terkadang kemunafikan membohongi segalanya. Saya urung bangga.
            Saya tidak yakin dengan apa yang harus saya lakukan untuk membaca diri. Walau bayangan itu akan tegak persis di depan saya, meski jelas-jelas yang sedang bertanya adalah bentuk yang sama dengan saya, belum tentu saya mampu. Mengungkap rahasia yang terlalu rahasia bukanlah perkara mudah. Apalagi, saya sudah begitu lupa pernah menyimpannya.
            Mungkin, pertama-tama saya harus menutup mata. Pelan-pelan. Sambil mengingat, ini hari apa? Bagaimana hari ini akan saya lewati? Di mana harus saya letakkan tangis juga tawa? Kapan saya bisa tersenyum bahagia? Adakah yang cukup pantas untuk saya simpan dari hari ini? Untuk nanti dikenang karena telah terlanjur mengkristal. Terus-menerus. Dapatkah semua itu menjawab? Dapatkah semua itu mengartikan membaca diri?
            Saya masih di sana, di ruang kata bersama diam yang menggumam. Mampu mengatakan baik-baik saja jika memang harus. Mampu untuk pindah jika telah menemukan alasannya. Esok terlalu jauh untuk diraba, jadi saya belum bisa perpegang meski dipaksa bertahan.
            Saya masih berusaha, memecahkan balon yang memang layak dipecahkan. Biar nanti tidak ada yang sudi menyalahkan atau mau membenarkan. Kali ini saya tidak butuh pendapat. Maaf. Karena semua akan berjalan seperti yang diwajibkan. Dan saya masih ingin belajar dan bertanya.

            Pada akhirnya, haruskah membaca diri?

No comments:

Post a Comment