Wednesday 2 October 2013

Sepotong Wajah

Bagaimana saya tidak senang hanya dengan melihat sepotong wajah tadi?!
            Hal-hal seperti ini memang lebih sering lepas kontrol, tidak jelas, aneh, dan sudah tentu konyol. Jujur, saya tidak pernah benar-benar berusaha untuk menghindar, karena terlebih dahulu menyerah. Ya, untuk yang satu ini saya tidak bisa berbuat apa-apa, tidak terlalu niat sebenarnya. Meski tak jarang menyusahkan, tapi kalau sudah hati yang dibuat senang, maka itu akan beda sekali penangguhannya. Tidak ada cara lain kecuali menikmatinya.
            Siapa yang peduli? Ini hidup saya, dan sepotong wajah yang hadir tadi―sekalipun tanpa alasan, adalah yang saya pedulikan. Saya tidak lagi menunggu, hanya sesekali mencari, pada ribuan detik yang hadir, yang mungkin akan mengantarkan saya pada takdir itu. Tidak untuk melakukan apa-apa lebih tepatnya. Karena membuat harapan lebih dari yang dibisa adalah sebuah ancaman yang menyesatkan. Saya paham sekali dengan tesis ini.
            Dulu, pernah hadirnya benar-benar diinginkan. Saya juga sudah pernah menuliskan. Entah saya menyayangkan takdir itu tidak kunjung datang, yang jelas dimensi waktu memiliki andil sangat besar. Mungkin ada yang memberitahu bahwa saya bukanlah pejuang untuk masalah seperti ini. Tidak pernah. Maka dari itu semua beranjak berubah, layaknya hati yang lemah. Saya tidak lagi sama. Dan suatu hari, kisah itu pun tiba.
       Sepotong wajah tadi, hanya sekilas. Tanpa senyum, tanpa renung. Malah terkesan bingung. Membiarkan saya ingin selalu membalik pasir waktu, berulang-ulang. Jadinya saya yang tersenyum, saya yang merenung. Jangan tuduh saya telah jatuh cinta! Saya tidak yakin seperti ini caranya. Ada yang lebih saya inginkan dari sekadar berbunga-bunga. Ada yang lebih ingin saya cari dari sekadar kehadiran sepotong wajah tadi. Mungkin wajah kedua setelah dia pergi.

            Karena harapan  bukan untuk diada-adakan. Mungkin.

No comments:

Post a Comment