Thursday 5 December 2013

Jangan Bawa Pergi

Baiklah, baiklah… Saya sudah terlalu jauh, dan sekarang berharap tidak harus pergi. Saya tahu, mungkin itu terlalu muluk-muluk atau terlalu banyak mau, tapi… saya hanya tidak ingin pergi. Jadi, anggap saja ini sebagai permintaan maaf. Mengertilah.

Memang, belakangan saya seperti melakukan pengabaian besar-besaran, berlagak sibuk padahal entahlah. Seperti kerasukan apa lalu tahu-tahu nyaris melupakan mimpi, mungkin tampak begitu. Namun tidak, sungguh tidak pernah terpikir oleh saya lancang untuk mengganti mimpi apalagi melupakannya. Dalam imajinasi pun tidak. Jangan. Mimpi belum saya apa-apakan, jadi tidak ada yang boleh pergi. Baik itu saya, ataupun juga mimpi. Dunia ini terlalu maya, dan saya tidak mau belahan jiwa yang lain. Mimpi yang lain. Saya masih sederhana, dan tidak ingin berubah―setidaknya sampai sekarang. Siapa yang bisa berjanji?


Beberapa hari ini―mungkin minggu, tugas kuliah numpuk dan deadline di mana-mana. saya tidak mungkin menghindar, maka dari itu harus ada yang diabaikan. Kembali lagi, hidup harus memilih dan berkorban. Bukan saya menganggap ‘yang diabaikan’ tidak penting, tapi… bisakah kalian melihat tidak hanya tampak depan? Ya, tidak hanya kalian, melainkan kita. Saya sedang berusaha, setidaknya. Karena, ‘yang diabaikan’ tidak selalu menjadi yang tidak berharga. Hanya saja, keegoisan terlanjur menakutkan untuk digenggam, apalagi diperjuangkan. Sebab, di sini bukan saja saya, atau mimpi dan saya. Banyak yang jadi pemeran. Orangtua masih menjadi prioritas saya sampai detik ini memanggil untuk datang.


Mungkin benar, kalau ceritanya begini, perjuangan saya sampai semester lima ini hanya demi orangtua, bukan saya ataupun masa depan saya. Sebenarnya tidak juga, walau saya akan lebih banyak mengiyakan. Alasan sekedar bagian besar dari sebuah pilihan, dan saya hanya mencoba mengikuti hati.  Itu pun kalau saya tidak salah membaca. Entah. Saya seperti belum menemukan kelihaian setiap melakukannya. Atau saya sedang tidak sadar. Setidaknya, pilihan dari kuliah ini ada di nomor dua, atau tiga. Saya belum benar-benar membuat penomoran, sebenarnya.

Saya paham, pilihan membutuhkan pengorbanan. Semacam merelakan pilihan lain hilang. Namun, haruskah itu sebuah kepergian? Bisakah taruhan itu ditangguhkan? Sebab saya hanya tidak ingin. Baiklah, kali ini saya lemah. Tapi, jangan bawa pergi! Saya tidak pernah membayangkan suatu masa untuk hal seperti ini, sebab saya tidak sudi. Itu hanya akan seperti melukai diri sendiri. Saya memang tidak mau menggenggam keegoisan, namun, mengertilah, ini hanya tentang hati yang tidak ingin patah. Hati yang tidak ingin dituding salah. Sekedar hati yang sedang percaya. Salahkah?

Jadi, untuk kali ini, saya hanya ingin meminta jangan bawa pergi. Jangan pernah bawa pergi! Saya mengaku salah. Sebuah permintaan maaf malah saya hadiahi suatu permohonan lancang. Saya sekadar berusah, dan merasa belum ingin menyerah. Sebuah jalan tidak pernah hanya lurus dan mulus. Harus ada persimpangan serta lubang bebatuan. Maka saya akan merasa lebih baik jika harus tersesat lebih dulu, lalu juga terjatuh dulu. tidak semua kesalahan patut disalahkan, bukan? Saya hanya mencoba mencari jalan lain ke Roma. Semoga berjumpa. Dan, maaf?

No comments:

Post a Comment