Baiklah,
baiklah… Saya sudah terlalu jauh, dan sekarang berharap tidak harus pergi. Saya
tahu, mungkin itu terlalu muluk-muluk atau terlalu banyak mau, tapi… saya hanya
tidak ingin pergi. Jadi, anggap saja ini sebagai permintaan maaf. Mengertilah.
Memang,
belakangan saya seperti melakukan pengabaian besar-besaran, berlagak sibuk
padahal entahlah. Seperti kerasukan apa lalu tahu-tahu nyaris melupakan mimpi, mungkin
tampak begitu. Namun tidak, sungguh tidak pernah terpikir oleh saya lancang untuk
mengganti mimpi apalagi melupakannya. Dalam imajinasi pun tidak. Jangan. Mimpi belum
saya apa-apakan, jadi tidak ada yang boleh pergi. Baik itu saya, ataupun juga
mimpi. Dunia ini terlalu maya, dan saya tidak mau belahan jiwa yang lain. Mimpi
yang lain. Saya masih sederhana, dan tidak ingin berubah―setidaknya sampai
sekarang. Siapa yang bisa berjanji?
Beberapa
hari ini―mungkin minggu, tugas kuliah numpuk dan deadline di mana-mana. saya tidak mungkin menghindar, maka dari itu
harus ada yang diabaikan. Kembali lagi, hidup harus memilih dan berkorban. Bukan
saya menganggap ‘yang diabaikan’ tidak penting, tapi… bisakah kalian melihat tidak hanya tampak depan? Ya, tidak hanya
kalian, melainkan kita. Saya sedang berusaha, setidaknya. Karena, ‘yang
diabaikan’ tidak selalu menjadi yang tidak berharga. Hanya saja, keegoisan
terlanjur menakutkan untuk digenggam, apalagi diperjuangkan. Sebab, di sini
bukan saja saya, atau mimpi dan saya. Banyak yang jadi pemeran. Orangtua masih
menjadi prioritas saya sampai detik ini memanggil untuk datang.
Mungkin
benar, kalau ceritanya begini, perjuangan saya sampai semester lima ini hanya
demi orangtua, bukan saya ataupun masa depan saya. Sebenarnya tidak juga, walau
saya akan lebih banyak mengiyakan. Alasan sekedar bagian besar dari sebuah
pilihan, dan saya hanya mencoba mengikuti hati.
Itu pun kalau saya tidak salah membaca. Entah. Saya seperti belum
menemukan kelihaian setiap melakukannya. Atau saya sedang tidak sadar. Setidaknya,
pilihan dari kuliah ini ada di nomor dua, atau tiga. Saya belum benar-benar membuat
penomoran, sebenarnya.
Saya
paham, pilihan membutuhkan pengorbanan. Semacam merelakan pilihan lain hilang. Namun,
haruskah itu sebuah kepergian? Bisakah taruhan itu ditangguhkan? Sebab saya
hanya tidak ingin. Baiklah, kali ini saya lemah. Tapi, jangan bawa pergi! Saya tidak pernah membayangkan suatu masa untuk
hal seperti ini, sebab saya tidak sudi. Itu hanya akan seperti melukai diri
sendiri. Saya memang tidak mau menggenggam keegoisan, namun, mengertilah, ini hanya tentang hati yang
tidak ingin patah. Hati yang tidak ingin dituding salah. Sekedar hati yang
sedang percaya. Salahkah?
Jadi,
untuk kali ini, saya hanya ingin meminta jangan bawa pergi. Jangan pernah bawa pergi! Saya mengaku salah. Sebuah permintaan
maaf malah saya hadiahi suatu permohonan lancang. Saya sekadar berusah, dan
merasa belum ingin menyerah. Sebuah jalan tidak pernah hanya lurus dan mulus. Harus
ada persimpangan serta lubang bebatuan. Maka saya akan merasa lebih baik jika
harus tersesat lebih dulu, lalu juga terjatuh dulu. tidak semua kesalahan patut disalahkan, bukan? Saya hanya mencoba mencari
jalan lain ke Roma. Semoga berjumpa. Dan, maaf?
No comments:
Post a Comment